Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee.
Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang.
“Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur.
“Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka.
“Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun.
“Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dulu mengenalku dibanding Aylee. Tapi dia selalu menyajikan makanan kesukaanku, tanpa aku menjelaskan apa yang aku suka padanya.” Mendengar nama itu disebut wajah Michelle langsung tak suka. Ia bahkan kini jengkel.
“Jangan sekali-kali kau bandingkan aku dengan dia, dia tak sepadan denganku, kenapa kau bersikap seperti ini? Dahulu kau tak mempermasalahkan ini. Kau mulai menyukainya?!” ada kekhawatiran muncul di kedua mata hazelnya. Gabe membuang muka, ia juga tak tahu kenapa tiba-tiba mengatakan hal demikian pada Michelle. Sejak semalam pikiran Gabe dipenuhi akan Aylee, padahal sedikit lagi ia bisa merasakan indahnya tubuh istrinya itu, kalau saja wanita itu tidak tiba-tiba menanyakan perihal perasannya. Gabe tak dapat menjawabnya karena ia juga bingung dengan perasaannya, ia merasa masih mencintai Michelle, namun ia juga mulai suka memperhatikan istrinya, baginya ini tak masuk akal dan membuatnya frustasi. Gabe menghembus nafas berat. Ia bangkit dari ranjangnya dan memeluk Michelle dari belakang.
“Maafkan aku, tentu saja aku tak menyukai gadis kaku itu. Aku hanya terbiasa dengan makanan yang dibuatkan olehnya. Bisa pesankan aku panekuk saja? Aku lapar, sayang.”
Michelle berbalik, ia tersenyum dan mencium bibir Gabe.
“Baiklah, sayang. Tapi ingat, jangan pernah bandingkan aku dengannya, aku jijik padanya, dia begitu tak tahu malu. Memperlakukanmu seolah rumah tangga kalian normal. Wanita yang menyedihkan,” tandasnya seraya memeluk Gabe. Pria itu tersenyum getir.
***
Aylee mengendarai mobilnya, di sepanjang perjalanannya pikirannya dipenuhi rentetan kejadian semalam, mulai dari keheranannya melihat Gabe pulang, menyiapkan makanan untuk pria itu, hingga cumbuan penuh gairah di kamar mandi yang berujung pertengkaran kembali. Aylee hampir menyerah dengan pria egois itu, namun hati kecilnya memintanya untuk kembali bersabar. Jadi ia memilih untuk berlari sementara, mencari penyegaran untuk akal sehatnya.
Martin dan paman Gery sudah berdiri di pintu gerbang kediamannya. Mereka tersenyum ketika mobil Aylee tiba di depan mereka. Wanita cantik nan anggun itu keluar dari mobilnya, menelan segala lukanya dengan senyum mengembang di bibirnya, seolah dia tampak baik-baik saja.
“Apa kabar paman Gery?” sapa Aylee seraya mencium pipi pria berusia 40an tersebut.
“Aku baik. Wah, lihat dirimu, Aylee. Kau sangat mengesankan, dia terlihat semakin anggun dan dewasa, benar Martin?”
Martin tersenyum senang.
“Kau tak bilang padaku akan ke sini esok hari, tahu begitu kita berangkat sama-sama tadi malam,” ucap Martin dengan wajah penuh sesal.
“Ku pikir kau sudah ke sini dari kemarin pagi.” Aylee mengerut keningnya.
“Begitu kau mengabari tak ikut, aku jadi tak semangat ke sini, tapi kau tahu, paman Gery terus-terusan mendesakku untuk berkunjung kemari. Jadi aku ke sini tengah malam tadi,” jelasnya membuat paman Gery tertawa.
“Kau tahu, Ay. Kau adalah separuh jiwanya, tanpamu di sisinya dia bagai raga tak bernyawa. Pikirkan untuk bercerai dan menikahi pria malang ini, Aylee,” goda paman Gery yang membuat keduanya menjadi kikuk. Paman Gery memang sudah tahu perihal perasaan Martin terhadap Aylee.
“Masuklah, nak. Kau pasti merindukan kamar itu.” Paman Gery berjalan mendahului, disusul Martin dan Aylee yang berjalan sejajar. Aylee memandang sekitar, hamparan rumput hijau yang familiar, di depan rumah paman Gery terdapat satu pohon willow tua dengan satu ayunan di bawahnya. Ayunan itulah favorit Aylee, dahulu Martin dan Aylee kerap bermain ayunan di situ.
“Mau ayunan di situ lagi? Kita bergantian naik seperti dahulu.” Martin menunjuk ayunan itu.
“Tentu saja. Pasti menyenangkan bertingkah seperti anak kecil lagi.” Aylee tak bisa berhenti tersenyum mengamati ayunan itu. Martin merangkul bahu Aylee, mendekatkan gadis itu di pelukannya. Aylee tak menolaknya karena memang dahulu mereka sedekat itu.
