Share

8. Pulang ke rumah

Keluh kesah Naima, membuat Nara sangat terenyuh.

“Naima, sebaiknya kamu bicarakan berdua sama suami kamu, biar semuanya jelas. Kalau kamu di sini terus, masalahnya akan semakin berlarut-larut,” ujar Nara yang ikut merasakan penderitaan sahabatnya itu.

“Iya, Ra. Beberapa hari lagi aku akan pulang. Tapi, aku akan menitipkan Kiran dulu di sini. Aku nggak mau dia nanti melihatku dan Bang Helmi berseteru,” ucapnya sambil menahan air mata yang mulai membendung.

“Naima, yang sabar, ya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga ada jalan keluar untuk rumah tangga kamu dan Bang Helmi.”

“Iya, Ra. Terima kasih, ya.”

Keduanya pun beranjak dari duduknya dan segera menuju kamar. “Eh, iya, Kiran mana?” tanya Nara kemudian.

“Kiran lagi di taman belakang sama omanya. Yuk, ke sana,” ajak Naima menggandeng tangan Nara. Mereka pun menuju taman belakang, dimana Kiran sedang asyik bermain.

“Tante Cantik ...!” teriak Kiran dari kejauhan berlari sambil membawa bola kecil di tangannya.

“Hay, gadis manis ... lagi main apa?”

“Main bola, Tante. Tante ikut aku yuk!” ajak Kiran, batita itu dengan semangat menarik tangan Nara untuk ikut bermain dengannya.

Sementara itu, Naima tersenyum menyaksikan tingkah lucu putrinya itu.

“Naima, duduk sini.” Rinjani menepuk kursi panjang sebelahnya, mengisyaratkan agar Naima duduk di sampingnya.

“Iya, Ma. Ada apa?” Naima pun menurut, dia segera duduk dan menatap wajah sang mama.

“Mama, sedikit bingung dengan kalian berdua.” Jani membuka pembicaraan, memecah keheningan yang beberapa saat lalu.

“Maksud Mama? Kalian siapa?”

“Ya, kamu sama Helmi, Naima. Siapa lagi, masa Nara?” Jani terkekeh, mengukir senyum tipisnya, sengaja sedikit menciptakan candaan agar suasana sedikit cair. “Kalian ada masalah apa? Kenapa nggak cerita sama mama?”

“Ah, itu ... kami nggak ada masalah apa-apa kok, Ma. Hanya saja, Nai—“

“Apa, Nak. Ceritalah, mama nggak mau kamu terus-terusan bersedih seperti ini. Apa yang sudah Helmi lakukan?” Jani terus menekan Naima untuk berterus terang. Sedangkan Naima, dia pun tak tahu harus berbohong bagaimana lagi agar mamanya percaya.

“Ma, Nai kesal. Bang Helmi itu akhir-akhir ini sering keluar kota dan lembur. Dia sudah tidak pernah lagi memperhatikan Nai. Padahal, Nai ingin sekali Bang Helmi menghabiskan waktu di rumah sama Nai dan Kiran,” ucap Naima akhirnya. Pikirannya langsung terbesit kebohongan itu.

Naima tak peduli bagaimana respon mamanya setelah ini, yang terpenting dia sudah mengatakan sesuatu, daripada harus diam dan dicurigai.

“Benarkah? Kamu nggak lagi bohong, kan, Sayang?” tanya Jani tak percaya dan berusaha meyakinkan.

“Iya, Ma. Memang itu sebabnya, makanya Nai ke sini. Karena Nai kesepian di rumah sendirian."

Rinjani mengelus punggung Naima, ia mencoba menenangkan apa yang putrinya ceritakan. Namun, tetap saja hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naima. Rinjani mencoba percaya untuk saat ini, tetapi dia pasti akan mencari tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga mereka.

***

"Entahlah, aku tidak yakin," ujar Naima dari sambungan telepon selulernya.

Helmi selalu menghubunginya setiap hari. Namun, tentu saja responnya tidak selalu baik. Terkadang dia mengabaikan panggilan di ponselnya yang terus bergetar tanpa nada dering itu di meja. Naima tak peduli jika Helmi-lah yang menghubungi.

"Sayang, ini sudah satu minggu. Abang sangat rindu kalian," suara Helmi terdengar sangat memelas.

"Apa dengan pulang aku akan merasa nyaman? Semenjak apa yang kamu lakukan terus berputar di kepalaku." Ucapan sarkas Naima akhirnya terucap.

"Sayang, abang janji ... abang akan memberikan perhatian penuh untuk kamu dan Kiran. Pulang yah ... Naima, Sayang!"

Permohonan Helmi mendapat ejekan sinis di raut wajah Naima. Dia tak lagi peduli, apa yang dikatakan suaminya itu benar atau tidak. Seolah Naima sudah tau apa yang terjadi disekitar Helmi sekarang.

