Share

Kembalinya Niko

Kejadian malam itu benar-benar membuat ku terpukul. Apa yang ku pertahankan selama ini, kini tak berarti lagi. 

Sesuatu yang seharusnya ku berikan kepada suamiku, direnggut paksa oleh seseorang yang tidak aku kenal.

***

Aku telah sampai di kosan. Sekarang pukul lima kurang lima belas menit. Aku mendengar suara adzan berkumandang. Awalnya aku enggan karena aku merasa sangat hina di hadapan-Nya.

Tetapi, ini sebuah kewajiban yang harus kutunaikan. Kemudian aku memaksa untuk tetap berdiri dan melaksanakan kewajiban ku. Aku menangis mengharapkan ampunan-Nya. Aku bertaubat, aku sangat malu dengan keadaanku saat ini.

Masih dalam keadaan menangis dan bersimpuh di sajadahku, aku meringkuk sambil terus meminta ampunan. Sampai akhirnya aku tertidur karena lelah akibat terlalu banyak menangis.

Aku terbangun dari tidurku. Aku melihat pukul dua belas siang. Tubuhku terasa remuk dan sakit semua. Aku merasa sangat malas. Tapi aku memaksakan diri untuk mandi, lalu sholat dzuhur.

Aku keluar rumah untuk mencari makan. Rasanya malas sekali untuk masak. Aku pergi ke warung dan mengisi perutku di sana. Setelah kenyang aku kembali ke kosan ku.

Drrrttt! Drrtt!

Suara deringan ponselku. Aku masih membiarkannya berdering beberapa kali. Aku masih belum sanggup untuk berbicara dengan seseorang yang kini tengah mencoba menghubungiku.

Dia tak menyerah begitu saja. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkatnya agar dia tidak khawatir.

“Hallo, Assalamu'alaikum?” sahutku.

“Wa'alaikum salam. Sayang, kamu lagi apa?” tanyanya. Terdengar suara Niko di sana.

“Aku ... aku baru selesai makan, Kak,” jawabku.

“Dua minggu lagi aku pulang, Sayang. Kamu jemput aku di bandara, ya?” ucap Niko.

DEG!

Seketika kepercayaan diriku menciut. Aku tidak sanggup bertemu dengannya. Pertemuan yang ku impikan selama ini, penantian yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan hati, kini berubah menjadi hal yang sangat ingin aku hindari. Aku sangat malu, aku tidak pantas lagi sekarang.

“Sayang, apa kamu mendengarku?” tanya Niko.

“I–iya, Kak,” jawabku terbata.

“Kamu kenapa, Sayang? Ada apa? Apa kamu tidak senang dengan kepulanganku?” tanya Niko terdengar khawatir.

“Ti–tidak, Kak. Aku sangat senang sebentar lagi Kak Niko pulang.” 

“Benarkah? Dua minggu lagi, Sayang … kamu sabar, ya. Pak Yanto nanti akan menjemputmu di kosan lalu kalian akan menjemputku di bandara,” ungkap Niko.

“Iya, Kak.”

“lho, Yank, kamu tidak kerja hari ini?” 

“Tidak, Kak. Aku lagi tidak enak badan,” jawabku bohong.

“Ya sudah. Kamu istirahat ya, sudah minum obat belum?” tanyanya lagi.

“Sudah kok, Kak,” jawabku bohong lagi. Aku berbohong untuk menutupi kebohongan yang lainnya. Bahkan kini untuk memanggilnya sayang saja aku sudah tidak punya muka.

“Ya sudah, istirahat sana. Jaga kesehatan, makan nya jangan sampai telat.” 

“Iya, Kak Niko,” jawabku.

“Ya sudah. Aku tutup teleponnya, ya. Assalamu'alaikum, Sayang?”

“Wa'alaikum salam, Kak.” Panggilan telepon pun terputus.

Aku kembali menangis, meratapi nasibku yang tidak sesuai dengan keinginanku. Harapan untuk menikah dengan orang yang aku cintai sudah tidak ada lagi. Itu sama saja akan membuatku menderita untuk kesekian kalinya karena dia berpikir aku mengkhianatinya.

Dert! Dert!

Ponsel ku kembali berbunyi dan kali ini tertera nama Bu Ningrum di sana. Aku mengusap air mataku lalu mengangkat teleponnya.

“Hallo, Assalamu'alaikum?” jawabku.

