Seketika itu, Jasmine merasakan denyutan perih menyapa sudut hatinya. Tidak disangka, ada lelaki seangkuh dan sekeras Reiner di dunia ini. Dengan tangan yang terkepal, ia menahan air mata agar tidak menetes di depan suaminya.
"Tenang saja, Tuan Reiner. Pagi harimu yang indah itu tidak akan terganggu lagi," ucap Jasmine dengan tatapan tajam yang menatap langsung ke mata Reiner.
"Bukankah kita tidak akan tidur satu kamar? Jadi aku bisa pastikan, pagimu akan tetap damai!"
Reiner hanya mengedikkan bahu tanpa kata. Dia melangkah pasti menuju pintu kamar mandi, membuka dengan gerakan mantap.
"Lagi pula, jangan salahkan aku kalau aku membuat keributan. Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" seru Jasmine, suaranya penuh dengan ketegasan sebelum berbalik cepat dan meninggalkan kamar dengan napas yang terengah-engah, serta mata yang terasa pedih.
Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat, Reiner mengerutkan kening mendengar kata-kata terakhir Jasmine. Gara-gara dia? Apakah Jasmine sakit karena tidur di luar kamar semalam tanpa selimut?
Reiner menggelengkan kepalanya dengan tegas, lalu tersenyum sinis. Jadi gadis itu menyalahkannya? Begitu adanya!
Reiner tidak perduli, memasuki bilik mandi dan melepaskan semua pakaian dari tubuhnya. Baginya, semalam bukan salahnya. Jasmine sendiri yang menolak tidur di dalam kamar.
Sekali lagi, Reiner mengedikkan bahu, berusaha untuk tidak ambil pusing. Air dingin dari shower mengalirkan sensasi menyegarkan di seluruh tubuhnya, mengusir semua pikiran yang mengganggu.
**
Sementara itu di ruangan lain, Jasmine merasa bingung apa yang harus dilakukannya saat ini. Tubuhnya terasa lemas dan ngantuk berat.
Mungkin efek kurang tidur semalam, jadilah pagi ini dia tidak bersemangat. Padahal, Jasmine yang terbiasa hidup keras, nyaris tidak pernah bermalas-malasan seperti ini.
Ia juga tak mengerti dengan kondisi tubuhnya yang sedikit lemah semen jak dia hamil.
Jasmine duduk di sofa. Kembali memikirkan hal-hal yang harus dia lakukan. Namun tanpa sadar kepalanya terantuk akibat kantuk yang sulit dia cegah.
Hingga akhirnya Jasmine pun tertidur dengan posisi duduk sambil memeluk lutut. Wajahnya terbenam di antara lutut dan lengan.
Sekitar tiga puluh menit Jasmine terlelap. Dia kembali bangun dengan kondisi tubuh yang lebih segar dari sebelumnya.
Jasmine lalu mengambil air minum di atas me ja untuk membasahi tenggorokkannya yang terasa kering. Kemudian bangkit dan menyeret langkahnya masuk ke dalam kamar. Dia perlu mandi dan mengganti pakaian.
Namun, begitu Jasmine memasuki kamar, ia baru sadar dirinya tak menemukan Reiner sepanjang ruangan tengah tadi sampai di kamar ini. Di kamar mandi pun tidak ada. Dan ternyata semua barang-barang Reiner sama nasibnya dengan orangnya.
Reiner telah pergi? Tapi... kenapa tidak mengajaknya?
Sebenarnya, sebesar apa kebencian yang dirasakan Reiner padanya? Sampal-sampal pria itu meninggalkannya begitu saja.
Jasmine hanya menghela napas panjang kemudian membuka koper untuk mengambil pakalan ganti.
Namun suara notifikasi dari ponsel berhasil menginterupsi Jasmine. Rupanya pesan tersebut dikirimkan oleh lelaki yang telah meninggalkannya di kamar hotel ini.
[Saya tidak mau membuang waktu untuk menunggu orang yang lagi tidur. Jadi, datang sendiri ke rumah saya. Alamatnya akan saya kirimkan secepatnya.]
Arrghh! Jasmine mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia merasa sangat terhina dan benar-benar tidak dianggap sebagai seorang istri oleh Reiner.
Belum dua puluh empat jam Jasmine menikah dengan Reiner, tapi lelaki itu sudah memperlakukannya sekejam ini?
Bibir Jasmine lantas menyunggingkan senyuman kecut. Tidak. Dia tidak boleh sakit hati. Ini baru permulaan.
Jasmine keluar dari hotel sambil menarik koper kecil miliknya. Kemudian menyetop taksi. Saat sopir taksi itu bertanya ke mana tujuannya, Jasmine sempat merasa bimbang.
Apakah dia harus datang ke rumah Reiner? Datang ke tempat asing sendirian dengan tidak tahu malu?
Sepertinya, di Jakarta ini hanya Jasmine seorang, yang datang ke rumah suaminya sendirian satu hari setelah hari pernikahan mereka.
Di saat pasangan lain sedang membangun kemesraan, atau bulan madu mungkin, Jasmine justru harus ditinggalkan sendirian di kamar hotel tanpa perasaan
"Mbak? Jadi ke mana tujuannya?"
Pertanyaan sang sopir berhasil menyentak Jasmine dari lamunannya. Lalu tanpa ragu Jasmine berkata, "ke Cawang saja. Pak."
Ya, Jasmine memutuskan untuk pulang ke rumahnya saja. Rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Taksi kemudian mela ju Membawa Jasmine ke tempat tujuannya dalam keheningan.
Begitu tiba di rumah, hal pertama yang dilakukan Jasmine adalah membuat sarapan. Ia memang belum sempat sarapan di hotel tadi.
Lalu dilanjutkan dengan meminum susu khusus untuk ibu hamil. Sebisa mungkin Jasmine akan mencukupi gizi untuk janin yang tengah berkembang dalam perutnya.
Jasmine tersenyum saat menyadari ada kehidupan di sana, lalu mengelus perutnya lembut. Ia tidak sendiri lagi sekarang.
Ya, janin ini akan menemani Jasmine selama beberapa bulan ke depan. Sehingga tidak ada alasan bagi Jasmine untuk merasa kesepian.
Jasmine menghela napas panjang. Bukankah ia kekanakkan dengan pulang ke rumahnya seperti ini? Seharusnya, dia datang ke rumah Reiner, melayani pria yang sudah berganti status menjadi suaminya. Meski tidak ada perasaan untuk pria itu, Reiner tetaplah suaminya.
Namun Jasmine berusaha untuk tidak peduli. Lelaki itu pun tidak memperlakukannya dengan baik sebagai seorang istri. Tapi, kenapa Jasmine merasa sedikit bersalah karena tidak men jalankan kewajibannya sebagai istri?
Tok! Tok! Tok!
Hm? Siapa yang datang? Jasmine bangkit dari meja makan demi menuntaskan rasa penasarannya. Ia membuka pintu, lalu mendapati seorang pria berpakalan batik dengan tubuhnya yang sedikit kurus berdiri di sana.
"Siapa ya. Pak?" Jasmine mengerutkan kening.
"Maaf, dengan Nona Jasmine, ya?"
Nona? Ah, seketika Jasmine sadar siapa yang memanggilnya 'nona" ini. Kemungkinan salah satu bawahan Reiner. Jasmine kemudian mengangguk mengiakan.
"Perkenalkan saya Agus, Non. Sopir Pak Reiner. Mari ikut saya. Pak Reiner menyuruh saya untuk menjemput Nona Jasmine."
Jasmine sedikit terke jut. Reiner tahu dirinya ada di rumah ini dan menyuruh sopir untuk menjemputnya? Rupanya lelaki itu masih punya sedikit hati.
"Maaf. Pak. Tolong sampaikan pada Pak Reiner, saya tidak akan ikut Bapak. Saya mau di sini dulu." putus Jasmine. Jasmine tidak akan mudah luluh.
Meski Jasmine tahu Reiner tidak sedang merayunya.
"Tapi. Pak Reiner bilang, saya harus memastikan Non Jasmine pulang ke rumah. Beliau tidak ingin dibantah."
