Share

Berantam

Pernikahan Kedua 

Berantam

Bab 7

Pov  Riri

Risti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun  ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. 

Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. 

Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. 

"Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. 

Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. 

"Hahahaha....!" tawa mereka menggema diruangan kantin. Hanya Risti yang tetap diam menatapku. Dia sudah tau aku ini anak pemilik perusahaan. 

"Huuuu, berani masuk sini, harus siap kena bully," teriak salah satu karyawan pria. Aku masih berdiri mengamati. Kusilangkan tangan didada. 

"Maaf, ya saya disini mau makan juga, tolong kembalikan kursinya!" pintaku sopan pada pria yang menarik kursiku tadi. 

"Kantin ini suci, Bu. Tak pantas di huni oleh selingkuhan," jawabnya keras. Mungkin agar semua yang ada disini mendengarnya.

Lagi mereka tertawa beramai-ramai. Kukepalkan tangan menahan emosi. 

"Memang siapa yang selingkuhan?" kutatap ia tajam. Kali ini akan kulawan mereka.

"Hei! Sudah jelas-jelas Kamu gandeng tangan bos kami. Masih mau ngelak," teriak wanita yang bernama Maya dengan telunjuknya. 

Kudekati ia, lalu kuturunkan telunjuknya. "Yang terlihat belum tentu benar, jangan memprovokasi orang. Lagian kita tidak saling kenal. Tolong jaga bicaramu!" ucapku tegas. Wajahnya memerah. Ia pasti tak terima dengan yang ku katakan ini. 

"Kurang ajar!" 

Plak

Aku memegang pipiku yang baru ditamparnya. Cukup keras hingga terasa panas. 

"Kau belum tau ya, siapa aku? Aku karyawan yang berkuasa disini. Aku akan membasmimu perempuan murahan!" makinya, ia menatapku nyalang. Dari gayanya ini perempuan sepertinya suka berantem. 

Baiklah, akan kuladeni. Emosiku pun rasanya sudah naik. 

Plak

Kubalas tamparannya. Ia tampak kesakitan. Matanya memerah menatap penuh kebencian. 

"Kurang ajar, berani, Kau murahan!" teriaknya lagi lalu mendekatiku. 

"Aaaaakkk, Akkkkk" Rambutku dijambak olehnya. Sakit sekali. Ini tak bisa dibiarkan. 

Kubalas menjambak rambutnya, sekuat tenaga. Hingga iapun menjerit kesakitan. Pegangannya melemah. Ia berusaha melepaskan tanganku dari rambut panjangnya. Ku keluarkan tenagaku kujambak lagi sekuat tenaga. 

Belum tau dia berurusan dengan siapa? Aku yang dulunya tomboy dan terkenal suka berantam disekolah. Hah, Dia pikir dia saja yang bisa bar-bar. 

"Akkkkk, lepas- lepas!" teriaknya. Aku seperti orang kesurupan tanganku terus menjambak rambutnya.

Aneh, tak ada yang melerai, Kami. "Rasakan ini, berani Kau membullyku? Kau tak tau siapa aku, hah!" 

Tiba-tiba tubuhku ditarik, mundur. Satu tanganku berusaha dilepas. Dua wanita lagi menyerangku. Ternyata teman si Maya ini datang membantunya. Mereka mengkeroyokku. Sini kuladeni, Siapa takut!

Perutku dipegang dari belakang, lalu pipiku ditampar dari depan. Kacamataku jatuh. Aku belum bisa melawan. Lalu mereka menarik maskerku. 

Sial! Tak ada yang menolongku. Risti? Kemana dia? Kulihat bangkunya sudah kosong. Anak itu ternyata tak takut aku memecatnya. 

"Wow! Ternyata cantik juga, pantas bos terpikat," komentar beberapa orang yang asyik menonton kami. 

Jangan sampai Mas Tama mengenali aku. Gawat! Aku harus cepat pergi dari sini.

Kuinjak kaki yang memegang perutku, pegangannya mengendur. Aku melepaskannya cepat lalu kutinju wajah yang menamparku tadi. Ia jatuh tersungkur. Lalu ingin kubalas wanita yang memegangku tadi. Kujambak rambutnya. 

