Share

Nirmala Hamil

Pernikahan Kedua

Nirmala Hamil

Bab  6

Berpapasan dengan beberapa karyawan membuat ekspresiku berubah. Pasalnya ada yang melihat tersenyum, namun lebih banyak yang sinis. Ini pasti karena hari pertama aku dekat dengan papa. Mereka mengira aku ini benar selingkuhan bos mereka. 

Terkadang lucu juga.

Berbelok menuju ruang kesehatan. Aku membetulkan bentuk kacamata. Kali ini aku pakai yang bening. Norak juga kalau pakai yang hitam di dalam kantor. Seperti orang yang mau liburan di pantai.

"Mas, Kamu harus segera nikahi aku!"

Deg

Aku tak jadi membuka pintu yang handlenya sudah kupegang. Didalam ternyata sudah ada Mas Tama.

"Iya, Sayang. Mas pasti akan menikahi, Kamu. Mas, kan sudah janji. Pokoknya secepatnya," balas Mas Tama. Kenapa aku perih mendengarnya? Ada apa sebenarnya ini? 

Aku mulai menduga hal yang sensitif pasti terjadi. 

"Pokoknya secepatnya, Mas. Jangan sampai Ayah tau aku hamil." Terdengar suara Nirmala yang memaksa. 

Apa? Hamil? Benar dugaanku.

"Stttt, jangan keras - keras, nanti ada orang yang mendengar."

Yang kupikirkan selalu tak tepat, kupikir sebatas baru kenal ternyata sudah dekat, sekarang kupikir hanya berhubungan dekat, namun ternyata sudah sampai ketahap intim. 

Berapa lama aku Dikhianati, Mas? Luruh juga air mata ini. Bodohnya aku tak menyadari sudah di selingkuhi selama ini. 

"Loh, Bu Riri sedang apa disini?" 

Cepat-cepat kuhapus air mataku sebelum Gilang melihatnya. 

"Ak-Aku ingin menjenguk Nirmala. Kata Risti ia tadi pingsan dan dibawa kesini. Kamu sendiri ngapain kesini?" Sebelum Gilang menyadari aku menangis cepat aku bertanya. 

"Mau memanggil Pak Tama. Ada pekerjaan yang sedikit salah tadi." 

"Oh, silahkan!" 

"Ibu juga belum masuk, kan? Yaudah Ibu duluan!" 

Aku pun membuka handle pintu. Mas Tama menatapku lekat. Apa jangan - jangan ia mendengar Gilang memanggil nama Riri?

"Pak Tama, ada pekerjaan yang harus di perbaiki lagi. Saya kira ini sudah lebih dari lima belas menit." Gilang menatap jam tangannya. 

"Oh iya, Pak Gilang. Saya segera kembali," jawab Mas Tama cepat. 

"Duluan Bu Ri..." 

"Iya-iya Pak Gilang." Secepatnya kupotong ucapannya. Hampir saja. Gilang ini pasti lupa kalau aku sengaja menutupi diriku dari Mas Tama.

"Nirmala, Mas balik ya, nanti pulangnya biar Mas yang antar." Mas Tama mengelus pipi Nirmala. Nirmala tersenyum tipis diperlakukan mesra oleh pasangannya pastilah membuat bahagia. 

Nirmala mengangguk. Aku memalingkan wajah, dulu Mas Tama juga memperlakukanku begitu.

"Permisi, Bu!" Iapun pergi dari ruangan ini. 

"Bu Riri, maaf!" ucap Nirmala. Tinggal kami berdua di dalam. 

"Tak apa. Risti yang bilang kalau, Kamu pingsan. Makanya Saya kesini. Ada apa Nir, kok bisa sampai pingsan?" Pura-pura tidak tahu apa penyebabnya pingsan. 

"Masuk angin, Bu. Soalnya lupa sarapan tadi." Jawabnya dengan lancar. Mungkin sudah dipersiapkan juga bila ada yang bertanya. 

