Damian mengusap wajanhya pelan, lalu bersandar pada sofa dengan menghembuskan napas panjang. Rasa cemasnya masih menggantung di dada, ia tahu, Alea sudah berada di tempat yang aman, tetapi tetap saja ia tak bisa memastikan ketenangah hadir dalam diri Alea. Ia memejamkan matanya, membayangkan bagaimana tatapan takut Alea, lirihnya ketakutan, bahkan bagaimana racauan gadis itu ketika ia merasa takut akan sebuah kematian.
Damian memijat pelipisnya ringan, “Gadis itu tidak bisa berada di duniaku saat ini,” gumannya. “Apa aku terlalu memaksanya? Padahal, ia hanya menyesapnya sedikit, tetapi tubuhnya langsung bereaksi seperti diberi racun dengan dosis tinggi.”
Ia mengacak rambutnya frustasi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
“Aku harus berhati-hati,” bisiknya pelan. “Mereka mulai menyentuh sesuatu yang seharusnya berharga,” lanjutnya dengan tangan terkepal.
Pikirannya berputar dengan cepat, antara banya
Ia mendekat dan melongok sedikit ke dalam, Damian tengah memejamkan matanya di sofa dengan posisi terduduk, rambutnya sedikit berantakan, tangannya menyangga sebelah kepalanya, dan napasnya terlihat rapi. Alea berdiri di ambang pintu, menatapnya lama. Wajah yang biasanya penuh dengan ketegangan, kini terlihat lebih tenang.“Terima kasih, Damian,” ujarnya terdengar tulus.Damian membuka matanya ketika mendengar suara yang tak asing, ia menoleh ke arah pintu dan melihat Alea yang tengah berdiri dengan mengenakan piyama dan rambut berantakan khas orang bangun tidur.Damian segera berdiri dan menghampiri, “Alea?” ujarnya sedikit terkejut, tetapi juga lega.Alea menatapnya diam, lama, dan dalam. Seolah ia tengah mengamati pria di depannya ini benar-benar nyata. Wajahnya terlihat lelah, dengan mata yang memerah dan kerah baju yang sedikit terbuka. “Kenapa kau tidak tidur?” tanyanya. “Rosa bilang kau belum beristirahat s
Damian mengusap wajanhya pelan, lalu bersandar pada sofa dengan menghembuskan napas panjang. Rasa cemasnya masih menggantung di dada, ia tahu, Alea sudah berada di tempat yang aman, tetapi tetap saja ia tak bisa memastikan ketenangah hadir dalam diri Alea. Ia memejamkan matanya, membayangkan bagaimana tatapan takut Alea, lirihnya ketakutan, bahkan bagaimana racauan gadis itu ketika ia merasa takut akan sebuah kematian.Damian memijat pelipisnya ringan, “Gadis itu tidak bisa berada di duniaku saat ini,” gumannya. “Apa aku terlalu memaksanya? Padahal, ia hanya menyesapnya sedikit, tetapi tubuhnya langsung bereaksi seperti diberi racun dengan dosis tinggi.”Ia mengacak rambutnya frustasi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku harus berhati-hati,” bisiknya pelan. “Mereka mulai menyentuh sesuatu yang seharusnya berharga,” lanjutnya dengan tangan terkepal.Pikirannya berputar dengan cepat, antara banya
Damian segera membukakan pintu untuk Alea begitu mobil berhenti tepat di depannya, “Masuklah,” ujarnya memberi titah. Lalu ia menutup pintu dan berlari memutar di belakang mobil dan masuk dari sisi sebelahnya.Alea membuka topengnya dan membuang nafas lega, seakan telah berhasil keluar dari medan peperangan. “Akhirnya.”Tak jauh dengan apa yang dilakukan Alea, pria itu juga membuka topeng yang dikenakannya—meskipun tak menyamarkan wajahnya secara utuh.“Cepat pergi dari sini,” ujar Alea dengan menepuk sandaran kursi di depannya yang membuat sang sopir terkejut.Damian menoleh dan menatap tajam pada Alea, “Kau tak boleh bertindak sesuka hatimu,” ujarnya memberi peringatan.Alea melengos, ia kembali menepuk pundak sang sopir, kali ini sedikit lebih keras. “Ayo, kita harus pergi. Sekarang juga,” pintanya lagi dengan mata sayu.Damian menghela nafasnya, “Jalan sekarang, dan pastikan kemananan selama di perjalanan,” titah Damian yang disamb
