Fajar dilempar dengan kasar ke dalam kamar besar yang diyakininya sebagai kamar milik Raya. Dia terkekeh pahit dengan apa yang terjadi dengannya, dia dilempar bagaikan cucian basah. Itulah yang dibencinya dari semua orang kaya, mereka memperlakukan orang seenaknya, bahkan nilai harga dirinya sudah tidak ada lagi.
Fajar menangkap pergerakan Raya di sudut tempat tidur. Wanita itu penampilannya kacau, rambutnya acak-acakan, dengan piyama merah muda melekat di tubuhnya, matanya sembab dan berkantung hitam.
Apa ayahnya juga mengurungnya sama dengan Fajar? Fajar melihat nasi dan air minum yang belum tersentuh sama sekali. Fajar mendecih malas, gadis manja yang bahkan sudah tidak gadis lagi, kenapa malah bertingkah dia yang paling menderita?
"Heh," sapa Fajar malas. Wanita itu diam saja, tapi mata tajamnya menatap Fajar dengan berani.
"Kau tidak akan memakannya? Kalau begitu ntukku saja, dasar anak orang kaya sombong."
Fajar meraih piring berisi nasi itu, memakannya sampai tandas karena perut itu belum diisi dari kemaren. Setelah puas makan sampai kenyang, dia melepaskan sendawanya tak peduli dengan adanya Raya di dalam kamar itu. Bergolek di lantai kemudian tertidur pulas.
Raya melepaskan tangisnya, Fajar laki-laki tak beretika, tak tau malu dan menuhankan uang. Kenapa laki -laki seperti itu yang harus diberikan ayahnya untuk menjadi suaminya? Lihatlah dia! dengan santai dia makan dan tidur seenaknya.
Raya memukul-mukul perutnya, berharap janin milik Marsel keluar dari sana. Dia ingin mati setelah pemerkosaan yang berujung hamil diluar nikah. Dia jijik dengan semua yang terjadi padanya, dia begitu kotor dan hina. Semua karena laki-laki yang tertidur santai di depannya. Fajar tidak memikirkan apa akibat yang didapatkannya dari perbuatannya itu, alkohol itu lah yang membuatnya mabuk sehingga diperkosa oleh Marsel.
Semua ini salah Fajar, laki-laki sial yang selalu menerornya selama ini. Hidupnya aman aman saja sebelum bertemu manusia yang bernama Fajar, setelah kedatangan pria itu semuanya menjadi berantakan.
Raya merebahkan dirinya masih memukuli perutnya, dia sudah melakukan berbagai cara agar janin itu keluar. Memakan tapai sebanyak -banyaknya sampai badannya demam, memakan semua yang merupakan pantangan bagi ibu hamil agar janin itu gugur dengan sendirinya, namun dia melekat erat di rahimnya bagaikan melekat eratnya rasa benci dihatinya kepada Fajar.
Raya memiliki mimpi yang sempurna, yang sudah dirangkainya jauh-jauh hari. Jatuh cinta dengan orang yang tepat, menikah dengan tema adat Minang, kemudian menjadi ibu rumah tangga yang hanya bekerja melayani suami dan mengurus anak. Sekarang mimpi itu hancur sudah, dia belum jatuh cinta kepada Marsel, hubungan mereka baru dalam tahapan penjajakan walaupun resmi pacaran, bahkan Marsel adalah pacar pertamanya, namun dengan sekejap pria itu menghancurkan dirinya.
Raya bangkit dari tidurnya, dia sangat marah, dengan keberanian yang penuh dia menendang sekuat hati tubuh tinggi kekar yang tergolek di lantai itu.
"Pergi! "
Dia menendang sekali lagi hingga Fajar terbangun. Fajar menangkap betis Raya, menariknya sehingga gadis itu terjengkang dengan pantat lebih dulu mendarat di lantai, Fajar tidak peduli dengan bayi di perut wanita itu, jika dia keguguran mereka bisa langsung bercerai setelahnya.
"Wanita gila, kenapa kau menendangku?" Fajar duduk, dia baru tidur sepuluh menit, tapi wanita gila itu menganggunya dengan sebuah tendangan, betapa kurang ajarnya dia.
"Kenapa kau kembali? Aku tidak ingin melihatmu." Raya berteriak di depan wajah Fajar.
