Pernikahan Kedua
BerantamBab 7Pov RiriRisti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. "Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. "Hahahaha....!" tawa mereka menggema diruangan kantin. Hanya Risti yang tetap diam menatapku. Dia sudah tau aku ini anak pemilik perusahaan. "Huuuu, berani masuk sini, harus siap kena bully," teriak salah satu karyawan pria. Aku masih berdiri mengamati. Kusilangkan tangan didada. "Maaf, ya saya disini mau makan juga, tolong kembalikan kursinya!" pintaku sopan pada pria yang menarik kursiku tadi. "Kantin ini suci, Bu. Tak pantas di huni oleh selingkuhan," jawabnya keras. Mungkin agar semua yang ada disini mendengarnya.Lagi mereka tertawa beramai-ramai. Kukepalkan tangan menahan emosi. "Memang siapa yang selingkuhan?" kutatap ia tajam. Kali ini akan kulawan mereka."Hei! Sudah jelas-jelas Kamu gandeng tangan bos kami. Masih mau ngelak," teriak wanita yang bernama Maya dengan telunjuknya. Kudekati ia, lalu kuturunkan telunjuknya. "Yang terlihat belum tentu benar, jangan memprovokasi orang. Lagian kita tidak saling kenal. Tolong jaga bicaramu!" ucapku tegas. Wajahnya memerah. Ia pasti tak terima dengan yang ku katakan ini. "Kurang ajar!" PlakAku memegang pipiku yang baru ditamparnya. Cukup keras hingga terasa panas. "Kau belum tau ya, siapa aku? Aku karyawan yang berkuasa disini. Aku akan membasmimu perempuan murahan!" makinya, ia menatapku nyalang. Dari gayanya ini perempuan sepertinya suka berantem. Baiklah, akan kuladeni. Emosiku pun rasanya sudah naik. PlakKubalas tamparannya. Ia tampak kesakitan. Matanya memerah menatap penuh kebencian. "Kurang ajar, berani, Kau murahan!" teriaknya lagi lalu mendekatiku. "Aaaaakkk, Akkkkk" Rambutku dijambak olehnya. Sakit sekali. Ini tak bisa dibiarkan. Kubalas menjambak rambutnya, sekuat tenaga. Hingga iapun menjerit kesakitan. Pegangannya melemah. Ia berusaha melepaskan tanganku dari rambut panjangnya. Ku keluarkan tenagaku kujambak lagi sekuat tenaga. Belum tau dia berurusan dengan siapa? Aku yang dulunya tomboy dan terkenal suka berantam disekolah. Hah, Dia pikir dia saja yang bisa bar-bar. "Akkkkk, lepas- lepas!" teriaknya. Aku seperti orang kesurupan tanganku terus menjambak rambutnya.Aneh, tak ada yang melerai, Kami. "Rasakan ini, berani Kau membullyku? Kau tak tau siapa aku, hah!" Tiba-tiba tubuhku ditarik, mundur. Satu tanganku berusaha dilepas. Dua wanita lagi menyerangku. Ternyata teman si Maya ini datang membantunya. Mereka mengkeroyokku. Sini kuladeni, Siapa takut!Perutku dipegang dari belakang, lalu pipiku ditampar dari depan. Kacamataku jatuh. Aku belum bisa melawan. Lalu mereka menarik maskerku. Sial! Tak ada yang menolongku. Risti? Kemana dia? Kulihat bangkunya sudah kosong. Anak itu ternyata tak takut aku memecatnya. "Wow! Ternyata cantik juga, pantas bos terpikat," komentar beberapa orang yang asyik menonton kami. Jangan sampai Mas Tama mengenali aku. Gawat! Aku harus cepat pergi dari sini.Kuinjak kaki yang memegang perutku, pegangannya mengendur. Aku melepaskannya cepat lalu kutinju wajah yang menamparku tadi. Ia jatuh tersungkur. Lalu ingin kubalas wanita yang memegangku tadi. Kujambak rambutnya. "Aaaaakkkkkk," ia menjerit kesakitan. Aku tak peduli, biar mereka tau siapa aku, seenaknya