"Ada yang harus kita bahas dulu." Reiner menemui Jasmine ke rumahnya dan menaruh sebuah map di atas meja wanita itu.
Meski tak mengerti apa yang perlu mereka bahas, Jasmine tetap mengangguk mengiakan. "Iya," balasnya singkat.
"Menikah dengan perempuan sepertimu tidak pernah ada dalam rencana saya," Reiner memulai pembahasannya.
"Kalaupun harus menikah, saya akan memilih wanita dari keluarga yang terpandang. Cantik, terpelajar, dan yang terpenting dia adalah wanita elegan. Bukan sembarang wanita apalagi wanita murahan," jelasnya tanpa perasaan.
Jasmine yang mendengar hal itu seketika mengepalkan tangannya. Dia sering dihina sebelumnya oleh orang lain yang tidak suka padanya, tapi saat pria ini yang menghinanya kenapa terasa begitu menyakitkan?
"Aku mengerti," Jasmine berusaha bersikap normal dan datar.
"Bagus kalau kamu mengerti," Reiner menghela napas sesaat. "Jadi, kita menikah hanya sebatas status. Saya akan melakukan tes DNA pada anak yang kamu kandung untuk membuktikan apakah dia benar anak saya atau bukan."
"Dia anakmu," Jasmine menyela.
"Ya. Anggap saja begitu. Nanti kita akan tahu setelah melakukan tesnya."
Jasmine tersenyum pahit. Mulutnya kini terkatup rapat merasa enggan menanggapi ucapan Reiner karena pada akhirnya akan sia-sia.
Pria itu mengangsurkan sebuah map pada Jasmine. Jasmine memandangi map tersebut dengan penuh tanya lalu meraihnya dan membukanya saat Reiner memberi perintah.
"Surat perjanjian?" gumam Jasmine ketika membaca judul dari isi map di genggamannya.
"Ya. Surat perjanjian untuk pernikahan kita, supaya kamu tahu batasan-batasan selama kita menikah. Baca baik-baik semua poinnya. Kalau kamu setuju, langsung tandatangani."
Jasmine tak ingin bertanya lebih banyak meski di kepalanya bersarang berbagai pertanyaan. Ia memilih fokus pada surat perjanjian tersebut yang terdiri dari beberapa poin.
Di sana tertulis Reiner Ferlando sebagai pihak pertama dan Jasmine Permata sebagai pihak kedua.
Poin pertama: Pernikahan hanya sebatas status. Tidak ada cinta, seks, atau aktivitas seperti pernikahan normal pada umumnya. Serta pihak pertama memiliki kewenangan dengan surat perjanjian ini.
Poin kedua: Harus berpura-pura mesra di hadapan keluarga, khususnya orang tua pihak pertama.
Jasmine berpikir sejenak. Ia tidak terlalu masalah jika mereka berpura-pura di depan orang tua Reiner. Jasmine pun setuju dengan poin tersebut.
"Poin ketiga. Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing. Pihak pertama boleh memiliki hubungan spesial dengan wanita lain. Begitupun dengan pihak kedua."
Baiklah. Jasmine setuju. Toh, mereka memang tidak akan saling mencintai, bukan? Tentu tidak akan ada yang sakit hati di antara mereka.
"Poin keempat. Pihak kedua harus berhenti dari pekerjaannya karena akan mencoreng nama baik keluarga pihak pertama."
Jasmine kembali berpikir. Jika ia berhenti bekerja, lalu akan mendapat uang dari mana untuk membayar hutang-hutang kakaknya? Jasmine kemudian menoleh menatap Reiner.
"Em... aku kerja di kafe saat siang. Dan malam hari di klub. Maksud dari poin empat ini, apa aku harus berhenti dua-duanya?" tanya Jasmine memastikan.
Reiner menaikkan sebelah alisnya. Mungkin dia baru tahu bahwa Jasmine bekerja siang dan malam.
"Ya. Dua-duanya. Kamu akan menjadi menantu keluarga Ferlando. Tidak perlu khawatir dengan biaya hidupmu."
Jasmine tahu. Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan biaya hidup dirinya. Tapi masalah kakaknya tentu lain cerita.
"Baiklah. Aku akan berhenti dari klub. Tapi akan tetap bekerja di kafe."
