Share

Berantam

Penulis: Azitung
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-28 06:30:01

Pernikahan Kedua 

Berantam

Bab 7

Pov  Riri

Risti keluar makan siang ke kantin, Nirmala pun sudah duluan keluar. Tiba-tiba aku pun  ingin makan di kantin juga. Sudah lama rasanya tak mencicipi masakan kantin. 

Aku melangkah tanpa ragu. Dengan masih mengenakan masker. Sampai di kantin ternyata penuh, maklum, semua karyawan kebanyakan makan dikantin. Dan ini gratis, papa memang menyediakan khusus agar tak memberati karyawan dengan membawa bekal lagi dari rumah. 

Di dekat meja prasmanan ada satu kursi kosong. Aku melangkah masuk. Namun tatapan sebagian orang tampak sinis, mereka seperti tak suka aku di sini. 

"Wow! Selingkuhan berani makan dikantin rupanya," sindir wanita yang pernah mengolokku di lift. Yang kutau bernama Maya. 

Yang lain ikut menatapku. Ternyata karyawan papa banyak yang bar-bar dan tukang bully lagi. Aku tetap masuk melangkah ingin duduk di kursi kosong tadi. Namun seseorang menarik kursi itu dan menaikkan kakinya di atas. Hampir saja aku jatuh. 

"Hahahaha....!" tawa mereka menggema diruangan kantin. Hanya Risti yang tetap diam menatapku. Dia sudah tau aku ini anak pemilik perusahaan. 

"Huuuu, berani masuk sini, harus siap kena bully," teriak salah satu karyawan pria. Aku masih berdiri mengamati. Kusilangkan tangan didada. 

"Maaf, ya saya disini mau makan juga, tolong kembalikan kursinya!" pintaku sopan pada pria yang menarik kursiku tadi. 

"Kantin ini suci, Bu. Tak pantas di huni oleh selingkuhan," jawabnya keras. Mungkin agar semua yang ada disini mendengarnya.

Lagi mereka tertawa beramai-ramai. Kukepalkan tangan menahan emosi. 

"Memang siapa yang selingkuhan?" kutatap ia tajam. Kali ini akan kulawan mereka.

"Hei! Sudah jelas-jelas Kamu gandeng tangan bos kami. Masih mau ngelak," teriak wanita yang bernama Maya dengan telunjuknya. 

Kudekati ia, lalu kuturunkan telunjuknya. "Yang terlihat belum tentu benar, jangan memprovokasi orang. Lagian kita tidak saling kenal. Tolong jaga bicaramu!" ucapku tegas. Wajahnya memerah. Ia pasti tak terima dengan yang ku katakan ini. 

"Kurang ajar!" 

Plak

Aku memegang pipiku yang baru ditamparnya. Cukup keras hingga terasa panas. 

"Kau belum tau ya, siapa aku? Aku karyawan yang berkuasa disini. Aku akan membasmimu perempuan murahan!" makinya, ia menatapku nyalang. Dari gayanya ini perempuan sepertinya suka berantem. 

Baiklah, akan kuladeni. Emosiku pun rasanya sudah naik. 

Plak

Kubalas tamparannya. Ia tampak kesakitan. Matanya memerah menatap penuh kebencian. 

"Kurang ajar, berani, Kau murahan!" teriaknya lagi lalu mendekatiku. 

"Aaaaakkk, Akkkkk" Rambutku dijambak olehnya. Sakit sekali. Ini tak bisa dibiarkan. 

Kubalas menjambak rambutnya, sekuat tenaga. Hingga iapun menjerit kesakitan. Pegangannya melemah. Ia berusaha melepaskan tanganku dari rambut panjangnya. Ku keluarkan tenagaku kujambak lagi sekuat tenaga. 

Belum tau dia berurusan dengan siapa? Aku yang dulunya tomboy dan terkenal suka berantam disekolah. Hah, Dia pikir dia saja yang bisa bar-bar. 

"Akkkkk, lepas- lepas!" teriaknya. Aku seperti orang kesurupan tanganku terus menjambak rambutnya.

Aneh, tak ada yang melerai, Kami. "Rasakan ini, berani Kau membullyku? Kau tak tau siapa aku, hah!" 