saja membully. Mereka menjerit kesakitan. Sorak beberapa orang, ada yang menyuruh lanjutkan. Ada yang menyuruh berhenti. Sudah seperti acara smackdown saja kami ini bedanya ini dikantin bukan di atas ring. Aku menghajar ketiganya, seperti orang kesetanan. HapTiba-tibaAda yang menangkap tubuhku dari belakang. Aku berontak. Namun tenaganya cukup kuat. Kulihat orang - orang seperti takut, mereka mendadak diam tak lagi bersorak. "Tenang Riri!" GilangAku berhenti berontak, ia segera melepaskan tangannya."Apa yang, Kamu lakukan, ha! Ini kantor, bukan arena tinju." Ia membentakku? Ia tampak marah, bahkan ia tak memanggilku ibu lagi. "Pak Gilang, lihatlah, Kami habis dihajarnya. Tolong beritahu bos agar memecat orang ini, Pak," ucap salah satu dari mereka. Seolah merekalah yang tertindas disini. "Diam!" Suara Gilang meninggi. Akupun terkejut mendengarnya. Dalam situasi begini masih sempatnya mereka memprovokasi Gilang. "Ayo, kalian ikut keruangan, Bos. Cepat!" Bentak Gilang. Mode galaknya keluar, tapi entah kenapa Gilang jadi tambah macho kalau tegas begini. "Kamu juga, cepat!" Ia melirikku. Aku balas meliriknya sewot. Apa-apaan dia, tak takut kupecat apa? "Kenapa, Bu Riri? Ingin memecat saya?" Loh, kok Gilang tau isi kepalaku? Aku melengos pergi akhirnya. Papa berdiri di dekat mejanya Gilang berdiri disampingnya, sedangkan aku dan ketiga orang itu berdiri didepan papa, Dan Risti, kenapa ia juga disini? Aku meliriknya. Risti mengacungkan dua jari tanda pis, lalu tersenyum seperti merasa bersalah. Hmm, aku tau pasti dia ini yang ngadu ke Gilang tadi. Tak apa jugalah, dari pada ketiga orang ini bonyok di tanganku. "Ceritakan, kenapa kalian bisa berantam di kantin?" Papa mulai bersuara. Dengan nada datar, namun bisa membuat nyali menciut. Ketiga gadis itu saling lirik. Lalu salah satu menjawab. "Begini, Pak. Dia yang duluan menyerang saya," adu wanita yang suka membullyku itu. Papa melirikku. "Benar itu Ri?" tanya papa padaku. Aku menggeleng cepat. "Jangan karena jabatanmu tinggi, lalu seenaknya disini," lanjut papa marah. Matilah aku. Apaan sih, Papa kok jadi seolah aku yang salah, kulihat ketiga gadis itu tersenyum. Mungkin senang karena papa menegurku. "Pak, sebaiknya Risti saja yang menjelaskan, karena dia yang ada disitu. Kalau mereka saya nggak percaya, yang ada saling membenarkan diri sendiri," ucap Gilang pada papa. Papa mengangguk dan menyuruh Risti menceritakan kronologisnya seperti apa.Ristipun diminta bercerita. Risti menceritakan semuanya sejak aku masuk kekantin hingga sampai berkelahi. Papa manggut-manggut sedangkan Gilang senyum-senyum saja. Dasar Gilang!"Pak, mohon jangan pecat, kami. Kami hanya tak suka dengan wanita simpanan yang sudah berani menggoda Bapak." Wanita yang kuketahui bernama Maya itu memohon pada papa.What? Terang-terangan ia mengatakan aku selingkuhan di depan papa. Bakalan tamat kariermu. "Tindakan kalian itu salah, atas dasar apa kalian bilang dia selingkuhan saya? Jujur saya kecewa dengan kalian. Tanpa tau kebenaran kalian seenaknya membully dan menghakimi dengan asumsi kalian. Perlu kalian tau—" Papa menatap ketiganya tajam. Mereka beringsut seperti takut. Papa kemudian menarik aku kesampingnya."Ini, kalian lihat ini!" tunjuk papa kewajahku. Aku tak berani melawan.
