Share

Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas
Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas
Author: Raudhah

Bab 1

Author: Raudhah
Menjelang hari pernikahan, Nando tiba-tiba menjadi korban pemukulan.

Saat aku mendengar kabar buruk itu dan buru-buru ke rumah sakit, dia sudah tak mengenaliku lagi.

Dokter bilang, kepalanya mengalami benturan hebat, menyebabkan amnesia sementara.

Sejak itu, aku mengerahkan segalanya.

Kucoba mengajaknya mengunjungi ulang semua tempat penuh kenangan kita, berharap bisa membangkitkan kembali ingatannya.

Tapi saat kami kembali ke rumah sakit untuk pemeriksaan, aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan teman-temannya.

“Rani udah sebaik itu sama kamu, kamu nggak terharu?”

“Terharu apanya, aku mau muntah. Setiap hari mutar di tempat yang itu-itu aja, nggak ada hal baru. Cewek-cewek baru malah lebih seru dan bervariasi.”

“Kalau gitu kenapa masih mau nikah sama dia? Menurut aku sih, mending batalkan aja tunangannya, hidup lebih bebas.”

Tapi dia malah marah besar.

“Ngomong apa kamu?! Aku cinta banget sama Rani, mana mungkin aku batalkan pertunangan kami! Aku pasti akan menikahinya! Cuma, waktunya ditunda sedikit.”

Saat aku melihat hasil pemeriksaan di tanganku yang menunjukkan semuanya normal, aku baru benar-benar tersadar.

Ternyata, memang tak bisa membangunkan orang yang pura-pura tidur.

Di dalam ruang rawat, suara obrolan Nando dan temannya masih terdengar.

Namun kali ini lebih pelan, seakan mereka mulai membicarakan sesuatu yang tak ingin orang lain dengar.

Tak lama kemudian, keduanya tertawa kecil, rendah, jijik, seperti berbagi rahasia kotor.

Nada suaranya terdengar jelas, antusias, penuh semangat.

“Ayo siap-siap, malam ini harus seru banget!”

“Tenang, Bro. Malam ini aku bakal cariin beberapa cewek yang terbuka dan enerjik, biar kamu puas banget!”

“Tapi kalau kamu terus begini, nggak takut kehilangan Rani selamanya?”

Jawaban Nando datang begitu santai, namun setiap katanya terasa seperti belati menusuk langsung ke dadaku.

“Takut kenapa? Dia cinta mati sama aku. Bahkan kalau harus nunggu sepuluh tahun pun, dia nggak akan ragu.”

Tak lama, terdengar langkah kaki dari dalam kamar.

Aku buru-buru menyeka air mata di sudut mataku, lalu pura-pura baru saja tiba di depan pintu kamar.

Begitu temannya keluar dan melihatku, dia langsung menyapaku dengan senyum ramah.

“Eh, Kakak ipar datang ya? Sayangnya kondisi Kak Nando belum pulih betul, sampai lupa banyak hal tentang kami juga. Tapi tenang, nanti malam aku udah rencana bikin acara kecil-kecilan buat bantu dia pulihkan ingatannya.”

Aku hanya bisa memaksakan senyum.

Ternyata aku memang bodoh.

Sekarang aku mulai paham, apa sebenarnya maksud dari “acara” yang mereka bicarakan.

Dulu aku nggak tahu apa-apa, bahkan sempat berterima kasih dengan tulus.

“Kalau begitu, terima kasih, ya.”

“Ah, Kakak ipar jangan sungkan. Kak Nando lagi pusing di dalam, temani aja dulu. aku pamit dulu, harus siapin acara malam ini.”

Aku melangkah masuk ke kamar rawat.

Nando mengernyitkan dahi saat melihatku, suaranya terdengar sinis dan tak sabar.

“Kamu datang lagi? Sudah kubilang, aku nggak kenal kamu!”

“Aku tahu aku ganteng, wajar kalau banyak cewek suka sama aku. Tapi kamu? Pengen nikah sama aku? Mimpi dulu!”

“Beberapa hari ini aku udah nemenin kamu keliling ke berbagai tempat, tapi tetap nggak ada yang bikin aku inget apa pun. Terus kamu masih ngejar-ngejar aku buat apa?”

Aku menggigit bibirku, menahan emosi.

Padahal tadi di depan pintu aku sudah mendengar semuanya.

Tapi tetap saja, saat berhadapan langsung begini, rasa sakit itu kembali menghantam keras dari dalam dada.

Dulu, dia yang pernah rela memutus hubungan dengan keluarganya demi aku.

Kita sudah berjuang sejauh ini, tinggal selangkah lagi menuju pernikahan.

Tapi kenapa dia bisa berubah sejauh ini?

Aku mengulurkan hasil pemeriksaan dari tanganku padanya.

“Nggak ada apa-apa, cuma bawain hasil pemeriksaanmu. Kamu sehat, dan sudah boleh pulang.”

Nando tampak terkejut, lalu wajahnya langsung sumringah.

“Serius?!”

Padahal, alasan dia belum boleh pulang selama ini adalah karena aku yang memintanya tetap di rumah sakit.

Sebagian alasannya untuk menyembuhkan "hilang ingatannya", dan sebagian lagi karena aku khawatir ada efek samping dari pemukulan itu.

Tapi sekarang, semuanya jadi jelas.

Dia tidak pernah kehilangan ingatan.

Bahkan mungkin, pemukulan itu hanya sandiwara yang dia rancang sendiri, demi menunda pernikahan kami.

Kalau begitu, aku akan memenuhi keinginannya.

“Tentu saja serius. Kamu sehat walafiat, nggak ada penyakit. Ngapain juga ngabisin tempat tidur rumah sakit?”

Nando langsung bangkit dari ranjang, membuka lemari, dan mulai memilih baju bersih untuk dipakai.

Dia masih mengernyit kesal sambil bertanya padaku, kenapa jaket santai warna biru tua miliknya tidak terlihat di mana pun.

Aku menunduk, dan rasanya seperti ada pisau yang langsung menusuk ke dalam dadaku.

Jaket itu, aku yang membelikannya untuk dia.

Jadi sekarang, karena terlalu senang akhirnya bisa keluar dari rumah sakit, dia sampai lupa menutup celah dalam kebohongannya?

“Katanya kamu nggak kenal aku, tapi kenapa kamu masih ingat jaket yang aku belikan?”

Setelah bicara begitu, aku menatapnya dalam-dalam, mencoba menggugah sedikit saja nuraninya.

Tangan Nando sempat terhenti di udara selama setengah detik.

Lalu tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke lantai sambil memegangi kepala, menjerit kesakitan.

“Aaakhhh! Sakit! Kepala aku sakit banget!”

Dokter segera datang dan butuh waktu cukup lama untuk menenangkannya.

Nando menatapku dengan pandangan penuh kebencian.

“Suruh perempuan ini keluar! Dia yang bikin kepala aku makin sakit!”

“Dia bukannya mau bantu aku sembuh, malah sengaja nyiksa aku!”

Aku hanya bisa tersenyum getir dan memejamkan mata sebentar, lalu tanpa sepatah kata pun, berbalik dan melangkah keluar dari ruang rawat.

Dokter menyusulku ke luar dan berusaha menasihatiku dengan pelan.

“Nona Rani, kondisi pasien saat ini masih belum stabil, sebaiknya jangan terlalu memberi rangsangan emosional berlebihan.”

Seketika aku mengerti maksudnya.

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa aku paham.

“Saya mengerti, Dok. Tolong sampaikan pada dia. Mulai sekarang, saya nggak akan ganggu atau membuat dia kesal lagi.”
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 8

    Tapi yang nggak pernah aku sangka, belum genap dua hari berlalu, pria yang katanya mau menikah dengan Keluarga Citata itu, malah muncul di depan rumahku dengan santainya, seolah nggak terjadi apa-apa.Salah satu kakinya pincang.Begitu lihat aku, dia langsung menangis sejadi-jadinya, seperti dunia mau runtuh.“Rani, akhirnya aku nemuin kamu.”“Kamu tahu nggak, demi nyari kamu, aku udah ngalamin macam-macam! Bahkan kaki ini, aku loncat dari lantai dua vila demi kabur, terus patah!”Tapi aku cuma menatapnya datar, tanpa sedikit pun rasa kasihan. Dengan nada tenang, aku tanya:“Maaf, Anda siapa?”Kalimat itu hampir bikin Nando runtuh seketika.Dia tertatih-tatih mendekat, berusaha pegang tanganku, tapi aku sigap menghindar tanpa ragu sedikit pun.“Pak, kalau Anda berani ganggu saya lagi, saya bisa laporin Anda ke polisi, biar ditangkap dan dijeblosin ke penjara!”Matanya memerah, menatapku seperti orang kehilangan akal. Dia teriak histeris.“Aku nggak percaya kamu benar-benar lupa sama ak

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 7

    Setelah meninggalkan kontrakan, aku memilih pulang ke kampung halaman.Begitu melihatku pulang, ayah dan ibu langsung menyambut dengan ekspresi penuh keharuan, bahkan suara mereka terdengar gemetar, nyaris menangis.“Rani, kenapa kamu pulang? Bukannya belum waktunya nikah ya?”Aku langsung menubruk pelukan ibuku.Sebenarnya, dari awal orang tuaku memang tidak terlalu setuju aku menikah dengan Nando.Karena mereka tahu, anak dari keluarga sederhana seperti kami, masuk ke keluarga besar dan penuh gengsi seperti Keluarga Soman, pasti bakal banyak makan hati.Tapi waktu itu aku yakin, cinta antara aku dan Nando bisa mengatasi segalanya.Dan sekarang baru kusadari, semua itu cuma omong kosong.“Ma, aku nggak jadi nikah. Aku cuma pengin tinggal di sisi kalian mulai sekarang.”Mendengar kalimat itu, tubuh ibuku terasa menegang sesaat saat memelukku.Tapi dia tidak berkata apa pun. Hanya menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.Ayahku yang biasanya pendiam dan jarang bicara, kali ini malah ikut m

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 6

    Aku menyipitkan mata, menatap Nando yang diusir keluar oleh satpam.Sampai detik ini, dia masih mencoba memakai alasan “kehilangan ingatan” untuk mengelabui aku.Beberapa hari berikutnya, karena berita di internet semakin ramai dibicarakan, Nando pun jadi terlalu sibuk untuk datang menggangguku lagi.Waktu berlalu begitu saja.Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung kembali ke kontrakan kecilku.Yang tak aku sangka, Nando ternyata sudah menungguku di depan pintu.Begitu melihatku, dia langsung mengangkat dagu dengan percaya diri dan menyodorkan seikat bunga kamelia ke arahku.“Rani, sepertinya aku ingat sedikit hal. Hari ini ulang tahunmu, kan? Sebagai pacarmu, aku datang buat rayain ulang tahunmu.”Dia juga mengambil kue ulang tahun stroberi dari tanah dan mengangkatnya di hadapanku.Melihat ekspresi puas dan percaya dirinya itu, aku sudah bisa menebak kalimat selanjutnya yang ingin dia ucapkan.Pasti cuma kalimat manis untuk merayuku agar terus menunggu.Menunggu sampai dia pua

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 5

    Aku tidak menjawabnya.Begitu pintu ruang operasi tertutup, dari ujung mataku kulihat Nando seperti orang gila, berusaha bangkit dari tempat tidur untuk menghentikanku.Tapi dia belum sempat turun dari ranjang, sudah lebih dulu dihentikan oleh Yurina yang masih menempel padanya.Ia menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti mengalir.“Kak Nando, jangan gerak dulu. Sakit banget, aku nggak kuat!”“Kamu pasti salah dengar! Itu nggak mungkin Rani! Kalau benar dia hamil anak kamu, dia pasti udah maksa kamu nikahin dia! Mana mungkin dia datang ke sini buat aborsi?!”Seorang perawat di dekat mereka juga berusaha menenangkan emosi Nando.Bagaimanapun, saat ini tubuh mereka berdua masih terhubung karena alat bantu yang digunakan, dan belum bisa dipisahkan.Kalau sampai dipaksa pisah, siapa tahu bisa terjadi sesuatu yang lebih parah.Setelah operasi selesai, aku dipindahkan ke ruang rawat inap.Baru saja menyalakan ponsel, deretan panggilan tak terjawab dan pesan masuk langsung membuat laya

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 4

    Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung membuat janji di internet untuk melakukan aborsi keesokan harinya.Pukul sepuluh malam, aku baru saja kembali ke apartemen dan berbaring di ranjang, ketika tiba-tiba Nando menghubungiku lebih dulu.Dia menelpon langsung.“Kenapa masih ada barang-barang kamu di apartemen ini? Pacarku nggak nyaman lihatnya. Tolong datang ambil.”Aku menjawab santai.“Buang aja. Sisanya nggak penting lagi.”Barang-barang yang memang milikku, semuanya sudah aku bawa saat itu.Sisanya adalah barang yang tidak sempat terbawa atau yang berkaitan dengan Nando.Namun dia malah tertawa dingin berkali-kali.“Itu semua barang kamu, kenapa harus aku yang buang? Cepat ke sini dan ambil sendiri! Kalau nggak, aku laporin kamu karena masuk rumah orang tanpa izin dan mencuri!”Aku menghela napas, memijat pelipis yang mendadak nyeri.Untuk pertama kalinya aku merasa Nando ini benar-benar menyebalkan.Begitu kembali ke apartemennya...Aku baru melihat, di atas meja tertata rap

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 3

    Setelah meninggalkan rumah itu, malamnya aku menginap di hotel.Keesokan paginya, lewat bantuan agen properti, aku menyewa sebuah kamar kecil.Kupikir, sejak saat itu aku dan Nando takkan punya hubungan lagi.Tapi aku tak menyangka, aku hamil.Pagi-pagi sekali setelah makan sedikit, aku langsung merasa mual dan tak bisa menahan muntah.Saat memeriksakan diri ke rumah sakit, aku justru tak sengaja bertemu dengan Nando dan beberapa saudara-saudaranya.Aku sebenarnya ingin segera menjauh.Tapi langkahku malah terhenti begitu saja.Mereka langsung mengepungku di lorong rumah sakit, menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki, penuh sindiran.“Kamu pikir gadis kampung kayak kamu bisa masuk Keluarga Soman?”“Dulu juga entah kamu pakai ilmu hitam atau apa, bisa-bisanya bikin Nando sampai ngotot mau putus hubungan sama keluarga cuma demi kamu. Tapi lihat sekarang, dia udah sadar!”Salah satu dari mereka menunjuk kertas di tanganku, wajahnya berubah tajam.“Itu apa? Kertas hasil USG kehamilan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status