Menyesal
****Aulia keluar dari kamar mandi penampilan lebih fress berjalan mencari hairy drayer, ia merasakan ditatap terus oleh Alex, tapi berpura-pura cuek saja. Aulia mengeringkan rambutnya di depan cermin sesekali mencuri pandangan ke Alex yang menatapnya intens. Ia meneguk ludahnya sendiri merinding akan tatapan itu seakan ingin menerkam."Cepatlah, ada hal yang ingin ku sampaikan," imbuh Alex karena terlihat santai mengeringkan rambut.Aulia terdiam beberapa saat apakah Alex akan meminta haknya sebagai suami. Tangannya berkeringat ketakutan."Apa? Bisa kan diucapkan saja sambil aku mengeringkan rambutku." . "Tidak! Ini sangat penting kita perlu bicara serius. Lagipula kalau kamu syok lalu alat itu melukaimu bagaimana? Ayahku dan ibumu mengira kalau aku melakukan KDRT," tolak Alex masih sabar menunggu Aulia menjelaskannya dengan lembut.Aulia menganggukkan kepala, kali ini sikap laki-laki itu berubah drastis lebih lembut dari yang dikiranya dan bahkan lebih hangat. Ia meletakkan pengering rambut itu lalu mendekat. "Apa yang kau bicarakan?" balasnya memalas duduk disampingnya. Alex meletakkan dokumen di depannya tak lupa pulpen tersebut. "Kamu baca aja perjanjiannya."Aulia mengeryitkan kening mengira perjanjiannya hanya memberikan Alex anak saja tapi masih berlajut. Ia membaca secara detail isi dokumen itu mendesah berat."Lalu bagaimana jika aku tidak bisa melahirkan anak laki-laki?" Alex menaikkan alisnya mengangguk. "Maka kamu harus membayar semua uang yang ku keluarkan untuk kalian." Menyesal, Aulia sangat menyesali menyetujui menikah dengan laki-laki itu, tentu saja dirinya akan dirugikan di sini. Ia telah merelakan masa mudanya untuk menikah. Andainya saja tahu kalau yang diinginkan Alex adalah seorang putra tentu saja tidak akan mau. Namun, apalah dayanya nasi sudah menjadi bubur. "Terserah saja. Kalaupun itu kau anggap utang, yang kuinginkan saat ini hanya kesembuhan Bundaku. Setelah Bundaku sehat kau sudah tidak usah memberikan kami uang, aku bisa saja hamil tapi aku tidak bisa menentukan jenis kelaminnya kelak."Alex menatap Aulia mengangguk saja. "Kalau anak pertama kita perempuan maka kita bisa coba lagi.""Tidak! Saat itu kita akan pisah. Aku juga memiliki masa depan tak ingin terperangkap dengan pernikahan gila ini!" dengusnya lagi, tak terima.""Baiklah! Kalau itu maumu, tapi saat itu siapkanlah uang itu!" Aulia tanpa banyak protes lagi pun mendatangi perjanjian itu meskipun hatinya kesal geram mengetahui fakta dirinya akan dirugikan sebanyak mungkin, walaupun melahirkan laki-laki harus merelakan buah hatinya dan pergi dari kehidupan Alex, lalu kalau saja anaknya perempuan ia harus menanggung kembali semua utang selama biaya yang dikeluarkan. Kali ini sudah pasrah, demi ibunya rela melakukan apapun."Satu lagi, jangan sampai Mamah tahu tentang perjanjian ini, kamu akan diusir dari rumah ini segera dengan membayar semuanya, selain itu aku juga tak'kan bisa membantumu saat itu."Aulia tak menyangka laki-laki itu seegois ini, bukannya dia yang memulai segalanya namun seakan ingin lari dari tanggung jawab. ***Aulia hanya diam menatap makanan di atas meja, napsu makannya seketika hilang. Beberapa kali perkataan Laila menusuk ke hatinya. Ingin