“Kami sudah mencoba mencari hampir ke seluruh perusahaan maskapai penerbangan, tapi mereka tidak menemukan satupun nama Nyonya Nova di sana.”Gemeretak gigi tanda emosi terdengar di telinga dua ajudan yang ditugaskan oleh Chris. Suasana di ruang inap Angga berubah tegang saat kabar tak sedap itu terdengar.“Cari dengan lebih teliti. Jangan hanya mencarinya di daftar penumpang pesawat. Alat transportasi tidak itu!” Entah bagaimana lagi Chris harus menahan emosinya. Enam bulan sudah pencarian Chris dan anggota ajudan di bawah naungannya saat ini menggurita hanya untuk mencari sosok wanita yang telah lama hilang. Di tengah-tengah mereka, Angga terkulai tak berdaya seolah tak peduli dengan perdebatkan yang sedang melibatkan tiga orang bawahannya.“Kami sudah mengerahkan tim untuk mencari hingga ke pelosok, pak. Tapi belum menunjukkan hasil juga. Sepertinya Nyonya Nova tidak hanya pergi sendiri. Ada orang yang membantunya pergi dari rumah,” ucap salah satu ajudan. Dugaan itu langsung meng
*Percakapan sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia*Suasana kafe semakin ramai di jam makan siang. Beberapa orang pelajar masuk ke dalam area kafe sambil menghela napas lelah. Sementara di balik meja kasir, Nova menyapa anak-anak itu dengan senyum paling ramah.“Selamat datang di kafe kami,” katanya dengan suara lantang namun terdengar ramah dan bersahaja. Enam bulan sudah Nova bergulat dengan pekerjaan di balik meja kasir. Menyambut tamu-tamu yang datang dan melayani pembayaran mereka tanpa kesalahan sekecil apapun. “Terima kasih, sampai bertemu lagi,” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang kembalian pelanggan yang membayar tagihan mereka. Hari ini rasanya jauh lebih melelahkan, pelanggan yang datang ke kafe tempat Nova bekerja silih berganti dalam hitungan jam. “Kak Nova, lebih baik kamu istirahat dulu, aku khawatir kamu kelelahan karena terus berdiri selama berjam-jam,” ucap rekan kerja Nova. Seorang wanita berusia dua puluh tahun berparas cantik khas wanita korea pa
Sosok pria yang baru saja datang, bersama dengan pertanyaan yang terdengar khawatir itu membuat Nova menoleh. Sosok pria tampan dengan tubuh tinggi tegap kini menetap Nova lekat. Pria berwajah tegas namun terlihat manis dengan lesung pipi di kanan dan kiri, belum lagi mata sipitnya yang menyorot sendu, seharusnya mampu membuat Nova teralihkan dari sakitnya masa lalu. Pria itu menyentuh lengan Nova, sensasi hangat lantas menjalar di sepanjang lengan Nova ketika kulit mereka bersentuhan.“Ya, aku baik-baik saja. Kamu sudah sampai ternyata,” ucap Nova terbata. “Kamu mau minum apa?”“Apapun yang menurutmu enak. Tapi tunggu,” jawab pria itu. Namun, sedetik kemudian tangannya kembali menghalau niat Nova yang hendak membuatkannya minuman. “Kamu benar baik-baik saja?” Ini sudah kedua kali Mark, pria berdarah Korea-Amerika itu melayangkan pertanyaan yang sama pada Nova. Nova membalasnya dengan senyuman tipis, lalu mengangguk. “Aku baik-baik saja. Lebih baik kamu duduk dulu. Pasti kamu lel