“Wa'alaikum salam, Bu Reina. Kenapa Ibu tadi pagi pergi tanpa pamitan sama saya? Ibu pulang tidak diantarkan sama putra saya? Kata pak satpam Bu Reina pergi sangat pagi sekali, kenapa?” tanya bu Ningrum dari seberang sana.

“Em, maaf, Bu, jika saya membuat Ibu khawatir. Saya hanya takut terlambat jika tidak buru-buru pulang.” Aku tidak mungkin menceritakan kejadian tadi malam.

“Ya sudah tidak apa-apa, yang penting Bu Reina tidak kenapa - kenapa. Sore nanti Bu Reina ke rumah, 'kan?” tanya bu Ningrum.

“Ma–maaf, Bu. Saya tidak bisa mengajari Dika lagi,” jawabku.

“Lho, kenapa, Bu Reina? Bukannya Bu Reina bilang akan mengajari anak saya selama dua minggu ke depan? Apa Dika terlalu bandel sampai-sampai Bu Reina tidak mau mengajarnya lagi?” 

“Tidak, Bu. Dika anak yang sangat cerdas.

Maaf saya lupa kemarin. Saya minta maaf, Bu. Saya sudah izin ke pihak sekolah kalau saya akan cuti sementara. Saya ingin pulang kampung. Saya sangat rindu dengan ibu saya.

Saya juga izin kepada Ibu Ningrum untuk menggantikan saya dengan guru yang lain saja.” 

“Memangnya tidak bisa ditunda,ya?” tanyanya terdengar kecewa.

“Maaf tidak bisa, Bu.” Putusku secara mantap.

“Ya sudah kalau itu keputusan, Bu Reina. Saya juga tidak bisa melarang seorang anak yang ingin bertemu dengan ibunya. Kalau begitu Bu Reina sempatkan datang ke sini sebentar, ya? Saya belum memberi upah kemarin.” 

“Tidak usah, Bu, tidak apa-apa. Saya sudah anggap Dika seperti adik saya sendiri, anggap saja saya sedang mengajari adik saya.” 

“Bu Reina baik sekali. Apa perlu saya suruh supir untuk mengantar Bu Reina pulang kampung?” tanya bu Ningrum lagi.

“Tidak perlu, Bu. Saya sudah membeli tiket bus tadi pagi,” ucapku berbohong lagi dan lagi.

“Ya sudah kalau begitu, Bu Reina hati-hati, ya. Salam buat ibu Bu Reina di kampung. Assalamualaikum?” 

“Iya, Bu. Nanti saya sampaikan. Wa'alaikum salam.” 

Aku terpaksa berbohong kepada bu Ningrum dan juga pihak sekolah. Aku cuti bukan untuk pulang kampung, tetapi untuk menghindar. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dengan mereka semua.

Aku tidak akan mampu jika harus pulang kampung dengan keadaanku yang seperti ini. Aku pasti tidak akan bisa berbohong jika di hadapan ibu. Lebih baik aku menyendiri dulu di sini sampai aku siap untuk kembali. Kembali menjadi gadis yang tidak suci lagi.

***

Seminggu telah berlalu. Setelah kejadian malam itu, aku hanya mengurung diri di kosan. Aku sesekali keluar kosan hanya untuk mencari makan, dan aku juga mematikan ponsel ku.

Pernah sekali Nanda datang dan menjengukku. Dia sangat khawatir dengan keadaanku. Namun aku enggan untuk menceritakan semuanya. Aku terlalu malu untuk mengakui di hadapannya.

Aku tau Niko bingung mencariku, hingga dia menghubungi Nanda. Nanda bilang, Niko akan memajukan jadwal kepulangannya.

Harusnya aku bahagia. Ini adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Bertemu dengan pujaan hati setelah sekian lama menanti. Tapi apa daya, keadaan telah berbeda. Aku sudah tidak ada keberanian untuk menemuinya.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan pintu. Aku berdiri dengan malas lalu berjalan ke arah pintu.

Ceklek!

Aku membuka pintu, lalu aku tertegun karena terkejut dengan siapa yang datang. Aku menatap mata yang selama ini aku rindukan. Mata orang yang sangat aku cintai.

Aku segera membalik badan dan menutup pintu itu kembali. Aku belum siap bertemu dengannya, mungkin sampai kapan pun aku tidak akan siap.

“Reina, Sayang? Rein! Reina!” panggilnya terus menerus. Aku hanya bisa menangis pilu dibalik pintu yang kini menghalangi jarak antara aku dan dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status