Share

Bab 4: Akhiri Hubunganmu

Author: Nhaya_97
last update Last Updated: 2024-10-26 21:56:28

Viona baru saja akan menutup pintu setelah mengantar Tirta hingga ke depan rumah ketika tiba-tiba daun pintu tertahan oleh tangan seseorang.

Dengan kasar, pintu didorong hingga terbuka kembali, membuat Viona terhuyung, nyaris jatuh.

Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Padma Adikara, dengan seringai dingin di wajah tampannya.

Rahang tegas, bibir penuh, hidung tinggi, dan sepasang mata hitam pekat yang dulu tampak cerdas dan teduh, kini memancarkan kebengisan.

 Dulu, Viona mengingat betapa Yuanita, kakaknya, selalu memuji Padma sebagai pria ideal. Bahkan menyebutnya pangeran berkuda putihnya.

Tapi itu dulu, sebelum kecelakaan tragis itu merenggut nyawa Yuanita dan membuat Padma menjadi bayangan hitam yang menakutkan, dingin, dan kejam.

“Mau apa Mas Padma ke sini?” Viona akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar bergetar.

Ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya membentur meja ruang tamu. Tangannya dengan cepat meraih pisau buah yang tadi digunakan Tirta untuk mengupas apel, lalu mengacungkan benda itu ke depan.

Padma tersenyum sinis, pandangan menghina. “Kamu akan menusukku dengan pisau buah? Well done, Viona! Kamu akan melengkapi daftar ‘kejahatanmu’ kalau berani melakukan itu.”

Genggaman Viona pada pisau itu semakin erat, pandangannya menusuk balik ke arah Padma. “Pergilah dari sini sekarang juga! Apa tidak cukup sudah merampas kehormatanku? Apa lagi yang Mas Padma mau?” serunya dengan suara bergetar, yang lebih dipenuhi oleh kemarahan daripada ketakutan.

Padma tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih menyeramkan daripada menyenangkan. “Tentu saja tidak cukup, Viona Sayang.” Ia melangkah maju, memaksa Viona untuk mundur meskipun ia memegang pisau di tangannya. “Kamu sudah lupa apa yang aku katakan tadi pagi?”

Tubuh Viona bergetar. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan setiap kalimat yang Padma katakan pagi itu?

Meskipun Viona mati-matian ingin menghapusnya dari ingatan, kata-kata mengerikan itu terngiang-ngiang di kepalanya tanpa henti, bagaikan kaset rusak yang terus berputar.

“Yang terjadi tadi pagi hanyalah awal,” Padma mengulangi dengan nada rendah yang menakutkan, “karena ada neraka dunia yang menantimu. Dan akulah yang akan menciptakan neraka itu untukmu, Viona.”

“Mas Padma sudah gila!” Viona berteriak, ketakutan yang bergemuruh dalam dadanya tercampur dengan amarah yang bergejolak.

“Dan kamu yang membuat aku gila!” Padma membentak dengan kasar, wajahnya memerah karena kemarahan.

“Kamu masih bisa tertawa dan memeluk kekasihmu dengan bahagia, sedangkan aku? Aku hanya mendapatkan kekosongan, rasa hampa, Viona!” Ia menunjuk dadanya sendiri dengan tangan yang terkepal erat, rahangnya mengeras seperti baja.

“Sabda menangis setiap malam, mencari ibunya, merintih di dalam mimpi kecilnya yang sepi. Dan aku? Aku hanya bisa berdiri, seperti ayah tolol yang tidak bisa melakukan apa pun untuk menenangkannya!” Suara Padma berubah parau, nyaris putus asa, meski kemarahan tetap melingkupi sorot matanya. “Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, karena kamu nggak ada di posisiku!”

Rasa bersalah merayap perlahan ke dalam diri Viona, mencengkeramnya erat hingga lehernya terasa tercekik. Bayangan Yuanita, dengan senyum bahagia saat mengetahui dirinya hamil, melintas di benaknya.

Viona ingat betul bagaimana Yuanita berteriak girang, memeluknya erat setelah sekian lama menanti kehadiran Sabda. Harapan itu musnah seketika malam itu, di kecelakaan yang menelan nyawa Yuanita, dan Viona-lah yang mengemudikan mobil.