"Aaaaakkkkkk," ia menjerit kesakitan. Aku tak peduli, biar mereka tau siapa aku, seenaknya saja membully. 

Mereka menjerit kesakitan. Sorak beberapa orang, ada yang menyuruh lanjutkan. Ada yang menyuruh berhenti. Sudah seperti acara smackdown saja kami ini bedanya ini dikantin bukan di atas ring. 

Aku menghajar ketiganya, seperti orang kesetanan. 

Hap

Tiba-tiba

Ada yang menangkap tubuhku dari belakang. Aku berontak. Namun tenaganya cukup kuat. Kulihat orang - orang seperti takut, mereka mendadak diam tak lagi bersorak. 

"Tenang Riri!" 

Gilang

Aku berhenti berontak, ia segera melepaskan tangannya.

"Apa yang, Kamu lakukan, ha! Ini kantor, bukan arena tinju." Ia membentakku? Ia tampak marah, bahkan ia tak memanggilku ibu lagi. 

"Pak Gilang, lihatlah, Kami habis dihajarnya. Tolong beritahu bos agar memecat orang ini, Pak," ucap salah satu dari mereka. Seolah merekalah yang tertindas disini. 

"Diam!"

 Suara Gilang meninggi. Akupun terkejut mendengarnya. Dalam situasi begini masih sempatnya mereka memprovokasi Gilang. 

"Ayo, kalian ikut keruangan, Bos. Cepat!" Bentak Gilang. Mode galaknya keluar, tapi entah kenapa Gilang jadi tambah macho kalau tegas begini. 

"Kamu juga, cepat!" 

Ia melirikku. Aku balas meliriknya sewot. Apa-apaan dia, tak takut kupecat apa? 

"Kenapa, Bu Riri? Ingin memecat saya?" Loh, kok Gilang tau isi kepalaku? Aku melengos pergi akhirnya. 

Papa berdiri di dekat mejanya Gilang berdiri disampingnya, sedangkan aku dan ketiga orang itu berdiri didepan papa, Dan Risti, kenapa ia juga disini? 

Aku meliriknya. Risti mengacungkan dua jari tanda pis, lalu tersenyum seperti merasa bersalah. Hmm, aku tau pasti dia ini yang ngadu ke Gilang tadi. Tak apa jugalah, dari pada ketiga orang ini bonyok di tanganku. 

"Ceritakan, kenapa kalian bisa berantam di kantin?" Papa mulai bersuara. Dengan nada datar, namun bisa membuat nyali menciut. 

Ketiga gadis itu saling lirik. Lalu salah satu menjawab. 

"Begini, Pak. Dia yang duluan menyerang saya," adu wanita yang suka membullyku itu. 

Papa melirikku. "Benar itu Ri?" tanya papa padaku. Aku menggeleng cepat. "Jangan karena jabatanmu tinggi, lalu seenaknya disini," lanjut papa marah. Matilah aku. 

Apaan sih, Papa kok jadi seolah aku yang salah, kulihat ketiga gadis itu tersenyum. Mungkin senang karena papa menegurku. 

"Pak, sebaiknya Risti saja yang menjelaskan, karena dia yang ada disitu. Kalau mereka saya nggak percaya, yang ada saling membenarkan diri sendiri," ucap Gilang pada papa. Papa mengangguk dan menyuruh Risti menceritakan kronologisnya seperti apa.

Ristipun diminta bercerita. Risti menceritakan semuanya sejak aku masuk kekantin hingga sampai berkelahi. Papa manggut-manggut sedangkan Gilang senyum-senyum saja. Dasar Gilang!

"Pak, mohon jangan pecat, kami. Kami hanya tak suka dengan wanita simpanan yang sudah berani menggoda Bapak." Wanita yang kuketahui bernama Maya itu memohon pada papa.

What? Terang-terangan ia mengatakan aku selingkuhan di depan papa. Bakalan tamat kariermu. 

"Tindakan kalian itu salah, atas dasar apa kalian bilang dia selingkuhan saya? Jujur saya kecewa dengan kalian. Tanpa tau kebenaran kalian seenaknya membully dan menghakimi dengan asumsi kalian. Perlu kalian tau—" Papa menatap ketiganya tajam. Mereka beringsut seperti takut. Papa kemudian menarik aku kesampingnya.

