Lalu lintas terlihat sangat padat ketika Audi dan Darren sudah berada di dalam mobil menuju rumah sakit. Mobil hanya melaju dalam kecepatan dua puluh tak sampai empat puluh kilometer saking macetnya jalanan.
Mereka mungkin akan datang terlambat saat sampai tujuan. Tapi, itu lebih baik bagi Audi karena setidaknya ia bisa mengulur waktu akan momen pernikahan keduanya yang renacanya terjadi nanti malam."Apakah kalian sudah putus?" tanya Audi tiba-tiba di tengah kebisuan keduanya yang sejak awal masuk mobil hanya saling berdiam diri.Sontak Darren menengok, menatap Audi yang mendadak canggung."Siapa yang kamu maksud?" tanya lelaki itu membuat mantannya heran."Kamu dan Sofi. Bukankah kamu tidak menyangkal ketika aku katakan bahwa ada hubungan terlarang di antara kalian di belakangku?"Aneh, Darren malah tersenyum ketika Audi membahas salah satu alasan perceraian mereka dahulu."Apakah saat ini kamu sedang cemburu?" tanya Darren membuat Audi gagap membalas."Ap-apa! Cemburu? Apakah aku sudah gila bisa cemburu pada kalian."Perempuan itu lalu memalingkan wajahnya menatap jalanan di luar kaca mobil. Tak ia sadari ketika Darren memencet sebuah tombol sehingga sekat penghalang bangku belakang dan depan terangkat naik menutupi pandangan di depan mereka.Beberapa detik kemudian Audi baru menyadari ketika suara 'klik' membuyarkan lamunannya."Eh, kenapa kamu tutup?" tanyanya seraya menatap wajah Darren yang ternyata terus menatap ke arahnya.Sekian detik yang tidak Audi sangka bisa lelaki di sebelahnya gunakan untuk menarik dan mengangkat tubuhnya hingga berada di atas pangkuan."Dar-Darren, i-ini ...?"Darren mendekatkan kepalanya cepat. Hidung mancung yang selalu menjadi daya tariknya di mata para wanita di luar sana, kini sudah menempel di pipi Audi."Aku senang melihat ekspresi cemburumu," ucap Darren."Si-siapa yang cemburu?"Audi sudah memejamkan matanya ketika hidung Darren perlahan turun dan mengendus lehernya. 'Ah, jangan seperti ini,' pinta ia dalam hati."Apakah saat ini ada yang sedang berbohong dan tidak mau mengaku?"Audi benar-benar tak mengerti dengan perkataan Darren. Atas dasar apa lelaki itu menuduhnya cemburu. Apakah karena pertanyaannya tadi mengenai hubungan mantan suaminya dengan sang mantan sahabat?"Aku hanya bertanya tentang hubungan kalian. Kalau kamu tidak mau menjawab, aku rasa itu bukan masalah. Tapi, sama sekali tak ada perasaan cemburu di hatiku karena hubungan kalian itu."Terdengar suara Darren yang menggeram. Entah kenapa lelaki itu seperti kesal mendengar jawaban mantan istrinya tersebut."Andai kamu berbohong, aku yang sama sekali tidak masalah.""Hah! Kenapa aku harus berbohong, ahhh ...!"Desahan dari mulut Audi tiba-tiba meluncur spontan. Sebuah kecupan yang Darren berikan di lehernya, membuat rasa geli yang menjalar ke otak membuatnya bersuara. Audi yakin jejak merah atau bahkan keunguan tampak di lehernya sekarang, dan itu membuat Audi sontak kepikiran bagaimana ia keluar nanti dengan tanda yang pasti terlihat.Bahkan, lelaki itu berakhir di tulang selangkanya sekarang. Rasa geli itu berangsur naik level-nya menjadi sensasi nikmat yang pernah Audi rasakan dulu."Darren, tolong hentikan!" pinta Audi seraya mendorong tubuh Darren ke sandaran mobil. Tapi, lelaki itu seperti enggan melepaskan bahkan pelukannya pun semakin erat terjadi.Darren kini mulai menyibak dress yang Audi kenakan. Perlahan masuk dan menerobos area yang pernah ia rasakan dulu sembari cumbuan di leher sang mantan yang terus ia lakukan.Sensasi aneh itu kembali Audi rasakan ketika tangan Darren berhasil menyentuh area sensitifnya."Darren ...." Kembali Audi bersuara. Ia ingin memohon tapi kata yang keluar malah menyebut nama mantan suaminya itu, yang malah membuat adrenalin Darren terpacu sebab nama yang dipanggil terdengar begitu bergairah."Selalu hangat," ucap Darren pelan di telinga Audi. Seringainya hadir demi melihat ekspresi perempuan di atasnya kini.Darren tahu, ada rasa malu yang Audi rasakan saat ia terus menatapnya -masih dengan tangan yang berdiam di area terlarang."Darren, Pak Lutfi bisa mendengar kita," ucap Audi mencoba membebaskan diri.Seringai itu masih di sana sebab kalimat Audi yang Darren anggap lucu."Kamu tahu mobilku dirancang kedap