“Nova..” Chris menggelengkan kepalanya mengumpulkan secercah nyawa yang sempat menguap saat tidur tadi. Kepalanya diangkat bersamaan dengan mata sipitnya yang memicing tajam.Rasa-rasanya barusan Chris mendengar gumaman yang menyebutkan satu nama yang tak asing di telinga. Ia terpaksa memfokuskan pikirannya pada sosok yang masih terbaring di atas ranjang, tempat dimana tadi ia menyandarkan kepalanya sejenak demi melepas kantuk yang mendera. Namun, apa yang Chris dengar barusan bukan hanya sembarang ilusi. Kedua matanya membelalak ketika melihat pergerakan jemari Agga yang terkulai tak jauh dari tempat Chris bersandar tadi. Bagaikan sebuah keajaiban, Chris hampir tak bisa memberikan reaksi apapun. Bibirnya bergetar ketika niatnya memanggil petugas medis jadi tersendat.Dengan gerakan terbata, ia bangkit dari kursi. Lantas menekan tombol pemanggil tim medis tepat di atas ranjang Angga. “Nova..” Angga bergumam. Kali ini Chris semakin yakin pendengarannya tak salah. Jelas-jelas ia mel
"Lepaskan aku! Aku harus mencari istriku sekarang!" Sudah setengah jam Angga bergumul dengan emosinya. Dua orang perawat bahu membahu menyanggah setiap pergerakannya yang masih terhubung oleh selang infus dan alat medis vital lainnya."Tolong tenang dulu, pak. Bapak masih dalam masa pemulihan. Lebih baik bapak istirahat dulu. Nanti akan kami bantu untuk mencari istri bapak," ucap salah seorang perawat pria yang memegangi tubuh Angga. Di sampingnya, Chris turut memegangi kaki Angga yang masih terbalut perban dan gip penyangga kaki. Meski kondisi fisik Angga tak mumpuni untuk melakukan pemberontakan, di luar dugaan pria itu bertindak layaknya ada sebuah suntikan tenaga yang membuat Angga bertingkah di luar keadaannya sekarang. "Pak Angga, kumohon. Untuk sekarang, dengarkan ucapanku." Chris berusaha mengambil alih perhatian Angga. Dalam hitungan detik pria itu bungkam, tatapannya terpaku dengan Chris yang kini memampangkan wajahnya di hadapan Angga. Chris memastikan Angga telah benar
"Enggh.." Lenguhan Kania tak membuat niat Bryan untuk menjamah tubuh sang istri reda. Bukannya menjeda aktivitasnya demi kenyamanan Kania, Bryan justru semakin gencar menyentuh setiap inchi tubuh Kania dengan brutal. Tak rela jejaknya tertinggal denga penuh kesia-siaan."Enggh.. apa yang kamu lakukan?" tanua Kania di tengah kesadarannya yang tipis. "Lanjutkan tidurmu, ini hanya sebuah permainan pembuka saja. Tidak lebih," bisik Bryan tepat di telinga Kania.Posisi Kania yang memunggungi Bryan semakin mendukung pergerakan tangan Bryan yang mulai turun ke bagian dada istrinya.Kania sendiri, sudah lelah dengan segala pergulatan batin dan kondisi fisiknya yang tak mendukung untuk mencari tahu lebih lanjut apa yang sedang terjadi padanya. Lenguhan demi lenguhan terlontar dari mulut Kania dengan bebasnya. Namun matanya terlalu berat untuk terbuka. Kania memilih untuk mengabaikan pergerakan di atas tubuhnya. Kembali ke alam mimpi yang membawanya pada bayangan masa kecil. Cup!Cup!Dua
"Makanlah, kau sudah seharian berkutat dengan dokumen. Jangan sampai lupa memberikan tubuh dan bayi kita nutrisi yang cukup."Semangkuk miyeok guk tersaji di atas meja kerja Nova. Wanita itu, meski dalam keadaan hamil besar dan tinggal menghitung bulan menuju persalinan, tetap aktif beraktivitas. Ia mengangkat kepalanya, menatap Mark yang sudah mengisi kursi kosong di depannya. Pria itu tersenyum manis. Penampilannya hari ini seketika membuat Nova terperangah. Mark mengenakan kemeja lengan panjang yang bagian tangannya dilipat hingga ke siku. Celana chino warna mustard seakan mendukung kombinasi yang ciamik pada penampilan pria berusia dua puluh delapan tahun itu.Ya, usia Mark hanya selisih satu tahun lebih muda dari Nova. Itu kenapa Nova kerap kali merasa nyaman ketika membahas berbagai topik dengan pria pemilikata sipit ini. Mark adalah pria yang sangat ramah, ia juga tak pernah kehabisan topik pembicaraan tiap kali dilibatkan ke dalam sebuah percakapan. Tidak seperti Angga, gen