Tiba-tiba tubuhku ditarik, mundur. Satu tanganku berusaha dilepas. Dua wanita lagi menyerangku. Ternyata teman si Maya ini datang membantunya. Mereka mengkeroyokku. Sini kuladeni, Siapa takut!

Perutku dipegang dari belakang, lalu pipiku ditampar dari depan. Kacamataku jatuh. Aku belum bisa melawan. Lalu mereka menarik maskerku. 

Sial! Tak ada yang menolongku. Risti? Kemana dia? Kulihat bangkunya sudah kosong. Anak itu ternyata tak takut aku memecatnya. 

"Wow! Ternyata cantik juga, pantas bos terpikat," komentar beberapa orang yang asyik menonton kami. 

Jangan sampai Mas Tama mengenali aku. Gawat! Aku harus cepat pergi dari sini.

Kuinjak kaki yang memegang perutku, pegangannya mengendur. Aku melepaskannya cepat lalu kutinju wajah yang menamparku tadi. Ia jatuh tersungkur. Lalu ingin kubalas wanita yang memegangku tadi. Kujambak rambutnya. 

"Aaaaakkkkkk," ia menjerit kesakitan. Aku tak peduli, biar mereka tau siapa aku, seenaknya saja membully. 

Mereka menjerit kesakitan. Sorak beberapa orang, ada yang menyuruh lanjutkan. Ada yang menyuruh berhenti. Sudah seperti acara smackdown saja kami ini bedanya ini dikantin bukan di atas ring. 

Aku menghajar ketiganya, seperti orang kesetanan. 

Hap

Tiba-tiba

Ada yang menangkap tubuhku dari belakang. Aku berontak. Namun tenaganya cukup kuat. Kulihat orang - orang seperti takut, mereka mendadak diam tak lagi bersorak. 

"Tenang Riri!" 

Gilang

Aku berhenti berontak, ia segera melepaskan tangannya.

"Apa yang, Kamu lakukan, ha! Ini kantor, bukan arena tinju." Ia membentakku? Ia tampak marah, bahkan ia tak memanggilku ibu lagi. 

"Pak Gilang, lihatlah, Kami habis dihajarnya. Tolong beritahu bos agar memecat orang ini, Pak," ucap salah satu dari mereka. Seolah merekalah yang tertindas disini. 

"Diam!"

 Suara Gilang meninggi. Akupun terkejut mendengarnya. Dalam situasi begini masih sempatnya mereka memprovokasi Gilang. 

"Ayo, kalian ikut keruangan, Bos. Cepat!" Bentak Gilang. Mode galaknya keluar, tapi entah kenapa Gilang jadi tambah macho kalau tegas begini. 

"Kamu juga, cepat!" 

Ia melirikku. Aku balas meliriknya sewot. Apa-apaan dia, tak takut kupecat apa? 

"Kenapa, Bu Riri? Ingin memecat saya?" Loh, kok Gilang tau isi kepalaku? Aku melengos pergi akhirnya. 

Papa berdiri di dekat mejanya Gilang berdiri disampingnya, sedangkan aku dan ketiga orang itu berdiri didepan papa, Dan Risti, kenapa ia juga disini? 

Aku meliriknya. Risti mengacungkan dua jari tanda pis, lalu tersenyum seperti merasa bersalah. Hmm, aku tau pasti dia ini yang ngadu ke Gilang tadi. Tak apa jugalah, dari pada ketiga orang ini bonyok di tanganku. 

"Ceritakan, kenapa kalian bisa berantam di kantin?" Papa mulai bersuara. Dengan nada datar, namun bisa membuat nyali menciut. 

Ketiga gadis itu saling lirik. Lalu salah satu menjawab. 

"Begini, Pak. Dia yang duluan menyerang saya," adu wanita yang suka membullyku itu. 

Papa melirikku. "Benar itu Ri?" tanya papa padaku. Aku menggeleng cepat. "Jangan karena jabatanmu tinggi, lalu seenaknya disini," lanjut papa marah. Matilah aku. 

Apaan sih, Papa kok jadi seolah aku yang salah, kulihat ketiga gadis itu tersenyum. Mungkin senang karena papa menegurku. 

