Sejak rekaman itu masuk ke rektorat, suasana kampus berubah drastis. Tatapan sinis, bisik-bisik menusuk, dan komentar licik menghantui setiap langkah Naya. Ia seperti berjalan di atas pecahan kaca, tiap hari menahan luka yang tak kasat mata tapi terasa menyakitkan.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah sikap Arga. Bukannya menghindar, ia justru semakin terbuka. Tidak lagi sembunyi di balik dinding formalitas, tidak lagi berbicara dengan nada datar tanpa emosi. Ia tahu ini waktunya bicara. Bukan hanya untuk menyelamatkan reputasinya. Tapi juga ... untuk menjelaskan pada Naya mengapa semua ini tak sesederhana yang ia bayangkan. Tampaknya Naya salah menduga. Apa yang terlihat di permukaan hanya sekelumit masalah yang kebetulan melibatkan dirinya sebagai "tumbal" masa lalu yang belum usia. Namun sebenarnya masalah yang mengguncang saat ini tidaklah sesederhana yang ia kira. “Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini,” kata Arga pagi itu, berdiri di ambang pintu kamar Naya. Dan seperti biasa, ekspresinya selalu sama. Datar. Naya mendongak dari meja belajarnya. “Kenapa? Kita biasanya jalan sendiri-sendiri.” Arga menatapnya. Menghela nafas panjang dengan tatapan tetap pada fokus yang sama. Naya. “Karena kamu gak sendirian sekarang. Kita udah jadi satu tim. Dan aku gak akan biarin kamu hadapi ini sendirian lagi.” Naya tak tahu harus menjawab apa. Di matanya, Arga berubah. Bukan menjadi hangat, tapi menjadi nyata. Dinding tak kasat mata yang membentengi mereka perlahan menipis. Di perjalanan, mobil Arga dipenuhi keheningan. Hanya suara desau mesin lembut yang nyaris tak terdengar. Hingga akhirnya Arga bicara. “Orang yang kirim rekaman itu... mantan tunanganku. Namanya Dita.” Tanpa bertanya, sedikit demi sedikit Arga membuka sendiri misteri yang menyelimuti dirinya. Naya menoleh cepat. Kedua matanya sedikit membelalak. Antara tidak percaya dan takut salah dengar. “Dosen Dita? Dosen hukum yang barusan cuti?” Tanpa menoleh Arga menjawab, “ya. Dia yang dulu batalin pernikahan kami. Tapi ternyata ... dia gak pernah benar-benar pergi.” Arga menghembuskan nafas berat. Pria yang terkenal killer itu menggenggam setir erat. “Kami dulu sama-sama ambisius. Sama-sama punya mimpi besar. Tapi mimpi kami bertabrakan. Ketika aku memilih bertahan di kampus ini demi jabatan tetap, dia memilih meninggalkan semuanya. Termasuk aku.” Naya menyimak tanpa menyela. Sebagai mahasiswa yang terbiasa fokus mendengar penjelasan dosen, ia tidak tergesa-gesa untuk bertanya. Menunggu penjelasan Arga sampai selesai. “Lalu beberapa bulan lalu, dia kembali. Diterima lagi sebagai dosen tamu. Aku pikir semuanya sudah selesai... tapi ternyata tidak,” lanjut Arga. Lagi-lagi Arga menghela napas berat. “Dia tahu aku bisa jadi Ketua Program Studi berikutnya. Dan dia tahu, satu skandal kecil saja bisa menghancurkan jalanku ke sana.” “Jadi... dia ingin kamu jatuh?” Akhirnya Naya tak tahan untuk tidak bertanya. “Ya. Dan kamu... kamu hanya bidak dalam permainan balas dendamnya.” Arga semakin mempererat genggamannya pada stir. Ada rasa tak rela membiarkan Naya menjadi korban dalam permainan Dita, mantan tunangannya. Naya menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit. “Tapi kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?” Arga menoleh padanya sekilas. “Karena kamu mahasiswa bimbinganku. Perempuan. Pintar, tapi rentan. Mudah dipelintir citranya. Seperti ... beberapa waktu lalu.” Spontan Naya menoleh. Mendadak pikirannya penuh. Lalu ia berkata; "apa maksudnya dengan "beberapa waktu lalu"? Hening