Share

Pernikahan yang tak Diinginkan
Pernikahan yang tak Diinginkan
Penulis: Alto Rida

Malam Petaka

Reina Amanda, seorang guru matematika yang sedang berjuang hidup di tengah kerasnya ibukota mengalami nasib nahas yang membuat kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Kehidupan Reina sebelumnya berjalan baik-baik saja sebelum kejadian buruk menimpa dirinya. Suatu kejadian yang membuat hidupnya hancur berantakan beserta dengan karir yang tengah Reina bangun dengan susah payah.

Kejadian itu bermula saat Reina mengajar les private di rumah salah satu muridnya. Malam itu hujan turun sangat deras dan petir saling bersahutan sehingga menumbangkan pohon-pohon di jalanan. Reina dipaksa menginap oleh sang pemilik rumah. Dan di rumah itulah semua penderitaan Reina dimulai. 

***

Tengah malam aku terbangun dari tidurku. Aku merasa tenggorokanku sangat kering. Aku haus dan aku memutuskan ke lantai bawah untuk mengambil air minum.

Setiap sudut ruangan terlihat sangat gelap, hanya beberapa lampu saja yang masih menyala. Aku turun pelahan-lahan menuju dapur untuk mengambil minum.

Setelah minum aku kembali ke kamar. Namun sebelum aku sampai, aku mendengar ada seseorang yang memanggilku dari arah belakang.

“Hei! Apa yang kamu lakukan di sini? Belum puas kamu membuatku terluka karena kepergian mu? Sekarang kamu harus menebus semuanya!” ucap pria tak ku kenal sambil mendekat ke arahku.

Aku sangat takut. Aku berusaha membuka pintu kamar dengan susah payah. Entah mengapa di saat genting seperti ini, pintu itu tak mau berkerja sama dengan baik.

Dia semakin dekat. Tubuhku kian bergetar hebat. Rasanya aku ingin kabur namun kakiku terasa kelu, rasanya sangat sulit untuk ku langkahkan. Aku mencoba berteriak minta tolong namun percuma. Hujan masih deras, tidak mungkin orang lain akan mendengar teriakkanku.

Aku mencium bau alkohol yang sangat menyengat. Matanya merah terlihat wajah orang yang sedang frustrasi. Dia berjalan sempoyongan mendekatiku tanpa gentar.

“Mau ke mana kamu? Ayo, ikut aku!” teriaknya sambil menarik tanganku dengan kencang.

“Tidak! Aku tidak mau!” tolak ku, aku berusaha menolak dan melepaskan tarikan tangannya. Aku berpegang pada handle pintu yang tak mau membuka. 

Dia masih terus menggeretku lalu mengajakku masuk ke sebuah kamar yang berada di samping kamarku. Dia melemparku ke ranjangnya dengan kasar. Entah apa yang akan dia lakukan terhadapku, kini dia mulai membuka bajunya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku penuh ketakutan. Aku terus meringsut mundur hingga berbahaya membentur penyangga tambahan.

“Kamu harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat,” ucapnya penuh amarah sambil melempar bajunya ke sembarang arah.

“Tunggu, kamu salah orang! Bahkan saya tidak mengenal kamu sama sekali!” teriakku mencoba menyadarkan. 

“DIAM! Kamu sudah membuatku hampir gila karena kepergianmu. Setiap malam saya harus menghabiskan malam dengan meminum minuman yang tidak pernah saya sentuh sebelumnya. Sekarang aku menjadi orang yang tak terkendali itu semua karena KAMU!” balas pria itu belum juga tersadar.

“Tapi saya bukan orang yang kamu maksud, sungguh!” ucapku sejujur-jujurnya.

Aku melipat kedua kakiku untuk menutupi bagian tengah badanku, kemudian aku menarik selimut dan menutup rapat-rapatnya. Aku berharap dia tidak melakukan hal-hal yang akan membuatku hancur.

Tiba-tiba saja dia menyergapku tanpa ku duga. Dia membuang selimut lalu menarik kakiku. Tubuhnya kini berbahaya. Sekarang kami hanya berjarak beberapa jengkal.

“Apa yang akan kamu lakukan? Saya mohon, jangan lakukan tindakan yang dapat menjebol kita berdua. Aku bukan orang yang kamu maksud, aku sama sekali tidak mengenal kamu,”ungkapku. Saya mencoba menjelaskannya.

“DIAM! Aku bilang kamu diam! Kita akan melakukan hal itu lalu kita akan menikah. Dan … tidak akan ada lagi yang menghalangi kita, Sayang,” ucapnya sambil membelai pipiku. Membuat ku risih dan jijik lalu spontan mendorongnya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu berani, ya?” 

