Damian menghantam meja di depannya menggunakan telapak tangannya, membuat perangkat di sekitarnya sedikit bergetar. Sorot matanya kini penuh dengan kilatan api—bukan hanya marah, tapi karena merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya membantunya."Aku tak membutuhkan laporan resmi dari mereka. Aku butuh KEBENARAN!" desisnya dengan menggertakkan gigi.Carden terdiam sejenak seolah membiarkan tuannya tersebut mengeluarkan emosinya, "Tuan Damian,” panggilnya setelah beberapa saat. “Saya tahu jika Anda tak akan tinggal diam setelah mendengar berita ini. Di sisi lain, saya sudah mengatur pencarian barang bukti melalui jalur bawah tanah dengan alat pendeteksi khusus. Saya akan memastikan dalam beberapa jam ke depan, saya akan mendapatkan pelaku yang membuat mobil itu mengalami kebakaran.""Gali sampai ke akar terdalam sekalipun. Bayar siapa pun yang perlu dibayar untuk bisa mengungkap kasus ini dengan benar, dan jika perlu, terobos sistem mereka tanpa terkecuali dan beberkan pada publik
Damian menggeram pelan, “Alea,” bisiknya tertahan. Sorot matanya menatap tajam pada Alea, seolah ia ingin memperingati gadis itu agar tidak berlebihan.Alea menahan napasnya, ia mengalihakn pandangannya untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya. Satu kata itu—ya—terdengar begitu pelan, akan tetapi dampaknya seperti gemuruh yang mengguncangkan jauh di lubuk hatinya.Damian kembali bersandar pada kursinya, sementara pandangannya tak pernah lepas dari wajah Alea. “Kau bahagia sekarang setelah mendengarnya?” tanyanya pada Alea dengan mengangkat sebelah alisnya. “Hm?”Alea menghela napasnya, dan senyum tipis menghiasi wajahnya yang sedikit tertutup oleh helaian rambut miliknya, “Ehm,” dehemnya menetralkan kondisi hatinya. Lalu menatap Damian singkat sebelum menganggukan kepalanya. “Aku tidak tahu apa yang tengah aku rasakan saat ini. Tapi aku merasa ... sedikit lebih baik. Seolah semua luka yang kupikul selama ini tidak sia-sia jika pada akhirnya aku tahu kau merasakannya juga.”Damia
Alea melirik Damian yang tengah menyantap hidangannya dari ekor matanya. “Kau tahu, Damian … terkadang sikapmu benar-benar menyebalkan,” ujar Alea menggelengkan kepalanya di sela-sela ia menyantap hidangan malam yang sudah ia siapkan.“Dalam hal apa?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Alea.“Dalam hal sikap kau yang terlalu dingin,” jawab Alea tanpa ragu. “Seolah tidak ada satu pun emosi yang ingin kau tunjukkan di depanku, seakan dunia ini bukan milikmu, dan kau hanya sekadar menumpang lewat tanpa ingin bertahan lebih lama.”Damian terdiam sejenak, lalu menyuapkan makanannya dengan perlahan. “Aku tidak pernah merasa perlu menjelaskan diriku pada siapa pun.”Alea terkekeh kecil mendengarnya. “Lucu sekali,” jawabnya menggelengkan kepala. “Kau bicara seperti seorang pria yang sudah terbiasa menyembunyikan luka lamanya dan menguburnya dalam-dalam.”Damian mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Alea, “Dan kau bicara seakan seperti seseorang yang terbiasa menantang bahaya tanpa tahu apakah a
Panel komunikasi berubah warna menjadi merah, sebelum akhirnya terputus dan kini monitor hanya menampilkan grafik dan peta khusus yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu. Damian menoleh ke samping, lalu memundurkan badannya dan bersandar pada dinding di belakangnya.“Hhhh,” ucapnya menghela napas panjang seraya memijat pelipisnya yang tampak sedikit menegang. Ia terus memikirkan bagaimana agar peperangan yang lebih besar tak kembali meletus seperti beberapa tahun yan g lalu.“Pria itu benar-benar bajingan!” umpatnya. “Bagaimana bisa dia melakukan hal itu?”Damian kembali menoleh ke arah layar dan mencondongkan badannya ke depan. Ia mengetikkan beberapa perintah cepat, dan membuka peta digital yang menyorot pada area timur laut—tepat di dekat pelabuhan tua yang kini telah nyaris terlupakan oleh dunia. Titik-titik biru kecil menunjukkan perangkat pengintai yang telah dikirim Carden mulai menyebar secara otomatis, menyapu wilayah itu dengan sensor panas dan kamera gerak yang b
Damian membuka tas ranselnya yang dilengkapi beberapa senjata tersembunyi di beberapa bagian. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan sepotong roti cokelat berbentuk persegi—tampak memiliki tekstur yang padat—dengan kertas pembungkus berwarna cokelat yang masih terlipat dengan rapi. Damian meletakkannya di atas meja, lalu mendorongnya perlahan ke arah Alea.Alea menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. “Ini apa?”“Roti lapangan,” jawab Damian singkat. “Biasanya kami membawanya saat berlatih di medan perang dalam jangka waktu yang lama. Tidak mudah basi, padat, dan bisa mengganjal perut cukup lama. Aku sengaja menyisakannya untukmu, agar kau bisa mencicipi rasanya.”Alea menatap roti itu dengan rasa penasaran yang tinggi. “Kau membawanya langsung dari tempat latihanmu dulu?”Damian menganggukkan kepalanya. “Sesekali aku masih memesannya, sekadar untuk mengingat bagaimana sulitnya aku melewati situasi itu sampai aku bisa menjadi seseorang yang tenang dalam menghadapi berbagai situasi.”Alea t
Alea menatap tulisan itu dengan mata yang sedikit mengembun lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu,” ucapnya dengan pelan. “Tapi … aku bersyukur karena masih bisa membaca pesanmu hari ini.”Damian menoleh pada Alea. “Dan aku bersyukur karena kau membacanya saat aku masih bisa melihat reaksimu.”Keduanya saling berpandangan satu sama lain. Tak ada kata-kata yang diucapkan selain mata mereka yang saling bercengkerama. Alea menyelipkan kertas itu ke dalam sakunya, lalu menatap Damian tulus. “Terima kasih karena kau telah mempercayakannya padaku.”Damian mengangguk singkat. “Terima kasih telah memilih tetap bersamaku.”Alea menghela napas pelan, seolah mencoba menenangkan perasaannya sendiri yang masih mengambang. Ia melangkah mendekat ke arah Damian, lalu duduk di sisinya di atas balok kayu yang disusun seadanya di ruang bawah tanah itu. Cahaya lampu yang redup membuat suasana terasa lebih hangat, sekaligus lebih intim.“Aku belum pernah meng