Bahu Viona melemah, tubuhnya seolah kehilangan tenaga, dan pisau yang ia genggam terjatuh, terkulai di sisi tubuhnya. Namun, di balik rasa bersalah itu, ia berusaha berdiri tegak, mencoba tidak memperlihatkan kelemahannya di hadapan Padma. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh, hancur di bawah kekejaman Padma Adikara.

“Lalu apa maunya Mas Padma sekarang?” Viona akhirnya bertanya dengan suara parau, nyaris berbisik, setelah berusaha menahan ketakutan yang menjalar di setiap pori-porinya.

Senyum puas tersungging di bibir Padma, matanya berkilat dengan rasa kemenangan yang menusuk. “Putuskan kekasihmu!” ucapnya tajam, suaranya penuh tekanan.

Viona ternganga. “Apa maksudnya?” tanyanya, meskipun naluri dalam dirinya tahu betul makna mengerikan di balik perintah itu.

“Aku bilang, putuskan kekasihmu!” ulang Padma, kali ini lebih lambat, dengan intonasi yang terdengar seolah menikmati kekejaman kata-katanya sendiri. “Kamu harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan sesuatu yang amat berharga saat kamu sedang berada di puncak kebahagiaan.”

“Tidak mau!” Viona berseru, tegas dengan dagu terangkat, meskipun tubuhnya gemetar. “Mas Padma tidak berhak mengatur kehidupanku!”

“Oh, benar begitu?” Seringai jahat kembali menghiasi wajah Padma, yang kini mendekat lebih intim, memojokkan Viona ke sudut ruang tamu.

Dia meraih pisau di tangan Viona dengan gerakan cepat dan melemparkannya ke lantai, denting tajam memenuhi ruangan.

Viona berpaling, tak sanggup menatap langsung pada sosok tinggi dan besar itu. Dengan tinggi yang hanya mencapai bahu Padma, Viona merasa bagai kurcaci di hadapan raksasa yang hanya ingin melumatkan eksistensinya.

Padma menundukkan wajahnya, berbisik rendah di telinga Viona, suaranya mengalir bagaikan belati dingin yang menembus tiap lapisan keberanian Viona. “Faktanya, kehidupanmu sepenuhnya ada dalam cengkeramanku, Adik Ipar.”

Viona hanya bisa mengepal tangannya erat, mengatasi rasa takut yang membuat tubuhnya terasa lumpuh.

“Kalau kamu berpikir bisa melawan,” lanjut Padma dengan nada pelan namun mengintimidasi, “aku tidak akan segan-segan menghukummu. Dan percayalah, kamu tidak akan pernah suka dengan hukumanku.”

Viona menelan ludah, mencoba mengabaikan jarak antara mereka yang semakin dekat, dan desakan ketakutan yang membuat kepalanya kosong.

“Jadi—” Padma menegakkan tubuhnya dengan angkuh dan menepuk pipi Viona dengan ringan, senyumnya dingin, “—putuskan kekasihmu atau kamu akan menyesal untuk selamanya.”

Setelah memberikan ultimatum terakhirnya, Padma berbalik dan keluar, membiarkan Viona terduduk luruh ke lantai.

Sesak dan kebencian membaur dalam tangis yang akhirnya terlepas dari bibirnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang masih dingin akibat tepukan Padma tadi.

"Tak cukupkah luka dan penghinaan yang sudah Padma torehkan sampai dia harus memutuskan Tirta?" pikirnya dalam hati yang penuh luka.

Tirta adalah satu-satunya penopang yang tersisa baginya; kehilangan pria itu berarti kehilangan satu-satunya sandaran yang masih ia punya. “Kalau hubungan kami berakhir, kemana lagi aku harus bersandar?”

“Aku harus gimana sekarang, Kak?” bisiknya lirih seolah berbicara dengan Yuanita, yang dulu selalu menjadi tempatnya mencari saran saat dihadapkan pada pilihan sulit.

Yuanita selalu menuntunnya dengan penuh kasih dan bijaksana. Tapi kini, sang kakak tak lagi ada di dunia ini.

“Tidak!” Viona mengusap wajahnya yang basah dengan kasar, tekad mulai mengalir dalam dirinya. “Aku tidak akan melakukan apa yang Mas Padma minta.”

Dengan segenap keberanian, ia bangkit berdiri, tatapannya tertuju pada foto pernikahan Padma dan Yuanita yang tergantung di dinding ruang tamu.

Dengan amarah yang mendidih, ia meraih bingkai itu dan membantingnya ke lantai. Suara kaca yang pecah berderai memenuhi ruangan, pecahannya berserakan, mencerminkan hatinya yang telah remuk berkali-kali oleh Padma.

“Aku tidak takut pada Mas Padma. Aku tidak akan memutuskan hubunganku dengan Tirta. Lagipula, Tirta adalah mantan atlet Judo. Dia bisa menjaga diri kalau Mas Padma berani berbuat macam-macam padanya.”

Viona mengambil ponselnya yang masih tergeletak di meja dan hendak menghubungi Tirta untuk memperingatkan agar berhati-hati.

Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggilan, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar. Viona menatapnya ragu, mengernyit, lalu akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan itu.

“Halo,” sapanya pelan dengan hati-hati. Ia bersiap-siap jika orang di balik telepon adalah Padma atau suruhannya.

“Selamat sore, dengan Ibu Viona?” Suara seorang wanita dari seberang telepon membuatnya merasa sedikit lega.

“Ya, betul. Dengan siapa saya bicara?”

Namun, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut wanita itu membuat tubuh Viona kembali jatuh lemas ke lantai.

Ponselnya meluncur dari genggamannya, terjatuh, dan tanpa sadar, mulutnya ternganga dalam keterkejutan yang amat sangat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Our Happy Ending

    Viona terkekeh pelan mendengar jawaban Alfie yang begitu egois, namun juga penuh cinta. Tangannya mengelus pelan pipi pria itu, menatap mata hitam yang dulu tampak dingin dan menusuk, kini lebih bersinar dan hidup. Ada harapan, ada kehangatan… ada cinta yang utuh.“Padahal aku sudah membayangkan punya anak perempuan yang mirip kamu,” gumam Viona manja, seolah menggodanya.Alfie terkesiap, lalu mengangkat alis. “Kalau anak perempuan itu mirip aku, mungkin dia akan membantah semua omonganmu, dan menyeret pacarnya pulang jam dua pagi.”Viona tertawa. “Kamu kan sudah berubah. Siapa tahu anak kita nanti juga lembut dan pintar masak seperti Padma, tapi kuat dan bisa bela diri kayak kamu. Kombinasi yang sempurna.”Alfie menatap wajah perempuan yang dicintainya itu, penuh rasa. “Apa pun yang terjadi, Vi... aku akan selalu ada di sisimu. Aku mungkin sedang berproses menjadi satu pribadi yang utuh, tapi hatiku tetap satu—untukmu.”Viona terdiam, matanya berkaca-kaca. “Aku juga akan selalu di si

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Tidak Rela Membagi

    "Kemarin aku mencari terapis baru yang memiliki pengalaman menyembuhkan penyandang DID. Aku sudah menemukannya. Dan beberapa hari lalu aku mengirim email untuk meminta konfirmasi."Baru saja terapis itu mengatakan bisa bertemu denganku besok lusa. Sayangnya, dia tidak tinggal di Jakarta, tapi di Singapura. Dan kamu harus ikut karena kamu pasanganku sekarang."Viona meneguk ludah dengan susah payah. Dia sama sekali tidak tahu Alfie melakukan pencarian untuk mencari terapis baru. Bahkan selama di Paris pun, Alfie sama sekali tidak pernah menyinggung masalah ini.Dan mengetahui Alfie sudah menemukan terapis baru, tak urung menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya."Al, kamu... tidak berniat untuk 'pergi", kan?" tanyanya ragu. Tolong katakan tidak atau dia akan patah hati lagi."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Alfie mengerutkan kening."Yang aku tahu, host kamu adalah Mas lan. Kalau kalian sembuh, itu artinya kamu akan 'hilang', kan?"Dari kasus penyandang DID yang pernah Viona baca, jik

