Jasmine sedikit menunduk dan mengurai kepalan tangannya.
"Tapi kamu sama saja dengan orang lain. Kamu bukan istri yang bisa menenangkanku dan bukan tempat aku pulang dari segala masalah!" seru Reiner dengan napas mulai tersengal.
Sontak, Jasmine mengangkat kepalanya dan menatap Reiner dengan tatapan terluka. "Reiner ...."
"Oke. Aku memang salah karena sudah menyembunyikan masa laluku. Aku juga salah karena sudah meniduri wanita lain!" Reiner mengusap wajahnya dengan kasar. "Tapi aku juga ingin didengarkan, Jasmine!!"
Tubuh Jasmine tersentak oleh suara Reiner yang meninggi. "Kamu ... membentakku?"
"Kenapa? Kamu sakit hati?" Kedua tangan Reiner terkepal kuat-kuat.
Emosinya menggelegar seakan tidak bisa dipadamkan. Reiner cuma butuh didengarkan. Hanya itu. Tapi Jasmine seakan tidak mau mendengarkan penjelasan darinya. Bahkan sejak semalam.
"Kamu sakit hati olehku, Jasmine? Lalu apa maumu sekarang? Mau bersikap kekanakkan dengan pergi lag
Kris segera mendekati meja dan mengambil ponselnya dari sana. "Di sini ada bukti percakapan kami dan bukti transfer uang dari orang itu," ucap Kris sambil menyerahkan ponsel itu pada Reiner.Reiner mengotak-atik ponsel Kris, mengirim bukti-bukti ke nomor teleponnya sendiri. Setelah mendapat apa yang Reiner mau, dia mengembalikan ponsel itu kepada Kris."Sebelum kamu mengklarifikasi kesaksianmu di depan publik, jangan harap kamu bisa aman dari pantauanku!” ancam Reiner sebelum berlalu pergi dari rumah itu.Reiner melangkah lebar-lebar menuju mobilnya. Dia tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah berani mengusiknya apalagi yang berhubungan dengan keluarganya.Bayu berlari untuk membukakan pintu penumpang. Lalu menutupnya lagi setelah sang majikan duduk di dalam."Bagaimana dengan Andrean dan Prita?""Mike sedang mengurus mereka, Pak," jawab Bayu yang duduk di samping sopir."Pastikan mereka mau mengklarifikasi kesaksian mereka.
Tapi demi Tuhan, Jasmine tidak berniat untuk pergi dari rumah ini lagi. Seberapa besar pun kekecewaan Jasmine pada masalah yang muncul saat ini, dia sama sekali tidak punya pikiran untuk pergi. Ada dua anak yang harus Jasmine pikirkan. Mereka membutuhkan sosok seorang ayah.Selama tiga hari ini orang tua Reiner sempat berkunjung ke rumah Tapi mereka sama sekali tidak membahas Reiner. Mungkin mereka ingin membuat Jasmine tenang saat mengurus kedua anaknya tanpa memikirkan masalah apapun.Jasmine membuka aplikasi WhatsApp dan menuju chatroom-nya dengan Reiner. Terakhir kali mereka saling berkirim pesan adalah lima hari yang lalu.Kini Jasmine memberanikan diri untuk mengirim pesan pada pria itu. Bagaimana pun juga Jasmine-lah yang sudah membuat Reiner pergi.["Reiner, kamu baik-baik saja? Maafkan aku sudah membuat kamu marah. Pulanglah. Kami men-"]Jasmine berhenti mengetik ketika Mei tiba-tiba mengetuk pintu dengan cepat, lalu menghampiri Jasmine se