"Pak, sebaiknya Risti saja yang menjelaskan, karena dia yang ada disitu. Kalau mereka saya nggak percaya, yang ada saling membenarkan diri sendiri," ucap Gilang pada papa. Papa mengangguk dan menyuruh Risti menceritakan kronologisnya seperti apa.

Ristipun diminta bercerita. Risti menceritakan semuanya sejak aku masuk kekantin hingga sampai berkelahi. Papa manggut-manggut sedangkan Gilang senyum-senyum saja. Dasar Gilang!

"Pak, mohon jangan pecat, kami. Kami hanya tak suka dengan wanita simpanan yang sudah berani menggoda Bapak." Wanita yang kuketahui bernama Maya itu memohon pada papa.

What? Terang-terangan ia mengatakan aku selingkuhan di depan papa. Bakalan tamat kariermu. 

"Tindakan kalian itu salah, atas dasar apa kalian bilang dia selingkuhan saya? Jujur saya kecewa dengan kalian. Tanpa tau kebenaran kalian seenaknya membully dan menghakimi dengan asumsi kalian. Perlu kalian tau—" Papa menatap ketiganya tajam. Mereka beringsut seperti takut. Papa kemudian menarik aku kesampingnya.

"Ini, kalian lihat ini!" tunjuk papa kewajahku. Aku tak berani melawan. 

"Dia adalah putriku Riri Danu Subrata. Penerusku nanti diperusahaan ini," tegas papa. 

Haaa

Haaa

Haaa

Ketiganya tampak melongo, aku tersenyum melihat reaksi mereka. Lalu mereka saling lirik.

"Pak, Kami minta maaf, mohon jangan pecat kami, Pak!" mohon mereka. 

"Itu terserah Riri, keputusan ada ditangannya." Papa kembali duduk dikursinya. 

What? Papa ini kok terserah aku sih? 

"Bu Riri, kami minta maaf, maaf, Bu kami salah." Mereka kompak berlutut dikakiku. 

Aku beringsut mundur. Kulihat Gilang dan Risti menahan tawa. 

"Berdiri kalian!" bentakku. Tak nyaman rasanya kakiku dipegang. Seperti raja saja aku ini. Meskipun aku anak papa. Aku nggak gila hormat begini. 

"Nggak, Bu. Tolong maafkan kami, jangan pecat kami, Bu!" mohon mereka lagi. 

"Kalian sudah merusak kacamataku?" tetiba aku teringat kacamataku yang pecah. 

"Bu, kami akan ganti." Kompak sekali mereka menjawab. Trio apa sih?

"Ya sudah, sekali lagi jangan gampang membully orang walaupun kalian anggap orang itu rendah," ucapku sok bijak. Mereka tak jadi dipecat. 

Mereka mengangguk. Mereka memang salah, begitupun aku yang mudah terpancing. 

Sepulang dari kantor, semua mendadak hormat padaku. Pasti udah nyebar ini berita kalau aku anak bos mereka.

"Ri, tunggu!" Gilang memanggil sambil berlari di belakangku. 

Aku berbalik menunggunya. "Ada apa, Lang?" tanyaku.

"Ini tadi pengacaramu mengirimkan pesan, tapi nomormu sepertinya tidak aktiv." 

"Ah, iya, aku lupa bawa charger. Pesan apa?" 

"Sebentar." Gilang mengotak-atik ponselnya lalu menyerahkannya padaku. Akupun mengambil dan membacanya.

"[Sidang mediasi besok pukul dua siang]" 

Aku menyerahkan lagi ponsel itu pada Gilang. "Makasih!" ucapku. Gilang hanya mengangguk.

"Kamu tadi nggak lihatkan, cewek itu berantem di kantin?" ucap pria di samping mobilku.

Loh, itukan mobil Mas Tama. 

"Ternyata dia putri dari Pak Danu. Namanya Riri Danu Subrata. Cantik banget, Tam. Gua aja naksir," lanjutnya lagi. 

"Alah, Kamu mah nggak heran, semua cewek cantik dinaksiri," jawab Mas Tama.

Tak jadi aku masuk kemobil, menguping kayaknya lebih seru.

"Ini beda, Tam. Jago silat lagi dia. Pokoknya..." 

"Udahlah, aku mau balik ini." Mas Tama membuka pintu mobilnya sepertinya tidak tertarik dengan cerita temannya. 

