"Ayah … Ayah, pulang …!"
Gadis kecil yang berumur tiga tahun berlarian keluar. Ia baru saja mendengar suara mobil ayahnya memasuki halaman. Lalu ia berlompatan menunjuk gagang pintu agar segera dibukakan."Bunda, bunda … cepat, Ayah pulang!" celotehnya lagi, menggemaskan.Naima Sanjaya. Kehidupan rumah tangganya berjalan sangat bahagia. Tidak pernah sekalipun Helmi membuatnya kecewa. Pertengkaran kecil selalu bisa diselesaikan dengan baik. Di kehamilan yang kedua ini, dia merasa kehidupan pernikahannya sangat sempurna."Sebentar, Kiran. Bunda gak bisa lari cepat, Sayang." Naima berjalan tergesa-gesa menyusul putrinya yang sangat lucu itu.Pintu terbuka, Kiran berlarian keluar. Di depan teras telah berdiri ayahnya yang membentangkan tangan dan siap untuk menangkap. Sang ayah menumpukan sebelah lutut dan mensejajarkan ketinggian mereka, ia tersenyum lebar.Tangkapan yang pas. Helmi langsung memeluk putri kecil yang sangat ia rindukan. Ia menggoyangkan tubuh kekiri dan kanan. Kemudian mengecup wajah Kiran bertubi-tubi."Ayah kangen, muuuahhh … putri kecil ayah, ayah kangen kamu!""Kiran juga kangen Ayah, banyak. Ada … segini, segini dan segini!" Kiran menunjukkan kesepuluh jarinya, lalu membuka tutup hingga tiga kali.Tingkahnya yang lucu membuat kedua orang tuanya tertawa. Naima yang sedang berjalan dengan perlahan tertawa sambil menutup mulutnya."Hahahaha … benarkah? Ayah juga kangen Kiran sebanyak itu!"Helmi mengusap puncak kepala putrinya seraya tersenyum, lalu berdiri. Ia kemudian memberikan kecupan hangat di kening Naima yang telah berada di sampingnya. Mereka tersenyum bahagia."Ayah, ayah … gendong!" pinta Kiran melompat-lompat mengangkat kedua belah tangannya."Baiklah … sini!" Helmi menempelkan kedua telapak tangannya ke bawah lengan Kiran. Dengan mudah ia mengangkat putri cantik yang sangat menggemaskan itu."Kyaaa … Ayah, haha …!"Tubuh kecil Kiran berputar-putar di udara. Helmi membuatnya menjerit dan tertawa riang. Setelah tiga kali putaran, Helmi meletakkan Kiran ke dalam gendongannya. Mereka bertiga masuk kedalam rumah dengan perasan senang.Rasa lelahnya karena pekerjaan sepanjang hari seakan sirna saat itu juga. Keluarga kecilnya adalah obat lelahnya."Semua baik-baik saja, kan, Sayang?" tanya Helmi seraya mengecup kening istrinya."Baik, Bang," jawab Naima dengan senyuman.Helmi Sanjaya, yang menjabat sebagai CEO di Antaraksa property group, sangat jarang menghabiskan waktu liburan bersama keluarga. Walaupun begitu ia tidak pernah absen untuk memberikan perhatian dan kehangatan setiap kali berada di rumah.Naima bisa mengerti dengan semua kesibukan suaminya. Ia tidak terlalu mempermasalahkan itu semua. Toh, yang suaminya lakukan adalah untuk kebahagian mereka juga di masa depan. Untuk dirinya dan anak-anak mereka kelak.Kesabaran Naima adalah kunci keutuhan rumah tangganya.***Naima yang kini tengah berbadan dua harus rela ditinggal suaminya bekerja keluar kota. Proyek baru Antaraksa grup akan berlangsung cukup lama di sana. Usia kehamilan Naima yang baru menginjak dua bulan, membuatnya harus bertahan tanpa dampingan dari suami.Naima biasanya menyibukkan diri desain pakaian. Butik miliknya saat ini sedang bersiap untuk meluncurkan produk baru. Walau merasa kesepian, tetapi Naima bisa mengalihkan pikiran pada hal lain. Ketika bosan ia akan datang berkunjung ke rumah orang tua atau ke rumah mertuanya.Seiring berjalannya waktu, usia kehamilan Naima akan menginjak di bulan ketujuh. Waktu Helmi di rumah juga semakin berkurang. Sudah dua bulan terakhir Helmi selalu bepergian."Bang … memangnya Abang harus pergi lagi ya?" Naima sedang bergelayut manja di leher suaminya.Semakin banyak usia kandungannya semakin Naima tidak ingin ditinggal oleh Helmi. Tentu saja itu karena membuatnya semakin kesepian."Iya, Sayang. Proyek di luar kota sedang ada masalah, jadi Abang harus pergi lagi untuk menyelesaikan masalahnya," jawab Helmi mengecup kening sang istri."Tapi, Abang baru pulang dua hari yang lalu," Naima mengerucutkan bibirnya , melihat itu membuat Helmi tersenyum."Sayang, dengar. Abang janji setelah semua proyek ini selesai kita akan pergi berlibur, mau kan?""Bener ya … aku gak mau Abang bohong lagi. Bulan lalu, Abang juga bilang gitu, tapi ternyata gak jadi.""Iya, Sayang … kali ini Abang akan pastikan kita bisa pergi," ucapnya saat mencubit hidung istrinya. Perut Naima yang telah tampak membesar dielus, lalu ia membungkuk dan mengecup perut bulat itu. "Haii … baby boy, ayah mau pergi dulu," sapanya pada calon anak yang masih di dalam kandungan Naima."Kenapa baby boy, Bang? Kita belum tahu jenis kelaminnya," tanya Naima melihat ke arah perutnya.Helmi kembali berdiri tegak. "Tidak apa-apa, Abang hanya ingin memanggilnya begitu. Baby boy atau girl sama saja, Sayang."Mereka tersenyum bahagia. Helmi adalah sosok pria yang sangat perhatian. Naima selalu kagum dengan cara Helmi mencurahkan kasih sayangnya. Hanya saja akhir-akhir ini ia merasa sedikit kesal dengan kesibukan suaminya itu.***Hari sudah menunjukan pukul 11.00 malam. Naima sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Ia memandang layar ponselnya yang tidak ada panggilan masuk sejak pagi. Perasaan pun mulai aneh, kenapa setiap suaminya di luar kota semakin susah dihubungi? Apalagi di waktu malam, ponsel Helmi pasti lebih sering tidak aktif."Bang, kenapa akhir-akhir ini kamu susah sekali untuk dihubungi? Apa pekerjaanmu sangat menyita waktu hingga tidak bisa memberi kabar walaupun sebentar?" batin Naima.Tombol panggil kembali ditekannya. Lagi-lagi terdengar suara operator telepon dari seberang talian sana.Naima menghela nafasnya berat. Ia membaringkan tubuhnya telentang di atas tempat tidur. Sudut matanya telah basah, perlahan menetes cairan bening dari sana. Dengan kondisi tengah berbadan dua, membuatnya lebih sensitif dan suka menangis. Sesabar-sabarnya seorang wanita, pasti akan kecewa melihat sikap suami yang seperti ini. Walaupun mungkin itu tidak disengaja, tapi perasaan yang tersakiti tidak dapat terelakkan.***Naima menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai di kantornya. "Naima boutique" mendapat pesanan baju pengantin. Jadi ia harus segera menyelesaikan desainnya terlebih dahulu. Kiran bermain di luar bersama Nara dan Maharani—sahabatnya.Tubuh ia sandarkan di sandaran kursi dan mengelus perutnya yang bulat. Alat menggambar ia biarkan berserakan di meja. Hingga siang ini, Helmi masih belum menghubungi Naima. Sehingga sulit baginya untuk berkonsentrasi. Asisten sang suami mengatakan bahwa Helmi pergi ke luar kota sendiri, dan Naima semakin merasa cemas sekarang.Suara deringan telepon tiba-tiba mengejutkannya. Naima tersadar dari lamunan. disaat bersamaan pintu diketuk dan Nara masuk ke dalam ruangan, Naima tersenyum singkat. Ia pun bergerak mengangkat gagang telepon tersebut."Halo, selamat siang, Naima boutique here.""Selamat siang, gue Serra.""Iya, Bu Serra. Ada yang bisa saya bantu?""Tentu saja ada. Gue minta lo jangan terlalu mengharapkan Helmi untuk sering bersama lo sekarang."Deg ... hati Naima terasa bergetar hebat. Mendengar nama suaminya disebut, dunianya terasa ingin runtuh. Melihat itu, Nara langsung menghampiri Naima dan menopang tubuhnya yang hampir jatuh."Kamu siapa? Kenapa menyebut nama suamiku?" tanya Naima dengan suara tercekat."Gue adalah istrinya Helmi, istri keduanya." Suara wanita itu terdengar arogan.Seketika tangan yang menggenggam gagang telepon bergetar. Desiran aliran darah mengalir cepat melewati saraf di tubuhnya. Detakan jantung Naima pun memacu lebih cepat memompa darahnya, disertai dengungan sesaat di telinga. Seakan raga wanita berbadan dua itu hampir runtuh ditimpa beban di kepala."Maksud kamu apa?" tanya Naima bingung setelah terdiam beberapa saat, pernyataan wanita lawan bicaranya itu tentu tak dipercaya begitu saja. Suaminya tidak mungkin menikah lagi secara diam-diam, bukan?"Helmi dan gue sudah menikah lima bulan yang lalu. Gue harap lo bisa terima untuk berbagi suami sama gue," ujar wanita asing itu lagi masih dengan nada angkuh.Wanita ini pasti mengada-ada, Naima tidak akan percaya begitu saja. "Hei, Nona Serra. Siapa pun kamu, jangan berusaha merusak kebahagiaan kami. Aku sangat mempercayai suamiku!"Naima tampak sangat marah, melihat itu rasa keingintahuan Nara semakin besar. "Nai, kamu kenapa? Siapa yang menelpon?" bisik Nara, Naima membalas dengan gelengan
Selesai memandikan Kiran, mereka diam di dalam kamar sang putri. Pintu akses ke Kamar Naima sudah pun dikunci. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara ketukan, kali ini dari pintu kamar Kiran sendiri. Helmi terus memanggil nama Kiran dan Naima."Naima, Sayang … keluar ya? Kita bicara sebentar." Tak terdengar lagi kekalutan dari suara Helmi. Pria itu terdengar tenang dan sabar.Namun, Naima hanya diam, tak berniat untuk merespon panggilan itu. Kiran tampak bingung dengan diamnya sang bunda. Sedangkan Nara hanya bisa menghela napas berat, dia tau ini sangat sulit untuk diterima. Hingga terdengar lagi panggilan dari Helmi."Kiran … Cantik … keluar dong … ajak Bunda juga ya, Sayang ….!" Kali ini bujukkan itu dilakukan pada sang putri, yang langsung mendapat perhatian dari gadis kecil itu."Ayah …." Wajah mungil itu menoleh pada sang bunda. "Ayah, Bunda. Kenapa Bunda gak bukain pintu?" Pertanyaan polos Kiran lontarkan."Nai, sebaiknya kamu buka pintu. Ada Kiran di sini, tidak baik membiark
Pertanyaan Rinjani sedikit membuat dada Naima bergetar. Jawaban yang tepat harus segera dia berikan. Jika tidak, mamanya bisa curiga."Masih di luar kota, Ma," jawab Naima menahan kegugupannya."Oo, ya udah masuk dulu. Mama mau cerita banyak sama kamu." Jani mengajak mereka masuk. "Nara, ayo masuk. Kita sarapan sama-sama.""Iya, Tante," jawab Nara sedikit sungkan, karena memang jarang datang. Mengingat keberadaan seseorang di rumah itu membuatnya sedikit canggung.Naima yang melihat sikap sahabatnya, tersenyum geli. Dia tau Nara pasti sedang mencemaskan sesuatu. Tiba-tiba tangan Nara ditarik Kiran agar cepat masuk kedalam. "Tante … ayo masuk! Kiran mau ketemu Om Ganteng!" ajak gadis kecil itu tidak sabar disertai sikap centilnya."I–iya, Sayang …."Naima dan Rinjani menggeleng bersamaan. Melihat tingkah lucu Kiran adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Gadis kecil itu memang selalu bersemangat, apalagi jika dengan kehadiran Nara di rumah itu. Kiran akan semakin bersemangat mempertemu
Naima pun menyurutkan air matanya. Lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mengganti pakaian mereka keluar dari kamar. Naima mengantar sahabatnya hingga ke depan pintu rumah. Hari ini Naima bisa sedikit tenang. Helmi tidak lagi mengganggunya melalui panggilan telepon. Paling tidak hari ini dia bisa memikirkan langkah apa selanjutnya yang akan dia ambil. Naima mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Berharap dia bisa mendapatkan bantuan dari orang itu.Akan tetapi, pada malam harinya, Helmi tiba-tiba datang. Tidak mengejutkan bagi Naima. Helmi jenis orang yang tidak akan melepaskan apa yang dia punya, dan akan mengejar apa pun yang dia inginkan.Naima mendatangi Helmi di teras pintu masuk. "Kenapa datang ke sini, Bang?" "Sayang, ikut Abang pulang ya, kita bicarakan baik-baik," bujuk Helmi dengan wajah memelas."Baik-baik yang bagaimana maksud, Abang?" Naima membuang muka."Sayang …." Ucapan Helmi tiba-tiba terhenti. Rinjani tiba-tiba keluar menghampiri mereka. "Helmi
Lirikan mata Naima yang tajam, membuat nyali Helmi semakin ciut. Tidak hanya sekedar kecewa, kemarahan tertahan tampak jelas dari mata dan wajah istrinya itu."Abang, akan jelaskan.""Ya! Memang seharusnya seperti itu!" Naima melepaskan genggaman tangan suaminya."Abang minta maaf … abang memang telah menikah lagi, tanpa sepengetahuan kamu." Pengakuan Helmi yang jelas akhirnya terucap.Seketika jantung Naima langsung berdesir hebat. Seakan jatuh dari ketinggian, pengakuan suaminya itu sangat menyakitkan."Jadi?" Suara Naima sedikit serak, menahan tangisan yang hampir pecah, berusaha menahan agar Helmi tidak melihat sisi lemahnya."Abang minta tolong, agar kamu mau merahasiakan dulu dari keluarga kita."Tatapan Naima sinis pada sang suami. "Alasannya?""Abang belum siap …."Naima lantas membuang muka. Pernyataan Helmi mengakui kesalahan saja masih belum bisa dia terima. Sekarang malah harus menerima permintaan yang sangat tidak bisa dimaafkan."Belum siap? Oo … mudah sekali ya? Abang t
Helmi bersikap selayaknya pria sejati. Tentu saja dia harus bertanggung jawab. Walaupun apa yang dia lakukan adalah karena ketidaksengajaan. Namun, sebagai laki-laki dia tidak akan pernah sembarangan menanggapi masalah.Sherra mengusap air matanya, dia akhirnya sedikit tenang, lalu dia beringsut, berniat untuk membersihkan dirinya ke kamar mandi. Baru saja dia berdiri di samping ranjang, wanita itu pun kembali terduduk. “Auw!” Ringgisan kecil keluar dari bibirnya.Sherra menahan rasa sakit di pangkal pahanya. Kejadian semalam sangat meninggalkan bekas di tubuh bagian bawahnya. "Sher, kamu baik-baik saja?" Melihat wanita itu kesulitan untuk berdiri, Helmi pun merasa kasihan. Dia pun teringat akan kejadian malam pertama dengan istrinya. Naima juga kesulitan berjalan karena merasa nyeri akibat ulahnya.“Ini pertama kali bagiku, Mas. Wajar jika aku merasakan sakit." Sherra tak melihat kearah pria itu, hatinya masih kesal dengan kejadian buruk yang menimpanya semalam. Dia pun memunguti ba
Keluh kesah Naima, membuat Nara sangat terenyuh.“Naima, sebaiknya kamu bicarakan berdua sama suami kamu, biar semuanya jelas. Kalau kamu di sini terus, masalahnya akan semakin berlarut-larut,” ujar Nara yang ikut merasakan penderitaan sahabatnya itu.“Iya, Ra. Beberapa hari lagi aku akan pulang. Tapi, aku akan menitipkan Kiran dulu di sini. Aku nggak mau dia nanti melihatku dan Bang Helmi berseteru,” ucapnya sambil menahan air mata yang mulai membendung. “Naima, yang sabar, ya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga ada jalan keluar untuk rumah tangga kamu dan Bang Helmi.” “Iya, Ra. Terima kasih, ya.” Keduanya pun beranjak dari duduknya dan segera menuju kamar. “Eh, iya, Kiran mana?” tanya Nara kemudian.“Kiran lagi di taman belakang sama omanya. Yuk, ke sana,” ajak Naima menggandeng tangan Nara. Mereka pun menuju taman belakang, dimana Kiran sedang asyik bermain. “Tante Cantik ...!” teriak Kiran dari kejauhan berlari sambil membawa bola kecil di tangannya.“Hay,
Asap kendaraan mengebul mencemari jalan raya kota, suara klakson bersahutan memekakkan telinga. Naima yang sedang berada di dalam mobil itu tengah melamun, melihat orang yang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka di awal pagi ini.Pikiran Naima mulai kalut. Tak dapat dibayangkan sebelumnya, rumah tangga yang dia banggakan selama ini ternyata hanya drama. Perhatian suaminya, ternyata juga hanya sandiwara penuh kepalsuan. Buliran hangat lagi-lagi menetes dari pelupuk matanya, tak sanggup lagi dia bendung. Tak terasa, Naima hanyut dalam lamunannya hingga sampai rumah pun dia tidak menyadarinya. “Non ... sudah sampai,” panggil sang sopir yang menengok ke belakang, ke arah Naima. Naima tidak menjawab, pandangannya kosong terfokus pada jendela mobil yang mengarah ke jalan.“Non Naima ....” Lagi-lagi sopir itu menegur dan sedikit meninggikan nada suaranya. “Ah, iya, Pak. Ada apa?” Naima terkejut, lalu menoleh.“Sudah sampai rumah, Non.” “Astaga, maaf ya, Pak. Tadi saya sedikit ngantuk,