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Punya Kabar Bagus

    "Done!" seru Viona dengan riang.Tatapannya tertuju pada gembok yang baru saja dia pasang di pagar jembatan Pont des Arts atau Jembatan Gembok Cinta, yang menghubungkan antara Louvre Museum dan Insititute de France.Gembok bertuliskan inisial D & A itu terpajang berdesakan dengan ribuan gembok lainnya yang memenuhi sepanjang pagar jembatan."Sekarang giliran kamu yang buang kuncinya." Viona menyerahkan kunci gembok yang sudah dia pasang pada Alfie.Alfie menatap kunci di tangannya lalu mengembuskan napas panjang. Sulit dipercaya dia melakukan hal sekonyol ini. "Apa aku harus melakukannya? Itu hanya mitos konyol, Viona.""Just-do-it!" Viona berkacak pinggang. "Apa susahnya, sih, lempar kunci ke sungai di depan kamu?""Astaga!" desah Alfie sambil melakukan apa yang Viona perintahkan. Kunci itu melayang dari tangannya lalu mendarat di sungai dengan bunyi kecipak cukup keras."Happy?" ejeknya pada Viona yang tersenyum senang."Happy! Thanks, Al." Viona berjinjit lalu mengecup pipi Alfie p

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Tidak Menyesalinya?

    Viona kembali menoleh pada Savannah yang melanjutkan ucapannya. "Maksudku, dulu kamu melihatnya sebagai kakak ipar, tapi sekarang dia suamimu. Apa kamu tidak merasa canggung?"Sepertinya Savannah tidak tahu Padma adalah penyandang kepribadian ganda dan Viona lebih sering berhubungan alter egonya hingga rasa canggung itu sama sekali tidak ada.Namun demi menyingkat waktu, Viona memilih jawaban diplomatis. "Awalnya pasti seperti itu, tapi seiring waktu semuanya berjalan secara natural."Savannah tampak termangu. Tatapannya beralih pada Mandala yang berdiri di samping Alfie dengan raut serius. Melihatnya seperti itu, Viona jadi ikut menatap Mandala.Mendadak dia bertanya-tanya, apa ada sesuatu di antara paman dan keponakan itu? Karena di matanya, tatapan Savannah sering kali terlihat berbeda saat berhadapan dengan Mandala.Bahkan saat dia melihat pagelaran busana Savannah tiga hari yang lalu, gadis itu terlihat begitu bahagia saat Mandala mampir dengan sebuket bunga. Hanya sepuluhTatapa

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Tidak Menyangka

    "Dadah, Sayang. Tunggu Bunda pulang, ya. Nanti Bunda bawakan oleh-olah yang banyak." Viona melambai pada Sabda lewat layar ponselnya.Bayi itu membalas dengan satu tabokan kencang di layar, seolah menunjukkan rasa kesalnya karena ditinggal Viona selama berhari-hari.Viona tertawa lalu mengakhiri panggilan video setelah melempar goodbye kiss pada bayi gendut itu. Saat menaruh ponselnya kembali ke dalam tas, Alfie tampak berjalan menghampirinya.Viona sontak melempar senyum pada lelaki tampan yang hari ini hanya memakai sweater dan celana jeans itu."Kamu tidak bosan?" tanya Alfie setelah duduk di samping Viona."Nope. Aku baru saja menelepon Sabda, dan dia sudah bisa memanggil 'Papa' dengan sangat jelas."Mata Alfie melebar sempurna. "Oya? Tapi kenapa setiap aku menelepon dia tidak pernah mengatakan itu?" gerutunya. "Di depanmu dia sangat cerewet, tetapi di depanku dia mendadak diam."Viona mengurai tawa sambil meremas tangan Alfie yang bertengger di atas pahanya. "Kamu harus lebih ser

  • Pernikahan Palsu (Aku Bukan Istri yang Diinginkan)   Mencari Alasan

    Pesan-pesan itu belum Viona balas sampai sekarang karena dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi mantan kekasihnya itu.Menyadari lelaki itu sudah mengetahui semuanya karena ibunya sudah bercerita, makin membuat Viona gamang.Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Tirta saat mendengar dirinya sudah menikah dengan orang yang sudah merenggut kehormatannya di masa lalu, bahkan mengandung anaknya-meski sekarang anak itu sudah tiada.Seharusnya Viona membalas pesan itu dan mengatakan maaf karena tidak bisa bertemu. Tetapi ternyata jarinya tak sanggup mengetikkan pesan semacam itu.Maka dia membiarkann pesan Tirta menggantung sampai sekarang. Mungkin setelah mereka kembali ke Jakarta, dia punya keberanian untuk membalas pesan mantan kekasihnya itu."Kalau kamu merasa bersalah karena sudah menghabiskan uang sebanyak itu, bukankah seharusnya kamu melakukan sesuatu untuk menebusnya? Minimal jangan punggungi aku. Suara parau Alfie membuyarkan lamunan Viona.Perlahan Viona membalikkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status