"Ini, kalian lihat ini!" tunjuk papa kewajahku. Aku tak berani melawan. 

"Dia adalah putriku Riri Danu Subrata. Penerusku nanti diperusahaan ini," tegas papa. 

Haaa

Haaa

Haaa

Ketiganya tampak melongo, aku tersenyum melihat reaksi mereka. Lalu mereka saling lirik.

"Pak, Kami minta maaf, mohon jangan pecat kami, Pak!" mohon mereka. 

"Itu terserah Riri, keputusan ada ditangannya." Papa kembali duduk dikursinya. 

What? Papa ini kok terserah aku sih? 

"Bu Riri, kami minta maaf, maaf, Bu kami salah." Mereka kompak berlutut dikakiku. 

Aku beringsut mundur. Kulihat Gilang dan Risti menahan tawa. 

"Berdiri kalian!" bentakku. Tak nyaman rasanya kakiku dipegang. Seperti raja saja aku ini. Meskipun aku anak papa. Aku nggak gila hormat begini. 

"Nggak, Bu. Tolong maafkan kami, jangan pecat kami, Bu!" mohon mereka lagi. 

"Kalian sudah merusak kacamataku?" tetiba aku teringat kacamataku yang pecah. 

"Bu, kami akan ganti." Kompak sekali mereka menjawab. Trio apa sih?

"Ya sudah, sekali lagi jangan gampang membully orang walaupun kalian anggap orang itu rendah," ucapku sok bijak. Mereka tak jadi dipecat. 

Mereka mengangguk. Mereka memang salah, begitupun aku yang mudah terpancing. 

Sepulang dari kantor, semua mendadak hormat padaku. Pasti udah nyebar ini berita kalau aku anak bos mereka.

"Ri, tunggu!" Gilang memanggil sambil berlari di belakangku. 

Aku berbalik menunggunya. "Ada apa, Lang?" tanyaku.

"Ini tadi pengacaramu mengirimkan pesan, tapi nomormu sepertinya tidak aktiv." 

"Ah, iya, aku lupa bawa charger. Pesan apa?" 

"Sebentar." Gilang mengotak-atik ponselnya lalu menyerahkannya padaku. Akupun mengambil dan membacanya.

"[Sidang mediasi besok pukul dua siang]" 

Aku menyerahkan lagi ponsel itu pada Gilang. "Makasih!" ucapku. Gilang hanya mengangguk.

"Kamu tadi nggak lihatkan, cewek itu berantem di kantin?" ucap pria di samping mobilku.

Loh, itukan mobil Mas Tama. 

"Ternyata dia putri dari Pak Danu. Namanya Riri Danu Subrata. Cantik banget, Tam. Gua aja naksir," lanjutnya lagi. 

"Alah, Kamu mah nggak heran, semua cewek cantik dinaksiri," jawab Mas Tama.

Tak jadi aku masuk kemobil, menguping kayaknya lebih seru.

"Ini beda, Tam. Jago silat lagi dia. Pokoknya..." 

"Udahlah, aku mau balik ini." Mas Tama membuka pintu mobilnya sepertinya tidak tertarik dengan cerita temannya. 

"Tam, tunggu dulu. Bukannya istrimu namanya Riri juga ya?" 

Deg

Gawat, bisa- bisa Mas Tama tau kalau akulah Riri. Tiba-tiba aku jadi cemas. Aku belum mau menampakkan diri dulu apalagi kalau ibunya tau, bisa-bisa ia akan menyuruh Mas Tama rujuk denganku. 

"Emang yang namanya Riri cuma satu, Rom?" jawab Mas Tama. Syukurlah ia tak curiga. 

"Iya ya, lagi pula nggak mungkinlah istrimu berubah jadi ratu, sedangkan Kamu bilang, keluarganya aja, nggak ada, miskin lagi," timpal Romi. 

Jadi selama ini aku diceritain sama temennya. Mas Tama- Mas Tama. Ternyata, Kamu tak menghormatiku sebagai istrimu. 