"Dia adalah putriku Riri Danu Subrata. Penerusku nanti diperusahaan ini," tegas papa. HaaaHaaaHaaaKetiganya tampak melongo, aku tersenyum melihat reaksi mereka. Lalu mereka saling lirik."Pak, Kami minta maaf, mohon jangan pecat kami, Pak!" mohon mereka. "Itu terserah Riri, keputusan ada ditangannya." Papa kembali duduk dikursinya. What? Papa ini kok terserah aku sih? "Bu Riri, kami minta maaf, maaf, Bu kami salah." Mereka kompak berlutut dikakiku. Aku beringsut mundur. Kulihat Gilang dan Risti menahan tawa. "Berdiri kalian!" bentakku. Tak nyaman rasanya kakiku dipegang. Seperti raja saja aku ini. Meskipun aku anak papa. Aku nggak gila hormat begini. "Nggak, Bu. Tolong maafkan kami, jangan pecat kami, Bu!" mohon mereka lagi. "Kalian sudah merusak kacamataku?" tetiba aku teringat kacamataku yang pecah. "Bu, kami akan ganti." Kompak sekali mereka menjawab. Trio apa sih?"Ya sudah, sekali lagi jangan gampang membully orang walaupun kalian anggap orang itu rendah," ucapku sok bijak. Mereka tak jadi dipecat. Mereka mengangguk. Mereka memang salah, begitupun aku yang mudah terpancing. Sepulang dari kantor, semua mendadak hormat padaku. Pasti udah nyebar ini berita kalau aku anak bos mereka."Ri, tunggu!" Gilang memanggil sambil berlari di belakangku. Aku berbalik menunggunya. "Ada apa, Lang?" tanyaku."Ini tadi pengacaramu mengirimkan pesan, tapi nomormu sepertinya tidak aktiv." "Ah, iya, aku lupa bawa charger. Pesan apa?" "Sebentar." Gilang mengotak-atik ponselnya lalu menyerahkannya padaku. Akupun mengambil dan membacanya."[Sidang mediasi besok pukul dua siang]" Aku menyerahkan lagi ponsel itu pada Gilang. "Makasih!" ucapku. Gilang hanya mengangguk."Kamu tadi nggak lihatkan, cewek itu berantem di kantin?" ucap pria di samping mobilku.
Loh, itukan mobil Mas Tama. "Ternyata dia putri dari Pak Danu. Namanya Riri Danu Subrata. Cantik banget, Tam. Gua aja naksir," lanjutnya lagi. "Alah, Kamu mah nggak heran, semua cewek cantik dinaksiri," jawab Mas Tama.Tak jadi aku masuk kemobil, menguping kayaknya lebih seru."Ini beda, Tam. Jago silat lagi dia. Pokoknya..." "Udahlah, aku mau balik ini." Mas Tama membuka pintu mobilnya sepertinya tidak tertarik dengan cerita temannya. "Tam, tunggu dulu. Bukannya istrimu namanya Riri juga ya?" DegGawat, bisa- bisa Mas Tama tau kalau akulah Riri. Tiba-tiba aku jadi cemas. Aku belum mau menampakkan diri dulu apalagi kalau ibunya tau, bisa-bisa ia akan menyuruh Mas Tama rujuk denganku. "Emang yang namanya Riri cuma satu, Rom?" jawab Mas Tama. Syukurlah ia tak curiga. "Iya ya, lagi pula nggak mungkinlah istrimu berubah jadi ratu, sedangkan Kamu bilang, keluarganya aja, nggak ada, miskin lagi," timpal Romi. Jadi selama ini aku diceritain sama temennya. Mas Tama- Mas Tama. Ternyata, Kamu tak menghormatiku sebagai istrimu. Aku masuk kedalam mobil, sebaiknya mampir dulu lah ke mall, cuci-cuci mata. " Hai, Mbak Riri!"Jumpa lagi, kenapa harus jumpa sih dengan dua orang ini. "Tiap hari ke mall, emang nggak capek?" sindir ibu mertua. Aku pura-pura tak dengar. Kupilih baju kemeja yang tergantung rapi didepanku. "Duh! Lagaknya pilih-pilih. Emang punya uang?" Mita seolah meremehkanku. Sepertinya dia sudah lupa waktu kupergoki di mall ini sama pria tua bangka yang sudah seumuran ayahnya. Kalau diladeni makin menjadi, mending cuek deh. Aku terus memilih-milih, total tiga pasang yang sudah di tangan. Memang harus diam biar mereka juga diam. Aku berjalan kekasir ingin