kembali menyelimuti mobil. Tapi ada yang berubah di dada Naya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya sebagai korban situasi. Ia jadi sadar: ia telah ditarik masuk ke dalam konflik kekuasaan dan luka lama yang lebih dalam dari sekadar cinta yang kandas. Bahkan sampai kuliahnya pun dijadikan mainan. Dan sekarang, ia tak bisa mundur. Ia sudah terlanjur terlibat, lebih tepatnya dilibatkan. Maka dia harus maju bersama Arga, lelaki yang menjadi suaminya. "Apa mungkin plagiarisme itu skenarionya juga?" Naya tak bisa untuk tak mengaitkan hal itu dengan masalah yang terjadi saat ini. Arga mengangguk. Membuat baju Naya langsung merosot. Jika Arga tahu kalau itu bagian dari skenario Dita, kenapa dia bersikeras untuk membuatnya mengulang penelitian dan memberi batas waktu yang tidak manusiawi? "Kalau tahu kenapa justru menyalahkanku? Kenapa memaksaku untuk mengulang padahal Anda tahu saya kekurangan dana." Naya mengubah sapaannya menjadi lebih formal. Namun Arga tetaplah Arga, dosen killer yang dingin. Dia hanya menoleh tanpa berniat untuk menjelaskan. Padahal Naya sangat penasaran. Bayangkan dia harus kerja rodi selama enam bulan tanpa mengenal lelah. Mental dan fisiknya dihajar habis-habisan oleh lelaki di sebelahnya ini. Malamnya, Naya kembali ke apartemen lebih dulu. Arga masih harus rapat dengan dekanat terkait investigasi rekaman. Ia menunggu di ruang tengah, gelisah. Ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan tak menyenangkan dari akun anonim. > “Mahasiswa jalang. Bisa-bisanya tidur sama dosen demi skripsi.” > “Nikah pura-pura? Tolol. Semua orang bisa lihat kamu hanya pion.” Tangannya gemetar. Tapi ia bertahan. Ia sudah terlalu jauh untuk menyerah. Namanya sudah terlanjur terseret. Pilihannya hanya dua, bertahan dan tetap berada di samping Arga hingga permainan selesai, atau mundur tapi reputasinya hancur. Pintu terbuka dari luar. Saking asiknya otak Naya berkelana, ia sampai tidak mendengar suara bunyi hendel pintu dibuka. Arga masuk, dengan ekspresi keras yang membuat Naya bangkit. “Gimana?” tanyanya cepat. Arga menggeleng. “Mereka masih ragu. Rektor minta bukti bahwa pernikahan kita bukan rekayasa. Kalau tidak, statusku bisa dibekukan. Dan kamu... bisa diskors.” Darah Naya serasa berhenti mengalir. “Apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya dengan suara kecil. Arga menatapnya. Lama. Lalu ia bicara dengan nada berbeda—lebih tenang, tapi dalam. “Aku tahu ini melewati batas, tapi satu-satunya cara untuk membuktikan pernikahan ini nyata adalah dengan ... tinggal serumah sebagai suami-istri sungguhan. Tanpa dua kamar. Tanpa jarak.” Naya membeku. “Maksud kamu...?” “Foto, bukti tinggal bersama, bahkan mungkin pengawasan dari pihak kampus. Mereka butuh alasan untuk percaya bahwa ini bukan akting.” Naya menahan nafas. Dari awal pernikahan mereka terjadi karena situasi, bukan seperti pernikahan normal lainnya. “Dan kamu yakin ini bukan cara Dita untuk memaksa kamu jatuh lebih dalam?” Wajah Arga tampak tenang. Tidak ada keraguan sama sekali. “Aku yakin. Tapi aku juga tahu, kalau kita gak melawan sekarang, dia akan menang.” Naya berdiri perlahan. Melangkah ragu mendekati suaminya. “Kamu siap mempertaruhkan semuanya? Jabatan, karier... nama baik?” Arga menatap lurus ke matanya. Mencari sesuatu untuk menguatkan keyakinannya di mata mahasiswa bimbingannya yang terpaksa berubah status jadi istri. “Sudah sejak kita menandatangani kontrak itu, aku tahu semua ini bisa berakhir buruk. Tapi ada satu hal yang membuat aku terus jalan...” Arga menggantung kalimatnya. “Karena