"Hidupnya dan pendidikannya akan terjamin. Dia juga tidak akan kekurangan kasih sayang, jadi kamu tidak perlu khawatir.
“Setelah kamu melahirkan segera pergi jauh-jauh dari anak itu karena saya tidak bisa selamanya hidup denganmu."
Pria itu benar. Hidup anak ini akan terjamin jika dibesarkan oleh Reiner. Berbeda jika hidup bersama Jasmine.
Jasmine tak yakin dapat memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya kelak. Untuk biaya hidup diri sendiri pun cukup sulit, belum lagi dia dibayang-bayangi hutang sang kakak.
Jasmine mengepalkan tangannya. Menguatkan tekad pada keputusan yang akan ia buat meski suatu saat mungkin akan menyesali pilihannya. Tetapi, Jasmine tidak punya pilihan lain demi nasib anaknya kelak.
"Aku setuju. Asalkan anakku hidup bahagia dan mendapat kehidupan yang layak, aku akan menyetujui perjanjian ini."
Usai menyepakati isi perjanjian pernikahan dan menandatanganinya, Reiner segera pergi dari rumah Jasmine untuk mengurus pernikahan mereka yang akan digelar besok malam.
**
Pesta malam itu telah berakhir sepuluh menit yang lalu. Jasmine dan Reiner sudah sah menjadi sepasang suami istri. Dengan perjanjian yang sudah mereka sepakati tentunya.
Mereka hendak bergegas menuju kamar hotel yang telah mereka pesan untuk beristirahat malam ini, namun takdir berkata lain ketika Reiner dipanggil oleh seseorang dari belakang.
"Reiner!" Suara itu menggema di lorong, menarik perhatian keduanya. Jasmine mengenali Evano Kalen, salah satu sepupu jauh suaminya.
Tak hanya Evano, dua perempuan lainnya yang terlihat seperti sepupu Reiner juga menyusul dari belakangnya. Jasmine menyambut mereka dengan senyum hangat.
"Hi Evano,” sapa Jasmine ramah.
"Bro, can I get a picture with Jasmine? I didn't get a chance to take one earlier," ucap Evano sambil meminta izin pada Reiner, sambil mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi kamera.
Reiner melirik jam tangannya sebentar. "Two minutes," jawabnya singkat.
"Oh, come on. Just two minutes?" Evano memandang Reiner tidak percaya.
"If you don't want to, it's fine," ucap Reiner sambil mengangkat bahu, mencoba untuk mendorong Jasmine untuk melanjutkan perjalanan mereka.
"Okay, okay. Two minutes it is," seru Evano cepat sebelum Reiner benar-benar memimpin Jasmine pergi.
Reiner mendecak kesal dan sedikit menambah jarak antara dirinya dan Jasmine. Dia mengizinkan Jasmine untuk bergabung dengan sepupu-sepupunya tanpa kehadirannya.
Jasmine tak keberatan berpose berlama-lama dengan mereka untuk foto. Meski badannya lelah dan ingin segera mandi, kehadiran keluarga Reiner memberinya rasa nyaman.
Namun, Jasmine merasa ragu menyadari bahwa mereka harus berbagi kamar setelah ini. Hubungan mereka tidak pernah nyaman. Mungkin karena pernikahan ini bukan atas dasar cinta.
Jasmine melihat hasil foto di ponsel Evano dengan senang. "Wow, bagus sekali hasilnya. Van, bisakah aku dapatkan fotonya?"
"Tentu saja. Kamu yang paling berkilau di foto ini," balas Evano sambil tersenyum. "Aku akan kirimkan ke nomor HP-mu nanti. Boleh minta nomornya?"
Evano dengan sigap menambahkan nomor Jasmine ke kontak ponselnya. Jasmine memberikannya dengan senang hati, tidak menyadari bahwa dalam diam, Reiner masih memperhatikan mereka dari kejauhan.
Jasmine tidak banyak berpikir sebelum memberikan nomor ponselnya pada Evano. Tepat saat dia hendak menyebutkannya, Reiner menyela dengan ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan.
"Tidak perlu! Waktu kalian sudah lebih dari dua menit, Van. Aku sudah bosan menunggu," ucap Reiner dengan nada tegas.
Jasmine memandang Reiner dengan kebingungan. Menyebutkan nomor ponsel hanya butuh sebentar lagi, tidak akan membuat mereka terlalu lama di sana.
Namun, tatapan tajam Reiner membuatnya segera mengikuti langkahnya menjauh dari Evano, yang terlihat kebingungan dengan situasi tersebut.
Dia mengikuti Reiner menuju lift. Meskipun high heels yang dia pakai tidak terlalu tinggi, gaunnya yang lebar membuatnya kesulitan berjalan cepat.