"Tam, tunggu dulu. Bukannya istrimu namanya Riri juga ya?" 

Deg

Gawat, bisa- bisa Mas Tama tau kalau akulah Riri. Tiba-tiba aku jadi cemas. Aku belum mau menampakkan diri dulu apalagi kalau ibunya tau, bisa-bisa ia akan menyuruh Mas Tama rujuk denganku. 

"Emang yang namanya Riri cuma satu, Rom?" jawab Mas Tama. Syukurlah ia tak curiga. 

"Iya ya, lagi pula nggak mungkinlah istrimu berubah jadi ratu, sedangkan Kamu bilang, keluarganya aja, nggak ada, miskin lagi," timpal Romi. 

Jadi selama ini aku diceritain sama temennya. Mas Tama- Mas Tama. Ternyata, Kamu tak menghormatiku sebagai istrimu. 

Aku masuk kedalam mobil, sebaiknya mampir dulu lah ke mall, cuci-cuci mata. 

" Hai, Mbak Riri!"

Jumpa lagi, kenapa harus jumpa sih dengan dua orang ini. 

"Tiap hari ke mall, emang nggak capek?" sindir ibu mertua. Aku pura-pura tak dengar. Kupilih baju kemeja yang tergantung rapi didepanku. 

"Duh! Lagaknya pilih-pilih. Emang punya uang?" Mita seolah meremehkanku. Sepertinya dia sudah lupa waktu kupergoki di mall ini sama pria tua bangka yang sudah seumuran ayahnya. 

Kalau diladeni makin menjadi, mending cuek deh. Aku terus memilih-milih, total tiga pasang yang sudah di tangan. 

Memang harus diam biar mereka juga diam. Aku berjalan kekasir ingin membayar. Tak ingin berlama disini, takut akan merusak mood karena dua orang sok kaya ini. 

"Ini, Mbak. Total 55 juta rupiah. Mau bayar Cash atau..."tanya kasir ramah. Beli apa sih sampai sebanyak itu belanjanya. 

"Pakai ini aja, Mbak!" potong Mita cepat. 

Wow! Sudah punya kartu sakti dia. Hmm, ada yang nggak beres ini pastinya. Tak mungkinlah pria tua memberikan kartu secara cuma-cuma. 

Kartu telah dikembalikan sang kasir. Ibu dan Mita menatapku seolah meremehkan. Sekaligus mengatakan bahwa mereka banyak uang.

"Ini Mbak, total tujuh juta delapan ratus ribu rupiah. Mau bayar Cash atau..." tanyanya padaku. 

"Ya iyalah, Mbak, pasti Cash, mana punya dia kartu beginian, itupun kalau dia punya uang. Hahaha! Sok-sokan belanja di mall." potong Mita. Mereka masih berdiri di dekat kasir sambil mengibas ngibaskan atmnya. Seperti orang kepanasan saja.

Sebenarnya aku ingin tertawa melihat gayanya yang norak, atm orang saja di bangga-banggain. 

Ini pasti mau melihatku mampu bayar atau nggak. Awas kalian! 

"Mmm, aduh, Mbak, aku nggak punya uang Cash," jawabku. Sengaja memancing dua orang sok kaya yang masih setia menatapku. 

"Hahahaha, miskin saja belagu, pake belanja ke mall. Ujung-ujungnya malu." Mita tertawa puas karena bisa mengejekku. 

"Riri, Riri, Kamu kira baju disini sama dengan yang dipasar. Seratus tiga, seratus tiga!" tambah ibu menirukan suara abang tukang obral di pasar. 

Beruntung, pengunjung tidak banyak, sehingga aku sedikit mengulur waktu. Biar mereka senang dulu. 

"Gimana, Mbak?" tanya kasir lagi. 

"Udah, Mbak, usir saja, dia itu orang miskin. Balikin gih, bajunya kesana!" Mita dan ibu makin senang melihatku diam. 

"Miskin ya miskin aja, Mbak. Jangan sok-sokan," ucap Mita lagi. Ia menatapku remeh. 

Kulihat sang kasir memanggil temannya.

"Ini tolong, Kamu balikin ke tempatnya!" Kasir menunjukkan baju yang kupilih tadi. 

Ibu dan Mita masih tertawa senang. 

