Sudah seminggu sejak Naya dan Arga memutuskan untuk benar-benar tinggal serumah—tanpa jarak, tanpa kamar terpisah, tanpa dinding perlindungan dari status pura-pura. Dan dalam waktu sesingkat itu, sesuatu mulai berubah.
Tidak meledak seperti api. Tidak mendadak seperti guntur. Tapi perlahan … seperti senja yang bergeser jadi malam, nyaris tanpa disadari. --- “Arga… kamu udah makan?” Naya bertanya sambil mengaduk mie instan yang baru ditiriskan dari panci. Kebiasaannya makan malam larut terbawa dari masa ngekost dulu. Arga menoleh dari ruang kerja, kemeja masih rapi meski dasinya sudah ditanggalkan. “Belum. Aku masih ngerjain draft revisi kurikulum.” Naya mengangkat bahu. “Ya udah. Aku bikin dua porsi, ya.” Mata Arga tak menunjukkan penolakan, hanya seulas senyum tipis yang begitu langka dari wajah yang biasanya dingin seperti es di lemari. “Terima kasih.” Dan untuk pertama kalinya selama status mereka berubah dari dosen pembimbing dan mahasiswa menjadi suami istri, mereka makan malam di meja yang sama, bukan sekadar duduk berjauhan dengan mangkuk masing-masing. Tak ada percakapan berarti, hanya tawa ringan ketika Naya salah menyedot mie dan tersedak, dan Arga buru-buru menyodorkan air putih tanpa berkata-kata. Hening yang ada di antara mereka bukan lagi dingin, melainkan nyaman. --- Hari-hari berikutnya terasa ganjil, tapi bukan dengan cara yang buruk. Naya mulai diam-diam memperhatikan hal-hal kecil tentang Arga yang dulu tak pernah ia tahu. Bahwa dia tidak suka kopi terlalu pahit. Bahwa dia suka menyetel lagu instrumental piano saat bekerja. Bahwa dia membaca ulang novel klasik setiap akhir pekan, dan menyelipkan catatan kecil di halamannya. Dan bagaimana dengan Arga? Dia juga mulai memperhatikan Naya dengan cara yang berbeda. Dia tahu Naya selalu menggaruk pelipisnya saat gugup. Bahwa Naya suka menonton ulang drama lama Korea sebagai pelarian dari stres. Bahwa Naya suka membaca puisi diam-diam dan menghafalnya, tapi tak pernah punya keberanian untuk membaca keras-keras. --- Suatu malam, hujan turun deras. Angin memukul jendela apartemen dengan suara berisik. Listrik sempat padam beberapa detik sebelum menyala kembali. Naya keluar dari kamar mandi, rambut masih basah, memakai hoodie kebesaran milik Arga yang entah kenapa terasa begitu nyaman di tubuhnya. “Kamu gak bisa tidur?” tanyanya, melihat Arga berdiri di balkon, meski cuaca tak bersahabat. Arga menggeleng. Kedua matanya menatap Naya yang terlihat segar dan ... menarik. Namun ia segera memalingkan wajah ketika ada rasa asing yang tiba-tiba menjalar dalam hatinya. “Cuma … terlalu banyak yang kupikirkan,” jawabnya pelan. Naya memupus jarak antara mereka. Aroma sabun yang menguar di udara membuat Arga memejamkan mata beberapa detik. “Tentang laporan itu?” tanya Naya. Arga diam sejenak, lalu mengangguk. “Dita gak hanya ingin menghancurkan karierku. Dia ingin membuatku tampak seperti predator.” Naya menelan ludah. “Apa itu… bener?” Arga menatapnya. Lama. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan. Seperti sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan itu. “Aku pernah dekat dengan mahasiswa. Tapi bukan seperti yang dia tuduhkan. Kami memang punya hubungan, tapi itu bukan paksaan, bukan penyalahgunaan kuasa. Kami saling menyukai.” Naya menatapnya tajam. “Tapi tetap saja… kamu dosennya.” “Ya,” Arga mengakui. “Dan itu kesalahan yang aku sesali sampai hari ini. Bukan karena perasaanku salah, tapi karena aku terlalu naif mengira semua bisa diselesaikan dengan kejujuran. Hubungan kami kandas saat dia memilih pindah kampus. Dan sejak itu, aku belajar… untuk menjaga jarak. Untuk tidak membuka ruang sedikit pun pada siapa pun.” Naya menarik napas dalam-dalam. “Sampai akhirnya aku datang.” Arga tertawa pelan, pahit. “Kamu datang bukan sebagai cinta. Tapi sebagai konsekuensi.” Tapi mereka sama-sama tahu… itu tak lagi sepenuhnya benar. --- Dua hari kemudian, Naya menemani Arga ke acara diskusi publik kampus. Mereka datang bersama, berjalan berdampingan, dan untuk pertama kalinya… menggenggam tangan di hadapan umum. Itu bukan sandiwara. Itu perlindungan. Arga meremas jemari Naya