"Maaf, mas!" lirih Shafira mulai terisak.
"Maaf, jika diriku belum bisa mengikuti semua keinginanmu," imbuh Safira memulai pembicaraan pada Satria, suaminya.
Nyatanya hati Safira masih belum bisa menerima keinginan sang suami yang ingin menikahi wanita di masa lalunya.
"Shaf, bukankah aku sudah memberitahukan semua kebenarannya?"
Satria memandang sayu wanita yang berstatus istrinya itu.
Ya memang benar, Satria telah menceritakan semua kejadian yang menimpa wanita bernama Tika yang tak lain adalah mantan kekasih Satria.
Tika datang di tengah kebahagiaan rumah tangga Satria dan Safira.
"Maaf, mas. Maaf."
"Hiks."
"Hiks."
Safira berlari ingin pergi jauh dari rumah ini jika dia mampu. Sayang sekali, kehamilan yang berusia sembilan bulan dan tinggal menunggu hari kelahiran itu membuat Shafira mengurungkan niatnya.
Satria berlari mengejar Shafira yang kini berlari menuju ke taman belakang rumah tempat di mana Shafira sering berdiam diri, mendinginkan pikiran dari beban masalah yang menimpanya akhir- akhir ini.
Dipeluk sang istri dari belakang, pelukan hangat penuh penyesalan.
"Shaf, maafkan aku? Mari kita bicara baik- baik. Jika kamu tidak ikhlas, aku akan membatalkan semua ini demi kamu. Aku pikir dengan membicarakan semuanya denganmu, kamu mau menerimanya? Jika bukan kita yang membantunya, lalu siapa lagi Shaf? Sungguh kasihan sekali dia.
Bukankah agama mengajarkan kita untuk menolong sesama, terlebih dengan keadaan Thika yang seperti ini, sangat memprihatinkan," jelas Satria.
Shafira menggeleng dan menutup telinga, berharap jika sang suami tak lagi membahas nama wanita yang begitu menyakiti telinga dan hati Shafira.
"Kenapa kamu tak mau menerimanya Shaf?" tanya Satria dengan polosnya.
Shafira melepas pelukan Satria dan memandangnya penuh kebencian.
"Aku tak mau di madu mas dan harus aku akui, aku tak bisa menerima Thika di tengah kehidupan kita. Jika kamu ingin menikahinya, silahkan. Kamu bisa melakukannya tapi talak aku mas!? ceraikan aku!?" teriak Shafira mengeluarkan semua unek unek di hatinya.
Baru kali ini Shafira berbicara kasar pada Satria.
Entah nyali dari mana bisa membuat Shafira seberani itu kepada Satria. Kali ini Shafira tak peduli lagi, dia sudah memikirkan hal ini dari awal terjadinya perubahan pada sang suami.
Mempertahankan rumah tangga? Rasanya semua tak ada gunanya lagi.
Sedangkan Satria hanya bisa merendah dan mengalah. Dia tak boleh terpancing emosi dan menuruti ucapan istrinya. Bagaimanapun juga dia merupakan kepala keluarga dan harus bijak dalam menghadapi masalah rumit yang menimpa bahtera rumah tangganya saat ini.
"Aku tak akan menceraikanmu Shafira, camkan itu!"
"Kalau kamu tak mau menceraikanku, akhiri hubunganmu dengan Thika saat ini juga!"
"Aku tak bisa Shafira, dia membutuhkan sosok lelaki yang bisa memegang teguh dirinya. Dia terombang ambing dan rapuh. Dia butuh aku untuk sandaran hidupnya?" elak Satria membuat Shafira semakin geram.
Seketika ekspresi marah Shafira berubah, tersenyum kecut dan air matanya tak lagi menetes. Sudah terlalu banyak air mata yang dikeluarkan dengan sia sia. Untuk apa menangisi lelaki yang lebih memilih mantan daripada istrinya sendiri!?
Kini Shafira semakin yakin dengan keputusannya yaitu pergi jauh dari kehidupan Satria.
"Baiklah mas, jika itu maumu. Aku saja yang angkat kaki dari rumah ini!" gertak Shafira.
Satria memegang erat tangan Shafira.
"Jangan berani kepada imammu! Kesabaranku ada batasnya Shafira!"
"Kamu yang memulainya mas!" jerit Shafira membuat Satria terkejut dan melepas cekalan tangannya.
"Aku hanya kasihan pada Thika. Aku tak akan melakukan apapun. Lalu apa maksudmu aku yang memulai?" cerca Satria tak mengerti ucapan Shafira.
"Tak usah mengelak lagi mas. Aku sudah tahu semuanya. Tega sekali kamu mas? Tega sekali kamu membohongi aku?"
Satria mengernyitkan kening semakin tak paham.
"Shafira, aku berbohong apa padamu?"
"Semuanya. Kamu mengawali semuanya dengan kebohongan. Kamu tega mas? Kamu tak peduli dengan perasaanku mas?" teriak Shafira emosi tak terkontrol.
Satria menghela nafas berat.
Dirinya tak menginginkan keributan seperti ini. Semua bisa dijelaskan secara baik baik, dengan kepala dingin, bukan dengan Emosi.
"Terserah padamu Shaf, aku sudah mengatakan secara jujur padamu?"
"Jujur apa? Atas perselingkuhan yang kamu lakukan?"
"Apa!?"
Flashback satu bulan lalu.
"Ma, lihatlah siapa ini?" tanya Satria menyodorkan ponsel pada istrinya. Ponsel beralih di tangan Shafira, terlihat chat dari seseorang wanita dengan nomor baru. Dilihat detail profil WA, dimana seorang wanita berparas cantik sedang duduk di ayunan, memakai kacamata coklat dan tersenyum sangat manis.
Shafira menggeleng pelan, "maaf mas aku tak tahu."
Diulurkan kembali ponsel milik Satria.
"Siapa ya wanita ini? Kok kirim pesan cuma Assalamualaikum saja?" tanya Satria pada diri sendiri dan masih penasaran siapa sebenarnya wanita ini.
Shafira memandang mimik Satria membuatnya ingin tersenyum, "mas Satria, gimana kalau kamu balas saja chatnya, tanya siapa dia dan ada urusan apa?"
"Bener juga kamu sayang. Kenapa aku tak terpikirkan untuk membalas dan tanya langsung ya? hehe," kekeh Satria mulai mengetik beberapa kata, membalas pesan WA dari nomor baru tersebut.
Shafira kembali ke dapur untuk melanjutkan aktivitas dan tak menghiraukan lagi sang suami yang tengah asyik dengan ponsel pintarnya. Sementara Satria menunggu balasan chat WA sambil terus memandangi foto profil si wanita, berusaha mengingat ingat siapa wanita yang kini ditatap intens pada layar ponselnya.
"Bip."
Bunyi chat balasan dan Satria dengan cepat membuka pesan tersebut.
{Mas Satria, aku Thika. Apa kamu ingat aku mas? Maaf sebelumnya jika aku menghubungi mas Satria, aku sedang ada masalah dan tak tahu harus mengeluh kepada siapa lagi mas? Mbak Dina bercerita jika kamu menjadi Konselor saat ini jadi aku ingin meminta bantuanmu mas untuk memberiku saran dalam menyelesaikan masalahku saat ini. Apakah mas bisa membantuku?}
Ya, saat ini Satria menjabat sebagai Konselor yaitu profesi seseorang yang mendengarkan, berempati, menyemangati, dan membantu seseorang atau klien untuk menghadapi situasi sulit.
Terlibat dalam berbagai metode percakapan untuk mengidentifikasi tantangan atau masalah yang dihadapi oleh klien.
{Iya de, aku ingat kamu kok. Nanti kita atur pertemuan biar kamu bisa sharing kepadaku.}
Dua detik kemudian.
"Bip."
{Baik kalau begitu mas, aku tak sabar bertemu sama kamu mas, aku ingin menceritakan semuanya kepadamu.}
{Ya sudah sampai ketemu nanti.}
Satria mengakhiri dahulu chat dengan Thika.
'Thika.'
Pikiran Satria dilempar jauh pada memory bahagia saat dirinya bersama wanita yang pernah menjadi tambatan hati selama tujuh tahun itu.
Satria tersenyum bahagia mengingat masa masa indah tersebut.
Entah mengapa Satria merasa kembali ke masa muda lagi, dimana rasa yang begitu menggebu gebu akan cinta kembali menyeruak di benaknya. Satria tak menyadari jika Shafira memandang tingkah aneh sang suami, terus tersenyum memandang profil Thika, cinta pertamanya.
Merasakan perilaku aneh sang suami dan tak seperti biasa, Shafira mendekat dan bertanya, "chat dari siapa mas?"