Fajar mendecih malas. "Hei kau, kau kira aku kembali karena keinginanku? Tua bangka yang merupakan ayahmu yang menyeretku ke sini, jangan terlalu percaya diri!"
Raya bangkit meraih depan jaket Fajar, memukul dada itu sepuas hati.
"Kau teman bajingan itu, jangan tunjukkan wajahmu padaku! aku ingin membunuhmu, aku ingin membunuhnu ... huuua." Tangisnya pecah memenuhi seisi kamar, Fajar menggeleng sinis.
"Pantas saja Marsel mencampakkanmu, ternyata kau wanita yang mengerikan."
Raya melompat ke hadapan Fajar lalu mencakar lehernya, meninggalkan bekas luka yang memanjang dan mengeluarkan darah, awalnya Fajar diam saja, namun karena wanita itu semakin menggila dia menangkap tangan Raya, memandang mata basah Raya penuh benci.
"Jangan paksa aku berbuat kasar!" Fajar melepaskan tangan Raya dengan kasar, gadis itu berlari menuju mejanya dan meraih sebuah benda tajam untuk melukai dirinya. Mata Fajar terbelalak saat Raya mulai nekad menggoreskan pisau itu ke nadinya, sekali lompat Fajar berhasil menyingkirkan pisau itu dengan pukulan tangannya.
"Biarkan aku mati, biarkan aku mati!"
Dia kembali memukuli Fajar, dia sangat putus asa saat ini, beribu kali dia berfikir tapi jawabannya tetap sama, dia tidak bisa memelihara janin itu dan tidak mau menerima Fajar sebagai suaminya.
Fajar membiarkan tangan Raya kelelahan, sampai pukulannya berangsur melemah. Dia merosot ke lantai masih dengan tangisnya. Wanita yang kacau itu tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Seharusnya, Fajar tidak usah dilibatkan lagi dengan keluarga Raya, seharusnya cukup masa lalu menjadikan dia sebagai anak kecil yang menyedihkan. Dia masih ingat wajah itu, wajah yang tidak banyak berubah milik ayah Raya. laki-laki yang dulu berselingkuh dengan ibunya, laki-laki yang membuat ibunya meninggalkan ayahnya yang sekarat, laki-laki yang membuat dia memiliki ibu tiri yang kejam. Lalu kenapa dia yang harus dihukum dan dijadikan tumbal penutup malu keluarga yang sangat dibencinya?
Ibunya ... entah di mana keberadaannya sekarang, mungkin sudah memiliki mangsa baru yang lebih kaya, atau sudah dicampakkan laki-laki lain karena pasti dia sudah tua saat ini.
Itulah alasannya membenci keluarga Raya, ayah Raya yang awalnya bersifat sebagai malaikat memberi pinjaman uang sebagai modal usaha untuk keluarganya. Hutang itu sampai sekarang belum dibayar, namun ayah Raya mengambil jaminan yang lebih mahal, ibunya ... ibunya yang bodoh yang jatuh cinta dan berselingkuh dengan laki-laki kaya yang tak lain adalah ayah Raya.
Fajar dilempar dengan kasar ke dalam kamar besar yang diyakininya sebagai kamar milik Raya. Dia terkekeh pahit dengan apa yang terjadi dengannya, dia dilempar bagaikan cucian basah. Itulah yang dibencinya dari semua orang kaya, mereka memperlakukan orang seenaknya, bahkan nilai harga dirinya sudah tidak ada lagi.
Fajar menangkap pergerakan Raya di sudut tempat tidur. Wanita itu penampilannya kacau, rambutnya acak-acakan, dengan piyama merah muda melekat di tubuhnya, matanya sembab dan berkantung hitam.
Apa ayahnya juga mengurungnya sama dengan Fajar? Fajar melihat nasi dan air minum yang belum tersentuh sama sekali. Fajar mendecih malas, gadis manja yang bahkan sudah tidak gadis lagi, kenapa malah bertingkah dia yang paling menderita?
"Heh," sapa Fajar malas. Wanita itu diam saja, tapi mata tajamnya menatap Fajar dengan berani.
"Kau tidak akan memakannya? Kalau begitu ntukku saja, dasar anak orang kaya sombong."