Kini tatapan matanya berkali-kali lipat terlihat marah, lebih dari sebelumnya. Dia bangkit dan menyergap ku kembali. Ia menindih hal itu tanpa membiarkan ada jarak sedikit pun. Badan kami saling menempel. Rasanya aku sangat jijik, dia menyentuh semaunya.

Dia mulai mencium bibirku dan melumatnya dengan kasar. Aku merasa jijik diperlakukan seperti itu, bahkan bukan orang yang aku cintai. Dia merenggutnya begitu saja.

Aku masih terus mencoba untuk mendorong dan melepaskan diri, namun hasilnya sia-sia, karena tubuhnya jauh lebih besar daripada bahayanya.

Dia masih terus mengancam dengan seenaknya. Rasanya aku sudah tidak tahan lagi dan ingin membunuhnya saat ini juga.

Ke bawah dan semakin ke bawah, dia terus mempermainkan kejahatan dengan penuh nafsu yang semakin menggelora. Merasa tubuh ini adalah miliknya.

Dia telah melepas dan membuang semua pakaianku, hingga membuat kejahatan polos tanpa ada benang yang tersisa. Aku merasa hina. Hal yang selama ini aku jaga, hilang begitu saja dengan tidak terhormat.

Pada akhirnya, dia melakukan ritual yang seharusnya menjadi momen sakral bagi setiap pasangan setelah menikah. Tapi kini, tanpa ada ikatan apapun, bahkan aku tidak mengenalnya, dia merenggutnya begitu saja.

Terdengar suara kemarahan yang sangat menjijikkan. Dia telah mengambil hartaku yang sangat berharga dari bahaya.

Aku terpaku dengan murka. Ingin rasanya aku menenggelamkannya di dasar laut yang paling dalam.

Dengan tidak bersalahnya dia tidur dengan pulas, setelah apa yang dia lakukan terhadapku. Aku masih tidur di sampingnya, lalu aku berbaring di tepinya dan menutupinya dengan selimut. Aku menangis sejadi-jadinya.

Tubuhku tidak lagi berharga. Tidak ada lagi yang bisa saya banggakan. Apa yang aku jaga dan aku lindungi selama ini sudah tidak ada artinya lagi. Tubuhku kini menjadi hina. Bahkan impian untuk menikah dengan Niko seakan-akan telah sirna. Aku tidak pantas bersanding dengannya. Aku sudah sangat kotor, aku menjijikkan dan aku sudah tidak suci lagi.

Aku mulai menjumputi bajuku yang berserakan di mana-mana. Lalu aku memakainya dan pergi meninggalkan laki-laki bejat itu di kamarnya.

Aku berjalan menuju kamarku dengan susah payah, karena rasa sakit yang ada di bagian sensitifku. Aku melangkah menuju kamar mandi. Ku nyalakan shower, mengguyur dan meringkuk di bawah sana.

“Ibu, maafkan aku. Maafkan aku, Ibu! Maafkan aku, Kak Niko!” 

Aku memukuli kepala dan juga seluruh bahaya. Saya merasa sangat kotor. Aku ingin menghilangkan bekas sentuhan dari laki-laki jahanam itu. Lagi dan lagi aku menangisi hidup yang sudah tak berharga.

“Kak Niko, maafkan aku yang tidak bisa menjaga yang seharusnya menjadi milikmu. Apalagi sekarang, untuk membocorkanmu saja sudah membuatku sangat malu,” kataku. Masih dengan iringan tangis yang meraung.

Setelah membersihkan diri, saya memakai baju bekas pakai kemarin. Aku melihat layar ponsel ku menunjukkan pukul setengah empat dini hari.

Aku berlindung untuk pergi dari tempat ini secepat mungkin. Berada di rumah ini membuatku semakin ingin menangis.

Keadaan masih sangat gelap dan sepi. Perlahan aku menuruni tangga dan membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak membangunkan orang yang berada di rumah ini.

Saat aku ingin membuka gerbang seorang satpam menghampiriku.

“Kamu mau ke mana, Nona. Ini masih sangat gelap. Biar diantar sama supir di rumah ini, ya,” tawar satpam itu.

“Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri,” jawabku sambil mengusap air mataku dengan kasar. Saya tidak ingin ada yang curiga.

“Tapi Nyonya besar nanti bisa marah, Nona,” ucapnya lagi.

“Tidak, Pak. Semalam saya sudah izin dan dia izinkan,” ucapku berbohong.

“Baiklah kalau begitu, saya antar Nona ke depan gerbang,” ujarnya. Kemudian satpam itu mengantarku sampai di depan gerbang, sesuai dengan apa yang dia katakan.

“Terima kasih, Pak,” ucapku kemudian. 

Aku keluar dari rumah nan megah itu dengan langkah gontai. Ingin rasanya aku menenggelamkan diri ke rawa-rawa karena tak sanggup dengan kenyataan hidup yang kini tak lagi berarti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status