Suasana berubah canggung, begitu pula dengan nafsu makan Nova yang semakin memudar. Wanita itu, mengulurkan tangannya ke depan ketika Mark.menyuapkan satu sendok sup rumput laut lagi padanya."Sudah, Mark. Aku sudah kenyang sekali," katanya menolak halus bujukan Mark. "Kamu yakin sudah kenyang? Kamu baru makan dua suap lho." "Iya, semakin kandunganku bertambah usia, porsi makanku jadi lebih sedikit. Aku lebih memperhatikan nutrisi dari buah yang setiap pagi kumakan. Kamu tidak perlu khawatir, aku selalu memastikan gizi untuk bayiku." Alasan Nova cukup masuk akal sehingga Mark tidak bisa menyanggah, ia pasrah. Meletakkan kembali sendoknya dan menyingkirkan alat makan lainnya ke sisi lain. Tangan Nova tergeletak di atas meja, namun kini berpindah ke dalam genggaman Mark yang terasa hangat. Pria itu menatapnya dalam, seolah ini adalah kali terakhir ia bisa menatap Nova sepuasnya. "Kamu kenapa, Mark? Apa ada yang salah dengan wajahku? Penampilanku?" Wanita mana yang tidak salah tin
Nova baru saja membuka matanya ketika aroma masakan membelai penciumannya. Bersama dengan kesadaran yang masih mengawang, ia bangkit dan duduk di sisi ranjang, mengumpulkan serpihan kesadaran yang masih tercerai berai. Semalaman Nova terjaga hingga jam tiga pagi. Susah payah ia berusaha memejamkan mata dengan upaya apapun. Namun tidak satupun berhasil membawanya berkelana ke alam bawah sadar. Kini, di saat dia baru beberapa jam terlelap, dia dimanjakan oleh aroma sedap dari luar kamar. “Siapa yang pagi-pagi begini sudah menyajikan makanan?” ucapnya bergumam pelan pada diri sendiri. Dengan langkah gontai, ia melangkah menuju pintu. Rambut panjangnya menjuntai indah menutupi sebagian wajah Nova yang masih sangat cantik meski baru bagun tidur. “Selamat pagi,” ucap seseorang menyapa Nova. Suara berat itu langsung mengumpulkan seluruh kesadaran Nova karena dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Tepat ketika Nova mengangkat pandangannya, tatapannya bertemu dengan Angga untuk sepersekia
Pipi merona kontras dengan wajah pasi itu, tidak henti menjadikan kotak cincin di atas meja sebagai pusat perhatiannya, Nova bergeming dalam keheningan. Angga sudah kembali ke kamarnya sendiri setelah Nova memintanya untuk mengulur waktu dan memikirkan tentang masa depan ini. Di dalam ruangan itu, pikiran Nova hanyut pada nostalgia memori pernikahannya dengan Angga dulu. ‘Tidak perlu terlalu buru-buru. Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Selama keputusan itu berasal dari hatimu, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Bersama ataupun tidak.’ Kalimat itu terus terngiang di telinga Nova sejak Angga meninggalkan kamar ini. “Tidak perlu buru-buru?” Nova bergumam, kemudian terdengar suara kekehan lolos dari mulutnya. “Aku adalah pembunuh adiknya, bagaimana mungkin dia menyimpan rasa padaku?” Nova dilema lagi. Seperti ada sosok lain dalam dirinya yang sengaja mengajaknya berdialog. Tidak ditampik, perasaan cintanya masih ada. Tetapi, kenyataan yang No
Kamar hotel yang Nova pijaki saat ini terlihat lebih layak untuk dihuni dirinya dan bayi mungil yang kini terlelap di dalam stroller. Ketika memasuki kamar itu, rasanya jauh lebih tenang dibandingkan kamar hotel yang Nova tinggali sebelumnya. Setelah perbincangan panjang yang ia lakukan dengan Angga, pada akhirnya Nova menyetujui ajakan Angga untuk meninggalkan tempat itu. Dua hari Angga memberikan Nova waktu untuk berpikir keputusan mana yang akan ia ambil antara menetap di Korea sendirian atau menerima ajakan Angga untuk kembali ke Indonesia. “Ini kamar yang akan kamu tempati selama tiga hari ke depan,” kata Angga. Pria itu mensejajarkan langkahnya dengan Nova ikut memindai desain interior yang estetik didominasi warna putih dan biru. “Berkas pemindahanmu sedang aku urus. Tiga hari lagi kamu bisa kembali ke Indonesia. Dan jika kamu butuh apapun, kamu bisa panggil aku. Kamarku ada di sebelah,” ucap Angga lagi. Ia tersenyum canggung pada Nova, dan dibalas dengan hal yang sama. “
