Home / Rumah Tangga / Pernikahan Kilat Dosen Killer / Bab 7. Perasaan yang Berubah

Share

Bab 7. Perasaan yang Berubah

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2025-07-02 15:00:58

Sudah seminggu sejak Naya dan Arga memutuskan untuk benar-benar tinggal serumah—tanpa jarak, tanpa kamar terpisah, tanpa dinding perlindungan dari status pura-pura. Dan dalam waktu sesingkat itu, sesuatu mulai berubah.

Tidak meledak seperti api. Tidak mendadak seperti guntur. Tapi perlahan … seperti senja yang bergeser jadi malam, nyaris tanpa disadari.

---

“Arga… kamu udah makan?” Naya bertanya sambil mengaduk mie instan yang baru ditiriskan dari panci. Kebiasaannya makan malam larut terbawa dari masa ngekost dulu.

Arga menoleh dari ruang kerja, kemeja masih rapi meski dasinya sudah ditanggalkan. “Belum. Aku masih ngerjain draft revisi kurikulum.”

Naya mengangkat bahu. “Ya udah. Aku bikin dua porsi, ya.”

Mata Arga tak menunjukkan penolakan, hanya seulas senyum tipis yang begitu langka dari wajah yang biasanya dingin seperti es di lemari.

“Terima kasih.”

Dan untuk pertama kalinya selama status mereka berubah dari dosen pembimbing dan mahasiswa menjadi suami istri, mereka makan malam di meja yang sama, bukan sekadar duduk berjauhan dengan mangkuk masing-masing. Tak ada percakapan berarti, hanya tawa ringan ketika Naya salah menyedot mie dan tersedak, dan Arga buru-buru menyodorkan air putih tanpa berkata-kata.

Hening yang ada di antara mereka bukan lagi dingin, melainkan nyaman.

---

Hari-hari berikutnya terasa ganjil, tapi bukan dengan cara yang buruk.

Naya mulai diam-diam memperhatikan hal-hal kecil tentang Arga yang dulu tak pernah ia tahu. Bahwa dia tidak suka kopi terlalu pahit. Bahwa dia suka menyetel lagu instrumental piano saat bekerja. Bahwa dia membaca ulang novel klasik setiap akhir pekan, dan menyelipkan catatan kecil di halamannya.

Dan bagaimana dengan Arga? Dia juga mulai memperhatikan Naya dengan cara yang berbeda.

Dia tahu Naya selalu menggaruk pelipisnya saat gugup. Bahwa Naya suka menonton ulang drama lama Korea sebagai pelarian dari stres. Bahwa Naya suka membaca puisi diam-diam dan menghafalnya, tapi tak pernah punya keberanian untuk membaca keras-keras.

---

Suatu malam, hujan turun deras. Angin memukul jendela apartemen dengan suara berisik. Listrik sempat padam beberapa detik sebelum menyala kembali. Naya keluar dari kamar mandi, rambut masih basah, memakai hoodie kebesaran milik Arga yang entah kenapa terasa begitu nyaman di tubuhnya.

“Kamu gak bisa tidur?” tanyanya, melihat Arga berdiri di balkon, meski cuaca tak bersahabat.

Arga menggeleng. Kedua matanya menatap Naya yang terlihat segar dan ... menarik. Namun ia segera memalingkan wajah ketika ada rasa asing yang tiba-tiba menjalar dalam hatinya. “Cuma … terlalu banyak yang kupikirkan,” jawabnya pelan.

Naya memupus jarak antara mereka. Aroma sabun yang menguar di udara membuat Arga memejamkan mata beberapa detik.

“Tentang laporan itu?” tanya Naya.

Arga diam sejenak, lalu mengangguk.

“Dita gak hanya ingin menghancurkan karierku. Dia ingin membuatku tampak seperti predator.”

Naya menelan ludah. “Apa itu… bener?”

Arga menatapnya. Lama. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan. Seperti sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan itu.

“Aku pernah dekat dengan mahasiswa. Tapi bukan seperti yang dia tuduhkan. Kami memang punya hubungan, tapi itu bukan paksaan, bukan penyalahgunaan kuasa. Kami saling menyukai.”

Naya menatapnya tajam. “Tapi tetap saja… kamu dosennya.”

“Ya,” Arga mengakui. “Dan itu kesalahan yang aku sesali sampai hari ini. Bukan karena perasaanku salah, tapi karena aku terlalu naif mengira semua bisa diselesaikan dengan kejujuran. Hubungan kami kandas saat dia memilih pindah kampus. Dan sejak itu, aku belajar… untuk menjaga jarak. Untuk tidak membuka ruang sedikit pun pada siapa pun.”

Naya menarik napas dalam-dalam. “Sampai akhirnya aku datang.”

Arga tertawa pelan, pahit. “Kamu datang bukan sebagai cinta. Tapi sebagai konsekuensi.”

Tapi mereka sama-sama tahu… itu tak lagi sepenuhnya benar.

---

Dua hari kemudian, Naya menemani Arga ke acara diskusi publik kampus. Mereka datang bersama, berjalan berdampingan, dan untuk pertama kalinya… menggenggam tangan di hadapan umum.

Itu bukan sandiwara.

Itu perlindungan.

Arga meremas jemari Naya ketika mereka melewati kerumunan dosen dan mahasiswa yang menatap dengan campuran rasa ingin tahu dan sinisme.