"Kamu khawatir akan kelaparan di rumah saya?" tuding Reiner tanpa pikir panjang.
Jasmine lantas menarik napas pelan. "Aku sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk masalah pribadiku. Aku tahu sangat tidak mungkin kekurangan makan di rumahmu. Tapi... ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dengan usahaku sendiri."
Reiner berpikir beberapa saat sambil melipat tangan di depan dada. Ia kemudian setengah melemparkan bolpen ke hadapan Jasmine.
"Baiklah. Beri keterangan di situ sesuai keinginanmu barusan.”
Jasmine merasa sedikit lega. Ia mengangguk lantas menambahkan catatan di poin nomor empat.
Poin kelima. Pernikahan ini terikat waktu. Jika hasil tes DNA menunjukkan anak tersebut bukan anak pihak pertama, maka akan bercerai secepatnya.
Tapi jika anak tersebut terbukti anak pihak pertama, maka hak asuh sepenuhnya milik pihak pertama, dan keduanya akan bercerai setelah anak lahir. Pihak kedua harus pergi sejauh-jauhnya dari pihak pertama dan anaknya.
"Aku tidak setuju dengan poin kelima," protes Jasmine dengan wajah menegang. Tangannya refleks bergerak mengelus perutnya sambil menatap Reiner dengan datar. "Dia anakku juga. Aku tidak mau dipisahkan dengan anakku sendiri!"
Reiner mengedikkan bahunya dengan enteng. "Kalau begitu tidak perlu ditandatangani. Dan pernikahan tidak ada. Batal sampai di sini.”
"A-apa?" Jasmine tercenung. Ia tak habis pikir Reiner akan melakukan hal setega itu padanya.
Jasmine sudah jatuh cinta dengan janin dalam perutnya. Dipisahkan dengan anaknya sendiri benar-benar sebuah mimpi buruk bagi Jasmine.
"Aku tidak masalah bercerai denganmu. Tapi tolong, anak ini akan tinggal bersamaku. Bagaimana mungkin dia dipisahkan dengan ibunya sendiri?" ujar Jasmine dengan bibir bergetar menahan berbagai emosi yang menggelayuti hatinya.
Reiner menatap Jasmine. Tatapan dan ekspresi pria itu sulit sekali terbaca.
"Ya atau tidak. Pilihanmu hanya dua.”
“Nad?” Sarah mengguncang tubuh Nadira yang tengah tertidur. “Nadira?!”“Hmm ... apaan sih, Sar?”“Heh! Lihat itu! Reiner sedang konferensi pers. Kamu tidak penasaran memangnya?”Mendengar nama Reiner, Nadira sontak terlonjak kaget kemudian duduk di samping Sarah. “Sejak kapan?”“Baru.”Nadira meraih remote TV dan meninggikan volume-nya agar bisa mendengar suara Reiner dengan jelas.“Apa istri Reiner benar-benar wanita penghibur, Nad?”Nadira mengedikkan bahu. “Reiner pernah bilang kalau perempuan itu memang bekerja di tempat karaoke. Tapi aku malas membahasnya.”“Cemburu nih?” goda Sarah.“Yeah ... kamu tahu hubunganku dengan Reiner dulu seperti apa. Wajar aku cemburu, ‘kan?”Sarah hanya menanggapi dengan kekehan kecil. Tapi jauh di dalam hati, Sarah tidak setuju dengan cemburunya Nadira. B
Jemari Jasmine memegangi ujung kemeja yang dikenakan Reiner, membuat pria itu tertegun melihatnya. Baru kali ini Jasmine menunjukkan kelemahannya dan ketakutannya di depan Reiner seperti ini.“Aku sudah dengar semuanya dari Mama.” Reiner memeluk Jasmine. “Kamu jangan takut ya. Ada aku yang akan melindungi kamu. Peneror itu cuma ingin membuat kamu takut, Jasmine. Mereka akan senang kalau kamu takut begini.”Jasmine mengangguk. Mendengarkan detak jantung Reiner yang berirama konstan, membuat Jasmine merasa nyaman dan tenang.Ya, seharusnya Jasmine tidak perlu takut. Ada Reiner di sampingnya. Perkara hidup atau mati, semua sudah digariskan.“Reiner, gimana tadi konferensi persnya? Lancar-lancar saja, ‘kan?” Jasmine mendongak menatap pria itu penuh tanya.Reiner mendecakkan lida
Siang itu Jasmine menghabiskan waktu di kebun bunga di belakang rumah. Dia berusaha untuk tidak menonton televisi, atau menyalakanInternet seperti kemarin. Jasmine perlu menenangkan diri.Selain di kebun bunga, Jasmine juga menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan. Baru setelah itu dia kembali kekamar untuk tidur siang sebelum ibu mertuanya datang.Ting!Ponsel Jasmine berdenting. Tangan Jasmine kemudian terjulur, mengambil ponselnya dari atas nakas.“Hm? Nomor siapa ini?” gumam Jasmine ketika dia mendapati nomor tidak dikenal yang mengiriminya pesan.Jasmine penasaran. Kemudian dibukanya pesan tersebut.[MATI SAJA KAMU! PEREMPUAN JALANG! MURAHAN! KAMU PANTAS MATI!]Tangan Jasmine yang memegangi ponsel mendadak gemetar usai membaca isi pesan tersebut.