“Aku sangat senang kau di sini, Ay. Rasanya sudah lama sekali kita tak menghabiskan waktu bersama. Aku sungguh merindukanmu.” Aylee tersenyum pada Martin. Dia juga merindukan saat-saat bersama sahabatnya.
“Sayang, lihat siapa ini yang datang!” seru paman Gery memanggil istrinya. Beberapa saat kemudian seorang wanita sebaya dengan paman Gery muncul dengan seorang anak lelaki berumur 6 tahun. Aylee sumringah melihat bocah tampan itu.
“Hai Nick, kau sudah besar sekarang!” Aylee menggendongnya.
“Halo Aylee, senang bisa melihatmu lagi, sayang.” Bibi Tilli mencium pipi Aylee.
“Aku juga bibi, Tilli.”
Nick turun dari gendongan Aylee dan berpindah pada gendongan Martin, dia terlihat memainkan rambut Martin.
“Suamimu tak ikut, Ay?” mata bibi Tilli melihat sekeliling. Aylee dan Martin saling berpandangan.
“Suami Aylee seorang yang sibuk, kau tahu suaminya seorang presiden direktur.” Paman Gery menjawab.
“Oh tentu saja begitu, pergilah ke kamar, Ay. Aku dan Nick harus ke kebun. Selamat bersenang-senang kalian.” Bibi Tilli mengambil Nick dari gendongan Martin.
“Dahh jagoan, nanti kita bermain ya!” Nick melambaikan tangannya pada Martin. Hati Aylee mencelus, ia jadi memikirkan bagaimana sosok Gabe jika menjadi Ayah? Apa akan sehangat Martin?. Apa mungkin kelak ia dan Gabe memiliki anak? Sedang ia dan Gabe belum pernah sekali pun berhubungan suami istri. Ia jadi teringat kejadian semalam.
Aylee tiba di kamar tamu milik kediaman paman Gery, Aylee membuka jendela kamar itu dan mendapati suasana menyejukkan seperti dahulu, padang rumput hijau dengan latar belakang gunung yang begitu dekat.
“Nyaman sekali di sini, Martin,” seloroh Aylee, Martin berjalan mendekatinya.
“Sejenak melupakan hiruk pikuk ibu kota baik juga, bukan?”
Aylee mengangguk, Mudah-mudahan aku bisa melupakan perihal Gabe sejenak, batinnya.
***
Gabe gusar, siang itu ia tak menjumpai keberadaan Aylee di rumahnya. Ia berlari kecil menuju ruang laundry.
“Emma, apa Aylee pergi lembur bekerja? Bukankah biasanya akhir pekan seperti ini ia ada di rumah?” tanya Gabe yang dijawab senyum sinis Emma.
“Sejak kapan kau mencarinya di akhir pekan seperti ini? Ada hal mendesak?” Emma pura-pura bingung.
“Jawab saja di mana dia berada, apa dia ke kampus?” tanya Gabe, ia menggigit bibirnya.
Emma mengangkat bahu.
“Telepon saja, aku juga tidak tahu dia di mana.”
Gabe mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia mencoba menelepon Aylee, namun tak ada jawaban dari seberang.
“Nomornya tidak aktif,” jawabnya putus asa, wajahnya terlihat khawatir.
Aylee menggigit bibir bawahnya, Jemarinya saling bertautan, pertanda ia begitu gugup saat ini. Martin berlari kecil menuju kamar mandi Aylee, di atas wastafel itu ia mendapati testpack milik Aylee. “Ya Tuhan!” Martin menggelengkan kepalanya. Ia berjalan menuju Aylee yang duduk di kursi kerjanya. “Kau tak akan memberitahukan ini pada Gabe kan?”Aylee meremas rambutnya. “Lalu aku harus apa? Ini anaknya.”Martin bersimpuh di depan Aylee, memeluk lutut wanita yang terlihat kacau itu. “Memangnya jika kau beri tahu ini, dia akan meninggalkan Michelle?”“Tentu, dia akan meninggalkan Michelle. Dia begitu menginginkan bayi ini, lebih dari apa pun.”Martin ternganga, ia begitu takut hal itu akan terjadi. “Dengar, itu mustahil. Ayahmu tak akan mengizinkanmu, Aylee.”“Dia akan berubah pikiran, dia akan memikirkan masa depan cucunya juga. Aku yakin dia akan menerima Gabe jika Gabe mau meninggalkan Michelle untukku. Bukankah itu bagus?”
