Home / Rumah Tangga / Pernikahan Kilat Dosen Killer / Bab 6. Rahasia di Balik Sikap Arga

Share

Bab 6. Rahasia di Balik Sikap Arga

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2025-07-01 06:00:41

Sejak rekaman itu masuk ke rektorat, suasana kampus berubah drastis. Tatapan sinis, bisik-bisik menusuk, dan komentar licik menghantui setiap langkah Naya. Ia seperti berjalan di atas pecahan kaca, tiap hari menahan luka yang tak kasat mata tapi terasa menyakitkan.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah sikap Arga. Bukannya menghindar, ia justru semakin terbuka. Tidak lagi sembunyi di balik dinding formalitas, tidak lagi berbicara dengan nada datar tanpa emosi.

Ia tahu ini waktunya bicara. Bukan hanya untuk menyelamatkan reputasinya. Tapi juga ... untuk menjelaskan pada Naya mengapa semua ini tak sesederhana yang ia bayangkan. Tampaknya Naya salah menduga. Apa yang terlihat di permukaan hanya sekelumit masalah yang kebetulan melibatkan dirinya sebagai "tumbal" masa lalu yang belum usia. Namun sebenarnya masalah yang mengguncang saat ini tidaklah sesederhana yang ia kira.

“Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini,” kata Arga pagi itu, berdiri di ambang pintu kamar Naya. Dan seperti biasa, ekspresinya selalu sama. Datar.

Naya mendongak dari meja belajarnya. “Kenapa? Kita biasanya jalan sendiri-sendiri.”

Arga menatapnya. Menghela nafas panjang dengan tatapan tetap pada fokus yang sama. Naya. “Karena kamu gak sendirian sekarang. Kita udah jadi satu tim. Dan aku gak akan biarin kamu hadapi ini sendirian lagi.”

Naya tak tahu harus menjawab apa. Di matanya, Arga berubah. Bukan menjadi hangat, tapi menjadi nyata. Dinding tak kasat mata yang membentengi mereka perlahan menipis.

Di perjalanan, mobil Arga dipenuhi keheningan. Hanya suara desau mesin lembut yang nyaris tak terdengar. Hingga akhirnya Arga bicara.

“Orang yang kirim rekaman itu... mantan tunanganku. Namanya Dita.” Tanpa bertanya, sedikit demi sedikit Arga membuka sendiri misteri yang menyelimuti dirinya.

Naya menoleh cepat. Kedua matanya sedikit membelalak. Antara tidak percaya dan takut salah dengar. “Dosen Dita? Dosen hukum yang barusan cuti?”

Tanpa menoleh Arga menjawab, “ya. Dia yang dulu batalin pernikahan kami. Tapi ternyata ... dia gak pernah benar-benar pergi.” Arga menghembuskan nafas berat.

Pria yang terkenal killer itu menggenggam setir erat. “Kami dulu sama-sama ambisius. Sama-sama punya mimpi besar. Tapi mimpi kami bertabrakan. Ketika aku memilih bertahan di kampus ini demi jabatan tetap, dia memilih meninggalkan semuanya. Termasuk aku.”

Naya menyimak tanpa menyela. Sebagai mahasiswa yang terbiasa fokus mendengar penjelasan dosen, ia tidak tergesa-gesa untuk bertanya. Menunggu penjelasan Arga sampai selesai.

“Lalu beberapa bulan lalu, dia kembali. Diterima lagi sebagai dosen tamu. Aku pikir semuanya sudah selesai... tapi ternyata tidak,” lanjut Arga.

Lagi-lagi Arga menghela napas berat. “Dia tahu aku bisa jadi Ketua Program Studi berikutnya. Dan dia tahu, satu skandal kecil saja bisa menghancurkan jalanku ke sana.”

“Jadi... dia ingin kamu jatuh?” Akhirnya Naya tak tahan untuk tidak bertanya.

“Ya. Dan kamu... kamu hanya bidak dalam permainan balas dendamnya.” Arga semakin mempererat genggamannya pada stir. Ada rasa tak rela membiarkan Naya menjadi korban dalam permainan Dita, mantan tunangannya.

Naya menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit. “Tapi kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?”