Tidak ada sedikitpun kebohongan di mata Angga ketika Nova mencoba menjelajah titik kejujuran di iris hitam Angga. Pria itu, masih berdiri di posisi yang sama. Sorot matanya cukup mampu membuat nyali Nova menciut. Angga tidak hanya memaparkan sebuah fakta, melainkan juga membujuk Nova untuk mengakui ada sesuatu yang hilang dalam diri wanita itu.Nva berkata lirih, ketika ia sadar situasi tidak berpihak padanya. “Kalau kamu tahu aku yang membunuh adikmu, kenapa kamu tidak penjarakan aku saja alih-alih balas dendam?” tanya Nova.Angga masih menatapnya lamat, dari bagaimana pria itu bersikap Nova tahu Angga tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjerumuskan ke dalam bui. “Menyeretmu ke dalam penjara juga butuh bukti dan pengakuan langsung. Aku sempat merencanakan itu sebelumnya tapi…” ucap Angga menjeda. Sesuatu di dadanya mulai mengusik. “Rasa cintaku padamu saat ini jauh lebih besar dari dendam yang pernah tertanam di hatiku.” Setitik euforia kecil bergema di hati Nova. Sebuah alasan y
Hari itu, seharian langit tidak secerah biasanya. Rintih hujan terus membasahi setiap sudut kota dan menyelimutinya dengan aroma romantis. Seorang wanita berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Sedangkan dirinya, sepeninggalannya dari rumah tadi, hanya kekesalan yang berusaha ia kendalikan. Langkah kaki wanita itu terasa berat. Apalagi tiap kali melirik ke ponselnya dan membuka pesan berisi video yang membuat dadanya berkecamuk. Sesampainya di depan sebuah gedung kos, wanita itu melepas sepatu flatnya yang basah. Menggedor pintu kayu di depannya dengan tidak sabar. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar itu sambil memamerkan raut wajah bingung. “Kamu mau kesini kenapa tidak bilang dulu, sayang?” tanya pria itu. “Kamu harus jelasin sama aku akan satu hal,” balas wanita didepannya. Sorot mata tajam menghunus langsung ke ulu hati Andre, pria itu. “Jelasin apa, Nova? Apa aku buat salah?” Alih-alih menjawab, Nova malah menero
Sofa biru muda di depan ranjang menjadi tempat Nova singgah sejak beberapa saat lalu. Di depannya sudah tersaji sepiring pasta yang Angga beli dari layanan pesan antar. Pria itu, kini tengah disibukkan dengan teko portable yang mengeluarkan kepulan asap. Aroma kopi menguar memenuhi setiap sudut kamar ini. Pergerakan Angga diam-diam menjadi objek pengamatan Nova. Setiap hal yang pria itu lakukan kini menjadi perhatiannya. “Kenapa tidak dimakan? Apakah menunya tidak sesuai seleramu?” tanya Angga. Ia mengambil posisi duduk di depan Nova. Sambil menaruh secangkir kopi di hadapan wanita itu. “Aku kenyang. Kamu saja makan masakan buatanmu,” jawab Nova ketus. Pandangannya sengaja beralih ke arah lain demi menghindari sesuatu yang terasa menggetarkan dadanya tiap kali menatap Angga. Angga menarik piring pasta dari hadapan Nova. Mengaduk pasta itu perlahan, kemudian menyodorkannya ke hadapan Nova. “Biar aku suapi,” kata Angga. Nova terlalu lama tenggelam dalam lamunan, hingga ia tidak me
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj