Dua hari Alfan telah absen datang ke kantor. Tentunya perilaku itu membuat Maya—asisten sekaligus sekretaris kepercayaan Papa Andre melaporkannya kepada sang bos besar.
Alfan juga tidak mengatakan apa pun kepada Bulan hingga saat Papa Andre menghubunginya dan bertanya, sudah pasti Bulan menjawab bahwa Alfan selalu berangkat kerja.
Bulan pikir, Alfan hanya menemani Zahra setelah pulang kantor. Tidak tahunya ternyata lelaki itu mengabaikan pekerjaannya.
Terakhir kali Alfan menghubunginya saat memberikan kabar bahwa Zahra sudah diperbolehkan pulang. Alfan juga mengatakan akan tinggal di sana sesuai kesepakatan awal. Tentu setelah mendengar penjelasan itu, ia tidak banyak bertanya lagi.
Setelah dua hari lalu, Bulan begitu terlihat rapuh karena mendapati kenyataan yang membuatnya tertekan. Kini ia telah kembali berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Senyumnya yang manis telah terlihat walau hanya sek
“Selamat pagi, Den Alfan.”Alfan mengangguk dengan senyum hangat.“Bulan masih di kamar, Mbak?”“Iya, Den. Sepertinya Non Bulan belum bangun. Apa mau dibangunin?”“Tidak usah, biar aku saja yang ke kamar,” sahut Alfan setelahnya pergi menuju lantai dua.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Tidak biasanya Bulan masih di kamar. Biasanya pukul enam wanita itu akan turun dan duduk di taman ditemani kopi atau teh hangat sembari menghirup udara yang masih sejuk dengan tetesan embun yang masih basah.Perlahan Alfan membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Langkah kakinya begitu pelan karena suasana dalam kamar tersebut benar-benar gelap tanpa cahaya lampu.Alfan berjalan ke arah pintu balkon dan membuka tirai yang menutupi kaca hingga sinar mentari bisa masuk dan menyinari kamar yang tad
“Jelaskan tentang ketidakhadiranmu ini, Alfan. Papa tahu kamu telah menjadi CEO sekaligus pewaris seluruh perusahaan Herlambang, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti ini. Ini bisnis, bukan permainan, Alfan!” Papa Andre membentak Alfan dengan keras karena Alfan masih bungkam dan belum mengeluarkan sepatah kata.Walaupun Alfan telah mewarisi seluruh kekayaan milik keluarganya, tapi Papa Andre tentunya masih terlibat di dalam perusahaan untuk memantau kinerjanya.Papa Andre paham, bahkan sangat paham bahwa Alfan sudah mampu mengelolanya. Selama ini Alfan diminta bekerja di perusahaan mulai dari bawah itu agar dirinya banyak belajar dari hal yang paling ringan hingga sesuatu yang berat. Selama ini Alfan mampu melakukannya.Semakin tinggi jabatan yang dimiliki maka semakin besar pula tanggung jawabnya. Papa Andre harus mengingatkan jika Alfan mulai bertingkah, karena perusahaan bukan hanya menyangkut dia
Tiga hari dilewati Bulan tanpa kehadiran Alfan. Sunyi, sepi dan juga kosong. Perasan itu diam-diam dirasakan. Namun Bulan tetaplah Bulan, dia tidak akan mengatakan apa yang dirasakan begitu saja.Walaupun Alfan sering menghubunginya, tapi tidak melihat kehadirannya membuat rindu itu menyergap hatinya.Sore tadi sebelum pulang dari kantor, Alfan mengirimkan pesan bahwa ia masih akan menemani Zahra sampai akhir pekan. Lalu ia membalas seperti biasanya. Jawaban tidak apa-apa selalu masih tetap menjadi andalannya.Setelah makan malam, Bulan memutuskan untuk langsung istirahat.Dipandangi langit-langit kamar dengan sendu. Sekuat apa pun ia menutupi semuanya dengan kata baik-baik saja, nyatanya tidak dengan apa yang dirasakan.“Sampai kapan aku harus bertahan? Keadaan ini benar-benar menyiksa, Tuhan,” gumam Bulan seraya menghapus tetesan bening yang ada di sudut matanya.