sekali meninggalkan rumah itu."Ada apa? Kau tak makan? Ataukah bingung mau makan yang mana dulu karena baru melihat makanan seenak ini. Wajar sih karena orang miskin kayak kalian mana bisa membeli makanan seperti ini."Aulia beranjak dari duduknya tak ingin tinggal lagi harga dirinya sudah cukup diinjak-injak. Ia melangkah ke kamar berpapasan dengan Alex. Ia menahannya. "Ada apa? Kenapa tak makan bukannya setelah ini kita harus ke rumah sakit." Ia menggelengkan kepalanya. "Aku sudah kenyang Kak!""Aku sudah kenyang hujatan dari keluargamu!" ucap Aulia dalam hati. Tatapan Alex mengarah ke ibu dan kakaknya itu, tanpa banyak cerita sudah tahu apa yang terjadi. "Baiklah kita makan di luar saja!""Alex," panggil Aurel, menghentikan mereka. Ia tidak menghiraukan panggilan itu dan meninggalkan mereka. Aurel mengepalkan tangannya semakin membenci Aulia semenjak datang ke keluarga ini anaknya itu mulai banyak berubah, sedangkan Lalia tersenyum kecil, hadirnya Aulia menguntungkan untuknya kali ini adiknya mulai membangkang. "Kau tak perlu melakukan ini padaku. Ibumu bisa marah padamu." Alex menghentikan mobil di depan warung terdekat. "Biarkan saja. Aku juga tidak peduli."Laki-laki itu turun dari mobil tak ingin membahas lebih jauh lagi. Ia hanya menginginkan Aulia diperlakukan sebaik mungkin di rumahnya. Bagaimana pun dia adalah istrinya dan tak ada yang boleh menyakiti dan memperlakukannya kurang baik karena dia bagian dari keluarga itu.Tatapan mata Aulia menyapu warung sederhana dipilih Alex, laki-laki memiliki bisnis kafe, terlahir dari kalaangan atas itu makan di warung amperan seperti ini. "Tenang saja dijamin warung ini hegenis, aku sering mampir ke sini kok." "Bukan itu, aku tau kalau warungnya bersih. Sejak awal masuk aja sudah mampu menjelaskan kalau warung ini hegenis. Lalu kau mengatakan sudah sering datang ke sini. Kenapa bukan ke restoran sajan" tanya Aulia penasaran"Memang apa salahnya aku datang ke sini. Tidak ada larangan juga orang seperyi kami dilarang makan di sini."Aulia memutar matanya malas, memang sih tidak larangan untuk mereka masuk makan, tapi beberapa orang akan memilih untuk menghabiskan banyak uang demi makan di restoran yang katanya lebih higenis. Ia merutuki dirinya salah bertanya. "Sejak kecil nenek mengajakku makan di sini. Saat aku umur 7 tahun ibu dan ayah sibuk bekerja aku hanya tinggal dengan kakakku tapi Laila tidak menyukaiku selalu meninggalkanku pergi ke rumah neneknya sedangkan aku hanya tinggal sendirian bersama pembantu. Hingga akhirnya karena aku tidak mau makan ibu mamah datang mengambilku untuk dirawat dan tinggal bersamanya, saat aku tidak napsu mereka akan selalu membawaku ke sini," tuturnya tersenyum kecil."Wah, berarti warung ini sudah lama banget." Alex mengangguk. "Sekarang warungnya juga sudah cukup besar, walaupun pemilik lamanya sudah meninggal tapi , sekarang diwarisi oleh anaknya. Namun, cita rasanya tetap sama." Pesanan Alex datang dua porsi mangkok tak lupa rendang dan juga masi, sayur sop dan ayam bakar. "Kebanyakan, kita tidak akan bisa habisin. Aku bungkus buat ibu dan rumi boleh?" "Tidak perlu. Aku sudah memesan untuk untuk dibungkus."Aulia menatap makanan itu sangat sayang kalau dibuang nantinya. Ia