Waktu bergulir dengan begitu cepat. Diskusi mengenai pergantian rezim, manipulasi politik, pengendalian media, hingga strategi pemusnahan ekonomi mikro dan rekayasa sosial dibungkus dengan bahasa yang elegan, namun menyimpan belati di setiap katanya.Denting lonceng kristal terdengar dari kejauhan, menandai jeda pertemuan menuju jamuan makan malam. Para pelayan berpakaian hitam dan mengenakan topeng putih masuk dengan membawa nampan perak berisi hidangan dengan penutup berbentuk kubah yang terlihat mengkilat.Alea menahan napas sesaat ketika piring di hadapannya dibuka. Hidangan yang disajikan tampak seperti karya seni menakjubkan dengan irisan daging rusa langka, saus keunguan yang sedikit kental membingkai di satu sisinya, dan butiran hitam dari telur caviar menjadi pelengkap di atasnya. Tapi, yang membuat tubuhnya membeku adalah gelas kristal yang berisi cairan berwarna merah gelap seperti darah yang naru saja disajikan.“Apa ini?” bisiknya tanpa sadar.“L’Orgueil,” bisik Damian m
Damian merengkuh punggung Alea lalu membawanya menuju lorong eksklusif yang dijaga dua pria bertubuh besar. Di dalamnya, terdapat para elite dunia yang tengah berdiskusi menggunakan bahasa asing yang tak dipahami oleh Alea.“Damian Alaric,” guman seorang dari mereka letika menyadari kedatangan Damian. “Kau membawa tamu rupanya,” lanjutnya menatap Alea sembari menganggukan kepala.Semua mata tertuju pada sosok Alea yang kini menunduk dalam di samping Damian, ia hanya bisa menautkan kedua tangannya erat.“Aku pikir ini pertemuan yang tertutup,” ujar seorang wanita paruh baya yang duduk tak jauh dari mereka. “Kau jelas tahu aturan main kita, Damian,” tambahnya yang membuat dahi Alea mengernyit dalam diam mendengar kata ‘aturan main’.“Ia datang di bawah pengawasanku,” jawab Damian tak bergeming. Ia menoleh sekilas ke arah Alea, memastikan keamanan gadis itu yang masih berusaha menyembunyikan rasa takutnya dari balik topeng yang ia kenakan.“Siapa namanya?”“Tak penting,” jawab Damian de
Damian memandu Alea melewati lorong utama aula gala yang diterangi chandelier kristal dan obor modern. Mereka menghentikan langkahnya di sebuah area semi tertutup yang lebih intimate, hanya beberapa tamu elit berkumpul di sana.“Ekonomi global itu seperti papan catur, dan kami ... mengatur siapa yang akan menjadi pion, siapa yang menjadi raja, dan siapa yang harus dikorbankan,” kata seorang pria berambut putih dengan topeng setengah wajah berbentuk burung hantu. “Termasuk negara kecil kalian yang sedang kacau,” lanjutnya.“Damian ... lama tak terlihat,” ujar seorang perempuan muda ketika menyadari keberadaan Damian, ia berambut pirang, mengenakan gaun putih bak dewi Yunani dengan topeng setengah transparan. “Kudengar proyekmu gagal, apa karena terlalu banyak ... hati yang terlibat di dalamnya?” tanyanya menaikkan sebelah alisnya.Damian tersenyum ringan “Aku juga dengar ... operasi pembusukanmu di sistem perbankan dunia hampir terbongkar oleh jurnalis kampus.”Perempuan itu tertawa ge