Dan entah kenapa, Naya merasa lebih aman dari sebelumnya.

“Ngomong-ngomong…” bisik Arga saat acara dimulai. “Kamu bagus tadi pagi.”

Naya menoleh. “Bagus apa?”

“Presentasi skripsimu. Kamu udah nemu titik fokusnya. Aku lihat kamu mulai ngerti cara menyusun argumen.”

Wajah Naya merona. Membuatnya tampak lebih ... menggemaskan dan cantik.

“Terima kasih... Arga," ucap Naya malu-malu. Meski awalnya dia kesal, marah, dan dendam pada Sandra, tapi sekarang ia mulai bisa menerimanya. Mungkin ini takdirnya. Takdir yang harus membuatnya terikat dengan "sang dosen killer".

Bukan “Pak Arga.” Bukan “Mas.” Hanya nama, tanpa embel-embel formalitas. Karena batas itu sudah tidak lagi ada.

---

Malam itu, mereka berdua duduk di sofa, menonton film lama tanpa suara, hanya subtitle yang berjalan pelan. Entah siapa yang lebih dulu bersandar. Tapi ketika Naya meletakkan kepalanya di bahu Arga, tidak ada yang protes. Tidak ada yang berpura-pura.

Dan untuk pertama kalinya, Arga bicara tanpa dinding.

“Kamu tahu, Naya…”

“Hm?”

“Aku gak nyangka kamu sekuat ini. Kamu gak hanya bertahan dalam situasi gila ini… kamu bertumbuh.”

Naya tersenyum kecil. “Aku juga gak nyangka kamu bisa bilang kalimat kayak gitu.”

Arga menoleh, menatapnya lama.

“Dan aku gak nyangka bisa mulai… menyukaimu.”

Kata-kata itu meluncur pelan. Tapi mengguncang Naya lebih dari gempa bumi mana pun.

Dia mendongak, mencari kejujuran di mata Arga. Dan dia menemukannya. Pria itu menatap Naya dengan tatapan berbeda. Perasaan itu… bukan datang karena pernikahan.

Tapi tumbuh karena kedekatan. Karena luka yang dibagi. Karena ketulusan yang perlahan mencairkan semua dinding.

---

Namun, malam belum selesai. Ketika Naya membuka email kampus untuk melihat update sidangnya… satu pesan baru masuk tanpa subjek.

Dari pengirim anonim. Isinya:

> “Kalau kamu pikir kamu bisa mencuri hatinya dan lari dari semua ini… kamu salah besar. Aku akan pastikan kamu ikut hancur. Seperti aku dulu.”

Dan di bawahnya… satu foto lama.

Foto Arga berdua dengan seorang perempuan muda di depan gedung kampus. Tersenyum. Mesra. Itu bukan Dita.

Dan Naya… bukan perempuan pertama yang pernah tidur di sisi Arga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 125. Tamat

    Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 124. Bertahan

    Kabut pagi mulai menipis, sinar matahari perlahan menembus permukaan laut. Perahu-perahu kecil Cahaya Laut terombang-ambing di hadapan kapal patroli yang menghalangi jalan. Suasana tegang menahan napas; dayung berhenti, ombak memukul lambung kayu.“Turunkan barang kalian sekarang juga!” suara dari pengeras kapal kembali menggema, kali ini lebih tegas.Arga berdiri tegak di perahu paling depan. Bajunya basah oleh cipratan ombak, tapi sorot matanya tidak bergeser sedikit pun. “Kami tidak mencuri, kami tidak melanggar hukum. Kami hanya membawa hasil laut kami sendiri. Kami punya hak untuk hidup!” teriaknya lantang, suaranya mengalahkan deru mesin.Pemuda di perahu belakang saling pandang. Joni menelan ludah, tangannya bergetar memegang dayung. “Mas… kalau mereka paksa, bagaimana?” bisiknya.Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap kapal besar. “Kalau kita mundur hari ini, kita akan mundur selamanya.”Naya berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya kuat. Ia menambahkan, suar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 123. Terguncang

    Pagi di Cahaya Laut tidak lagi setenang biasanya. Ombak memang tetap datang silih berganti, burung camar tetap berputar di udara, tapi udara terasa berat. Seakan angin membawa kabar yang tak enak.Sejak dini hari, desas-desus menyebar di antara warga. Ada yang mengatakan pejabat dari Jakarta membawa surat larangan, ada yang bilang kapal bantuan sengaja ditarik kembali, bahkan ada kabar burung bahwa sekolah desa bisa ditutup. Suasana riuh, penuh bisik-bisik cemas.Di halaman rumah kepala desa, warga sudah berkumpul. Ibu-ibu membawa anak kecil, para pemuda berdiri dengan wajah tegang, sementara bapak-bapak menatap lantai tanah dengan dahi berkerut.Pak Wira berdiri di beranda, memegang secarik kertas resmi berstempel kementerian. Tangannya bergetar, suaranya berusaha tegas.“Saudara-saudara, ini surat yang tadi malam disampaikan. Intinya jelas: semua kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pusat harus dihentikan. Kalau kita melanggar, ada sanksi—baik administrasi maupun hukum.”Suara

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 122. Berusaha Mandiri

    Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 121. Tak Kenal Lelah

    Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 120. Iri Pada Perkembangan Desa

    Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status