suara."Tak bisa Audi pungkiri jika yang Darren katakan adalah sebuah kebenaran. Mobil mewah milik seorang pengusaha seperti Darren tak mungkin hanya dirancang bagus luarnya saja tanpa dirancang bagus fasilitas di dalamnya."Tapi, kalau kamu takut dia dengar, kamu bisa kecilkan suaramu. Asal jangan menutup mulutmu karena kamu tahu aku membenci itu," ujar Darren yang tiba-tiba melakukan satu gerakan yang membuat Audi terhenyak kaget."Ah! Darren!"Saat ini Audi membenci dirinya sendiri. Ketika tangan kurang ajar itu menjelajah di bawah sana, seharusnya ia tidak mengeluarkan suara yang malah membuat lelaki di depannya tersenyum bangga."Kamu sudah basah. Tidak mungkin aku sia-siakan momen ini bukan?" Seringai Darren membuat Audi merasa sesak."Ta-tapi, kita belum menikah. Hubungan kita terlarang untuk melakukan hal itu, Darren," ucap Audi dengan suara kepayahan.Keringat sudah mulai bercucuran di muka Audi ketika Darren masih terus mencumbunya. Bahkan sekarang bukan hanya dress yang tersibak, tetapi baju yang menutupi pundak dan dadanya pun sudah terbuka hingga menampakkan sesuatu yang menyembul dari kain pelindung berwarna pink."Memang apa yang kamu pikirkan?" ledek Darren membuat Audi terpojok.'Ia mau melakukan itu bukan?' batin perempuan itu bertanya di saat Darren meraba juga meremas dadanya yang sudah terbuka.Darren tiba-tiba tertawa. Lalu, ia pun bergerak cepat dan mengubah posisi."Kyaa!"Kini Audi sudah terbaring di jok mobil dengan ekspresi panik yang bisa lelaki itu lihat."Aku memang ingin, tetapi aku tidak akan melakukannya sekarang sebab aku tidak mau mengingkari apa yang sudah disepakati."Masih dalam kondisi Audi yang tak mengerti akan ucapan Darren, sang mantan kini malah menundukkan kepalanya.Seketika itu juga Audi merasakan gelenyar aneh di perutnya, lalu naik ke dada saat rasa geli itu menerjang bukit indahnya.Darren melakukan hal itu di sana. Salah satu titik kelemahan Audi yang sudah sangat dihafal oleh sang mantan."Kamu semakin basah, Honey!" ucap Darren sejenak menghentikan senam mulut, tetapi tangan yang lain masih berada di bawah seolah enggan berpaling.Meski malu Audi tak mempedulikan itu. Karena ia sendiri tengah kesulitan menahan diri juga sesak di dada sebab rasa nikmat yang semakin menggila. Terlebih ketika kini Darren berpindah dengan menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki Audi."Ya Tuhan! Darren ...!" pekik perempuan itu ketika sesuatu yang lembut menyentuh area sensitifnya. "Tolong hentikan," pinta Audi dengan suara desahan yang terdengar.Menjepit kedua kaki adalah cara satu-satunya yang bisa Audi lakukan demi menghilangkan frustrasi yang tiba-tiba menerjang.Audi ingin Darren berhenti, tetapi ia tahu kalau lelaki itu tak akan menghentikan apa yang sudah dimulai. Alhasil, perempuan itu harus menahan perasaan yang saat ini menyelimuti raga dan jiwanya. Terlebih saat perasaan itu sudah lama tak menyapa dan akhirnya membuat rasa bernama rindu itu tiba-tiba hadir.Darren masih terus melakukan apa yang ingin dilakukan. Tak peduli jika mobil berjalan tersendat sebab jalanan yang macet. Mobilnya aman dari pandangan orang di luar. Karena itu ia merasa tak perlu mengurusi kehebohan orang-orang yang berpacu dengan waktu dan jalanan. Baginya, menikmati kelezatan yang sudah lama tak ia temui dan sekarang ada di depan mata, adalah sesuatu yang paling sayang untuk ia lewati.Lelaki itu hanya peduli pada gerakan gelisah yang terjadi pada tubuh Audi. Gerakan menggoda yang membuatnya ingin berbuat lebih, tetapi terhalang oleh janji yang sudah ia lontarkan. Hanya bisa membuatnya tetap di jalur aman namun pastinya tetap menyenangkan.Hingga puncak kenikmatan yang Audi rasakan terjadi, di situlah Darren baru berhenti. Napas yang menderu kencang, keluar dari mulut dan hidung mantan istrinya memaksa lelaki itu untuk beranjak bangun. Kini mengungkung tubuh yang berpenampilan acak-acakan seraya mendaratkan kecupan di kening."Ini baru awal. Dan kamu tahu kalau aku tak akan pernah merasa puas bila hanya melakukan hal tersebut," ucap Darren pelan di telinga Audi.'Tuhan! Benarkah ini takdir yang harus aku jalani?' batin Audi dengan mata memejam penuh dramatis.***Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya