Share

Pernikahan Sepuluh Juta
Pernikahan Sepuluh Juta
Penulis: Zedanzee

Bab 1. Gagal Mati

Duniaku tidak sesempit urusan nasabah, jumlah saldo dan segala urusan kantor berlantai tiga. 

Tidak hanya itu. Di kepalaku, di pundak dan  segumpal darah di balik dada ini menyimpan kesakitan luar biasa. Termasuk bakal janin di dalam perutku ini. Semuanya terasa sulit diurai, sulit dimengerti oleh diri sendiri apalagi orang lain. 

Logikaku nyaris mati bahkan pendidikan selama enam belas tahun serasa tidak berguna.

Oleh sebab itu akhir-akhir ini aku sering mengabarkan kematian dari akhir sebuah masalahku. Meskipun aku tahu itu sebuah kesalahan fatal. Tidak ada satupun manusia yang mengerti mengapa aku begitu rumit.

Aku merasa kehilangan diriku yang sesungguhnya. 

Yollanda manusia tanpa jiwa.

Akan tetapi ketika pria yang mengaku bernama Ben, mengatakan jika ia mengerti keadaanku berat, satu persen beban di pundakku mulai lepas. Dan aku mulai ragu untuk loncat jembatan tempat aku berpijak sekarang.  Membayangkan jika aku tidak mati, tapi hanya patah tulang. Itu justru semakin menambah sengsara hidupku sendiri.

Ben tersenyum penuh percaya diri, sambil membentangkan tangan dia berkata, “tarik napas dalam-dalam keluarkan dari mulut,” ucap Ben sambil mempraktekan ucapanya sendiri. Dan diulang tiga kali.

Dan ajaibnya, aku mengikuti arahan itu dengan tangan yang masih berpegang erat dengan tiang jembatan dan pandanganya tidak lepas dari pria yang berdiri tepat di sebelahku. 

Aku benar-benar tidak fokus dengan rencana bunuh diri yang sudah aku yakini sebagai solusi dari semua masalah yang menderaku.

“Nona, percayalah padaku. Manusia tempatnya masalah. Kamu tahu aku juga punya masalah berat. Motor yang aku beli satu bulan lalu hancur. Masuk sungai. Temanku memaksa meminjam padahal dia tidak biasa mengendarai sepedah motor.” 

“Aku tidak peduli!” teriakku keras. 

Ben terus menerus ngoceh tanpa arah yang jelas. Sambil melangkah mendekati diriku yang masih erat berpegang tiang pagar jembatan. “Biarkan aku cerita masalahku yang berat itu Nona.” Ben diam sesaat lalu kembali berkata, “padahal temanku itu orang kaya. Dia punya mobil banyak. Mengapa masih tertarik dengan motor murahan. Bagaimana nanti aku harus bilang ayahku jika motor pemberiannya hancur?”

Dalam hitungan detik tiba-tiba Ben dengan gerakan secepat kilat meraih tubuhku dengan kasar, menyeret turun dari pagar jembatan. Aku terjatuh tepat di atas tubuh Ben. Dan beban lima puluh lima kilo cukup membuat Ben memekik kesakitan. Aku tak peduli.

Cepat-cepat aku menyingkir dari tubuh Ben. Lalu aku memeluk, mencium lutut dan menangis kencang. Tubuhku bergetar hebat, antara lemas dan kedinginan. Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku seperti manusia tanpa logika. Persis orang gila yang baru saja masuk ke rumah sakit jiwa. 

“Kamu sinting? Mau bunuh diri? Kalau kamu mati gimana?” Kini Ben yang memekikku keras semakin membuatku tertekan. 

Sesaat tangisku terhenti, mataku melotot tajam kearah Ben, penuh kemarahan aku berkata, “biar aku mati bersama bayi dalam perutku ini.” Suaraku jauh lebih keras daripada Ben.

Saat itu Ben menatapku dalam, jelas aku melihatnya meskipun cahaya lampu tidak terlalu terang. Dia tampak menatapku iba . “Tenang … tenang … tenang semua masalah hadir bersama solusi?” Suaranya berubah seratus persen lebih lembut.

“Diam kamu! Pergi sana!” Aku kembali bicara setengah teriak kasar. 

Kini aku sadar, jika pria itu sengaja  mengarang cerita untuk mengalihkan fokusku bunuh diri. Hingga dia punya kesempatan menarik tubuhku dari pagar jembatan. 

Malam itu aku pasrah, aku sudah tidak punya tenaga untuk terus pura-pura. Aku tidak peduli Ben berfikir buruk tentangku. Karena aku paham benar jika diriku sudah dalam balutan kotoran. Toh kami tidak saling mengenal, aku yakin dia tidak akan peduli denganku.

Aku kembali menangis frustasi, dan pria yang baru aku kenal itu hanya diam duduk di sampingku, atau justru dia juga bingung harus berbuat apa melihat aku menangis seperti seperti bocah kehilangan ibunya.

Nyaris setengah jam Ben menunggu tangisku reda. Tanpa bertanya dan menyentuhku, dia dengan sabar duduk menenamiku. Tak lama kemudian aku tersadar dan tangisku reda, dengan sigap dia memberikanku sebotol air mineral padaku. 

“Minumlah, kamu pasti lelah. Ini bekasku. Tapi aman,” begitulah kata Ben. 

Tapi tetap saja aku tak langsung menerimanya, aku ragu dia orang asing yang baru saja aku kenal. Melihat keraguanku Ben tak kurang akal, dengan sengaja dia minum air botol itu. “Percayalah ini aman, tidak ada racun.”

Aku raih air botol itu, lalu aku incip sedikit. Keraguan dalam hatiku semakin bertambah dengan kebaikan Ben. Mengingatkanku pada seseorang. Arya. 

Arya dahulu juga sangat baik padaku, perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, entah angin dari mana, tiga Minggu ini pria itu menghilang tanpa kabar. Dan meninggalkan bakal calon bayi di perutku. 

Dengan berjalan kaki, Ben mengantarku pulang sampai depan kamar kost. Dan yang baru aku tahu, Ben juga salah satu penghuni kost Bu Suny, kawasan aku tinggal. Jika kamar kosku di lantai satu paling pojok sebelah utara, Ben di sebelah barat lantai dua. Namun Ben baru dua bulan kost di Bu Suny sedangkan aku warga lama.

Dan baru aku tahu dari bibir Ben sendiri, dia sering melihatku sewaktu berangkat kerja pagi hari dari lantai dua. 

Bahkan selama tiga tahun aku kost di Bu Suny, aku tidak mengenal tetanggaku. Terlebih lagi Ben. Waktuku habis untuk bekerja dan jika libur aku habiskan di dalam kamar atau main bareng Sintia. Jika dahulu masih ada Arya sisa waktuku habis dengan pria itu. Namun sejak pria itu pergi entah kemana aku tidak lagi keluar kemana pun. 

Sesampainya di kost dia memintaku untuk segera ganti baju dan dia bilang juga akan segera kembali. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan Ben, aku masih dalam balutan ketakutan dan ketidak pastian. Tapi aku turuti saja apa kata Ben, jiwa ragaku sudah sangat letih luar biasa.

Tapi hati kecilku bertanya, "untuk apa dia kembali?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Musthodi Abtadi
waduhhhh pembuka mencekam sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status