Arga menoleh padanya sekilas. “Karena kamu mahasiswa bimbinganku. Perempuan. Pintar, tapi rentan. Mudah dipelintir citranya. Seperti ... beberapa waktu lalu.”

Spontan Naya menoleh. Mendadak pikirannya penuh. Lalu ia berkata; "apa maksudnya dengan "beberapa waktu lalu"?

Hening kembali menyelimuti mobil. Tapi ada yang berubah di dada Naya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya sebagai korban situasi. Ia jadi sadar: ia telah ditarik masuk ke dalam konflik kekuasaan dan luka lama yang lebih dalam dari sekadar cinta yang kandas. Bahkan sampai kuliahnya pun dijadikan mainan.

Dan sekarang, ia tak bisa mundur. Ia sudah terlanjur terlibat, lebih tepatnya dilibatkan. Maka dia harus maju bersama Arga, lelaki yang menjadi suaminya.

"Apa mungkin plagiarisme itu skenarionya juga?" Naya tak bisa untuk tak mengaitkan hal itu dengan masalah yang terjadi saat ini.

Arga mengangguk. Membuat baju Naya langsung merosot. Jika Arga tahu kalau itu bagian dari skenario Dita, kenapa dia bersikeras untuk membuatnya mengulang penelitian dan memberi batas waktu yang tidak manusiawi?

"Kalau tahu kenapa justru menyalahkanku? Kenapa memaksaku untuk mengulang padahal Anda tahu saya kekurangan dana." Naya mengubah sapaannya menjadi lebih formal.

Namun Arga tetaplah Arga, dosen killer yang dingin. Dia hanya menoleh tanpa berniat untuk menjelaskan. Padahal Naya sangat penasaran. Bayangkan dia harus kerja rodi selama enam bulan tanpa mengenal lelah. Mental dan fisiknya dihajar habis-habisan oleh lelaki di sebelahnya ini.

Malamnya, Naya kembali ke apartemen lebih dulu. Arga masih harus rapat dengan dekanat terkait investigasi rekaman. Ia menunggu di ruang tengah, gelisah. Ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan tak menyenangkan dari akun anonim.

> “Mahasiswa jalang. Bisa-bisanya tidur sama dosen demi skripsi.”

> “Nikah pura-pura? Tolol. Semua orang bisa lihat kamu hanya pion.”

Tangannya gemetar. Tapi ia bertahan. Ia sudah terlalu jauh untuk menyerah. Namanya sudah terlanjur terseret. Pilihannya hanya dua, bertahan dan tetap berada di samping Arga hingga permainan selesai, atau mundur tapi reputasinya hancur.

Pintu terbuka dari luar. Saking asiknya otak Naya berkelana, ia sampai tidak mendengar suara bunyi hendel pintu dibuka. Arga masuk, dengan ekspresi keras yang membuat Naya bangkit.

“Gimana?” tanyanya cepat.

Arga menggeleng. “Mereka masih ragu. Rektor minta bukti bahwa pernikahan kita bukan rekayasa. Kalau tidak, statusku bisa dibekukan. Dan kamu... bisa diskors.”

Darah Naya serasa berhenti mengalir.

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya dengan suara kecil.

Arga menatapnya. Lama. Lalu ia bicara dengan nada berbeda—lebih tenang, tapi dalam.

“Aku tahu ini melewati batas, tapi satu-satunya cara untuk membuktikan pernikahan ini nyata adalah dengan ... tinggal serumah sebagai suami-istri sungguhan. Tanpa dua kamar. Tanpa jarak.”

Naya membeku. “Maksud kamu...?”

“Foto, bukti tinggal bersama, bahkan mungkin pengawasan dari pihak kampus. Mereka butuh alasan untuk percaya bahwa ini bukan akting.”

Naya menahan nafas. Dari awal pernikahan mereka terjadi karena situasi, bukan seperti pernikahan normal lainnya. “Dan kamu yakin ini bukan cara Dita untuk memaksa kamu jatuh lebih dalam?”

Wajah Arga tampak tenang. Tidak ada keraguan sama sekali. “Aku yakin. Tapi aku juga tahu, kalau kita gak melawan sekarang, dia akan menang.”

Naya berdiri perlahan. Melangkah ragu mendekati suaminya. “Kamu siap mempertaruhkan semuanya? Jabatan, karier... nama baik?”