"Masuk angin atau masuk..." sengaja kugantung kalimatku. 

"Masuk apa, Bu?" Keningnya berkerut, menunggu kelanjutan kalimatku. 

"Begini loh, Nir. Dulu ibu punya teman saat kuliah, dia sering pingsan, namun kalau ditanya bilangnya masuk angin. Eh, beberapa bulan kemudian perutnya membesar. Ternyata selama ini dia hamil." Aku mengarang cerita. Untuk sedikit membuatnya takut. 

Wajah Nirmala tampak tak tenang. " Kenapa Nir, Kamu kok jadi gelisah gitu?"

"E, enggak kok, Bu. Mungkin karena saya masih lemas ini." Alasannya. Namun terlihat jelas wajahnya resah. 

"Jangan takut, Kamu kan nggak seperti itu Nir." 

"Apa Ibu berpikir aku..." 

Aku menggeleng cepat. "Nirmala walaupun kita baru kenal, Saya yakin Kamu orang baik," jawab ku enteng. 

Pukul lima sore waktunya pulang. Nirmala dibawa oleh Mas Tama dengan mobilnya. Setelah melaju, Aku menatap Risti yang sepertinya menunggu kendaraan lewat. 

"Ayo Ris!" ajak ku. Kulihat ia mendekat. Sepertinya dia tak sungkan lagi. 

"Rumah Saya jauh loh, Bu." Rupanya ia ingin mengatakan itu. 

"Tak apa, ayo naik, sekalian Saya mau mutar-mutar," ajak ku lagi. 

Ia tersenyum. "Ok, Bu!" 

Tanpa kuberi tahu Risti naik di depan. "Bu, kalau begini terus kan enak, hehe. Uang Saya nggak berkurang untuk ongkos." Risti memang orangnya blak-blakan tapi aku suka. 

Aku hanya tersenyum. 

"Beli motor aja Ris, kan lumayan irit." 

"Yaelah, Bu. Boro-boro beli motor. Beli baju saja kudu mikir lama." 

Aku terdiam mencerna kalimatnya barusan.

"Memangnya berapa gajimu Ris?" penasaran aku. Tapi memang yang ku tau gaji di kantor cabang itu berbeda dengan yang di kantor pusat. 

"Pokok tiga juta, Bu. Kalau ada lembur biasanya mencapai empat juta setengah. Nggak tau kalau di kantor pusat sekarang. Saya kan belum pernah gajian, Bu. Hehe." 

"Masak Ibu tidak tau?" lanjutnya. 

"Saya kan tidak mengurus bagian keuangan, dan lagi saya itu baru bekerja seminggu sebelum kalian pindah ke kantor pusat," jawabku. 

"Masak sih, Bu. Tapi Ibu sudah dipercaya megang proyek besar." Wajar kalau Risti tak percaya. 

"Ris, sebenarnya Saya ini anak Pak Danu Subrata." Ku akui saja didepan Risti. 

Risti menutup mulutnya. Tampak ia terkejut. 

Aku tersenyum menatapnya. 

"Ya ampun, ternyata Ibu..." 

Aku mengangguk cepat. "Tapi jangan bilang siapapun di kantor."

Risti mengerutkan keningnya, tampak ia berpikir. "Oh, pantesan ada gosip, Ibu katanya selingkuhan Pak Bos." 

"Iya, itu karena pas Saya kesini, gandengan sama papa. Mereka nggak tau saya ini anaknya." 

"Ibu keren, bisa menutupi jati diri ibu. Jadi itu alasannya ibu pakai masker dan kaca mata di kantor?" 

"Bukan Ris. Kalau itu alasan yang lain lagi. Tapi saya nggak bisa kasih tau, Kamu. Lain kali saja." 

"Ibu ini banyak rahasianya." 