ketika mereka melewati kerumunan dosen dan mahasiswa yang menatap dengan campuran rasa ingin tahu dan sinisme. Dan entah kenapa, Naya merasa lebih aman dari sebelumnya. “Ngomong-ngomong…” bisik Arga saat acara dimulai. “Kamu bagus tadi pagi.” Naya menoleh. “Bagus apa?” “Presentasi skripsimu. Kamu udah nemu titik fokusnya. Aku lihat kamu mulai ngerti cara menyusun argumen.” Wajah Naya merona. Membuatnya tampak lebih ... menggemaskan dan cantik. “Terima kasih... Arga," ucap Naya malu-malu. Meski awalnya dia kesal, marah, dan dendam pada Sandra, tapi sekarang ia mulai bisa menerimanya. Mungkin ini takdirnya. Takdir yang harus membuatnya terikat dengan "sang dosen killer". Bukan “Pak Arga.” Bukan “Mas.” Hanya nama, tanpa embel-embel formalitas. Karena batas itu sudah tidak lagi ada. --- Malam itu, mereka berdua duduk di sofa, menonton film lama tanpa suara, hanya subtitle yang berjalan pelan. Entah siapa yang lebih dulu bersandar. Tapi ketika Naya meletakkan kepalanya di bahu Arga, tidak ada yang protes. Tidak ada yang berpura-pura. Dan untuk pertama kalinya, Arga bicara tanpa dinding. “Kamu tahu, Naya…” “Hm?” “Aku gak nyangka kamu sekuat ini. Kamu gak hanya bertahan dalam situasi gila ini… kamu bertumbuh.” Naya tersenyum kecil. “Aku juga gak nyangka kamu bisa bilang kalimat kayak gitu.” Arga menoleh, menatapnya lama. “Dan aku gak nyangka bisa mulai… menyukaimu.” Kata-kata itu meluncur pelan. Tapi mengguncang Naya lebih dari gempa bumi mana pun. Dia mendongak, mencari kejujuran di mata Arga. Dan dia menemukannya. Pria itu menatap Naya dengan tatapan berbeda. Perasaan itu… bukan datang karena pernikahan. Tapi tumbuh karena kedekatan. Karena luka yang dibagi. Karena ketulusan yang perlahan mencairkan semua dinding. --- Namun, malam belum selesai. Ketika Naya membuka email kampus untuk melihat update sidangnya… satu pesan baru masuk tanpa subjek. Dari pengirim anonim. Isinya: > “Kalau kamu pikir kamu bisa mencuri hatinya dan lari dari semua ini… kamu salah besar. Aku akan pastikan kamu ikut hancur. Seperti aku dulu.” Dan di bawahnya… satu foto lama. Foto Arga berdua dengan seorang perempuan muda di depan gedung kampus. Tersenyum. Mesra. Itu bukan Dita. Dan Naya… bukan perempuan pertama yang pernah tidur di sisi Arga.Hujan masih mengguyur kota, namun di apartemen Naya, badai yang lebih dahsyat berkecamuk di dalam benaknya. Bisikan-bisikan itu, yang semula hanya samar, kini semakin jelas, memutarbalikkan kenyataan. "Dia tidak pernah mencintaimu," desis sebuah suara. "Dia hanya berpura-pura. Kamu tahu dia menipumu. Pergi saja. Menjauh darinya."Naya mencengkeram kepalanya. Ini bukan pikirannya. Ia tahu itu. Kekacauan emosi yang ia rasakan terasa asing, seperti gaun yang terlalu besar dan tak nyaman di tubuhnya. Ia teringat kembali percakapannya dengan Arga, nada suara Arga yang terlalu yakin bahwa Naya "hanya merindukannya." Kebohongan yang terlalu jelas. Tapi kenapa Arga berbohong? Dan mengapa ia merasa begitu dicurigai, seolah ia adalah biang keladi dari semua masalah ini?Mata Naya tertuju pada foto lama di atas meja: Arga dan dirinya tertawa lepas di sebuah festival musik, dengan latar belakang langit senja yang memukau. Senyum mereka berdua tampak begitu murni, begitu nyata. Sebuah kilasan memo
Arga merasakan darahnya mengalir dingin. Ikatan emosional yang intens. Dirinya dan Naya. Ini menjelaskan segalanya. Mengapa Keisha menargetkan mereka. Mengapa keraguan itu terasa begitu kuat, begitu nyata, namun sekaligus terasa asing. Itu bukan keraguan mereka. Itu adalah racun yang ditanamkan oleh ORION-03, fragmen jiwa Nindya.Rekaman video tiba-tiba mati. Layar kembali gelap. Arga mencoba menyalakannya lagi, namun tidak ada respons. Mesin itu kembali sunyi, hanya cahaya kebiruan yang berdenyut samar.Arga membalikkan badannya, menatap kegelapan di belakangnya. Jadi ini bukan sekadar cemburu. Ini adalah serangan. Serangan dari entitas tak terlihat yang menggunakan Keisha sebagai boneka, sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Tapi apa tujuannya? Kehilangan? Kehampaan? Seperti yang Keisha katakan?"Aku takdirmu, Arga. Aku adalah apa yang tersisa dari ORION-03. Dan aku akan memastikan kau merasakan kesepian yang sama seperti aku merasakan kehampaan."Suara itu berg
