Lamunan Jasmine terinterupsi oleh pintu yang terketuk kembali. Kali ini ketukannya lebih keras dari pada yang pertama tadi. Astaga... siapa sih? Orang itu tidak sabaran sekali.Jasmine lantas bangkit dari tempat duduknya lalu membuka pintu. Alangkah terke jutnya dia ketika yang ia dapati saat ini adalah wajah marah Reiner. Pria itu... datang ke sini? Tapi, kenapa marah?"Saya menyuruh kamu pulang ke rumah saya! Bukan ke sini!" desis Reiner dingin sambil mengetatkan rahangnya. "Ayo pulang.""Ya? Pu-pulang?" Jasmine sedikit terperangah. Pulang katanya? Pulang? Entah kenapa rasanya tiba-tiba pipi Jasmine memanas.Oh Astaga, kenapa hatinya harus selemah ini? "Tidak mau. Aku mau tinggal di sini saja,” tolak Jasmine pada akhirnya.Reiner merasa geram. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan kiri Jasmine, lalu menarik paksa gadis itu untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil.Kaki Jasmine ikut terseret karena tenaganya kalah jauh oleh Reiner. Jasmine meringis. Merasakan pergelangantanganny
Seketika itu, Jasmine merasakan denyutan perih menyapa sudut hatinya. Tidak disangka, ada lelaki seangkuh dan sekeras Reiner di dunia ini. Dengan tangan yang terkepal, ia menahan air mata agar tidak menetes di depan suaminya."Tenang saja, Tuan Reiner. Pagi harimu yang indah itu tidak akan terganggu lagi," ucap Jasmine dengan tatapan tajam yang menatap langsung ke mata Reiner."Bukankah kita tidak akan tidur satu kamar? Jadi aku bisa pastikan, pagimu akan tetap damai!"Reiner hanya mengedikkan bahu tanpa kata. Dia melangkah pasti menuju pintu kamar mandi, membuka dengan gerakan mantap."Lagi pula, jangan salahkan aku kalau aku membuat keributan. Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" seru Jasmine, suaranya penuh dengan ketegasan sebelum berbalik cepat dan meninggalkan kamar dengan napas yang terengah-engah, serta mata yang terasa pedih.Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat, Reiner mengerutkan kening mendengar kata-kata terakhir Jasmine. Gara-gara dia? Apakah Jasmine sakit karena ti
"Aku mengerti," jawab Jasmine singkat.Dia menempatkan ponselnya di atas nakas dengan hati-hati sebelum naik ke atas ranjang, menghindari tidur di sofa yang terasa tidak nyaman. Kakinya terasa pegal setelah berdiri sejak siang di pelaminan.Jasmine menarik selimut hingga ke dada, berbaring membelakangi Reiner yang masih terjaga.Reiner kemudian bangkit dari ranjang untuk mematikan semua lampu di kamar.Kegelapan menutupi ruangan, sesuai dengan keinginannya untuk tidur tanpa ada cahaya sedikit pun."Bisakah lampunya dinyalakan saja? Aku tidak bisa tidur dalam keadaan ge—""Tidak bisa! Kalau kamu tidak suka, silakan tidur di ruangan lain," potong Reiner dengan tegas, membaringkan tubuhnya kembali membelakangi Jasmine."Reiner... tolong—""Sekali tidak, tetap tidak!”Jasmine menggigit bibir bawahnya, perasaannya mulai waspada. Kamar itu terasa semakin menekan, gelap dan dingin tanpa selimut.Dia harus segera keluar sebelum terlambat. Dengan gemetar, Jasmine meraba-raba ponselnya di atas
"Hidupnya dan pendidikannya akan terjamin. Dia juga tidak akan kekurangan kasih sayang, jadi kamu tidak perlu khawatir.“Setelah kamu melahirkan segera pergi jauh-jauh dari anak itu karena saya tidak bisa selamanya hidup denganmu."Pria itu benar. Hidup anak ini akan terjamin jika dibesarkan oleh Reiner. Berbeda jika hidup bersama Jasmine.Jasmine tak yakin dapat memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya kelak. Untuk biaya hidup diri sendiri pun cukup sulit, belum lagi dia dibayang-bayangi hutang sang kakak.Jasmine mengepalkan tangannya. Menguatkan tekad pada keputusan yang akan ia buat meski suatu saat mungkin akan menyesali pilihannya. Tetapi, Jasmine tidak punya pilihan lain demi nasib anaknya kelak."Aku setuju. Asalkan anakku hidup bahagia dan mendapat kehidupan yang layak, aku akan menyetujui perjanjian ini."Usai menyepakati isi perjanjian pernikahan dan menandatanganinya, Reiner segera pergi dari rumah Jasmine untuk mengurus pernikahan mereka yang akan digelar besok malam
"Ada yang harus kita bahas dulu." Reiner menemui Jasmine ke rumahnya dan menaruh sebuah map di atas meja wanita itu.Meski tak mengerti apa yang perlu mereka bahas, Jasmine tetap mengangguk mengiakan. "Iya," balasnya singkat."Menikah dengan perempuan sepertimu tidak pernah ada dalam rencana saya," Reiner memulai pembahasannya."Kalaupun harus menikah, saya akan memilih wanita dari keluarga yang terpandang. Cantik, terpelajar, dan yang terpenting dia adalah wanita elegan. Bukan sembarang wanita apalagi wanita murahan," jelasnya tanpa perasaan.Jasmine yang mendengar hal itu seketika mengepalkan tangannya. Dia sering dihina sebelumnya oleh orang lain yang tidak suka padanya, tapi saat pria ini yang menghinanya kenapa terasa begitu menyakitkan?"Aku mengerti," Jasmine berusaha bersikap normal dan datar."Bagus kalau kamu mengerti," Reiner menghela napas sesaat. "Jadi, kita menikah hanya sebatas status. Saya akan melakukan tes DNA pada anak yang kamu kandung untuk membuktikan apakah dia
Jasmine menautkan jemari kedua tangannya yang entah sejak kapan menjadi terasa dingin. Ya, dia gugup sekarang.Tapi Jasmine memberanikan diri untuk meletakkan selembar kertas di hadapan Reiner, yang berisi tentang keterangan kehamilannya."Aku hamil. Dan dia adalah anakmu. Aku ingin kamu bertanggung jawab untuk—"BRAK!Kalimat Jasmine seketika terhenti oleh gebrakan keras di atas meja. Ia sempat tersentak oleh suara yang ditimbulkan dari telapak tangan yang beradu dengan material kaca tersebut. Rahang Reiner tampak mengeras. Jelas pria itu sedang marah sekarang."Siapa kamu berani-beraninya memerintah saya untuk menikahimu? Dan apa tadi kamu bilang? Hamil?"Terdengar kekehan meremehkan dari mulut Reiner, membuat sebagian hati Jasmine tiba-tiba terasa ngilu. Ah, seharusnya Jasmine tak boleh merasa sakit hati begini."Ya. Satu bulan yang lalu kamu melakukannya padaku. Aku tahu kamu tidak memakai pengaman malam itu. Aku tidak menstruasi lagi dan saat ini usia kehamilannya sudah tiga ming