tahu bagaimana susahnya mencari uang jadi sebisa mungkin kalau makan akan dihabisi.Mereka berdua selesai makan, Alex menahan tawa melihat porsi makan Aulia berusaha menghabiskan makanan itu. Sampai mengeluh perutnya hampir meletus rasanya untung saja Aulia memakai dress kebesaran."Lain kali kalau Kau ingin pesan makanan jangan banyak gini. Aku gak bisa liat makanan dibuang karena tau rasanya lelah mencari sesuap nasi." ****Rumi sejak pagi membujuk Marwah untuk makan namun Bundanya itu menolak apalagi tidak meminum obat sama sekali. Ia takut kalau kondisinya semakin memburuk. Rumi bahkan segan untuk melaporkan hal itu ke Aulia karena tak ingin mengganggunya, masih capek mereka butuh istirahat."Telpon Kakakmu aja Rumi, kalau bunda tidak mau makan," faris sudah berulang kali mengatakan itu namun Arumi terus saja menolak."Jangan kak, Kak Aulia pasti masih capek. Apalagi semalam udah gak tidur jaga Bunda. Paginya sudah siap-siap untuk pernikahannya.""Kamu belum tidur sama sekali?" Aulia hanya diam menebak sikap laki-laki sulit diterka."Aku aja yang jaga bunda malam ini kamu tidur saja, sekaligus mau ngerjain tugas." Aulia hanya mengangguk saja."Bun, makan dulu yuk, aku juga bawakan makan dari luar mungkin saja Bunda bosan dengan makanan rumah sakit." Aulia berusaha membujuk Marwah, namun tak ada jawaban dari Bundanya. Kecewanya terhadap anak perempuannya itu masih dalam anak yang selalu dibanggakan telah tiada."Rumi berjanjilah pada Bunda kamu akan sukses dulu baru menikah. Jangan menikah mudah nak kamu harus menjadi wanita karir agar orang lain tidak memandangmu hina!" tutur Marwah ke Arumi tapi matanya tak bisa bohong terus memandang ke putri sulungnya itu.Aulia meletakkan makanan diatas meja seraya menghapus air matanya mencoba bersabar menguatkan hati. Ia meremas kantong plastik itu. Hatinya teriris mendengar perkataan begitu menyakitkan dari perempuan yang sangat dicintainya. "Rumi, kamu berjanji sama Bunda nak!" Aulia masih mematung mendengarnya. Sekuat tenaga agar terlihat baik-baik saja. Ia lalu berusaha menuangkan makanan itu ke mangkuk. Ia menghembuskan napas panjang. "Arumi!" tegasnya mendesak perempuan itu. Arumi menatap kakaknya mengerti yang dimaksud bundanya adalah Aulia, Bundanya sedang menyinggungnya karena memilih menikah saat umurnya masih sangat mudah. Masa depannya masih panjang yang ditakutkan oleh ibunya Aulia memutuskan untuk berhenti kuliah dan melepaskan semua mimpi-mimpinya."Rumi berjanji Bu—bunda," ungakapnya terbata-bata. Saat Aulia berbalik Faris menatapnya lurus mengisyaratkan apakah dirinya baik-baik saja. Aulia mengangguk sebagai jawaban sebagai bentuk kalau dirinya baik-baik saja. Aulia mendekati ba
"Jika bukan lagi keluargaku bisa kupercaya maka siapa lagi?"Aulia*******Aulia menatap ibunya dari luar pintu merasakan sesak dalam hati. Ia memegang dadanya sesak saat ibunya tertawa lepas dengan arumi ingin sekali rasanya masuk ke dalam meminta maaf atas semua pilihannya. Selama ini sudah berusahan memberikan terbaik untuk Marwah namun sekejap mata kepercayaan itu hilang hanya satu kesalahan. Ia lalu berbalik meninggalkan kamar tak ingin marwah mengetahui kalau saja sedang berada di luar memantaunya."Mah, kau selalu mengajarkanku untuk hal-hal baik padaku tapi kau lupa caranya mengajarkan mempercayai keputusan anak-mu. Kau melupakan itu mah, sampai keputusan yang kuambil secara tiba-tiba membuat hatimu sakit sedalam ini. Bahkan rumah yang kuanggap rumah tempat paling nyaman ternyata adalah luka yang kubuat karena hilangnya kepercayaan itu. Mah kau berhasil mendidik kami tapi bisakah kali ini percayakan semua pada keputusan ini. Kalau bukan lagi mamah yang bisa menyakinkanku lalu
