Share

Terpukul dengan keadaan

Doorrrr!! Doorrr!!!

Suara tembakan mengenai tubuh seseorang sehingga terdengar Niko menghentikan ucapannya saat itu juga. 

AAAAA!!

Bertepatan dengan suara tembakan tersebut, para tamu undangan menjerit dan berteriak histeris karena kaget melihat kejadian tragis yang terjadi di hadapan mereka. Tak terkecuali aku yang juga sukses dibuat terkejut dan penasaran.

Aku langsung berdiri untuk memastikan siapa yang terkena suara tembakan itu. Aku shock saat melihat ternyata Niko lah yang tergeletak tidak berdaya di sana. 

“Kak NIKO!” teriakku sambil berlari dan menangis melihat keadaan Niko yang mengenaskan. Setengah tubuhnya dipenuhi dengan lumuran darah.

Aku bersimpuh di sisinya lalu mengangkat kepalanya di pangkuanku. Aku masih menangis sejadi-jadinya. Semua orang mengerubungi kami dengan tangisan, namun semuanya hanya bisa menangis iba karena tidak bisa melakukan apa-apa.

“Panggil ambulance sekarang! Kita harus bawa Niko ke rumah sakit sekarang juga!” titah Daffa kepada kami semua dengan raut wajah panik. 

“Tu-tunggu. Mung–kin hi–dup ku ti–dak akan la–ma la–gi,”ucap niko terbata-bata dengan tangan susah payah berusaha menyentuh pipiku. 

“Rei–na ca–lon is–tri–ku, ja–ga di–ri–mu ba–ik ba–ik ya, Sa–yang. A–ku ti–dak bi–sa la–gi un–tuk men–ja–ga–mu. Ka–mu ha–rus ja–di wa–ni–ta yang ku–at. Dan ka–mu ha–rus men–da–pat–kan kea–dil–an da–ri pe–ris–ti–wa yang me–nim–pa–mu. A–ku sang–at men–cintai–mu, Rei na. A–ku men–cintai–mu,” sambung Niko sambil sesekali meringis karena menahan sakit. 

Kugenggam erat tangan satunya. Aku mendengarkan dengan sabar satu persatu suku kata yang terlihat sulit untuk dia ucapkan.

“Kak Niko, Kak … Kakak nggak boleh ngomong gitu. Kakak orang yang kuat, Kakak pasti sembuh. Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Aku yakin Kakak pasti sembuh. Kita bisa lanjutkan pernikahan kita nanti. Ayo, Kak... kita ke rumah sakit sekarang,” ucapku dengan air mata yang setia membanjiri pipiku.

“Ti-tidak, Reina. Ma-af a-ku ha-rus per-gi. Ja-ga di-ri-mu ba-ik ba-ik ya Sa-yang. Se-la-mat ting-gal,” lanjut Niko untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya dia memejamkan mata.

Tangan Niko meremas tanganku kuat-kuat seperti menahan rasa sakit, setelah itu kepalanya terguling dan genggaman tangannya nya pun terlepas dari tanganku. 

“Tidak. Ada apa ini? Kenapa kak Niko melepas genggaman tanganku? Enggak, kak Niko pasti baik-baik saja. Kak, bangun, Kak... kak Niko....” Aku masih berusaha dan mensugesti diriku sendiri bahwa calon suami ku hanya pingsan. Dia tidak kenapa-kenapa.

“Kak Niko bangun, Kak! Kamu harus bangun, kita akan menikah sekarang. Kamu jangan pura-pura lupa, ya. Bangun, Kak! Mimpi kita akan terwujud sebentar lagi. Bangun, Kak! Aku mohon,” rengekku lagi berharap dia mendengar rengekanku.

Aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya namun tak ada reaksi. Aku menelungkupkan wajahku di dadanya. Kucari detak jantung dan hembusan napasnya, namun tak kunjung kutemukan. 

“Innalillahi wainna ilaihi roji'un,” ucap salah satu orang di sana dengan memegang pergelangan tangan Niko setelah memeriksa denyut nadi.

Aku menatap nanar bapak-bapak itu. Seketika kepalaku menggeleng dengan cepat. Tidak, ini tidak mungkin. Semua ini pasti hanya mimpi, pikirku.

“Tidak. Pasti Bapak salah. Calon suami saya nggak meninggal, Pak. Dia masih hidup. Dia ini hanya pingsan!” bentakku yang tidak terima dengan perkataannya yang seolah-olah menyatakan Niko telah tiada.

“Benar, Mbak. Mas Niko sudah meninggal,” ucapnya lagi membuat hatiku teriris pedih.

“TIDAK! KAK NIKO!” teriakku seperti orang gila.

“Tidak mungkin, ini tidak mungkin. Kak Niko masih hidup, dia nggak mungkin meninggalkan aku. Dia masih hidup, dia berjanji akan menemani aku sampai kita menua bersama. Bangun! Bangun, Kak! Jangan biarkan mereka menganggapmu telah tiada. Ayo, cepat bangunlah! Buktikan kalau kamu memang mencintai aku!” raungku lagi sambil terus menggeleng dengan tangis yang semakin pecah.

Ibuku memelukku dari belakang. Terdengar isakan tangis ibu yang sepertinya juga terpukul dengan kejadian ini.

“Kamu yang tabah ya, Sayang. Kamu harus sabar dan ikhlas. Niko anak yang baik, biarkan dia pergi dengan tenang. Kita ikhlaskan kepergian dia, ya,” ucap ibu mencoba menenangkanku. Tapi tetap saja semua ini sulit untuk kuterima saat ini. 