"Eh, Mbak, nggak usah, saya bisa bayar kok," sela ku cepat. Sebelum karyawan mall ini mengambil baju-baju itu. 

"Saya memang nggak punya uang Cash, Mbak. Tapi saya bayar pakai ini!" Aku menyodorkan kartu atm berwarna gold milikku. 

Haaa

Haaa

Tampak ibu dan Mita melotot tak percaya. Aku melirik senang. Kasir meminta pinku, tanpa menunggu lama aku segera menekan angka. 

Kasir mengembalikan kartuku. Aku menerima kartu dan kantong belanjaan. 

"Kalian pikir, kalian siapa? Mau menertawakanku?" Aku berlalu melewati dua manusia yang sok kaya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
rumiati tampi
komentar terpopuler tahun ni hamil ya Allah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pernikahan Kedua    Semangat Demi Adelia

    Pernikahan Kedua (Ending) Semangat Demi AdeliaBab 150Kondisi Adelia benar-benar drop kali ini. Bahkan bobotnya turun drastis, hal itu sangat membuat kedua oran tuanya sedih, terlebih sang mama."Dok, apakah proses kelahiran anak ketigaku bisa di percepat?" Risti mendatangi dokter kandungan langganannya."Bisa saja, Bu. Tapi tentunya harus cesar. Apa ini terkait dengan kesehatan Adelia?" tanya Dokter Tiara.Risti yang bewajah sedih itu mengangguk disertai buliran bening yang turut meluncur di kedua pipinya. Dia mengusap dengan ujung jarinya."Baiklah, akan saya pastikan kapan waktu yang pas," kata Dokter Tiara. Dia, sangat memahami kondisi pasiennya ini sekarang. Tentu tidak mudah untuknya menghadapi ini. "Di usia kehamilan tiga puluh delapan minggu kita akan lakukan operasinya, saya tinggal mempersiapkan harinya saja," lanjut Dokter Tiara. "Baik, Dok. Saya permisi!" Risti pun pergi kembali keruangan dimana putrinya di rawat. "Aku sudah memutuskannya. Dua minggu lagi aku akan me

  • Pernikahan Kedua    Masa Lalu Yang Datang

    Pernikahan Kedua Masa Lalu Yang DatangBab 149"Oh ayolah, ini sudah hampir jam masukmu, Sayang!" Risti sedang memegang seragam sekolah Liu yang akan di pakaikan, namun Liu selalu menghindarinya. Entah sudah keberapa kali bujukan ini keluar dari bibir ibu dari dua anak itu."No, mama! Liu mau pindah sekolah saja." Dia menolak dengan tegas. Dia ternyata tidak main-main dengan ucapannya semalam."Kenapa harus pindah?" Risti bertanya lagi apa alasan putranya itu sebenarnya."Miss Sarah genit, dia mau merebut papa dari mama," katanya tegas.Risti yang sedang berdiri memegang baju sekolah Liu itu pun dibuat tak percaya oleh jawaban anaknya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu.Liu berdiri di atas sofa menghindari sang mama yang sedang memaksanya memakai baju sekolah. Liu kini hanya memakai cd dan kaos tak berlengan saja.Risti mendesah. Anaknya ini memang susah untuk membujuknya. "Lalu apa yang akan Kau lakukan dirumah seharian ini?" Risti bertanya untuk memancingnya lagi."Aku akan

  • Pernikahan Kedua    Jangan Sentuh Papaku

    Pernikahan Kedua Jangan Sentuh Papaku! Bab 148Setelah dari rumah sakit keluarga itu langsung menuju mall, untuk menunaikan janji mereka.Adelia dan Liu boleh memilih apa saja untuk mereka dan bermain apa saja. Mereka begitu riang, terutama Liu yang sangat aktiv. Tony harus extra mengawasinya sedangkan Adelia hanya bermain yang ringan saja karena tidak boleh terlalu lelah."Hai Liu tampan!" O ow, semua menoleh ke asal suara sapaan itu terdengar."Oh, Hai Miss Sarah!" balasnya datar. Dia memang suka dibilang tampan, tapi Liu tidak menunjukkannya, dia bersikap seolah sudah dewasa."Kebetulan sekali kita bertemu disini. Oh iya, apa ini Daddymu?" Miss Sarah tak dapat untuk bertanya kala melihat Tony. Dia memang tahu, hanya basa basi saja karena terpesona dengan Tony yang terlihat matang. Meski sudah berusia empat puluham Tony memang terbilang masih macho, kekuatan uang menambah pesonanya."Bukan, dia papaku." Liu menjawab dengan dingin. Miss Sarah tertawa, dia terlalu gemes dengan a