Untungnya, mereka tidak perlu menunggu lama. Pintu lift terbuka dengan cepat dan keduanya masuk ke dalamnya, menuju lantai sepuluh. Suasana di dalam lift terasa tegang, membuat Jasmine merasa tidak nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka.
Setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Jasmine mengenakan pakaian tidur dan mengeringkan rambutnya sebelum keluar.
Ketika dia masuk ke dalam kamar, lega dirasakannya tidak menemukan Reiner di sana. Pria itu tampaknya sudah mandi lebih dulu.
Mungkin dia tidak ingin berbagi kamar dengan Jasmine malam ini. Pikiran ini membuat Jasmine lega. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang harus bersinggungan dengannya.
Namun, harapan Jasmine pupus saat pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Reiner muncul dengan sesuatu di tangan kanannya. Dia mendekat dan memberikan ponsel Jasmine.
"Ini milikmu? Pelayan menemukannya di kursi tempatmu tadi duduk," ucap Reiner tanpa ekspresi.
Jasmine terkejut. Dia meraih ponselnya dari tangan Reiner. "Terima kasih pada pelayan yang sudah menemukannya."
"Ceroboh sekali," gumam Reiner. "Hanya sebuah ponsel bisa kubeli puluhan kali lipat."
"Masalahnya bukan pada ponselnya," tolak Jasmine, "tapi data penting di dalamnya yang sulit didapatkan kembali jika hilang."
Reiner hanya mendengus. "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya memiliki sesuatu tanpa harus memikirkan harga."
Jasmine mengikuti langkah-langkah Reiner dengan ekor matanya, melihatnya bergerak di sekitar kamar. Dia kaget ketika Reiner akhirnya merebahkan tubuhnya di tempat tidur di sampingnya.
"Jadi, kamu mau tidur di sini?" ucap Jasmine, tidak dapat menahan rasa penasaran.
"Ya. Kamu tidak suka? Kalau begitu cari saja tempat lain," ucap Reiner tanpa melirik ke arah Jasmine, suaranya penuh dengan kepastian.
"Kita satu kamar hanya malam ini saja. Setelah sampai di rumah saya besok, kita tidak akan satu ruangan lagi. Kamar kita berbeda," tambahnya lagi.
Lamunan Jasmine terinterupsi oleh pintu yang terketuk kembali. Kali ini ketukannya lebih keras dari pada yang pertama tadi. Astaga... siapa sih? Orang itu tidak sabaran sekali.Jasmine lantas bangkit dari tempat duduknya lalu membuka pintu. Alangkah terke jutnya dia ketika yang ia dapati saat ini adalah wajah marah Reiner. Pria itu... datang ke sini? Tapi, kenapa marah?"Saya menyuruh kamu pulang ke rumah saya! Bukan ke sini!" desis Reiner dingin sambil mengetatkan rahangnya. "Ayo pulang.""Ya? Pu-pulang?" Jasmine sedikit terperangah. Pulang katanya? Pulang? Entah kenapa rasanya tiba-tiba pipi Jasmine memanas.Oh Astaga, kenapa hatinya harus selemah ini? "Tidak mau. Aku mau tinggal di sini saja,” tolak Jasmine pada akhirnya.Reiner merasa geram. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan kiri Jasmine, lalu menarik paksa gadis itu untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil.Kaki Jasmine ikut terseret karena tenaganya kalah jauh oleh Reiner. Jasmine meringis. Merasakan pergelangantanganny
Seketika itu, Jasmine merasakan denyutan perih menyapa sudut hatinya. Tidak disangka, ada lelaki seangkuh dan sekeras Reiner di dunia ini. Dengan tangan yang terkepal, ia menahan air mata agar tidak menetes di depan suaminya."Tenang saja, Tuan Reiner. Pagi harimu yang indah itu tidak akan terganggu lagi," ucap Jasmine dengan tatapan tajam yang menatap langsung ke mata Reiner."Bukankah kita tidak akan tidur satu kamar? Jadi aku bisa pastikan, pagimu akan tetap damai!"Reiner hanya mengedikkan bahu tanpa kata. Dia melangkah pasti menuju pintu kamar mandi, membuka dengan gerakan mantap."Lagi pula, jangan salahkan aku kalau aku membuat keributan. Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" seru Jasmine, suaranya penuh dengan ketegasan sebelum berbalik cepat dan meninggalkan kamar dengan napas yang terengah-engah, serta mata yang terasa pedih.Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat, Reiner mengerutkan kening mendengar kata-kata terakhir Jasmine. Gara-gara dia? Apakah Jasmine sakit karena ti