kamu merasa bersalah?” potong Naya. “Bukan. Karena kamu satu-satunya orang yang gak pernah cari aman sejak awal.” Untuk pertama kalinya, Naya tak sanggup membalas. Ia hanya berdiri di sana, menahan air mata yang tak tahu kenapa mulai menggenang. Dan malam itu, ia membereskan barang-barangnya dari kamar kiri... dan untuk pertama kalinya juga, tidur di ruangan yang sama dengan Arga, si dosen killer. Tak ada sentuhan. Tak ada rayuan. Hanya dua orang yang terlalu lelah berbohong pada dunia—dan mulai jujur pada rasa takut mereka masing-masing. Namun, saat malam bergulir dan Naya akhirnya terlelap, Arga duduk di sisi tempat tidur, membuka laptop dan membaca dokumen rahasia dari email yang dikirim seseorang tak dikenal. Isinya mengejutkan. Dita bukan hanya ingin menjatuhkannya. Ia juga sedang menyusun laporan ke Kementerian Pendidikan, menyebut bahwa Arga pernah menjalin hubungan tidak etis dengan mahasiswa bertahun-tahun sebelum Naya. Dan jika laporan itu sampai ke atas, bukan hanya karier Arga yang tamat. Tapi pernikahan pura-pura mereka bisa berubah menjadi skandal nasional.Senin pagi. Langit kampus tertutup mendung tipis, tapi lorong-lorong gedung MIPA tetap ramai oleh mahasiswa yang lalu-lalang. Di ruang dosen, Arga duduk sendirian di balik meja barunya. Tumpukan berkas program kerja dan proposal magang berserakan di sekelilingnya. Tapi perhatiannya tak ada di situ.Tangannya menggenggam lembar hasil pembacaan resonansi dari alat buatan Raka. Nama Nadine Cahyani tertulis di bagian atas, disertai grafik naik-turun yang tak wajar.Di sudut grafik, satu catatan kecil tertulis dengan tinta merah:> "Sinkronisasi emosional terlalu presisi untuk manusia biasa."---Sementara itu, Naya duduk di salah satu bangku taman belakang. Laptop di pangkuannya terbuka, menampilkan jurnal baru yang sedang ia kerjakan: Studi Perilaku Mahasiswa dalam Situasi Tekanan Akademik. Tapi pikirannya melayang.Beberapa langkah darinya, Nadine dan dua temannya sedang tertawa keras. Nadine sengaja duduk menghadap ke arah Naya, seolah menantangnya. Tapi bukan itu yang membuat Naya tak
Suara pelantikan resmi menggema di aula utama kampus. Di bawah sorotan lampu panggung, Arga berdiri tegak dengan wajah tenang, menerima simbol jabatan baru sebagai Ketua Program Studi MIPA. Sorakan kecil terdengar dari barisan mahasiswa, sebagian karena bangga, sebagian lagi karena—jujur saja—Arga memang punya pesona akademik yang mematikan. Tampan, cerdas, dan sekarang punya jabatan strategis.Namun di sudut belakang ruangan, Naya berdiri tanpa banyak ekspresi. Ia tersenyum kecil, bangga dalam diam. Tapi saat tatapannya menyapu barisan kursi mahasiswa, ia bisa merasakan beberapa pasang mata yang menusuk. Bukan kagum. Tapi sinis. Dingin.Satu di antaranya milik Nadine—mahasiswi semester empat, aktif di organisasi, dan terkenal karena punya selera tinggi soal “cowok ideal”.“Kukira dosen killer itu akan tetap jadi legenda tanpa jabatan,” bisik Nadine ke temannya, cukup keras untuk didengar siapa pun yang berdiri dalam radius tiga meter. “Tapi ternyata... ada ‘faktor lain’ yang bantu di