Beberapa orang mengangkat tubuh Niko dari pangkuanku. Aku melirik ke arah orang tua Niko yang hanya diam membisu dengan tatapan nanar dan air mata yang terus keluar dari sudut mata. Mereka pasti terkejut dengan kejadian yang menimpa putra semata wayang mereka dalam keadaan mengenaskan.

“Maaf, Pak. Kami tidak berhasil menemukan sosok misterius yang sudah menembak mas Niko. Pelakunya benar-benar orang yang lincah sampai-sampai kami tidak menemukan jejak apapun,” ujar salah satu dari beberapa orang yang baru selesai mengejar sosok misterius pelaku penembakan itu. Mereka datang tergesa-gesa dengan napas yang tersengal-sengal.

Siapa sebenarnya yang sampai hati melakukan ini semua. Apa motifnya? Kenapa harus Niko, ada masalah apa Niko dengan dia? Kenapa sampai nyawa yang harus menjadi tumbal di saat Niko seharusnya merasakan bahagia?

Aku menangisi kepergian Niko untuk kesekian kali. Saat ini Niko hendak dibawa ke kediamannya untuk dimandikan dan disholatkan serta dikafani dengan semestinya.

Aku dan ibu mengikuti rombongan itu dengan langkah gontai dan air mata yang terus berderai. Saat ini tulangku seakan lepas dari tubuhku, terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Aku dipapah oleh ibu dan juga Naya, sedangkan teman yang lain sudah lebih dulu mengikuti rombongan jenazah Niko dan keluarganya.

***

Kenapa perpisahan lagi dan lagi yang harus ku hadapi? Satu persatu orang yang aku sayangi perlahan meninggalkan ku tanpa rasa iba. Niko yang selama ini dapat menggantikan sosok ayahku, kini dia juga pergi meninggalkan ku dengan tega. Apakah aku tidak pantas untuk bahagia?

Setelah apa yang telah aku lalui tempo hari, ternyata belum cukup untuk menebus semua dosa-dosa ku. Dan sekarang, aku harus kehilangan sosok penting dalam hidupku di hari pernikahanku. Kenapa tidak kau cabut saja nyawaku, Ya Allah? Untuk apa aku hidup jika terus menderita seperti ini. 

Aku tak henti-hentinya menangis dan meraung sehingga tenagaku terasa habis. Rasanya aku tidak sanggup lagi menopang beban hidupku, aku lelah. Bumi terasa berputar, mataku berkunang-kunang , semua terasa gelap dan aku pun pingsan.

Entah berapa lama aku pingsan, aku terbangun dan melihat keadaan sekelilingku. Sepi, hanya ada ibu, Keisya, Arlan dan mama Anggun di sini. Aku melihat mama Anggun masih diam dengan tatapan mata kosong dan air mata yang terus mengalir.

“Kak Niko di mana, Bu?” tanyaku pada ibu yang selalu setia berada di sampingku. 

“Niko sedang dimakamkan, Sayang. Dia diantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kamu ikhlaskan dia, ya … berdoa yang banyak agar Niko dilapangkan jalannya,” tutur ibu dengan sangat lembut.

“Kenapa Ibu tidak membangunkan Reina? Kak Niko masih hidup, Bu. Kak Niko belum meninggal!” ucapku ngotot, masih belum bisa terima dengan keadaan ini. 

Ibu memelukku dan berkata, “Reina, Sayang. Kamu harus terima ya, Nak. Memang ini kenyataannya. Niko memang sudah tidak ada,” ucap ibu lagi.

Aku kembali menangis, lalu beringsut mendekat ke arah mama Anggun.

“Mah, kak Niko masih hidup 'kan mah? Dia hanya tidur sebentar, tapi kenapa semua orang tidak mempercayai Reina? Mereka hanya salah paham, kak Niko itu masih hidup,” kataku pada mama Anggun.

Mama anggun tidak merespon apapun. Dia masih dengan posisi dan tatapan yang sama. Bahkan dia seakan tidak melihat sekelilingnya.

“Reina, semua ini benar. Niko telah pergi meninggalkan kita,” sahut Ibu lagi lalu memelukku dan kami menangis lagi bersama.

Dunia ku terasa runtuh. Niko merupakan orang yang selalu berhasil membuatku bahagia, tapi kini dia sudah tidak mau lagi menghibur atau pun menemani ku berjuang melawan kerasnya hidup.

Aku menyesal karena di hari terakhirnya hidup, aku tidak bisa menemani dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Aku malah terbaring lemah tak berdaya bagaikan mayat hidup di sini.

“Rein, kamu tinggal di sini dulu, ya. Temani mama Anggun sampai tujuh harinya Niko.” ucap Keisya padaku, aku pun mengangguk tanda setuju. 

Aku dan Ibu diantar oleh Bi Tina menuju kamar Niko untuk beristirahat.

“Ini kamar den Niko, Nona. Silakan beristirahat. Kalau ada apa-apa, panggil Bibi saja,” ucap Bi Tina. Kemudian Bi Tina membukakan pintu untuk kami, dan kami pun masuk.

“Terima kasih, Bi,” jawab Ibu. Sementara aku masih lemas dan berjalan dengan bantuan ibu yang sedari tadi merangkul pundakku.

Berada di kamar Niko membuatku kembali menangis tanpa tertahan. Aku melihat ribuan fotoku berderet di sana dari semasa SMA sampai kami berpacaran. Ternyata sedalam itu Niko mencintaiku.

Aku merasa tidak adil karena Tuhan tidak menakdirkan kami untuk bersama. Nasib tragis yang menimpa Niko membuat kami harus berpisah untuk selamanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status