"Aku mengerti," jawab Jasmine singkat.Dia menempatkan ponselnya di atas nakas dengan hati-hati sebelum naik ke atas ranjang, menghindari tidur di sofa yang terasa tidak nyaman. Kakinya terasa pegal setelah berdiri sejak siang di pelaminan.Jasmine menarik selimut hingga ke dada, berbaring membelakangi Reiner yang masih terjaga.Reiner kemudian bangkit dari ranjang untuk mematikan semua lampu di kamar.Kegelapan menutupi ruangan, sesuai dengan keinginannya untuk tidur tanpa ada cahaya sedikit pun."Bisakah lampunya dinyalakan saja? Aku tidak bisa tidur dalam keadaan ge—""Tidak bisa! Kalau kamu tidak suka, silakan tidur di ruangan lain," potong Reiner dengan tegas, membaringkan tubuhnya kembali membelakangi Jasmine."Reiner... tolong—""Sekali tidak, tetap tidak!”Jasmine menggigit bibir bawahnya, perasaannya mulai waspada. Kamar itu terasa semakin menekan, gelap dan dingin tanpa selimut.Dia harus segera keluar sebelum terlambat. Dengan gemetar, Jasmine meraba-raba ponselnya di atas
"Hidupnya dan pendidikannya akan terjamin. Dia juga tidak akan kekurangan kasih sayang, jadi kamu tidak perlu khawatir.“Setelah kamu melahirkan segera pergi jauh-jauh dari anak itu karena saya tidak bisa selamanya hidup denganmu."Pria itu benar. Hidup anak ini akan terjamin jika dibesarkan oleh Reiner. Berbeda jika hidup bersama Jasmine.Jasmine tak yakin dapat memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya kelak. Untuk biaya hidup diri sendiri pun cukup sulit, belum lagi dia dibayang-bayangi hutang sang kakak.Jasmine mengepalkan tangannya. Menguatkan tekad pada keputusan yang akan ia buat meski suatu saat mungkin akan menyesali pilihannya. Tetapi, Jasmine tidak punya pilihan lain demi nasib anaknya kelak."Aku setuju. Asalkan anakku hidup bahagia dan mendapat kehidupan yang layak, aku akan menyetujui perjanjian ini."Usai menyepakati isi perjanjian pernikahan dan menandatanganinya, Reiner segera pergi dari rumah Jasmine untuk mengurus pernikahan mereka yang akan digelar besok malam
"Ada yang harus kita bahas dulu." Reiner menemui Jasmine ke rumahnya dan menaruh sebuah map di atas meja wanita itu.Meski tak mengerti apa yang perlu mereka bahas, Jasmine tetap mengangguk mengiakan. "Iya," balasnya singkat."Menikah dengan perempuan sepertimu tidak pernah ada dalam rencana saya," Reiner memulai pembahasannya."Kalaupun harus menikah, saya akan memilih wanita dari keluarga yang terpandang. Cantik, terpelajar, dan yang terpenting dia adalah wanita elegan. Bukan sembarang wanita apalagi wanita murahan," jelasnya tanpa perasaan.Jasmine yang mendengar hal itu seketika mengepalkan tangannya. Dia sering dihina sebelumnya oleh orang lain yang tidak suka padanya, tapi saat pria ini yang menghinanya kenapa terasa begitu menyakitkan?"Aku mengerti," Jasmine berusaha bersikap normal dan datar."Bagus kalau kamu mengerti," Reiner menghela napas sesaat. "Jadi, kita menikah hanya sebatas status. Saya akan melakukan tes DNA pada anak yang kamu kandung untuk membuktikan apakah dia
Jasmine menautkan jemari kedua tangannya yang entah sejak kapan menjadi terasa dingin. Ya, dia gugup sekarang.Tapi Jasmine memberanikan diri untuk meletakkan selembar kertas di hadapan Reiner, yang berisi tentang keterangan kehamilannya."Aku hamil. Dan dia adalah anakmu. Aku ingin kamu bertanggung jawab untuk—"BRAK!Kalimat Jasmine seketika terhenti oleh gebrakan keras di atas meja. Ia sempat tersentak oleh suara yang ditimbulkan dari telapak tangan yang beradu dengan material kaca tersebut. Rahang Reiner tampak mengeras. Jelas pria itu sedang marah sekarang."Siapa kamu berani-beraninya memerintah saya untuk menikahimu? Dan apa tadi kamu bilang? Hamil?"Terdengar kekehan meremehkan dari mulut Reiner, membuat sebagian hati Jasmine tiba-tiba terasa ngilu. Ah, seharusnya Jasmine tak boleh merasa sakit hati begini."Ya. Satu bulan yang lalu kamu melakukannya padaku. Aku tahu kamu tidak memakai pengaman malam itu. Aku tidak menstruasi lagi dan saat ini usia kehamilannya sudah tiga ming