Share

Pernikahan Tak Sempurna
Pernikahan Tak Sempurna
Penulis: MamGemoy

1. Kamu siapa?

"Ayah … Ayah, pulang …!"

Gadis kecil yang berumur tiga tahun berlarian keluar. Ia baru saja mendengar suara mobil ayahnya memasuki halaman. Lalu ia berlompatan menunjuk gagang pintu agar segera dibukakan.

"Bunda, bunda … cepat, Ayah pulang!" celotehnya lagi, menggemaskan.

Naima Sanjaya. Kehidupan rumah tangganya berjalan sangat bahagia. Tidak pernah sekalipun Helmi membuatnya kecewa. Pertengkaran kecil selalu bisa diselesaikan dengan baik. Di kehamilan yang kedua ini, dia merasa kehidupan pernikahannya sangat sempurna.

"Sebentar, Kiran. Bunda gak bisa lari cepat, Sayang." Naima berjalan tergesa-gesa menyusul putrinya yang sangat lucu itu.

Pintu terbuka, Kiran berlarian keluar. Di depan teras telah berdiri ayahnya yang membentangkan tangan dan siap untuk menangkap. Sang ayah menumpukan sebelah lutut dan mensejajarkan ketinggian mereka, ia tersenyum lebar.

Tangkapan yang pas. Helmi langsung memeluk putri kecil yang sangat ia rindukan. Ia menggoyangkan tubuh kekiri dan kanan. Kemudian mengecup wajah Kiran bertubi-tubi.

"Ayah kangen, muuuahhh … putri kecil ayah, ayah kangen kamu!"

"Kiran juga kangen Ayah, banyak. Ada … segini, segini dan segini!" Kiran menunjukkan kesepuluh jarinya, lalu membuka tutup hingga tiga kali.

Tingkahnya yang lucu membuat kedua orang tuanya tertawa. Naima yang sedang berjalan dengan perlahan tertawa sambil menutup mulutnya.

"Hahahaha … benarkah? Ayah juga kangen Kiran sebanyak itu!"

Helmi mengusap puncak kepala putrinya seraya tersenyum, lalu berdiri. Ia kemudian memberikan kecupan hangat di kening Naima yang telah berada di sampingnya. Mereka tersenyum bahagia.

"Ayah, ayah … gendong!" pinta Kiran melompat-lompat mengangkat kedua belah tangannya.

"Baiklah … sini!" Helmi menempelkan kedua telapak tangannya ke bawah lengan Kiran. Dengan mudah ia mengangkat putri cantik yang sangat menggemaskan itu.

"Kyaaa … Ayah, haha …!"

Tubuh kecil Kiran berputar-putar di udara. Helmi membuatnya menjerit dan tertawa riang. Setelah tiga kali putaran, Helmi meletakkan Kiran ke dalam gendongannya. Mereka bertiga masuk kedalam rumah dengan perasan senang.

Rasa lelahnya karena pekerjaan sepanjang hari seakan sirna saat itu juga. Keluarga kecilnya adalah obat lelahnya.

"Semua baik-baik saja, kan, Sayang?" tanya Helmi seraya mengecup kening istrinya.

"Baik, Bang," jawab Naima dengan senyuman.

Helmi Sanjaya, yang menjabat sebagai CEO di Antaraksa property group, sangat jarang menghabiskan waktu liburan bersama keluarga. Walaupun begitu ia tidak pernah absen untuk memberikan perhatian dan kehangatan setiap kali berada di rumah.

Naima bisa mengerti dengan semua kesibukan suaminya. Ia tidak terlalu mempermasalahkan itu semua. Toh, yang suaminya lakukan adalah untuk kebahagian mereka juga di masa depan. Untuk dirinya dan anak-anak mereka kelak.

Kesabaran Naima adalah kunci keutuhan rumah tangganya.

***

Naima yang kini tengah berbadan dua harus rela ditinggal suaminya bekerja keluar kota. Proyek baru Antaraksa grup akan berlangsung cukup lama di sana. Usia kehamilan Naima yang baru menginjak dua bulan, membuatnya harus bertahan tanpa dampingan dari suami.

Naima biasanya menyibukkan diri desain pakaian. Butik miliknya saat ini sedang bersiap untuk meluncurkan produk baru. Walau merasa kesepian, tetapi Naima bisa mengalihkan pikiran pada hal lain. Ketika bosan ia akan datang berkunjung ke rumah orang tua atau ke rumah mertuanya.

Seiring berjalannya waktu, usia kehamilan Naima akan menginjak di bulan ketujuh. Waktu Helmi di rumah juga semakin berkurang. Sudah dua bulan terakhir Helmi selalu bepergian.

"Bang … memangnya Abang harus pergi lagi ya?" Naima sedang bergelayut manja di leher suaminya.

Semakin banyak usia kandungannya semakin Naima tidak ingin ditinggal oleh Helmi. Tentu saja itu karena membuatnya semakin kesepian.

"Iya, Sayang. Proyek di luar kota sedang ada masalah, jadi Abang harus pergi lagi untuk menyelesaikan masalahnya," jawab Helmi mengecup kening sang istri.

"Tapi, Abang baru pulang dua hari yang lalu," Naima mengerucutkan bibirnya , melihat itu membuat Helmi tersenyum.

"Sayang, dengar. Abang janji setelah semua proyek ini selesai kita akan pergi berlibur, mau kan?"

"Bener ya … aku gak mau Abang bohong lagi. Bulan lalu, Abang juga bilang gitu, tapi ternyata gak jadi."

"Iya, Sayang … kali ini Abang akan pastikan kita bisa pergi," ucapnya saat mencubit hidung istrinya. Perut Naima yang telah tampak membesar dielus, lalu ia membungkuk dan mengecup perut bulat itu. "Haii … baby boy, ayah mau pergi dulu," sapanya pada calon anak yang masih di dalam kandungan Naima.

"Kenapa baby boy, Bang? Kita belum tahu jenis kelaminnya," tanya Naima melihat ke arah perutnya.

Helmi kembali berdiri tegak. "Tidak apa-apa, Abang hanya ingin memanggilnya begitu. Baby boy atau girl sama saja, Sayang."

Mereka tersenyum bahagia. Helmi adalah sosok pria yang sangat perhatian. Naima selalu kagum dengan cara Helmi mencurahkan kasih sayangnya. Hanya saja akhir-akhir ini ia merasa sedikit kesal dengan kesibukan suaminya itu.

***

Hari sudah menunjukan pukul 11.00 malam. Naima sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Ia memandang layar ponselnya yang tidak ada panggilan masuk sejak pagi. Perasaan pun mulai aneh, kenapa setiap suaminya di luar kota semakin susah dihubungi? Apalagi di waktu malam, ponsel Helmi pasti lebih sering tidak aktif.

"Bang, kenapa akhir-akhir ini kamu susah sekali untuk dihubungi? Apa pekerjaanmu sangat menyita waktu hingga tidak bisa memberi kabar walaupun sebentar?" batin Naima.

Tombol panggil kembali ditekannya. Lagi-lagi terdengar suara operator telepon dari seberang talian sana.

Naima menghela nafasnya berat. Ia membaringkan tubuhnya telentang di atas tempat tidur. Sudut matanya telah basah, perlahan menetes cairan bening dari sana. Dengan kondisi tengah berbadan dua, membuatnya lebih sensitif dan suka menangis. Sesabar-sabarnya seorang wanita, pasti akan kecewa melihat sikap suami yang seperti ini. Walaupun mungkin itu tidak disengaja, tapi perasaan yang tersakiti tidak dapat terelakkan.

***

Naima menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai di kantornya. "Naima boutique" mendapat pesanan baju pengantin. Jadi ia harus segera menyelesaikan desainnya terlebih dahulu. Kiran bermain di luar bersama Nara dan Maharani—sahabatnya.

Tubuh ia sandarkan di sandaran kursi dan mengelus perutnya yang bulat. Alat menggambar ia biarkan berserakan di meja. Hingga siang ini, Helmi masih belum menghubungi Naima. Sehingga sulit baginya untuk berkonsentrasi. Asisten sang suami mengatakan bahwa Helmi pergi ke luar kota sendiri, dan Naima semakin merasa cemas sekarang.

Suara deringan telepon tiba-tiba mengejutkannya. Naima tersadar dari lamunan. disaat bersamaan pintu diketuk dan Nara masuk ke dalam ruangan, Naima tersenyum singkat. Ia pun bergerak mengangkat gagang telepon tersebut.

"Halo, selamat siang, Naima boutique here."

"Selamat siang, gue Serra."

"Iya, Bu Serra. Ada yang bisa saya bantu?"

"Tentu saja ada. Gue minta lo jangan terlalu mengharapkan Helmi untuk sering bersama lo sekarang."

Deg ... hati Naima terasa bergetar hebat. Mendengar nama suaminya disebut, dunianya terasa ingin runtuh. Melihat itu, Nara langsung menghampiri Naima dan menopang tubuhnya yang hampir jatuh.

"Kamu siapa? Kenapa menyebut nama suamiku?" tanya Naima dengan suara tercekat.

"Gue adalah istrinya Helmi, istri keduanya." Suara wanita itu terdengar arogan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status