membayar. Tak ingin berlama disini, takut akan merusak mood karena dua orang sok kaya ini. "Ini, Mbak. Total 55 juta rupiah. Mau bayar Cash atau..."tanya kasir ramah. Beli apa sih sampai sebanyak itu belanjanya. "Pakai ini aja, Mbak!" potong Mita cepat. Wow! Sudah punya kartu sakti dia. Hmm, ada yang nggak beres ini pastinya. Tak mungkinlah pria tua memberikan kartu secara cuma-cuma. Kartu telah dikembalikan sang kasir. Ibu dan Mita menatapku seolah meremehkan. Sekaligus mengatakan bahwa mereka banyak uang."Ini Mbak, total tujuh juta delapan ratus ribu rupiah. Mau bayar Cash atau..." tanyanya padaku. "Ya iyalah, Mbak, pasti Cash, mana punya dia kartu beginian, itupun kalau dia punya uang. Hahaha! Sok-sokan belanja di mall." potong Mita. Mereka masih berdiri di dekat kasir sambil mengibas ngibaskan atmnya. Seperti orang kepanasan saja.Sebenarnya aku ingin tertawa melihat gayanya yang norak, atm orang saja di bangga-banggain. Ini pasti mau melihatku mampu bayar atau nggak. Awas kalian! "Mmm, aduh, Mbak, aku nggak punya uang Cash," jawabku. Sengaja memancing dua orang sok kaya yang masih setia menatapku. "Hahahaha, miskin saja belagu, pake belanja ke mall. Ujung-ujungnya malu." Mita tertawa puas karena bisa mengejekku. "Riri, Riri, Kamu kira baju disini sama dengan yang dipasar. Seratus tiga, seratus tiga!" tambah ibu menirukan suara abang tukang obral di pasar. Beruntung, pengunjung tidak banyak, sehingga aku sedikit mengulur waktu. Biar mereka senang dulu. "Gimana, Mbak?" tanya kasir lagi. "Udah, Mbak, usir saja, dia itu orang miskin. Balikin gih, bajunya kesana!" Mita dan ibu makin senang melihatku diam. "Miskin ya miskin aja, Mbak. Jangan sok-sokan," ucap Mita lagi. Ia menatapku remeh. Kulihat sang kasir memanggil temannya."Ini tolong, Kamu balikin ke tempatnya!" Kasir menunjukkan baju yang kupilih tadi. Ibu dan Mita masih tertawa senang. "Eh, Mbak, nggak usah, saya bisa bayar kok," sela ku cepat. Sebelum karyawan mall ini mengambil baju-baju itu. "Saya memang nggak punya uang Cash, Mbak. Tapi saya bayar pakai ini!" Aku menyodorkan kartu atm berwarna gold milikku. HaaaHaaaTampak ibu dan Mita melotot tak percaya. Aku melirik senang. Kasir meminta pinku, tanpa menunggu lama aku segera menekan angka. Kasir mengembalikan kartuku. Aku menerima kartu dan kantong belanjaan. "Kalian pikir, kalian siapa? Mau menertawakanku?" Aku berlalu melewati dua manusia yang sok kaya.Pernikahan KeduaBenarkah Aku yang Mandul? Bab 8Kupakai kaca mata hitam keluar dari mall. Sepertinya mereka mengikuti, biarkan saja. Biar mereka lihat mobil Bantley Continental milikku. "Riri, tunggu!" panggil ibu mertua mengejarku. "Ada apa, Bu? Belum puas menertawakan saya?" Kuhentikan Langkahku. "Sebenarnya, Kamu ini siapa? Bukannya, Kamu ini susah saat sama Tama?" tanyanya. Sepertinya dia penasaran. "Iya memang, saya susah waktu tinggal dirumah ibu, sekarang tidak lagi. Maaf, saya harus pergi!" Cepat aku melangkah meninggalkannya. "Riri, tunggu dulu!" ia menarik tanganku. "Kamu jadi simpanan ya, makanya secepat ini berubah?" tuduhnya. What? Dia bilang aku simpanan? "Bu, jangan asal bicara ya? Saya ini wanita terhormat." Aku tak terima dibilang simpanan. "Halah, jangan munafik deh, Mbak. Jaman sekarang, itu banyak terjadi kok. Lagian nggak mungkin kan secepat itu Mbak Riri kaya raya." Mita ikut-ikutan memojokkanku. "Seperti, Kamu gitu?" Kubalik perkataannya. Plak"Lan