Langit mulai berganti warna saat matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung kampus. Cahaya jingga menembus jendela kaca ruang klinik, menggambarkan siluet tenang dari Arga yang masih duduk di sisi ranjang Naya. Ia belum beranjak sejak siang. Tangannya tetap menggenggam tangan Naya seolah jika ia melepaskannya, sesuatu yang gelap akan menyelinap masuk.Naya menggeliat pelan. “Jam berapa sekarang?” suaranya serak, tapi sadar.“Sore. Kamu sempat tidur sebentar,” jawab Arga, mengusap lembut rambutnya yang sedikit berantakan. “Raka sudah datang tadi, tapi kamu belum bangun. Dia lagi koordinasi sama Karina. Kita nggak akan tinggal diam, Na.”Naya menarik napas dalam. Pikirannya masih dipenuhi gema suara-suara asing—frekuensi yang tak bisa dijelaskan oleh sains biasa. Tapi di antara semua itu, ada satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak sendiri. Dan Arga adalah jangkar yang terus menahannya agar tidak tenggelam.“Aku nggak mau cuma jadi objek, Ga. Kalau ORION mau masuk lewat aku, aku j
Kampus Universitas Cendekia Raya kembali ramai setelah libur panjang. Pohon-pohon flamboyan bermekaran di sepanjang jalan masuk, memberikan semburat merah di tengah langit biru. Mahasiswa lalu-lalang dengan tas penuh buku dan wajah bersemangat. Namun di tengah keramaian itu, ada aura yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa menekan, seperti hawa lembap sebelum hujan deras turun.Arga berjalan berdampingan dengan Naya di koridor fakultas. Hari pertama Naya sebagai mahasiswa S2 di kampus ini, dan entah kenapa, sorotan mata dari beberapa mahasiswa terasa terlalu tajam. Seolah kehadirannya membawa riak yang mengganggu permukaan air yang tenang."Apa aku terlalu mencolok?" bisik Naya, mengeratkan tas selempangnya. Matanya menyapu sekeliling, mencoba mencari tahu dari mana sumber rasa tidak nyaman itu."Bukan kamu. Mereka cuma penasaran," jawab Arga pelan. Tapi hatinya tidak sepenuhnya tenang. Sejak seminggu lalu, beberapa dosen mulai bertanya padanya, secara tersirat maupun lan
Tiga bulan berlalu bagai embusan napas panjang. Tiga bulan yang diisi dengan percakapan telepon panjang antara Arga dan Naya, bukan lagi tentang keraguan, melainkan tentang perencanaan masa depan. Naya telah mengurus kepindahannya dari universitas di luar negeri, sebuah proses yang rumit namun ia jalani dengan tekad baja. Setiap dokumen yang ia tanda tangani terasa seperti langkah maju, semakin mendekatkannya pada Arga, semakin menjauhkan dirinya dari bayangan yang sempat menghantuinya.Hari itu, bandara Soekarno-Hatta tampak lebih ramai dari biasanya. Naya melangkah keluar dari gerbang kedatangan internasional, jantungnya berdegup kencang. Udara Jakarta yang hangat membelai kulitnya, terasa akrab sekaligus asing setelah sekian lama. Ia mencari sosok Arga di antara kerumunan. Ada rasa gugup yang bercampur dengan kebahagiaan murni. Apakah setelah semua yang terjadi, mereka akan benar-benar baik-baik saja?Lalu ia melihatnya. Arga berdiri di sana, di balik barisan penjemput, memegang se
Hujan masih mengguyur kota, namun di apartemen Naya, badai yang lebih dahsyat berkecamuk di dalam benaknya. Bisikan-bisikan itu, yang semula hanya samar, kini semakin jelas, memutarbalikkan kenyataan. "Dia tidak pernah mencintaimu," desis sebuah suara. "Dia hanya berpura-pura. Kamu tahu dia menipumu. Pergi saja. Menjauh darinya."Naya mencengkeram kepalanya. Ini bukan pikirannya. Ia tahu itu. Kekacauan emosi yang ia rasakan terasa asing, seperti gaun yang terlalu besar dan tak nyaman di tubuhnya. Ia teringat kembali percakapannya dengan Arga, nada suara Arga yang terlalu yakin bahwa Naya "hanya merindukannya." Kebohongan yang terlalu jelas. Tapi kenapa Arga berbohong? Dan mengapa ia merasa begitu dicurigai, seolah ia adalah biang keladi dari semua masalah ini?Mata Naya tertuju pada foto lama di atas meja: Arga dan dirinya tertawa lepas di sebuah festival musik, dengan latar belakang langit senja yang memukau. Senyum mereka berdua tampak begitu murni, begitu nyata. Sebuah kilasan memo