"Kita lihat saja nanti. Abang jangan nelpon lagi nanya kapan aku pulang. Jika aku mau, aku pasti pulang," balas Naima akhirnya. Terdengar tegas dan tak ingin dibantah.

"Baik, Sayang ... abang ngak aka telepon lagi, asal kamu dan Kiran mau pulang ke rumah. Tapi, kabari abang ya ... abang akan jemput."

"Emm ...," jawab Naima singkat. Panggilan itu pun dia matikan tanpa salam.

Dan, Yah ... Naima memutuskan untuk pulang ke rumah, tentu saja tanda mengabarkan kepada Helmi. Akan tetapi, dia menitipkan Kiran pada orang tuanya. Dia beralasan kepada mamanya bahwa dia sudah mulai merasakan perutnya sakit dan cepat lelah. Jadi butuh bantuan untuk menjaga Kiran sementara waktu.

Tidak mungkin jika dia terus menjaga Kiran dengan keterbatasan tenaganya yang sudah mulai berkurang. Tak seperti saat sebelum hamil. Meskipun ada asisten rumah tangganya yang membantu, tetapi tetap saja akan kalah perhatian dengan Jani—mamanya, yang memanjakan cucunya setulus hati.

Alasan kedua, karena dia juga tidak ingin, Kiran melihat perseteruannya dengan Helmi. Tidak baik jika anak sekecil Kiran mengetahui pertengkaran orang tuanya.

Di meja makan, setelah Naima menyelesaikan sarapan dengan kedua orang tuanya, kakak dan juga putri kecilnya. Dia segera pamit untuk pulang kepada papa dan kakaknya yang akan berangkat ke kantor terlebih dulu. Setelah mengantar ke depan pintu Naima juga berpamitan kepada mamanya.

“Naima, kamu yakin mau pulang sekarang?” tanya Jani, yang merasa keberatan jika Naima meninggalkan rumah keluarganya itu.

“Iya, Ma. Sudah seminggu Nai di sini, kasihan Bang Helmi kalau Nai kelamaan di sini,” tutur Naima. Dia berkelit mencari alasan agar mamanya mengizinkan.

“Ya sudah, mama nggak bisa maksa kamu. Tapi, kamu pulang diantar sopir aja, ya,” pinta Jani yang langsung dibalas anggukan oleh Naima.

Naima beranjak dari kursi, dan menghampiri Kiran yang sedang duduk manis sambil menikmati biskuit kesukaannya.

“Sayang, Bunda pulang ke rumah dulu ya. Kiran di sini sama oma dan opa. Kiran jangan nakal, ya ....” Naima sedikit membungkuk dan mengelus lembut pucuk kepala kiran. Dia menatap sayu anaknya, wajah mungil tak berdosa itulah penyemangatnya saat ini.

Naima tak bisa membayangkan jika dirinya berpisah dengan Helmi, bagaimana dengan putri kecilnya itu? Dan juga, anak yang bahkan belum melihat dunia di dalam perutnya ini. Apa mereka akan kehilangan sosok ayah?

Mata Naima sedikit basah menatap sayu Kiran, anak kecil itu masih tidak tahu apa-apa tentang permasalahan kedua orang tuanya.

“Nai, Sayang. Kenapa melamun?” tanya Jani saat memerhatikan Naima dari kursi seberang.

“Ah, nggak, Ma. Nai hanya sedih, beberapa hari nanti, Nai nggak ketemu Kiran. Pasti kangen banget.”

“Kan, masih bisa video call, Sayang. Sudah jangan khawatir. Kiran aman sama mama.”

Naima pun mengangguk mendengar ucapan Jani. “Ya sudah kalau begitu, Ma. Nai pulang dulu, ya. Titip kiran, maaf Nai sudah merepotkan Mama,” ucap Naima sambil mengulurkan tangan mengajak Jani bersalaman. Keduanya pun berpelukan, Naima hanya menahan sesak di dada.

Ingin rasanya dia menceritakan semuanya pada sang mama. Tapi dia belum siap. Naima memilih waktu yang tepat untuk membongkar semua kelakuan suaminya itu pada keluarganya.

"Apa yang akan terjadi jika aku ungkapkan semua ke semua orang?" batin Naima bertanya-tanya. "Mungkin semua akan semakin kacau dan ...."

***

MamGemoy

Haiii Pembaca semuanya .... Terima kasih telah mengikuti novel "Pernikahan Tak Sempurna" , Silakan lanjutkan membaca hingga bab 30. Semoga dengan membaca kisah hasil halu author, dapat menghibur kalian. Author sadar masih banyak kekurangan dalam cerita ini. Follow ya IG @mamgemoy .... Akan ada hadiah untuk kalian di sepanjang tahun 2023 ini. Terima kasih

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status