*

Pov  Tama

Sial! Kenapa Nirmala bisa ceroboh ya. Padahal Aku sudah bilang dia untuk mengkonsumsi pil kontrasepsi. Kalau begini Aku harus cepat menikahinya. 

Jujur sebenarnya aku senang, akhirnya akan segera punya anak. Tapi perceraianku pun belum selesai dan uangku pun belum dikembalikan Riri. 

Setelah mengantar Nirmala, aku akan bicara pada ibu. Dia pasti senang ini karena mau dapat cucu. Apalagi dari Nirmala ananak orang terpandang, ayahnya seorang Camat. 

Kebetulan Ibu ada dirumah. Segera ku buka sepatu lalu menyalim tangan ibu yang sedang duduk diteras. 

Aku sangat menyayangi dan menghormatinya. Ialah orang yang selalu menerimaku apa adanya. Demi dia aku rela menceraikan Riri. 

Dulu dia memang kurang setuju sebab tak tau keluarga kandung Riri. Seiring berjalannya waktu ia menceritakan keburukan Riri selama ini. Mulai dari meminta uang dan membeli motor saat kuberikan padanya uang bonusku. 

Uang yang kuberikan pada ibu pun di mintanya secara paksa. Padahal aku sudah memberinya dua juta sebulan. Sedangkan pengeluaran dibantu oleh ibu selama ini.

"Bu, Tama mau bicara." Aku duduk disamping Ibu. Ia menatapku. 

"Nirmala hamil, Bu," 

"Hamil?" 

Aku mengangguk. "Ibu senang?" tanyaku. 

"Tentu saja, Ibu akan punya besan kaya dan jelas. Ayo segera kita lamar Nirmala." Ibu tampak bahagia, responya cepat. 

"Tama belum cerai, Bu." Aku mengingatkan statusku saat ini. 

"Itu nggak jadi masalah, Tam. Kamu ini kan laki-laki. Kalau nunggu cerai kelamaan keburu perut Nirmala besar. Kamu mau ayahnya tau?" 

Ah iya, Ibu benar. Ini tak bisa lagi ditunda. "Tapi, Bu. Kita nggak punya uang lagi untuk hantaran. Gajiku bulan ini pasti tak cukup. Kalau saja Riri nggak mengambil uang kita." Aku teringat lagi pada istri sialan yang tidak tau terimakasih itu.

"Sudahlah, Tam. Ikhlaskan saja uang itu." jawab ibu. Ibu memang baik, meskipun Riri tak sayang padanya tapi, ia bisa ikhlas. Ah ibu. Beruntungnya aku lahir dari rahimmu. 

"Ibu ada ide!" 

"Apa, Bu?" 

"Kita gadaikan saja sertifikat rumah ini. Kan lumayan untuk seserahan, sisanya biar Ibu yang simpan," usul ibu. 

"Gimana nanti bayarnya, Bu?" Aku agak keberatan. Teringat teman-temanku yang punya cicilan ke bank rata-rata semua mengeluh. Meskipun dihitung dari gaji mereka cukup namun tetap saja ada keluhan. 

"Tama, kalian, kan sama-sama bekerja. Ibu rasa Nirmala tak akan keberatan bila membantu. Mita juga sudah hampir lulus. Dia bisa cari pekerjaan setelahnya." Benar memang yang dikatakan ibu. 

Mau darimana lagi aku dapat uang, sedangkan Riri belum tentu uang itu masih ada. Melihat gayanya sekarang ini. Pasti sudah dihambur-hamburkannya. Belum lagi dia menyewa pengacara untuk kasus perceraian kami. 

Tanpa menunda waktu, aku dan ibu berangkat kerumah Nirmala. Kami disambut hangat. Sebelumnya tadi aku sudah mengabari Nirmala. 

"Silahkan duduk, Bu. Nak Tama!" Tante Ratih mempersilahkan kami duduk. 