Fajar meraih piring berisi nasi itu, memakannya sampai tandas karena perut itu belum diisi dari kemaren. Setelah puas makan sampai kenyang, dia melepaskan sendawanya tak peduli dengan adanya Raya di dalam kamar itu. Bergolek di lantai kemudian tertidur pulas.
Raya melepaskan tangisnya, Fajar laki-laki tak beretika, tak tau malu dan menuhankan uang. Kenapa laki -laki seperti itu yang harus diberikan ayahnya untuk menjadi suaminya? Lihat lah dia! dengan santai dia makan dan tidur seenaknya.
Raya memukul-mukul perutnya, berharap janin milik Marsel keluar dari sana. Dia ingin mati setelah pemerkosaan yang berujung hamil diluar nikah. Dia jijik dengan semua yang terjadi padanya, dia begitu kotor dan hina. Semua karena laki-laki yang tertidur santai di depannya. Fajar tidak memikirkan apa akibat yang didapatkannya dari perbuatannya itu, alkohol itu lah yang membuatnya mabuk sehingga diperkosa oleh Marsel.
Semua ini salah Fajar, laki-laki sial yang selalu menerornya selama ini. Hidupnya aman aman saja sebelum bertemu manusia yang bernama Fajar, setelah kedatangan pria itu semuanya menjadi berantakan.
Raya merebahkan dirinya masih memukuli perutnya, dia sudah melakukan berbagai cara agar janin itu keluar. Memakan tapai sebanyak -banyaknya sampai badannya demam, memakan semua yang merupakan pantangan bagi ibu hamil agar janin itu gugur dengan sendirinya, namun dia melekat erat di rahimnya bagaikan melekat eratnya rasa benci di hatinya kepada Fajar.
Raya memiliki mimpi yang sempurna, yang sudah dirangkainya jauh-jauh hari. Jatuh cinta dengan orang yang tepat, menikah dengan tema adat Minang, kemudian menjadi ibu rumah tangga yang hanya bekerja melayani suami dan mengurus anak. Sekarang mimpi itu hancur sudah, dia belum jatuh cinta kepada Marsel, hubungan mereka baru dalam tahapan penjajakan walaupun resmi pacaran, bahkan Marsel adalah pacar pertamanya, namun dengan sekejap pria itu menghancurkan dirinya.
Raya bangkit dari tidurnya, dia sangat marah, dengan keberanian yang penuh dia menendang sekuat hati tubuh tinggi kekar yang tergolek di lantai itu.
"Pergi! "
Dia menendang sekali lagi hingga Fajar terbangun. Fajar menangkap betis Raya, menariknya sehingga gadis itu terjengkang dengan pantat lebih dulu mendarat di lantai, Fajar tidak peduli dengan bayi di perut wanita itu, jika dia keguguran mereka bisa langsung bercerai setelahnya.
"Wanita gila, kenapa kau menendangku?" Fajar duduk, dia baru tidur sepuluh menit, tapi wanita gila itu menganggunya dengan sebuah tendangan, betapa kurang ajarnya dia.
"Kenapa kau kembali? Aku tidak ingin melihatmu." Raya berteriak di depan wajah Fajar.
Fajar mendecih malas. "Hei kau, kau kira aku kembali karena keinginanku? Tua bangka yang merupakan ayahmu yang menyeretku ke sini, jangan terlalu percaya diri!"
Raya bangkit meraih depan jaket Fajar, memukul dada itu sepuas hati.
"Kau teman bajingan itu, jangan tunjukkan wajahmu padaku! aku ingin membunuhmu, aku ingin membunuhnu ... huuua." Tangisnya pecah memenuhi seisi kamar, Fajar menggeleng sinis.
"Pantas saja Marsel mencampakkanmu, ternyata kau wanita yang mengerikan."
Raya melompat ke hadapan Fajar lalu mencakar lehernya, meninggalkan bekas luka yang memanjang dan mengeluarkan darah, awalnya Fajar diam saja, namun karena wanita itu semakin menggila dia menangkap tangan Raya, memandang mata basah Raya penuh benci.
"Jangan paksa aku berbuat kasar!" Fajar melepaskan tangan Raya dengan kasar, gadis itu berlari menuju mejanya dan meraih sebuah benda tajam untuk melukai dirinya. Mata Fajar terbelalak saat Raya mulai nekad menggoreskan pisau itu ke nadinya, sekali lompat Fajar berhasil menyingkirkan pisau itu dengan pukulan tangannya.