Usai Reiner mandi dua puluh menit kemudian, keduanya makan malam bersama di meja makan. Baru setelah itu mereka masuk kembali ke kamar dengan posisi yang sudah siap tidur.Reiner membawa kepala Jasmine agar rebah di dadanya. “Jadi ceritakan sekarang, apa yang membuatmu menangis?” tanyanya sembari memijit pelan pinggang Jasmine.“Reiner ... kenapa kamu menyembunyikannya dariku?”“Maksudmu? Menyembunyikan apa?”“Rumor tentang kita.”Wajah Reiner mendadak berubah menegang. “Dari mana kamu tahu?”“Jadi itu alasannya kamu melarangku menonton televisi dan menggunakan internet?”Sungguh, Jasmine ingin marah karena Reiner memendam masalahnya sendirian. Tapi Jasmine tidak maukemarahannya membuat beban Reiner semakin bertambah.Reiner menghela napas panjang. Tidak ada gunanya lagi dia mengelak. Dia menghirup dalam-dalam aroma floral pada rambut Jasmine, lalu mengecup
Jasmine mengatur napas sembari mengelus perutnya. Sebesar apapun keinginannya untuk menangis dan menumpahkan semua emosinya, Jasmine berusaha tetap tenang. Walau akhirnya sia-sia.Ketika Jasmine sibuk dengan perasaannya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah. Lalu Evano turun dari sana dan segera mengetuk pintu, sebelum akhirnya menghampiri Jasmine yang tengah duduk di ruang tamu.“Jasmine kamu baik-baik saja?” Evano terlihat khawatir. Kemudian duduk di samping Jasmine.“Van? Ada apa?” Jasmine menyembunyikan kekalutannya dalam senyuman tipisnya. “Mau ketemu Reiner?”“Aku sengaja ke sini untuk menemui kamu. Dan memastikan keadaan kamu baik-baik saja.”“Apa ... kamu sudah tahu rumor yang sedang beredar sekarang?” Jasmine bertanya ragu. Dan diamnya Evano menjadi bukti bahwa pria itu sudah tahu segalanya.“Aku baik-baik saja,” kilah Jasmine, “tapi bagaimana de
Reiner menggerakkan ibu jarinya pada bibir Jasmine dengan memberi sedikit tekanan. “Dan wanita yang kubenci ini sudah membuatku gila. Aku mencandui tubuhnya, aku juga selalu rindu dan tersiksa setiap kali kita jauh.”“Reiner ….”“Ssstt!” Reiner merunduk, lalu melumat bibir Jasmine penuh kelembutan. Tidak lama. Tapi cukup membuat Jasmine terbuai. “Kamu sudah mengerti perasaanku sekarang?”Jasmine terdiam sesaat. Benarkah Reiner mencintainya? Dilihat dari sudut manapun rasanya hal itu sangat mustahil.Bagaimana bisa seorang Reiner jatuh cinta pada wanita seperti dirinya? Jasmine berpikir dengan keras, sepertinya cinta memang benar-benar membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Seperti Reiner contohnya.Jasmine tidak ingin percaya, sungguh. Tapi mendengar pengakuan Reiner yang terdengar tulus, entah kenapa Jasmine langsung percaya pada pria ini.“Iya, aku mengerti,” ucap Jasmin