Aylee membasuh wajahnya dengan gusar di depan wastafel, ia mengamati wajahnya yang dinilainya terlihat agak lelah. Sejurus kemudian dia memegangi perut bawahnya. Air matanya tak bisa lagi hanya menggenang di pelupuk mata, kini air matanya terjun bebas mengaliri pipi. “Tidak mungkin, aku tidak mungkin hamil kan?”Aylee terpejam melihat testpacknya, ia tak berani melihat hasilnya. Namun perlahan ia membuka matanya, dan mendapati alat pengecekan kadar hcg itu bergaris dua. “Oh, ya Tuhan...” Aylee memejamkan matanya. “Gabe... Aku harus bagaimana?” Aylee lunglai, ia terduduk di kamar mandinya. Perasannya saat ini begitu kacau, satu sisi ia bahagia karena perjuangannya dan Gabe pada akhirnya membuahkan hasil, namun di lain sisi, tentu hal ini tak ia inginkan, mengingat hubungannya dan Gabe kini bukan suami-istri lagi. “Bagaimana mungkin ternyata justru bayiku yang tumbuh tanpa sosok ayahnya.” Aylee terisak seorang diri. **Usai melakukan syutingnya,
Aylee terdiam tanpa kata, suasana keduanya mendadak canggung nyaris hening. Bahkan hembusan angin malam yang semula semilir mengayunkan helaian rambut Aylee seolah mendadak berhenti manakala Martin berucap demikian. Aylee menelan ludahnya susah payah, ia cukup tercekat mendengar ungkapan cinta Martin yang entah sudah berapa kali terlontar dari mulut pria populer itu. Meski demikian sering, ia tak menyangka pria itu berani mengatakan itu ketika usia perceraiannya baru menginjak satu bulan beberapa hari saja. Pada akhirnya Aylee hanya bisa kembali memalingkan wajah, Martin terlihat bersedih, ia bahkan menengadahkan wajahnya, takut jika air matanya akan jatuh di hadapan wanita pujaannya itu. “Jika kau tak bisa menerimaku karena tak cinta, maka aku tak keberatan kau menerima cintaku karena belas kasih, aku sangat mau kau kasihani, Aylee.” Aylee sontak menoleh padanya. “Kasihanilah aku,” kini air mata Martin kadung jatuh, ia tak sempat menyembunyikan lagi. “Martin
Aylee mengamati kopi itu, memutar-mutar paper cupnya seolah mencari tahu siapa pengirim americano itu. Maxime memicingkan mata melihat sikap Aylee yang demikian. Ia lantas menyambangi kubikel Aylee.“Mengapa kau hanya menatap minumanmu tanpa meminumnya?”Aylee terkejut mendapati Maxime sudah berada di sampingnya. Aylee ragu-ragu menyodorkan americanonya pada Maxime.“Kau mau ini, Max?”“Kau sendiri tak ingin meminumnya?” Maxime balik bertanya. Aylee menggeleng cepat, ia ragu meminum kopi yang ia bahkan tak tahu siapa yang memberinya.“Dari penggemarmu lagi?”Aylee tersipu.“Kau mau apa tidak?”“Kebetulan aku belum minum kopi. Ini cukup hangat.” Maxime pada akhirnya meminum americano itu. Maxime memang kerap diberi Aylee makanan atau minuman pemberian pengagumnya.“Ini lumayan juga,” komentarnya sambil lalu menuju meja kerjanya.&ld
Lucy mengikuti Aylee yang melenggang ke dapur membawa piring-piring bekas makan malam mereka. Ia bermaksud membantu Aylee mencuci piring-piring itu.“Tidak usah repot-repot Lu, biar aku melakukan ini sendiri.” Aylee merebut spons cuci piring yang dipegang Lucy.“Tidak apa-apa, ini tidak masalah.” Lucy kembali merebut spons itu.“Maaf, super model sepertimu harus mencuci piring-piringku,” ucapnya dengan senyum ramah.“Tidak apa, kalau hanya mencuci piring, aku juga bisa.” Lucy menyeringai, namun ia terlihat kikuk melakukannya, kentara sekali ia tak biasa melakukan itu.“Di rumahmu tak ada pelayan?” tanya Lucy. Aylee menggeleng.“Tidak, ibuku biasa melakukan semuanya sendiri. Lagi pula dahulu mereka hanya tinggal berdua, jadi tak begitu butuh pelayan.”Lucy menganggukkan kepalanya tanda mengerti.“Maaf jika aku bertanya seperti ini, apa kau sudah resmi
Aylee menyirami bunga di greenhouse milik ibunya, Melisa. Sepulang mengajar, ia tak tahu harus melakukan apa. Tak banyak tugas, juga tak lagi sibuk menyiapkan segala keperluan dan makanan untuk suaminya, Gabriel. Ya, sudah hampir sebulan ini mereka pisah ranjang.“Gabe sudah mengirimkan surat perceraian yang harus kau tanda tangani, Ay.”Ucapan Melisa membuat Aylee seketika menjatuhkan alat penyiramnya.Ia tak kuasa menahan tangisnya, beberapa waktu lalu Gabe menemuinya ke rumah. Namun Robin tentu saja menolak ajakan rujuk Gabe. Walau ia datang bersama Natasya, Robin tetap tak menghendaki Gabe kembali pada Aylee, lebih-lebih jika Gabe memiliki dua istri. Maka kesepakatan cerai pun tak terelakkan lagi.“Jangan menangisi dia lagi, air matamu sudah cukup banyak terkuras menangisi pria brengsek itu. Dia tak pantas kau tangisi demikian. Jika ayahmu tahu kau masih seperti ini, dia bisa terpukul, Ay.”Aylee segera menghapus air mat