"Biarkan aku mati, biarkan aku mati!"
Dia kembali memukuli Fajar, dia sangat putus asa saat ini, beribu kali dia berfikir tapi jawabannya tetap sama, dia tidak bisa memelihara janin itu dan tidak mau menerima Fajar sebagai suaminya.
Fajar membiarkan tangan Raya kelelahan, sampai pukulannya berangsur melemah. Dia merosot ke lantai masih dengan tangisnya. Wanita yang kacau itu tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Seharusnya, Fajar tidak usah dilibatkan lagi dengan keluarga Raya, seharusnya cukup masa lalu menjadikan dia sebagai anak kecil yang menyedihkan. Dia masih ingat wajah itu, wajah yang tidak banyak berubah milik ayah Raya. laki-laki yang dulu berselingkuh dengan ibunya, laki-laki yang membuat ibunya meninggalkan ayahnya yang sekarat, laki-laki yang membuat dia memiliki ibu tiri yang kejam. Lalu kenapa dia yang harus dihukum dan dijadikan tumbal penutup malu keluarga yang sangat dibencinya?
Ibunya ... entah dimana keberadaannya sekarang, mungkin sudah memiliki mangsa baru yang lebih kaya, atau sudah dicampakkan laki-laki lain karena pasti dia sudah tua saat ini.
Itulah alasannya membenci keluarga Raya, ayah Raya yang awalnya bersifat sebagai malaikat memberi pinjaman uang sebagai modal usaha untuk keluarganya. Hutang itu sampai sekarang belum dibayar, namun ayah Raya mengambil jaminan yang lebih mahal, ibunya ... ibunya yang bodoh yang jatuh cinta dan berselingkuh dengan laki-laki kaya yang tak lain adalah ayah Raya.
Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri.Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu.Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu."Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu."Heh, dimana kamar mandimu?"Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela.Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar.Raya memandan
Mata sembab itu milik Raya, menengadahkan wajah cantiknya kelangit-langit kamar, dia sedikit tenang setelah menumpahkan kemarahannya kepada Fajar. Dia tidak pernah bahagia dengan hidupnya, terkurung bagaikan tawanan dan tidak boleh kemana -mana.Dari dulu dia tidak pernah pergi tanpa pengawal ayahnya. Ke sekolah, ke Mall, dan kemanapun dia diikuti oleh dua pria berbadan kekar dan berotot kuat yang tak lain adalah anak buah ayahnya. Raya tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siapa yang diinginkannya, dia dijauhi dan tidak ada yang mau berteman dengannya. Hanya kepada Marsel dia bisa membuka diri walaupun sedikit, Raya ditaklukkan dengan bujuk rayu dan mulut manis pria itu sehingga dia menerima Marsel sebagai kekasihnya.Malam itu puncaknya ketika perayaan ulang tahun alumni kampusnya. Dia berhasil memanipulasi ayahnya agar pengawalan tidak dilakukan lagi karena hanya orang dalam yang merupakan alumni kampusnya yang diperbolehka
Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya."Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar."Membawamu sangat menyusahkan," ketus Faja
Raya kesal dengan Fajar, tidak sedikit pun suami palsunya itu berniat membantu. Rumah ini dipenuhi debu yang cukup tebal, belum lagi daun -daun kering yang ikut menyelinap masuk ke dalam rumah dan teronggok di sudut dapur. Sapu yang digunakan Raya tidak berdaya membersihkan daun basah yang cukup berat. Tangkai sapu itu sudah patah, tampaknya bu Asni sengaja meninggalkan barang-barang yang memang tidak layak lagi untuk digunakan.Raya membuka jaketnya, menyisakan kaos tak berlengan yang mulai basah oleh keringat. Dua jam dia hilir mudik membersihkan rumah itu dan sekarang dia lelah dan merasa lapar.Raya duduk di samping Fajar, menatap dongkol laki-laki yang selalu berwajah dingin dan bermulut pedas itu. Mereka harus berfikir bagaimana cara mengisi perut, Raya tidak membawa se-sen pun uang saat kabur karena dia tidak terbiasa membawa uang cash dan tidak sempat mengambil kartu ATM-nya. Sekarang Raya menyesal dengan kecerobohannya itu.&
Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri."Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."Dia butuh makan dan beras t
Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s