Aku masuk kedalam mobil, sebaiknya mampir dulu lah ke mall, cuci-cuci mata. 

" Hai, Mbak Riri!"

Jumpa lagi, kenapa harus jumpa sih dengan dua orang ini. 

"Tiap hari ke mall, emang nggak capek?" sindir ibu mertua. Aku pura-pura tak dengar. Kupilih baju kemeja yang tergantung rapi didepanku. 

"Duh! Lagaknya pilih-pilih. Emang punya uang?" Mita seolah meremehkanku. Sepertinya dia sudah lupa waktu kupergoki di mall ini sama pria tua bangka yang sudah seumuran ayahnya. 

Kalau diladeni makin menjadi, mending cuek deh. Aku terus memilih-milih, total tiga pasang yang sudah di tangan. 

Memang harus diam biar mereka juga diam. Aku berjalan kekasir ingin membayar. Tak ingin berlama disini, takut akan merusak mood karena dua orang sok kaya ini. 

"Ini, Mbak. Total 55 juta rupiah. Mau bayar Cash atau..."tanya kasir ramah. Beli apa sih sampai sebanyak itu belanjanya. 

"Pakai ini aja, Mbak!" potong Mita cepat. 

Wow! Sudah punya kartu sakti dia. Hmm, ada yang nggak beres ini pastinya. Tak mungkinlah pria tua memberikan kartu secara cuma-cuma. 

Kartu telah dikembalikan sang kasir. Ibu dan Mita menatapku seolah meremehkan. Sekaligus mengatakan bahwa mereka banyak uang.

"Ini Mbak, total tujuh juta delapan ratus ribu rupiah. Mau bayar Cash atau..." tanyanya padaku. 

"Ya iyalah, Mbak, pasti Cash, mana punya dia kartu beginian, itupun kalau dia punya uang. Hahaha! Sok-sokan belanja di mall." potong Mita. Mereka masih berdiri di dekat kasir sambil mengibas ngibaskan atmnya. Seperti orang kepanasan saja.

Sebenarnya aku ingin tertawa melihat gayanya yang norak, atm orang saja di bangga-banggain. 

Ini pasti mau melihatku mampu bayar atau nggak. Awas kalian! 

"Mmm, aduh, Mbak, aku nggak punya uang Cash," jawabku. Sengaja memancing dua orang sok kaya yang masih setia menatapku. 

"Hahahaha, miskin saja belagu, pake belanja ke mall. Ujung-ujungnya malu." Mita tertawa puas karena bisa mengejekku. 

"Riri, Riri, Kamu kira baju disini sama dengan yang dipasar. Seratus tiga, seratus tiga!" tambah ibu menirukan suara abang tukang obral di pasar. 

Beruntung, pengunjung tidak banyak, sehingga aku sedikit mengulur waktu. Biar mereka senang dulu. 

"Gimana, Mbak?" tanya kasir lagi. 

"Udah, Mbak, usir saja, dia itu orang miskin. Balikin gih, bajunya kesana!" Mita dan ibu makin senang melihatku diam. 

"Miskin ya miskin aja, Mbak. Jangan sok-sokan," ucap Mita lagi. Ia menatapku remeh. 

Kulihat sang kasir memanggil temannya.

"Ini tolong, Kamu balikin ke tempatnya!" Kasir menunjukkan baju yang kupilih tadi. 

Ibu dan Mita masih tertawa senang. 

"Eh, Mbak, nggak usah, saya bisa bayar kok," sela ku cepat. Sebelum karyawan mall ini mengambil baju-baju itu. 

"Saya memang nggak punya uang Cash, Mbak. Tapi saya bayar pakai ini!" Aku menyodorkan kartu atm berwarna gold milikku. 

Haaa

Haaa

Tampak ibu dan Mita melotot tak percaya. Aku melirik senang. Kasir meminta pinku, tanpa menunggu lama aku segera menekan angka. 

Kasir mengembalikan kartuku. Aku menerima kartu dan kantong belanjaan. 

"Kalian pikir, kalian siapa? Mau menertawakanku?" Aku berlalu melewati dua manusia yang sok kaya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
rumiati tampi
komentar terpopuler tahun ni hamil ya Allah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status