"Sebanarnya kamu menyukaiku atau tidak? Di satu sisi kau begitu baik dan perhatian tapi di sisi lain kau suka mengabaikanku."Aulia*****Alex tersemyum saat Aulia terdiam dan menatapnya lembut bahkan marahnya mulai reda. Ia mengambil tangannya lalu meremasnya kecil. "Aku tahu kamu sedang kesal dengan alasanku, tapi percayalah aku melakukam ini demi kebaikan kita." Aulia kembali lagi menepis tangannya menjauh. "Kebaikan apa! Lihatlah cara ibumu menuduh keluargaku tadi," ungakpanya semakin tak terima perlakuan wanita itu"Kalau begitu biarkan aku meminta maaf mewakili ibuku." Aulia membuang wajahnya tak terima kenapa harus Alex yang meminta maaf semua tidak akan ada artinya dan tidak memberikan pengaruh sama sekali."Aku tidak mau menerima permintaan maafmu mewakili ibumu. Apa gunanya jika sang pelaku terus melakukan penghinaan pada keluargaku. Selain itu kamu belum untung penjelasan ke aku.""Bagaimana bisa aku menjelaskan padamu kalau kamu saja masih marah seperti ini." "Yasud
"Aku tidak butuh pengakuan atas hubungan palsu ini."Aulia*****"Sumpah candaanmu gak lucu lex," ucap Ridwan menggelengkan kepala tidak percaya sama sekali. Meskipun ekspresi Alex sangat serius tapi tidak akan mudah percaya secepat itu selain itu jari manisnya masih kosong belum tersematkan cincin di sana. "Aku serius!" Alex berusaha menyakinkan teman-temannya."Sudahlah jangan buat moodku hancur dengan candaan recehmu." Ridwam menimpali lalu meminum kopi masih belum percaya. Kalau pun itu terjadi kenapa tidak mengundang mereka berdua lalu siapa perempuan yang itu. Tak ada berita yang meliput tentang pernikahannya tidak seperti pernikahan kakaknya dulu yang tersebar secara cepat di media. Itu karena orang pengaruh ke dua orang tuanya. Siapa yang tidak mengenal corp sejahtera salah satu perusahaan besar di indonesia dan juga ibunya yang merupakan desainer terkenal. "Gak usah menampilkan ekspresi seperti itu karena kami sama sekali tidak akan percaya loh," tegur Ridwan lagi kesal
"Aku memang mengingkan pernikahan dan ingin menjadi istri yang baik untuk ku dengan penuh keharmonisan tapi kisah indah sudah berakhir dalam angan-anganku saja"Aulia****"Dari mana kamu tahu tentang itu?" tanya alex menatap aulia yang diam saja. "Berita itu sudah menyebar di kampus. Bahkan anak-anak masih saja heboh mempertayakan siapa perempuan itu." Alex lalu mengambil hpnya yang berdering sejak tadi, mengeryitkan kening menatap nomor baru yang menghubunginya. Ia mengangkat telpon itu tak lupa meloadspekernya karena masih harus memeriksa data perusahaan dari ayahnya. "Hal—""Kak alex berita itu bohongkan? Kakak masih sendiri kan?" Alex terdiam mendengar seorang wanita menelponnya menangis sesengukan.Aulia menghembuskan napas panjang, baru saja beberapa hari menikah bahkan dirinya belum disentuh sama sekali tapi kali ini mendengar regekan seorang perempua dari ponsel. "Apa pentingnya kalian ingin tahu urusan pribadiku?" sanggah alex lagi. Matanya melirik Aulia yang menegang