Setelah berasa basi. Aku mengutarakan niatku ingin mempersunting Nirmala dan niatku disambut baik. 

"Kami minta uang hantaran sebesar tiga ratus juta dan mahar Nirmala senilai seratus juta. Bagaimana?" tanya Om Heru ayah Nirmala. 

Aku dan ibu saling menatap. Dua ratus juta, besar sekali menurutku.

"Apa tidak bisa di kurangi, Pak?" tanya ibu. Mencoba untuk nego. 

"Maaf Nak Tama, itupun kami masih harus nambah untuk biaya resepsi," jawab Om Heru.

"Kalau begitu, kami setuju. Minggu depan akan kami bawa kesini." Seenaknya ibu memutuskan tanpa berunding dulu denganku. 

Kami pun pamit. Aku sudah tak sabar bertanya pada ibu. Kenapa ia setuju saja. Total tiga ratus juta yang harus kukeluarkan itupun masih ada biaya lainnya nanti. Cukup pusing aku. 

"Bu, kenapa main setuju saja sama permintaan Om Heru. Uang dari mana itu, Bu? Belum lagi biaya yang lainnya nanti." 

"Ya ampun Tama, kenapa perhitungan sekali, Kamu, apa salahnya kita sanggupi permintaan mereka. Toh itu belum seberapa dibanding yang Kamu terima nanti."

"Apa maksud ibu?" Aku masih belum paham. 

"Tama, Kamu nggak lihat, rumah mereka tadi, besar dan bagus. Nirmala itu anak satu-satunya, Tam. Otomatis semua aset ayahnya nanti akan jatuh ketangan Nirmala. Dan lagi ibu dengar mereka punya kebun sawit luas di daerah Kalimantan." Ibu ini seperti orang matre saja. Kok bisa ya ibu tau tentang keluarga Nirmala sedetail itu? 

"Entahlah, Bu. Sekarang aku pusing, mau cari tiga ratus juta dimana?" Tak mungkin aku mengajukan pinjaman keperusahaan kan, kalau pun dikasih, paling mentok di angka seratus. 

Auto pusing aku. 

Dari kejauhan, terlihat mobil berhenti didepan rumah kami. Aku berhenti menatap kedepan. Mita? Siapa yang mengantarnya? 

Mobil itu pergi setelah Mita turun. "Apa Mita sudah punya pacar, Bu?" tanyaku penasaran. Ibu pasti lebih tau tentang Mita. 

"Nggak tau, Tam. Mungkin itu yang ngantar  temannya dia," jawab ibu tenang. 

Mobil yang mengantar Mita pergi setelah dada dada. Mita tersenyum girang, lalu masuk kedalam pagar.

"Pake senyum-senyum, pasti itu pacarnya, Bu. Kalau teman nggak mungkin Mita segirang itu," asumsiku. Gegas kujalankan mobil memasuki pekarangan rumah. 

"Kalaupun pacar emang kenapa, Mita itu sudah besar, sudah pantas lah punya pacar. Apa lagi kalau pacarnya punya mobil, susah pasti orang kaya Tam." Sepertinya ibu mendukung perbuatan Mita. Tak bisa dibiarkan ini. Dulu sebelum kuliah Mita sudah berjanji agar tak pacaran hingga lulus. 

Mita itu orangnya gampang terpengaruh.

"Mit! Mita!" kuketuk pintu kamarnya.

Ceklek

"Ada apa, Kak?" tanya Mita, kini ia sudah berganti dengan piyama. 

"Dari mana tadi?" Langsung saja kutanya. Aku tak ingin basa basi. 

"Ngerjain tugas bareng teman," jawab Mita santai. 

"Itu tadi yang ngantar  Kamu siapa?" 

"Kakak kenapa sih, pertanyaannya aneh." 

"Tinggal jawab saja Mit. Awas ya kalau kakak tau siapa yang mengantarmu tadi!" ancam ku. Biar Mita takut kalau ingin dekat sama cowok. 