Jasmine menghela napas panjang. Dan tetap menggeleng. "Kalau begitu, Bapak bilang saja saya yang tidak mau."
"Tapi...." Melihat keengganan yang tergambar di wajah Jasmine, Agus pun dengan berat hati mengiakan. "Baik, Non. Kalau begitu saya permisi lagi.
"Iya. Pak. Hati-hati ya.” Jasmine tersenyum tipis.
“Terima kasih. Non Jasmine."
Selepas kepergian Agus, Jasmine kembali ke dalam rumah. Hanya untuk menghabiskan waktu dengan memikirkan banyak hal yang memenuhi kepalanya.
Hidupnya terlalu rumit sampai-sampai dia harus terjebak dengan Reiner. Lelaki asing yang tiba-tiba meninggalkan benih di dalam rahimnya tanpa permisi.
"Kalau kamu lihat gimana kondisi suamimu saat kamu belum ditemukan, aku yakin kamu tidak akan mengenali dia," ujar Kanaya terkekeh."Sekacau itukah?" Jasmine menatap riak air kolam sambil menghela napas pelan. Malam ini mereka duduk di teras yang berhadapan dengan kolam renang.Jasmine baru tahu kondisi Reiner selama dua bulan terakhir saat Kanaya menceritakannya barusan.Entah Jasmine harus merasa senang atau sedih. Senang karena ternyata Reiner tidak mau kehilangannya. Tapi juga perih sebab suaminya harus tersiksa akibat Jasmine pula."Iya, kacau banget," jawab Kanaya, "ya kamu bayangkan saja, Kak Reiner yang suka seenaknya, angkuh dan sombong, jadi seperti mayat hidup gara-gara kehilangan seorang wanita."Kanaya menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Kemudian menoleh ke arah Jasmine. "Kamu sukses bikin dia tergila-gila sama kamu, Jasmine." Kali ini Kanaya tertawa, yang ditanggapi senyuman kecil oleh Jasmine.Jasmine meneguk jus mix buahnya sedikit, lantas diletakkannya lagi gel
Jasmine tidak melanjutkan lagi ucapannya sebab bibirnya kembali dibungkam Reiner, tapi Jasmine kembali mendorong bahu Reiner dengan pelan."Jasmine...," protes Reiner."Anak-anak sepertinya tidak mau berhenti nangisnya, Reiner. Mama juga sedang tidak ada, "kan?" Lagipula mereka tidak akan tenang melakukannya di saat anak-anak menangis. Jasmine tahu betul, waktu yang dibutuhkan Reiner bukan cuma sepuluh atau dua puluh menit.Reiner mengusap wajahnya dengan kasar dan frustasi. Mau tidak mau akhirnya dia menjauhkan diri dari Jasmine."Kita masih punya banyak waktu. Ya, Sayang?" Jasmine mengecup bibir Reiner sebagai penutup kegiatan mereka yang sangat-sangat tanggung itu.Awalnya Reiner luar biasa kesal. Tapi mendengar panggilan 'sayang' dan kecupan dari Jasmine, membuat hati Reiner akhirnya luluh."Sabar sabar," gumam Reiner sembari mengelus dadanya sendiri.**"Gimana kondisinya? Dia tidak apa-apa, "kan?" tanya Reiner tidak sabar.Kanaya mendecakkan lidahnya kesal sambil meletakkan stet
"Errgh "Jasmine mengerang sembari menggeliatkan tubuhnya. Kelopak matanya perlahan-lahan terbuka saat aroma woody memenuhi indra penciumannya. Jasmine tersenyum, Pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur adalah Reiner yang tengah memeluknya sambil menatapnya dengan lekat"Selamat siang, Honey," bisik Reiner. Napas hangatnya terasa menerpa wajah Jasmine."Siang? Memangnya jam berapa sekarang?" Suara Jasmine terdengar serak, sambil mencari-cari letak jam dinding. Tapi ruang geraknya yang sempit-akibat pelukan Reiner yang erat, membuat Jasmine sulit melihat jam yang ada di belakangnya."Jam sepuluh.""Ha?!" Jasmine terperanjat dengan mata membelalak. "Jam sepuluh?"Reiner mengangguk sebelum mengecup bibir Jasmine. Tangan Reiner yang semula melingkari pinggang, kini menyibak rambut Jasmine yang jatuh ke dahi."Iya, Honey, sekarang sudah jam sepuluh.""Kok kamu tidak membangunkan aku?"protes Jasmine. Sebab dia tidak biasa bangun sesiang ini."Tubuh kamu butuh recovery, Jasmine