Jasmine sedikit menunduk dan mengurai kepalan tangannya."Tapi kamu sama saja dengan orang lain. Kamu bukan istri yang bisa menenangkanku dan bukan tempat aku pulang dari segala masalah!" seru Reiner dengan napas mulai tersengal.Sontak, Jasmine mengangkat kepalanya dan menatap Reiner dengan tatapan terluka. "Reiner ....""Oke. Aku memang salah karena sudah menyembunyikan masa laluku. Aku juga salah karena sudah meniduri wanita lain!" Reiner mengusap wajahnya dengan kasar. "Tapi aku juga ingin didengarkan, Jasmine!!"Tubuh Jasmine tersentak oleh suara Reiner yang meninggi. "Kamu ... membentakku?""Kenapa? Kamu sakit hati?" Kedua tangan Reiner terkepal kuat-kuat.Emosinya menggelegar seakan tidak bisa dipadamkan. Reiner cuma butuh didengarkan. Hanya itu. Tapi Jasmine seakan tidak mau mendengarkan penjelasan darinya. Bahkan sejak semalam."Kamu sakit hati olehku, Jasmine? Lalu apa maumu sekarang? Mau bersikap kekanakkan dengan pergi lag
Alvin menatap pemandangan di luar jendela dengan kedua tangan bersembunyi di saku celana. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Menertawakan sesuatu yang menurutnya sangat lucu."Gimana kalau seandainya Reiner meminta tes DNA. Apa yang akan kamu lakukan?"Alvin berbalik, menatap Winda yang terlihat sangat cemas. Alvin kemudian duduk di kursi kerjanya yang berhadapan dengan kursi Winda, mereka hanya terpisah oleh meja."Saya selalu merencanakan segala sesuatu dengan detail, Nyonya. Hal-hal seperti itu tidak perlu anda khawatirkan.""Maksud kamu?" Winda menatap Alvin bingung.Alvin terkekeh-kekeh. "Anda sepertinya lupa, bahwa uang dan kekuasaan bisa membeli apa pun, Nyonya. Termasuk hasil tes DNA""Ah ...." Winda manggut-manggut mengerti sambil tersenyum lebar. "Pokoknya saya mau rumah tangga Reiner dan istrinya hancur. Mereka sudah berani membuat Nadira menderita,” desis Winda marah.Sedangkan Alvin hanya tersenyum miring. Menco
Reiner mengetatkan rahangnya sambil menatap ayahnya dengan penuh keyakinan. "Baik. Aku akan membuktikan bahwa aku memang tidak bersalah."Setelah mengatakan kalimat tersebut, Reiner segera berlalu dari hadapan Nicko. Tatapannya terlihat kelam dan tajam. Langkahnya lebar-lebar dengan napas mulai tersengal menahan emosi.Begitu tiba di lantai bawah, Reiner menghampiri Leica yang sudah duduk di ruang tamu. Wajah wanita itu terlihat datar, tanpa ekspresi."Ma?" sapa Reiner sambil berdiri di samping kursi yang diduduki Leica. "Mama sudah sarapan?" tanyanya basa-basi."Sudah," jawab Leica singkat, lalu menyeruput teh kamomil hangat dengan perlahan-lahan."Apa Mama juga lebih percaya dengan gosip itu daripada aku?"Leica meletakkan cangkir ke atas tatakan, lalu menoleh pada Reiner dan tersenyum. Jelas sekali senyumnya terlihat dipaksakan."Mama memang tidak begitu tahu apa saja yang kamu dan Nadira lakukan. Tapi itu semua sudah jadi masa lal
Jasmine menggeleng tak percaya. Semua orang bisa mengatakan kalimat tersebut jika mereka sedang tersudutkan. Tak terkecuali Reiner. Bukti-bukti yang ditayangkan di televisi tadi sudah jelas bagi Jasmine"Banyak yang ingin aku jelaskan padamu, Jasmine," seru Reiner lagi. "Keluarlah. Kita harus bicara dan kamu jangan kekanakkan seperti ini!"Kekanakkan Reiner bilang? Jasmine mengelap air matanya menggunakan punggung tangan. Reiner tidak tahu sedalam apa luka Jasmine, tapi pria itu malah seenaknya bilang Jasmine kekanakkan?Gedoran di pintu terdengar lagi. Di luar sana Reiner merasa frustasi Berkali-kali dia mengusap wajahnya dan menjambak rambutnya sendiri dengan kasar."Buka pintunya, Jasmine! Beri aku waktu sepuluh menit untuk menjelaskan semuanya. Kaki kamu juga harus—"Kalimat Reiner langsung terhenti begitu mendengar suara tangisan bayi di dalam. Suaranya yang keras pasti sudah mengganggu tidur anak-anaknya.Dan akhirnya Reiner bena