Share

Bab 2

Author: Raudhah
Sejak hari itu keluar dari rumah sakit, aku dan Nando tidak pernah lagi saling menghubungi.

Tapi di media sosial, kabar tentang dia hampir tiap hari muncul di berandaku.

Dia dan teman-temannya, tiap malam keluyuran di bar dan KTV, dikelilingi perempuan-perempuan muda yang cantik, ceria, dan penuh energi.

Kurasa inilah hidup yang selama ini dia inginkan.

Aku mulai beres-beres barang di rumah. Begitu semuanya siap dan aku hendak pergi, aku bertemu dia berdiri di depan pintu, merangkul seorang gadis muda.

Nando sempat tertegun, lalu refleks menarik tangannya dari tubuh si gadis.

Tapi kemudian, seperti teringat dengan skenario “amnesia”-nya, dia malah dengan santai kembali melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Setahuku, ini rumahku, kan? Tanpa izin dariku, Rani, bukankah ini namanya masuk rumah orang secara ilegal?”

Genggamanku di gagang koper makin erat.

Memang benar, rumah ini milik Nando.

Tapi ini juga rumah yang dulu kami siapkan sebagai rumah pernikahan kami.

Jadi sekarang, dia mau membawa perempuan lain ke rumah pernikahan kami, dan melakukan hal-hal menjijikkan itu di sini?

Aku masih diam menahan perasaan, belum sempat bicara, dia malah lanjut.

“Tapi karena kamu bilang dulunya mantan tunanganku, ya udahlah, kali ini aku maafin. Tapi lain kali, jangan masuk tanpa izin lagi ya.”

Aku menatapnya dengan tenang, lalu membalas pelan,

“Baik. Nggak akan terjadi lagi. Terima kasih.”

Karena setelah ini, aku pun takkan pernah kembali lagi ke rumah ini.

Dan dengan begitu, semua hubungan di antara kami pun berakhir.

Saat aku menarik kopernya dan berbalik hendak pergi, tiba-tiba si gadis yang sedari tadi dipeluknya buka suara…

“Kak, siapa tahu dia nyembunyiin sesuatu di koper itu. Harus dicek dulu, suruh dia keluarin semuanya!”

Baru saja dia bilang aku boleh pergi, tapi sekarang nada bicaranya berubah total.

Dia langsung berbalik dan meraih koperku.

“Iya ya, aku sampai lupa! Untung kamu ingatin, Sayang. Kalau enggak, bisa-bisa si miskin ini bawa kabur barang berhargaku!”

Dia menarik koperku dengan kasar, berniat membantingnya ke lantai.

Tapi itu satu-satunya hal yang tersisa dari harga diriku, aku tak ingin menyerahkannya begitu saja.

“Itu barang-barangku! Itu privasi milikku! Kamu enggak punya hak buat merampas koperku!”

Mendadak, wajah Nando berubah muram dan geram.

“Kamu keluar dari rumahku, siapa yang tahu kamu itu maling atau bukan? Siapa yang tahu kamu nyolong barang-barangku?!”

Tubuhku langsung membeku.

Jadi, di matanya aku tak lebih dari seorang pencuri? Seseorang yang tak pantas dihargai?

Meski aku berusaha mempertahankan koper itu sekuat tenaga, kekuatanku tak sebanding dengannya.

Dia berhasil merebutnya dariku. Koper itu terbuka, dan pakaian di dalamnya tumpah berantakan ke lantai.

Saat itu juga, semua perjuanganku seolah runtuh dalam sekejap.

Semua tenagaku, semua harga diriku, seperti ikut tumpah bersama barang-barang itu.

“Tuh lihat, enggak ada barangmu di dalam, kan?”

Yurina, gadis yang bersamanya, tertawa kecil sambil menutup mulutnya manja.

“Pakai baju kayak gini? Jelek dan kuno banget. Norak!”

Nando ikut tertawa mengejek.

“Tentu aja. Dia cuma anak kampung yang nggak ngerti gaya. Jelas beda sama kamu, Sayang, cantik, stylish, tahu caranya tampil memukau!”

Satu demi satu ucapan mereka menjatuhkanku habis-habisan.

Koper yang berserakan di lantai seolah mengubur semua sisa-sisa harapan yang masih kupegang.

“Kalau memang nggak ada barangku, maka biarkan aku sendiri yang bereskan.”

Aku tetap tenang, memunguti beberapa helai baju paling lama dan paling usang, lalu tanpa ragu melemparkan sisanya ke dalam tempat sampah.