Peenikahan KeduaMenganggap RendahBab 9Pov Riri.Setelah proses mediasi gagal sidang akan di gelar satu kali lagi. Kurasa tak perlu lagi bersembunyi dari Mas Tama. Toh, keputusan untuk cerai pun sudah bulat. "Selamat pagi, Bu!" sapa Risti dan Nirmala bersamaan."Pagi!" jawabku sambil terus berjalan menuju kursi. "Gilang belum datang?" tanyaku. Soalnya hari ini akan ada peninjauan proyek yang dibangun bersama Buana Corp."Belum, Bu," jawab Risti."Bu, apa aku bisa tidak ikut hari ini?" Nirmala bertanya."Kenapa, Nir? Ini proyek penting loh," tanyaku balik. Kalau proyek ini berhasil, mereka akan dipindahkan kekantor pusat. Tentunya gajipun akan ditambah juga bonus dari proyek akan mereka dapatkan.Kulihat Nirmala gelisah, seperti takut untuk mengutarakan alasannya. Apa ini ada hubungannya dengan kehamilannya? "Begini, Bu. Saya ada acara keluarga nanti malam, saya ingin izin setengah hari saja," ucapnya kemudian."Maaf, Nir. Dengan berat hati saya tolak izin Kamu. Kita sudah hampir
Pernikahan KeduaSyok TamaBab 10Pov Tama"Kamu kenapa diam saja diperintah sama og itu?" tanyaku pada Nirmala. Entah kenapa ia mendadak diam saat berhadapan dengan Riri."Mas, nanti saja kita bahas, aku harus masuk segera," tolak Nirmala. Aku menahan tangannya."Tunggu! Jangan takut sama dia," ucapku. Tiba - tiba aku berpikirApa mungkin Riri sudah mengancam Nirmala atau mengatakan kalau dia bekas istriku."Mas, nanti siang saja kita ngobrol, aku nggak mau gara-gara nggak disiplin waktu aku gagal di pindah kesini. Ini saatnya aku buktikan, Mas." Nirmala menatap mataku memohon agar aku mengizinkannya masuk. Memang dia disini karena ikut membantu proyek, bila hasilnya memuaskan maka ia dan temannya akan di pindah kesini. Akan semakin memudahkan kami untuk bertemu. Tak salah aku membuang Riri, sekarang aku dapat Nirmala, yang selevel dengan keluarga kami."Siang, kita makan bareng ya?" Aku memastikan lagi ucapan Nirmala."Iya, iya, Mas juga kerja sana!" Dia cemberut namun menurutk
Pernikahan KeduaBab 11 PembuktianPov TamaAku sudah rapi dengan pakaian kerjaku, pagi ini akan kutanyakan uang itu pada ibu.Kulihat ibu duduk sendiri di meja makan, pasti Si Mita belum bangun. Baguslah, biar ini jadi urusanku sama ibu saja. "Bu, dimana uang yang ibu ambil itu?" Aku tak ingin mengulur waktu, karena aku sudah merasa was-was kedepannya nanti. Apalagi ini memakan waktu sepuluh tahun, belum tau lagi nasibku gimana. Bisa jadi kapan saja aku dipecat dari kantor."Sudah ibu buat seserahan untuk Nirmala," jawab ibu. Ia tetap melanjutkan sarapannya. Sedangkan aku, sama sekali tak berselera."Untuk Nirmala tidak sampai separuh dari yang yang ibu ambil, sisanya lebih banyak loh, Bu.""Uangnya ibu masukin tabungan ibu, Tam, biar aman." Ibu tersenyum menatapku."Kenapa ambil terlalu banyak, Bu. Bulananya sangat membebaniku, Bu." Jujur saja kukatakan keresahan hatiku."Kamu keberatan?""Ya iyalah, Bu. Ibu kan tau gajiku lima belas juta sebulan, untuk bayar bulanannya saja sud
Pernikahan KeduaSetelah Tahu StatuskuBab 12 Pov Riri"Mas Tama!" Sapaku, ia baru saja muncul di pintu ruanganku, ada apa dia kesini? Dia masih mematung urung untuk masuk, memperhatikanku lekat. "Silahkan masuk, ada perlu apa?" tanyaku untuk mengalihkan tatapannya. Tatapan yang dulu mungkin kusukai, tapi tidak untuk sekarang. Ini di kantor, aku harus profesional dong, lagi pula mungkin ada masalah kantor yang ingin dia sampaikan atau masalah terkait dengan Nirmala. "Mas Tama!" tegurku lagi. Sungguh akupun tidak nyaman ditatap terus dari tadi."Emmm e e i iya...." jawabnya gugup. Dia kemudian melangkah mendekat ke mejaku. "Ada perlu apa?" ku ulang lagi pertanyaan yang sama. "Riri, jadi benar Kau anak Pak Danu Subrata?" tanyanya kemudian tanpa duduk. Oh, jadi ini tujuannya. Pasti ia sudah dengar omongan orang dikantor ini. Untuk apa lagi kututupi statusku sebagai putri pemilik perusahaan ini. "Riri, jawab pertanyaanku!" ia tampak tak sabaran, sedikit kesal mungkin menunggu