Hingga dua puluh menit kemudian.Jasmine mengerjapkan matanya yang terasa lengket. Hal pertama yang Jasmine dengar saat bangun ialah detak jantung Reiner. Dia mendongak, dan mendapati Reiner pun sedang tidur.Jasmine melepaskan diri dari Reiner untuk menegakkan punggungnya. Sayang, pergerakan Jasmine itu membuat Reiner terkejut hingga terbangun seketika."Mau ke mana?" Reiner menahan pergelangan tangan Jasmine dengan erat.Kening Jasmine mengkerut. Dia merasa bingung dengan sikap Reiner yang seperti ini. "Aku tidak akan ke mana-mana, Reiner. Cuma mau membetulkan posisi duduk saja.""Ooh ...." Reiner menghela napas lega. Perlahan-lahan dia melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan perempuan itu. "Honey, mau keluar sekarang?"Jasmine mengangguk. Mereka pun keluar dari mobil. Tangan Reiner tidak lepas dari pinggang Jasmine seakan-akan takut Jasmine akan pergi lagi.Jasmine sempat memandangi rumah mertuanya dengan perasaan haru. Dia tidak menyangka akan kembali lagi ke Jakarta dalam
Setelah cukup lama mereka berciuman, Reiner melepaskan kembali tautan bibir mereka. Bibir Reiner lantas mengulas senyum lebar. Senyuman pertama yang tanpa beban di dalamnya setelah dua bulan terakhir."Reiner, banyak orang di sini. Kamu berani cium-cium aku di tempat seperti ini?" Jasmine merasa malu, rasanya dia tidak berani melihat ke sekitar."Kamu malu, hm? Tapi kenapa membalasku sampai bersemangat begitu?" tanya Reiner dengan senyum menggoda.Pipi Jasmine seketika terasa memanas usai mendengar ucapan Reiner. Malunya jadi dua kali lipat. Dia sangat merindukan pria ini, maka dari itu Jasmine jadi lupa diri saat membalas ciumannya."Ehemm!" Nicko berdehem keras sambil berjalan ke arah mereka. "Bung, bisa sabar sedikit? Kalau tidak bisa, mending masuk saja ke dalam mobil."Reiner mendecakkan lidahnya kesal. Sedangkan Jasmine malunya bertambah jadi tiga kali lipat. Ayah mertuanya pasti menyaksikan momen pertemuan mereka barusan. Jasmine lantas menghampiri Nicko, menyalaminya dengan so
“Terima kasih ya, Li," ucap Jasmine pada Ali yang telah mengantarnya sampai memasuki kendaraan bernama Elf."Sami-sami, Neng. Hati-hati di jalan ya. Semoga salamet sampai Jakarta."Jasmine mengangguk. Dia tersenyum sebelum Ali kembali menjalankan motornya. Kini Jasmine duduk di kursi paling depan. Katanya, transportasi ini akan jalan kalau penumpangnya sudah penuh.Jasmine ingin buang air kecil. Dia akhirnya turun dulu untuk mencari toilet. Terminal ini tidak seramai di terminal Pulo Gadung. Di sini cukup sepi.Saat Jasmine sedang berjalan menuju toilet setelah sebelumnya bertanya pada seseorang, Jasmine dikejutkan oleh tiga pria yang wajahnya nampak tidak asing.Itu ... anak buahnya Alvin yang dulu mengejar Jasmine sampai ke hutan! Jasmine terkesiap saat mereka pun melihat dirinya.Jasmine bergegas lari menjauhi mereka. Di tempat yang banyak orang seperti ini Jasmine yakin mereka tidak akan menculiknya lagi. Tapi tetap saja Jasmine tidak boleh lengah. Apalagi, sekarang mereka mengeja