  • Pernikahan Kedua    Mama Takut Papa Akan Lari

    Pernikahan Kedua Mama Takut Papa Akan LariBab 147Tidak terasa waktu terus bergulir. Risti telah melewati trimester pertamanya dan trimester kedua pun akan segera berakhir. Kini kehamilannya sudah berusia enam bulan. Adelia belum pernah lagi di rawat di rumah sakit. Hanya mengkonsumsi obat di rumah secara rutin dan kontrol rutin kepada dokternya yang datang khusus kerumah.Meski banyak drama setiap kali ingin meminum obatnya. Bayangan rumah sakit selalu menjadi momok menakutkan untuknya dan itu menjadi andalan mereka, Adelia akan takut bila dikatakan akan dibawa ke rumah sakit lalu akan meminum obatnya. Hari ini mereka akan melakukan pemeriksaan sekaligus ingin mengetahui jenis kelamin bayi ketiga mereka.Tony sudah tidak sabar ingin segera mengetahuinya. "Kira-kira apa ya Yang?" tanyanya seraya mempersiapkan diri. Dia baru saja selesai mandi dan tubuhnya hanya dibalut handuk saja. Risti duduk di depan meja rias, untuk mempercantik penampilannya. "Apapun itu, aku tidak terlalu p

  • Pernikahan Kedua    Terlalu Posesif

    Pernikahan Kedua Terlalu PosesifBab 146Tidak mudah memang membuat kedua bocah itu mengerti. Segala apapun yang ditawarkan sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengena dihati mereka.Di tawarkan ice cream, mainan serta ke taman hiburan, keduanya kompak menggeleng sambil mengerucutkan bibir.Sang papa sampai mengusap wajahnya berulang kali melihat kedua bocahnya yang tidak bisa menerima bahwa mereka akan punya adik.Risti tidak terlalu ambil pusing dia masih bisa tersenyum dan mengusap lengan suaminya. "Udah nggak usah di pikirin, Yang. Biasa itu terjadi, nanti pelan-pelan kita kasih penjelasan pasti ngerti." kata Risti menenangkan suaminya. "Kamu lihat itu bibir maju semua, heran aku, anak siapa sih mereka? Perasaan aku nggak gitu deh Yang," gerutu Tony."Haha, emang Kamu ingat Yang, Kamu pikir aku gitu? Aku ini anak yang baik budi loh waktu kecil, bahkan sampai dewasa?" tanya Risti tak percaya.Tony menggedikkan kedua bahunya.Kini mereka telah sampai dirumah. Kedua anakn

  • Pernikahan Kedua    Astaga Sayang, Bagaimana Ini?

    Pernikahan Kedua Astaga Sayang! Bagaimana Ini? Bab 145Tidak ada cara yang bisa membujuk Liu malam itu. Risti menemaninya di kamar bermain sebentar dan membacakan dongeng sebelum Liu tertidur.Risti bangkit dari tempat tidur setelah merasa Liu sudah terlelap. Dia segera beranjak keluar. Harus melihat kondisi putrinya. "Yah, Ras! Aku pergi dulu, kalau Liu bangun sebisa mungkin bujuk dia ya!" ucap Laras. Dia akan menyetir sendiri malam ini karena suaminya sudah pergi sejak tadi."Hati-hati Ris!" pesan ayahnya sebelum Risti berangkat. Liu benar-benar hanya ingin mamanya, bahkan dengan Tony pun dia tidak mau. Dia seperti anak yang takut di tinggalkan oleh sang mama. Tidak butuh waktu yang lama, Risti telah sampai dirumah sakit, dia langsung menuju kamar rawat Adelia. Disitu sudah ada suaminya yang sedang menatap putrinya dalam diam.Dia langsung menghampiri putrinya. "Bagaimana keadaannya, Sayang?" tanyanya sambil menatap wajah lelap Adelia. "Dia gelisah terus, mau tak mau dokter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status