Arga menatap lurus ke matanya. Mencari sesuatu untuk menguatkan keyakinannya di mata mahasiswa bimbingannya yang terpaksa berubah status jadi istri.

“Sudah sejak kita menandatangani kontrak itu, aku tahu semua ini bisa berakhir buruk. Tapi ada satu hal yang membuat aku terus jalan...” Arga menggantung kalimatnya.

“Karena kamu merasa bersalah?” potong Naya.

“Bukan. Karena kamu satu-satunya orang yang gak pernah cari aman sejak awal.”

Untuk pertama kalinya, Naya tak sanggup membalas. Ia hanya berdiri di sana, menahan air mata yang tak tahu kenapa mulai menggenang.

Dan malam itu, ia membereskan barang-barangnya dari kamar kiri... dan untuk pertama kalinya juga, tidur di ruangan yang sama dengan Arga, si dosen killer.

Tak ada sentuhan. Tak ada rayuan. Hanya dua orang yang terlalu lelah berbohong pada dunia—dan mulai jujur pada rasa takut mereka masing-masing.

Namun, saat malam bergulir dan Naya akhirnya terlelap, Arga duduk di sisi tempat tidur, membuka laptop dan membaca dokumen rahasia dari email yang dikirim seseorang tak dikenal.

Isinya mengejutkan. Dita bukan hanya ingin menjatuhkannya.

Ia juga sedang menyusun laporan ke Kementerian Pendidikan, menyebut bahwa Arga pernah menjalin hubungan tidak etis dengan mahasiswa bertahun-tahun sebelum Naya.

Dan jika laporan itu sampai ke atas, bukan hanya karier Arga yang tamat. Tapi pernikahan pura-pura mereka bisa berubah menjadi skandal nasional.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 125. Tamat

    Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 124. Bertahan

    Kabut pagi mulai menipis, sinar matahari perlahan menembus permukaan laut. Perahu-perahu kecil Cahaya Laut terombang-ambing di hadapan kapal patroli yang menghalangi jalan. Suasana tegang menahan napas; dayung berhenti, ombak memukul lambung kayu.“Turunkan barang kalian sekarang juga!” suara dari pengeras kapal kembali menggema, kali ini lebih tegas.Arga berdiri tegak di perahu paling depan. Bajunya basah oleh cipratan ombak, tapi sorot matanya tidak bergeser sedikit pun. “Kami tidak mencuri, kami tidak melanggar hukum. Kami hanya membawa hasil laut kami sendiri. Kami punya hak untuk hidup!” teriaknya lantang, suaranya mengalahkan deru mesin.Pemuda di perahu belakang saling pandang. Joni menelan ludah, tangannya bergetar memegang dayung. “Mas… kalau mereka paksa, bagaimana?” bisiknya.Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap kapal besar. “Kalau kita mundur hari ini, kita akan mundur selamanya.”Naya berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya kuat. Ia menambahkan, suar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 123. Terguncang

    Pagi di Cahaya Laut tidak lagi setenang biasanya. Ombak memang tetap datang silih berganti, burung camar tetap berputar di udara, tapi udara terasa berat. Seakan angin membawa kabar yang tak enak.Sejak dini hari, desas-desus menyebar di antara warga. Ada yang mengatakan pejabat dari Jakarta membawa surat larangan, ada yang bilang kapal bantuan sengaja ditarik kembali, bahkan ada kabar burung bahwa sekolah desa bisa ditutup. Suasana riuh, penuh bisik-bisik cemas.Di halaman rumah kepala desa, warga sudah berkumpul. Ibu-ibu membawa anak kecil, para pemuda berdiri dengan wajah tegang, sementara bapak-bapak menatap lantai tanah dengan dahi berkerut.Pak Wira berdiri di beranda, memegang secarik kertas resmi berstempel kementerian. Tangannya bergetar, suaranya berusaha tegas.“Saudara-saudara, ini surat yang tadi malam disampaikan. Intinya jelas: semua kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pusat harus dihentikan. Kalau kita melanggar, ada sanksi—baik administrasi maupun hukum.”Suara

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 122. Berusaha Mandiri

    Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 121. Tak Kenal Lelah

    Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 120. Iri Pada Perkembangan Desa

    Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status