Hubungan kerja antara Alya dan Johan makin erat dari hari ke hari. Mereka sering menghabiskan waktu lembur bersama untuk menyusun laporan proyek dan mempersiapkan presentasi bulanan. Meski awalnya terasa canggung, kebersamaan dalam menyelesaikan tanggung jawab membuat mereka mulai saling memahami ritme kerja masing-masing.“Johan, data penjualan bulan lalu belum sinkron sama laporan pembelian bahan baku,” ujar Alya sambil menunjuk layar laptopnya.Johan menghampiri. “Oh, itu karena sistem kita baru update minggu lalu. Aku benerin di dashboard internal, tapi lupa kasih tahu kamu.” jawab Johan sembari tersenyum tipis kepada Alya.Alya menghela napas lega. “Pantesan. Aku kira aku yang salah input.” ucap Alya seraya menggelengkan kepalanya pelan.Johan tersenyum. “Kamu teliti kok. Tapi jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya.” tutur Johan membuat Alya menganggukkan kepalanya dengan pelan.Interaksi kecil semacam itu terjadi hampir setiap hari. Johan yang santai dan suka bercanda membe
Sejak pertemuan singkat di divisi tempat Alya magang, Arsen menjadi lebih sering terlihat di kantor pusat Mahendra Corp. Ia memang salah satu direktur penting, namun kehadirannya yang tiba-tiba menjadi lebih rutin dan fokus pada satu divisi mulai menimbulkan tanda tanya di kalangan staf.“Pak Arsen lagi-lagi ke lantai dua, ya?” bisik seorang karyawan kepada temannya di pantry.“Kayaknya iya. Padahal biasanya beliau sibuk banget di lantai eksekutif. Tumben sekarang sering turun.” Namun Alya sendiri tidak terlalu memikirkan perubahan itu. Ia sibuk dengan laporan, pembelajaran dari Johan, dan sesekali masih harus menghadapi perlakuan ketus dari Reline.Sore itu, saat Alya baru saja menyelesaikan revisi data keuangan, sebuah pesan dari Silvia, asisten pribadi Arsen, masuk ke ponselnya.[Silvia]: Pak Arsen ingin bertemu denganmu sekarang. Di ruang rapat lantai 4.Alya mengernyit. Bukan di ruangannya sendiri, melainkan ruang rapat. Ia pun buru-buru merapikan file dan melangkah ke sana.Saa
Hari itu terasa lebih ringan dari biasanya. Mungkin karena beban adaptasi sudah mulai luntur, atau mungkin karena ada seseorang yang tak lagi terasa asing. Alya duduk di meja yang berdampingan dengan Johan, sesekali menyentuh touchpad laptopnya sambil mengerutkan kening.“Ini hasil konversinya masih minus, ya?” gumam Alya, lebih kepada dirinya sendiri.Johan melirik ke layar laptop Alya, lalu menggeser kursinya mendekat. “Coba sini, aku lihat.”Alya bergeser sedikit, membiarkan Johan melihat lebih jelas. “Kayaknya aku salah ambil data dari sheet yang lama.”“Hmm, iya, kamu ambil dari template minggu lalu. Ini harusnya dari file yang aku simpan di shared folder kemarin,” kata Johan, tangannya cepat menunjuk arah direktori di layar.“Oh!” Alya langsung mengetik ulang. “Beneran, kamu nyimpen hidupku. Aku bisa-bisa kena marah kalau salah lapor kayak tadi.”Johan tertawa. “Tenang aja, kamu cepat belajar kok. Minggu pertama kamu masih pucat ngadepin laporan keuangan, sekarang udah bisa baha
Hari-hari magang Alya perlahan berubah dari tekanan mencekam menjadi rutinitas yang mulai bisa dinikmati. Meski Reline masih sering memberi tugas-tugas sulit, Alya merasa terbantu dengan kehadiran Johan yang selalu ramah dan bersedia membimbingnya. Tak jarang mereka lembur bersama, saling bertukar pikiran, bahkan bercanda ringan di sela-sela pekerjaan.“Kalau kamu bisa tahan satu minggu lagi, kamu resmi jadi pegawai magang yang bermental baja Alya” ucap Johan suatu sore sambil menyerahkan secangkir kopi ke Alya yang tengah mengetik di ruang kerja.Alya terkekeh, menyambut kopi itu. “Bermental baja yah? Apakah sebelumnya tidak ada yang tahan dengan perilaku Mbak Reline?.” tanya Alya dengan raut wajah yang penasaran.“Aku sudah bilang jika baru Kamu saja yang diberikan Bu Reline tugas sebanyak itu, tapi kalau kamu berhasil, aku bakal rekomendasiin kamu buat posisi tetap setelah lulus nanti. Serius.” ucap Johan dengan raut wajah yang serius.Ucapan Johan tersebut Alya merasa ada harapan
Pagi kedua magangnya, Alya bangun lebih pagi dari biasanya. Kantung matanya masih membentuk bayangan samar di bawah mata, namun ia berusaha menutupinya dengan sedikit bedak. Setelah mencicipi dua suap nasi dan meneguk air putih, Alya berangkat lebih awal dari jam masuk kantor. Ia tahu, hari ini Reline akan meminta laporan awal analisisnya.Setibanya di gedung Mahendra Corp, security menyapanya dengan ramah, dan lift lantai 19 terasa lebih dingin dari biasanya. Detik-detik menuju meja kerjanya, Alya terus-menerus mengulang isi laporannya dalam kepala. Ia sudah menuliskan rangkuman dari setiap minggu pengeluaran dan menyusun catatan kecil untuk menjelaskan asumsi-asumsinya."Pagi, Alya," suara lembut menyapanya saat ia baru saja duduk.Alya menoleh, agak kaget. Bukan Reline. Seorang lelaki muda dengan kemeja biru muda dan senyum ramah berdiri di dekat mejanya. Namanya Johan, staf senior di divisi yang sama."Pagi, Kak Johan.""Panggil Johan aja, nggak usah pakai Kak," jawabnya sambil te
Alya menatap lurus ke arah meja kerjanya yang rapi dan nyaman. Meja kayu dengan permukaan mengilap itu diletakkan di dekat jendela besar yang menghadap langsung ke jalan protokol kota. Sebuah komputer layar lebar sudah menyala dengan username-nya yang baru saja dibuat oleh tim IT. Di sisi kanan meja, terdapat tumpukan dokumen dengan map berwarna biru dan merah, disusun rapi seperti menunggu untuk segera ditangani. Nama "Alya R." tertulis jelas di papan nama kecil berwarna perak di tepi meja."Ini... terlalu bagus untuk seorang anak magang," gumamnya pelan, nyaris tidak percaya.Baru beberapa menit lalu ia diperkenalkan oleh HRD ke lantai 19, dan langsung disambut oleh suasana kantor yang sibuk namun modern. Ia sempat mengira akan ditempatkan di ruang terbuka bersama para staf junior lainnya, namun justru diberikan meja di ruangan semi-tertutup dengan fasilitas yang nyaris setara dengan karyawan tetap. Semuanya terasa berjalan terlalu lancar."Alya Ramadhani, ya?" Sebuah suara peremp