Pernikahan Kedua Kedatangan TamaBab 13Aku bersikap cuek, kami tetap asyik menikmati hidangan yang disuguhkan pelayan.Dia duduk tepat disamping Nirmala. Nirmala tampak mengambilkan nasi pada Mas Tama, namun tunangannya itu tetap curi-curi pandang padaku."Seneng deh, Mas, bisa kumpul bareng team aku begini, apa lagi ada Mas Tama," ucap Nirmala. Ia kembali makan setelah mengambilkan untuk Mas Tama."Btw, katanya kalian udah lamaran, jadi kapan nih resepsinya?" Risti menyenggol lengan Nirmala."Belum diputuskan kapan hari baiknya." Nirmala yang ingin menjawab tadi dipotong oleh Mas Tama."Kenapa dengan hari baik, bukannya semua hari itu baik. Jangan lama-lama loh, nanti Nirmala di embat orang," celetuk Risti.Selesai makan kuputuskan untuk pulang. Kali ini Nirmala bersama Mas Tama. Kami mengantar Risti duluan. "Kamu nggak cemburu?" Gilang melirikku setelah bertanya."Nggak, cuma kadang aneh saja,""Aneh?" Gilang mengerutkan keningnya."Hem,, perasaan baru saja kami pisah, tapi udah
Pernikahan Kedua Bab 14Kejujuran TamaPov Tama"Sial!"Betapa bodohnya aku, tidak menyelidiki latar belakang Riri dulu. Kalau saja aku tau dia anak Pak Danu sudah kujadikan ia ratu. Ini juga gara-gara ibu dan Mita, mereka tak pernah suka sama Riri. "Bodohnya dirimu Tama!" Aku memaki diriku sendiri.Kalau Riri sekaya itu, tak mungkin ia mau mengambil uang ibu selama ini, jumlah uangnya saja beratus kali lipat dari uang ibu.Riri, aku akan berusaha mendapatkanmu lagi. Aku yakin kau masih mencintaiku. Buktinya tiga tahun kau rela meninggalkan kemewahan demi hidup bersamaku. Pikiranku jadi kacau, penyesalan kini tak terhindarkan. Istri yang selalu kupandang sebelah mata ternyata seorang ratu dari keluarga Subrata. Gegas ku lajukan mobilku menuju rumah, aku sungguh menyesal sekarang. Nirmala pun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Riri.Kenapa aku bodoh sekali, mudah terhasut omongan ibu. Ibu pun pasti akan menyukai Riri kalau saja ia tahu Riri anak orang kaya di kota ini. J
Pernikahan KeduaPenolakan RiriBab 15Ibu menganga, mungkin antara percaya atau tidak. Aku sendiri pun sulit untuk percaya, karena selama hidup bersamaku Riri selalu tampil sederhana."Tama, kenapa diam saja?" Apa maksud ibu bilang aku diam, bukannya ibu yang nggak bersuara dari tadi."Kenapa sih, Kalian, pagi-pagi sudah membahas Riri, dari tadi Riri Riri aja yang terdengar, emang kenapa sama si kampungan itu?" Mita baru saja keluar dari kamarnya menghampiri kami."Diam, Kamu nggak usah ikut-ikutan, biar Ibu sama Tama yang mengurus masalah Riri," ucap ibu ketus."Riri Riri lagi, nggak ada yang lain apa yang mau dibahas?" Duh, si Mita makin resek ini segitu bencinya dia sama Riri."Tama, ayo kita jemput dia sekarang, mumpung hari libur ini." Aku terkejut atas ajakan ibu. Secepat itu dia berubah pikiran. Sebenarnya aku setuju sih, tapi apa iya Riri mau, tadi malam saja dia tak mau bertemu aku. Dengan adanya ibu semoga saja dia mau kembali padaku."Jadi gimana dengan Nirmala, Bu?" tan