"Tidak usah Ayah!" Tolak Aulia juga merasa tidak enak dengan tawaran dari Andika. Selain itu juga sudah tersinggung dengan ucapan Laila.Alex memandang Aulia cukup lama meminta penjelas dari sorot mata. "Aulia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yah." Aulia menggelengkan kepalanya kesal bukan itu yang diinginkan sekalipun bekerja dirinya tak mau dibawah naungan orang tua Alex, meskipun sikap Andika beda jauh dari perempuan yang dibencinya tapi tetap saja canggung dan malu. Aulia hanya ingin berdiri di kakinya sendiri. Tak melibatkan keluarga Alex lagi dengan urusannya, semakin jauh durinya masuk ke keluarga itu semakin sakit hatinya akan menumpuk dan akan susah untuk keluar. "Oh begitu menjadi ibu rumah tangga yang baik juga pekerjaan mulia, tapi suatu saat kalau kamu ingin bekerja bisa menghubungi ayah. Apalagi setelah kamu lulus sayang ijasahmu, nagnggur saja, Nak." Aulia hanya mengangguk saja sebagai jawaban agar tidak menyinggung hatinya lalu tak ingin mengecewakan Andik
"Ibu adalah rumah bagi anak-anaknya tapi rumah tertutup untukku" Aulia****Alex sudah mencari Aulia di sekitar kampus bahkan beberapa kali keluar masuk kelasnya dan bertanya ke teman-temannya apakah melihat namun mereka semua bingung tidak menemukan sosok dicarinya seharian ini, bahkan kedua sahabatnya juga tidak dikampus. Sudah beberapa kali juga menghubungi ponselnya namun tidak aktif. Ia mengusap rambut beberapa kali stress. Kali ini tidak akan memaafkan mamah dan Lalila kalau istrinya kenapa-napa. "Bro, kenapa sih menanyakan Aulia sejak tadi mana udah kayak orang stress banget! Apa yang sudah kamu lakukan padanya?" Ahmad bertanya penasaran meskipun tidak suka. "Bukan urusan kalian berdua!" ungkap Alex serkas matanya terus ke arah gerbang memperhatikan maha siswa yang lewat."Aulia itu perempuan baik-baik yang ku kenal. Ia takkan mau menghabiskan waktu yang tak penting dengan sembarang orang bahkan hanya ada 3 orang yang selalu ditemaninya. Gak sembarang orang bisa masuk ke k
"Ketika salah satu keluarga terlalu ikut campur dengan rumah tangga kita maka kita tidak akan tenang"Aulia****"Kenapa kau mencariku," Aulia menyinpan obat merah itu dan tersenyum ke adiknya. Ia mengusap kepalanya dengan lembut. "Aku khawatir dengan kondisimu. Maaf—""Jangan bahas itu di depan adikku, itu urusan kita" potong Aulia cepat. Ia tak ingin Rumi mengetahui apa yang dialaminya tidak mau membuatnya cemas menambah bebannya lagi. "Rumi, dengarkan kakak apapun yabg sudah bunda lakukan jangan pernah membecinya ya dek, ia takut kita salah langkah. Sekarang aku sudah berkeluarga harapan Bunda tinggal kamu saja. Lain kali diam saja jangan melawan bisa saja lebih parah dari ini. Selain itu pikirannya sedang kacau memikirkan sembuh juga kecewa dengan keputusan yang kuambil," nasehat Aulia padanya. "Tapi kak, Bunda sudah keterlaluan kali ini." "Tidak! Bunda melakukan itu karena masih marah dan kecewa. Biarkan saja sampai tenang. Jangan buat Budan stress akan menghambat kesembuha