Tatapan mata Nando mendadak panik.

Karena dia tahu tumpukan pakaian itu semuanya adalah pemberiannya untukku, termasuk satu gaun pengantin putih, bersih dan anggun.

Itu adalah gaun yang kupilih sendiri untuk hari pernikahan kami.

“Kamu buang semuanya? Bahkan gaun pengantin itu juga?!”

Aku hanya meliriknya sekilas, tenang dan hambar.

Lalu melemparkan pemantik api ke dalam tong sampah itu.

Dalam hitungan detik, api berkobar hebat.

“Enggak perlu disimpan lagi. Udah enggak ada gunanya.”

Aku memandangi api itu sampai nyaris padam, baru kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Di bawah lampu jalan yang temaram, wajah Nando terlihat samar, tak bisa ditebak.

Tepat saat aku nyaris menghilang di tikungan jalan, dia menyusul dan menarik pergelangan tanganku.

“Meskipun aku amnesia dan nggak ingat siapa kamu, kamu juga nggak boleh serendah itu sama dirimu sendiri! Siapa tahu suatu hari nanti aku bisa pulih dan ingat semuanya lagi?”

Aku hanya tertawa kecil, dingin dan getir.

Tak ada sepatah kata pun kubalas.

Dengan sekuat tenaga aku melepaskan tangannya, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Anehnya, saat itu aku justru merasa sedikit lega.

Setidaknya dia memilih pura-pura amnesia sebelum pernikahan.

Karena aku tak sanggup membayangkan, kalau semua ini baru terjadi setelah kami resmi menikah, berapa dalam rasa putus asa yang harus kutanggung?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 8

    Tapi yang nggak pernah aku sangka, belum genap dua hari berlalu, pria yang katanya mau menikah dengan Keluarga Citata itu, malah muncul di depan rumahku dengan santainya, seolah nggak terjadi apa-apa.Salah satu kakinya pincang.Begitu lihat aku, dia langsung menangis sejadi-jadinya, seperti dunia mau runtuh.“Rani, akhirnya aku nemuin kamu.”“Kamu tahu nggak, demi nyari kamu, aku udah ngalamin macam-macam! Bahkan kaki ini, aku loncat dari lantai dua vila demi kabur, terus patah!”Tapi aku cuma menatapnya datar, tanpa sedikit pun rasa kasihan. Dengan nada tenang, aku tanya:“Maaf, Anda siapa?”Kalimat itu hampir bikin Nando runtuh seketika.Dia tertatih-tatih mendekat, berusaha pegang tanganku, tapi aku sigap menghindar tanpa ragu sedikit pun.“Pak, kalau Anda berani ganggu saya lagi, saya bisa laporin Anda ke polisi, biar ditangkap dan dijeblosin ke penjara!”Matanya memerah, menatapku seperti orang kehilangan akal. Dia teriak histeris.“Aku nggak percaya kamu benar-benar lupa sama ak

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 7

    Setelah meninggalkan kontrakan, aku memilih pulang ke kampung halaman.Begitu melihatku pulang, ayah dan ibu langsung menyambut dengan ekspresi penuh keharuan, bahkan suara mereka terdengar gemetar, nyaris menangis.“Rani, kenapa kamu pulang? Bukannya belum waktunya nikah ya?”Aku langsung menubruk pelukan ibuku.Sebenarnya, dari awal orang tuaku memang tidak terlalu setuju aku menikah dengan Nando.Karena mereka tahu, anak dari keluarga sederhana seperti kami, masuk ke keluarga besar dan penuh gengsi seperti Keluarga Soman, pasti bakal banyak makan hati.Tapi waktu itu aku yakin, cinta antara aku dan Nando bisa mengatasi segalanya.Dan sekarang baru kusadari, semua itu cuma omong kosong.“Ma, aku nggak jadi nikah. Aku cuma pengin tinggal di sisi kalian mulai sekarang.”Mendengar kalimat itu, tubuh ibuku terasa menegang sesaat saat memelukku.Tapi dia tidak berkata apa pun. Hanya menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.Ayahku yang biasanya pendiam dan jarang bicara, kali ini malah ikut m