Arga tiba di kampus dalam keadaan basah kuyup, napasnya memburu, namun adrenalin memompa tubuhnya. Lampu-lampu koridor yang sempat berkedip-kedip saat ia berhadapan dengan Keisha kini stabil, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, bagi Arga, jejak getaran itu masih terasa di udara, di setiap bulu kuduknya yang berdiri. Ia melangkah perlahan, matanya menyapu setiap sudut, mencari anomali, mencari petunjuk yang mungkin terlewat.Lorong itu tampak normal, buku-buku yang sempat berjatuhan kini tertata rapi kembali di rak-rak. Seolah-olah ada tangan tak terlihat yang mengembalikan semuanya ke tempat semula. Sebuah pikiran dingin menusuk benaknya: apakah ini ilusi? Apakah yang ia alami tadi hanyalah manipulasi yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan pikirannya? Tapi rasa sakit di kepalanya, getaran di lantai, dan tatapan mata Keisha yang berubah itu terlalu nyata untuk disebut ilusi.Ia berjalan menuju titik di mana Keisha berdiri, di mana suara entitas itu bergema. Ia menunduk, tang
Naya berdiri di ambang jendela apartemennya yang berembun, menatap hujan yang tak kunjung reda di luar. Setiap tetes yang membasahi kaca terasa seperti air mata yang tak sanggup lagi ia bendung. Malam itu, ponselnya kembali sunyi. Tak ada panggilan dari Arga. Hanya keheningan yang menyesakkan, menekan ulu hatinya. Jeda yang ia minta, kini terasa bagai jurang yang tak terarungi.Ia menutup mata, mencoba mengusir bayangan Arga dan Keisha. Namun, gambaran itu begitu nyata: Arga yang terpukau oleh Keisha, tatapan ragu di matanya saat Naya bertanya. Panas menusuk dadanya. Ia benci perasaan ini, perasaan cemburu yang menggerogoti, perasaan dikhianati oleh orang yang ia percayai sepenuh hati."Aku tidak percaya padamu, Arga," bisiknya pada keheningan. "Bahkan setelah semua yang kita lalui."Kilat menyambar di kejauhan, menerangi sekilas langit kelabu. Naya berbalik, pandangannya jatuh pada sebuah kotak kayu kecil di meja samping tempat tidur. Di dalamnya, tersimpan surat-surat lama, foto-fot
Dering ponsel Arga bagai sirene di tengah reruntuhan hatinya. Layar menampilkan nama Raka. Arga mengangkatnya dengan tangan gemetar, berharap ini bukan hanya kabar buruk lainnya."Arga, aku menemukannya," suara Raka terdengar tegang, memecah keheningan apartemen Arga yang mencekam. "Keisha Mahendra... dia memang ada. Mahasiswi biasa. Data akademisnya bersih, riwayat keluarganya juga tampak normal. Tapi ada satu kejanggalan."Arga menahan napas. "Apa itu?""Kakak perempuannya, Nindya Mahendra. Catatan kematiannya sangat minim, nyaris tidak ada. Dan yang aneh, tidak ada foto dirinya yang bisa aku temukan di mana pun. Seolah-olah dia tidak pernah ada.""Tidak ada foto?" Arga mengulang, alisnya berkerut. "Bagaimana mungkin?""Itu yang membuatku curiga. Lalu, aku menemukan sesuatu di arsip kampus lama. Nindya Mahendra pernah mengambil mata kuliah pilihan tentang 'Frekuensi dan Dimensi Realitas' yang diajarkan oleh Profesor Surya. Prof Surya itu salah satu pionir riset ORION sebelum insiden
Keesokan harinya, Arga terbangun dengan tekad baru. Ia tidak akan membiarkan Keisha menang. Ia tidak akan membiarkan keraguan menghancurkan hubungannya dengan Naya. Ia harus bertindak.Pagi itu, di kampus, Arga sengaja mencari Keisha. Ia menemukannya duduk di bangku taman, berpura-pura membaca buku."Keisha," panggil Arga, suaranya datar.Keisha mendongak, ekspresinya kembali menjadi gadis manja yang polos. "Oh, Bapak! Ada apa?""Aku tahu apa yang kamu lakukan," kata Arga, tanpa basa-basi. "Dan aku tahu ini semua tidak ada hubungannya dengan kakakmu."Senyum Keisha memudar, matanya menjadi dingin. "Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Video itu, foto-foto itu, semua yang kamu kirimkan," lanjut Arga, nadanya naik. "Kamu sengaja membuat Naya terlihat buruk di mataku. Kamu sengaja menciptakan masalah di antara kami."Keisha tertawa pelan, sinis. "Saya hanya menunjukkan kebenaran, Pak. Naya memang seperti itu. Dia akan meninggalkan Bapak.""Tidak," Arga me