"Over protektif banget sih, Kak. Mita ini udah gede, udah mau lulus juga. Emang kenapa kalau punya cowok?" Mita seolah menantangku. 

"Ingat janji  Kamu dulu." Aku mengingatkannya lagi. 

"Iya, iya bawel," gerutu Mita. 

Prak

Pintu ditutup dari dalam. Aku menghapus dada karena kaget. 

"Ibu!" dua kali aku kaget, Ibu ternyata sudah berdiri dibelakangku. 

"Tam, barusan teman ibu ngechat. Katanya anaknya kerja di bank. Dia bisa mengeluarkan lima ratus juta." Mata ibu berbinar mengatakannya. Ibu ini buru-buru sekali ingin pinjam uang.

"Lima ratus juta itu banyak sekali, Bu. Gimana kita membayar bulanannya nanti?" Membayangkan nya aku kok mual ya. 

Memang sih selama ini aku tak pernah berurusan dengan bank. Tapi dari pengalaman teman, aku takut juga. 

"Kecil itu, Tam. Gajimu saja lima belas juta, belum lagi nanti gaji Nirmala. Mita juga udah mau lulus, nggak butuh biaya lagi." Ibu seolah mengentengkan segalanya. 

Aku malas membahasnya, lebih baik tidur sajalah. Besok baru diputuskan tentang menggadaikan rumah ini. 

Lima ratus juta bukan jumlah yang sedikit. Tapi Ibu seenaknya saja ngomong. Yang pusing pun aku juga. Capek. Kenapa jadi rumit gini ya?

Dulu waktu melamar Riri. Aku hanya kasih mahar. Gak sampai dua puluh juta. Mumet aku. 

"Gimana, Tam? Jadi hari ini ke bank?" tanya ibu. 

Ah, Ibu ini pagi-pagi sudah bikin mood rusak. Nggak bisa apa nanti dibahas. 

"Jangan kelamaan mikir. Ingat minggu depan uangnya harus ad," tambah ibu lagi. Aku yang semula ingin sarapan mengurungkan niatku. Padahal aku ingin cari dulu pinjaman tak berbunga diluar. 

"Ke bank? Ngapain, Bu?" Mita lagi, entah kenapa menyahut ibu. Mita mendudukan dirinya di sampingku. 

"Kakakmu mau ambil uang ke bank," sahut ibu sambil mengunyah sarapannya. 

"Untuk apa, Bu?" tanya Mita lagi. 

"Untuk uang hantaran Nirmala, tadi malam ibu dan Kakakmu udah kesana." Mereka berbicara seolah tak ada aku. 

"Kok aku nggak di ajak, Bu?" 

"Kamu saja pulangnya malam, gimana mau di ajak," cerocos ibu. 

"Bu, Aku berangkat dulu ya!" lebih baik pergi saja. Lama disini akan membuatku terpengaruh nantinya. 

"Loh, sarapanmu, Tam!" ibu menunjuk piringku yang belum kusentuh makanannya. 

"Gak selera, Bu." 

"Ya udah, hati-hati!" ucap Ibu. Aku tak menjawab lagi. Biarlah mereka yang membahasnya. Toh itu tak akan terjadi tanpa seizinku. 

Sebelum jam kerja dimulai, ku ajak Nirmala ngobrol sebentar lagi. 

"Kamu nggak pusing lagi?" Kutatap wajahnya yang sudah berseri. 

"Tidak, Mas. Aku sehat," maksudku. 

"Nir, nanti kita ngomong ya pas jam makan siang, ada hal penting yang mau Mas omongin ke Kamu," pintaku Anda. 

"Baik Mas. Nanti kita ketemu di kantin saja," ucapnya. Aku mengangguk. 

Semoga saja Nirmala punya uang setidaknya ia bisa menolong, toh ia kini tengah hamil pastilah ia tak akan mendukung nanti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status