Brak! Bulan terlonjak kaget mendengar pintu ruangannya terbuka dengan keras. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ia masih harus memeriksa satu gaun lagi sebelum pulang. “Mas Alfan.” Bulan melihat Alfan datang dengan wajah merah dan sorot mata yang penuh kemarahan. “Jangan bermain-main dengan pernikahan ini, Bulan. Kamu itu istriku!” ucap Alfan dengan suara lantang. Bulan yang tidak tahu maksudnya hanya menatap Alfan datar. “Apa! Aku tidak tahu maksudmu, Mas Alfan. Kamu datang dan menuduhku macam-macam. Aku tidak mengerti, apa ini!” Bulan menggelengkan kepala dengan pelan. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa pun. Siapa lelaki itu?!” Bulan bangkit dari kursinya dan mendekati Alfan. Berdiri berhadapan membuat Bulan dapat merasakan napas Alfan yang memburu. “Duduklah dan minum lebih dulu. Bicara
Malam pertama yang seharusnya dilakukanlah beberapa bulan yang lalu akhirnya terlaksana malam itu, di tempat yang terbatas namun begitu menggairahkan. Alfan melakukannya berulang kali sampai tubuh Bulan lemas tak bertenaga.Keduanya akhirnya terlelap dengan saling berpelukan di atas kasur yang seadanya. Malam itu menjadi saksi bisu bahwa dua orang yang berstatus sah telah menjadi satu.Pukul lima pagi, keduanya memutuskan pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Ruangan Bulan yang awalnya rapi dan bersih kini terlihat berantakan dengan aroma bekas percintaan yang begitu kentara.Bulan sedikit meringis kala merasakan sedikit nyeri dan perih di area kewanitaannya. Tapi bukan berarti dia tidak bisa berjalan. Tidak ada yang berubah, hanya saja cara berjalan Bulan sedikit terlihat berbeda.Sepanjang jalan senyum Alfan terlihat begitu mengembang. Ada kebahagiaan yang tidak mampu diungkapkan.
“Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk keluargaku yang malam ini hadir. Mami dan Papi, juga kedua mertua dan suamiku. Terima kasih karena telah mendukung dan menjadi support system terbaik bagi karir yang kujalani. Untuk suamiku, Alfan Fatih Herlambang, terima kasih atas dukungan baik, perhatian dan waktu yang telah kamu habiskan untuk menemaniku menyelesaikan rancangan busana yang malam ini aku keluarkan. Ucapan terima kasih saja mungkin tidak akan mampu untuk mengungkapkan perasaanku saat ini. Lebih dari itu aku bahagia karena telah sampai di titik ini. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang selalu mendukungku.” Bulan mengungkapan rasa bahagianya. Bahkan terang-terangan dan bangga menyebutkan nama suaminya. Selama beberapa hari memang Alfan selalu menemaninya begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Bulan membungkukkan badan dengan sopan. Kemudian melemparkan senyum penuh haru. Acara akhirnya selesai. Bany
Zahra Jasmine, perempuan berusia 23 tahun. Berasal dari keluarga menengah ke bawah, nyaris kekurangan. Dibesarkan hanya dengan orang tua tunggal membuatnya harus menelan segala hinaan tentang statusnya. Selama ini, ia bahkan tidak pernah tahu siapa ayahnya. Bagaimana rupanya dan masihkah hidup atau sudah mati. Zahra dan kedua adiknya sudah terbiasa dengan hidup serba kekurangan. Bahkan semenjak ibunya diketahui telah pensiun dari pekerjaannya di kantor, Zahra dan kedua adiknya kerap kali kekurangan hanya sekadar untuk makan. Setelah lulus SMA, Zahra tidak melanjutkan pendidikan karena biaya yang tidak dimiliki. Bekerja di salah satu restoran sebagai pelayan adalah awal pertemuannya dengan Alfan Fatih Herlambang. Awalnya Zahra tidak pernah berharap untuk memiliki hubungan lebih dengan Alfan. Karena ia sadar bahwa status sosial mereka berbeda. Tapi wanita mana yang
“Ini nih pelakor yang merebut suami kakakku. Wajah cantik kalau hatinya busuk buat apa!” teriak suara itu lagi membuat keributan di sana tidak bisa dihindari. Beberapa orang terang-terangan menyaksikan aksi seorang perempuan belia yang tidak lain adalah adik Zahra sedang mencoba mempermalukan Bulan di tempat umum. “Cantik-cantik tapi maunya sama suami orang. Seperti tidak ada laki-laki lain saja,” sambungnya lagi berapi-api. Belum sempat Bulan bangkit, adik Zahra sudah menarik rambutnya dengan kasar hingga ia meringis menahan perih di kepalanya. “Zea, sudah. Kamu ini kenapa. Mbak Bulan tidak salah, Zea. Jangan sakiti dia.” Tiba-tiba Zahra sudah berdiri di hadapan Bulan dan mencekal tangan adiknya. “Ini kakakku dan ini pelakor yang merebut suaminya. Bayangkan saja, kakakku sedang hamil dan pelakor tidak tahu diri ini terang-terangan ingin merebutnya. Mbak Zahra-ku yang m