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 6

    Aku menyipitkan mata, menatap Nando yang diusir keluar oleh satpam.Sampai detik ini, dia masih mencoba memakai alasan “kehilangan ingatan” untuk mengelabui aku.Beberapa hari berikutnya, karena berita di internet semakin ramai dibicarakan, Nando pun jadi terlalu sibuk untuk datang menggangguku lagi.Waktu berlalu begitu saja.Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung kembali ke kontrakan kecilku.Yang tak aku sangka, Nando ternyata sudah menungguku di depan pintu.Begitu melihatku, dia langsung mengangkat dagu dengan percaya diri dan menyodorkan seikat bunga kamelia ke arahku.“Rani, sepertinya aku ingat sedikit hal. Hari ini ulang tahunmu, kan? Sebagai pacarmu, aku datang buat rayain ulang tahunmu.”Dia juga mengambil kue ulang tahun stroberi dari tanah dan mengangkatnya di hadapanku.Melihat ekspresi puas dan percaya dirinya itu, aku sudah bisa menebak kalimat selanjutnya yang ingin dia ucapkan.Pasti cuma kalimat manis untuk merayuku agar terus menunggu.Menunggu sampai dia pua

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 5

    Aku tidak menjawabnya.Begitu pintu ruang operasi tertutup, dari ujung mataku kulihat Nando seperti orang gila, berusaha bangkit dari tempat tidur untuk menghentikanku.Tapi dia belum sempat turun dari ranjang, sudah lebih dulu dihentikan oleh Yurina yang masih menempel padanya.Ia menangis tersedu-sedu, air matanya tak berhenti mengalir.“Kak Nando, jangan gerak dulu. Sakit banget, aku nggak kuat!”“Kamu pasti salah dengar! Itu nggak mungkin Rani! Kalau benar dia hamil anak kamu, dia pasti udah maksa kamu nikahin dia! Mana mungkin dia datang ke sini buat aborsi?!”Seorang perawat di dekat mereka juga berusaha menenangkan emosi Nando.Bagaimanapun, saat ini tubuh mereka berdua masih terhubung karena alat bantu yang digunakan, dan belum bisa dipisahkan.Kalau sampai dipaksa pisah, siapa tahu bisa terjadi sesuatu yang lebih parah.Setelah operasi selesai, aku dipindahkan ke ruang rawat inap.Baru saja menyalakan ponsel, deretan panggilan tak terjawab dan pesan masuk langsung membuat laya

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 4

    Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung membuat janji di internet untuk melakukan aborsi keesokan harinya.Pukul sepuluh malam, aku baru saja kembali ke apartemen dan berbaring di ranjang, ketika tiba-tiba Nando menghubungiku lebih dulu.Dia menelpon langsung.“Kenapa masih ada barang-barang kamu di apartemen ini? Pacarku nggak nyaman lihatnya. Tolong datang ambil.”Aku menjawab santai.“Buang aja. Sisanya nggak penting lagi.”Barang-barang yang memang milikku, semuanya sudah aku bawa saat itu.Sisanya adalah barang yang tidak sempat terbawa atau yang berkaitan dengan Nando.Namun dia malah tertawa dingin berkali-kali.“Itu semua barang kamu, kenapa harus aku yang buang? Cepat ke sini dan ambil sendiri! Kalau nggak, aku laporin kamu karena masuk rumah orang tanpa izin dan mencuri!”Aku menghela napas, memijat pelipis yang mendadak nyeri.Untuk pertama kalinya aku merasa Nando ini benar-benar menyebalkan.Begitu kembali ke apartemennya...Aku baru melihat, di atas meja tertata rap

  • Pernikahan yang Tak Pernah Tuntas   Bab 3

    Setelah meninggalkan rumah itu, malamnya aku menginap di hotel.Keesokan paginya, lewat bantuan agen properti, aku menyewa sebuah kamar kecil.Kupikir, sejak saat itu aku dan Nando takkan punya hubungan lagi.Tapi aku tak menyangka, aku hamil.Pagi-pagi sekali setelah makan sedikit, aku langsung merasa mual dan tak bisa menahan muntah.Saat memeriksakan diri ke rumah sakit, aku justru tak sengaja bertemu dengan Nando dan beberapa saudara-saudaranya.Aku sebenarnya ingin segera menjauh.Tapi langkahku malah terhenti begitu saja.Mereka langsung mengepungku di lorong rumah sakit, menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki, penuh sindiran.“Kamu pikir gadis kampung kayak kamu bisa masuk Keluarga Soman?”“Dulu juga entah kamu pakai ilmu hitam atau apa, bisa-bisanya bikin Nando sampai ngotot mau putus hubungan sama keluarga cuma demi kamu. Tapi lihat sekarang, dia udah sadar!”Salah satu dari mereka menunjuk kertas di tanganku, wajahnya berubah tajam.“Itu apa? Kertas hasil USG kehamilan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status