"Chat dari siapa mas?" tanya Shafira penasaran dengan sikap sang suami. Satria tak menanggapi, dia masih terus senyam senyum sendiri menatap layar pada benda pipih yang di pegang. "Mas Satria?" bentak Shafira membuat Satria kaget. "Ada apa?" Shafira menggeleng, merasa heran karena Satria tak pernah mengabaikannya. "Ah ini ma, dari teman lama. Aku tanya siapa dia dan sudah di balas kok. Dia dapat nomorku mungkin dari grup Smp." "Siapa?" "Dari Thika." Shafira merasa asing dengan nama wanita yang dilontarkan Satria. Selama ini Satria selalu menceritakan tentang siapa klien dan teman lamanya. Baru kali ini Satria mengatakan nama "Thika" membuatnya penasaran, teman lama seperti apa seorang Thika bagi Satria. "Siapa Thika mas?" "Thika itu teman lamaku ma. Dia menghubungiku karena ada masalah dan memintaku memberikan solusi." Satria menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Jari lentiknya dengan lihai terus menekan nekan layar gawainya. "Oh begitu." Shafira ha
"Brukh."Tiba tiba ada seorang wanita cantik memeluk tubuh Satria dengan air mata membasahi pipi mulusnya. Bukan memeluk, lebih tepatnya menabrakkan diri pada dada bidang Satria.Satria hanya diam terpaku melihat sikap wanita cantik yang tak lain adalah mantan kekasihnya selama delapan tahun itu.Alih alih menolak pelukan karena mereka bukan muhrim, Satria malah mengelus pundak si wanita, sesekali menepuk nepuk punggungnya."Menangislah sepuasnya jika itu bisa meringankan beban hidupmu Thika," lirih Satria.Suara merdu dan sikap welcome dari Satria membuat Thika semakin mengeratkan pelukan dan menangis sepuasnya."Hiks.""Hiks.""Maaf. Maafkan aku Mas, aku sungguh bingung harus mengadu kemana lagi dan kepada siapa? hiks, hiks."Thika menangis sesenggukan di pelukan Satria.Semua sahabatnya ikut menangis haru melihat apa yang kini terjadi di depan mata.Sahabat Satria terdiri dari sembilan laki laki dan mereka di dampingi istrinya masing masing. Sedangkan Satria sengaja datang sendiria
Desahan yang begitu keras dan sepertinya aku tak asing dengan suara si lelaki membuatku tak tahan lagi dan membuka pintu kamar anakku."Angel!?"Aku sungguh syok melihat apa yang terjadi saat ini."Dan kamu!?"Lebih syok lagi saat mataku bersirobok dengan lelaki yang baru saja menoleh padaku.Ya, Anakku bergumul dengan lelaki yang kukenal.Akhtar dan Angel sungguh terkejut melihatku."Kalian!?"Aku mundur selangkah dan menabrak pintu kamar. Rasanya sangat sakit melihat orang yang aku cintai melakukan hubungan terlarang dengan wanita lain. Dan wanita itu tak lain adalah anakku sendiri, Angel. Sungguh aku tak percaya dan tak pernah membayangkan jika Akhtar tega melakukan hal ini."Cepat pakai baju kalian!""Ayo kita bicara di ruang tamu!?" ucapku bergetar.Hampir sepuluh menit mereka baru keluar kamar dan duduk berjajar di sofa panjang."Sudah berapa kali kalian melakukannya?" tanyaku memandang nanar Angel.Aku pikir anakku itu akan takut kepadaku namun nyatanya tidak sna sekali."Tiga
"Mas, jangan talak aku mas, aku mohon?!""Sekarang juga kamu pergi dari sini dan bawa anak anak. Pergi dari sini! Aku tak mau tahu pokoknya besok kalian sudah enyah dari rumahku!" ucap Sholeh pergi meninggalkanku.Aku bingung harus pergi kemana lagi hingga aku memutuskan untuk menghubungi Johan.Panggilan pertama,Panggilan kedua.Dan panggilan ketiga di reject.Seketika aku tak bisa menghubungi Johan, mungkin aku telah di blokir.Flashback off."Begitu mas ceritanya," ucap Thika berlinang air mata.Thika menceritakan bagaimana suami menyiksa dan mengusirnya tanpa menceritakan perselingkuhan yang dialami.Hal ini membuat Satria ikut merasakan rasa sakit yang dialami Thika."Aku harus bagaimana mas? Aku tak tahu harus kemana lagi?"Satria segera memeluk Thika."Kamu tenang ya dek, aku janji akan membantumu mengatasi masalah yang kamu hadapi. Aku akan ada di sisimu.""Benarkah mas?""Iya dek, mas Satria janji."Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.Teguh member
'Thika!?' Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut. {Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.} Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi. Esok hari. "Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya. Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma." Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja. "Ma, ada yang mau aku katakan." "Apa itu mas?" "Ini soal Thika." "Ada apa dengan Thika??????" Satria memandang intens Shafira, memegang tangannya. "Kemarin aku bertemu Thika di acara halal bihalal ma," ucap Satria membuka omongan. "Lalu?" "Dia terlihat sangat sedih, aku baru sadar jika kondisinya tak seperti dulu." "Apa maksud mas?" tanya Shafira. Satria menelan ludah seolah tak bisa mengucapkan kata yang s
Satria bahagia bukan main, seperti mendapatkan durian runtuh saja."Benarkah Sayang?!" tanya Satria memastikan.Lagi lagi Shafira mengangguk membuat Satria memeluk penuh kasih.Satria segera mengirim pesan WA kepada Thika, memberitahukan jika dirinya diberi izin oleh sang istri untuk membantunya.Tentu saja, gayung bersambut. Thika juga senang sekali membaca pesan dari Satria. Dia bebas menghubungi Satria kapanpun dia mau dan tak khawatir bakalan disebut pelakor. Tak seperti dulu, saat dia meminta bantuan teman lelakinya, sang istri marah marah pada Thika dan menyebutnya pelakor."Mas, bukannya kamu akan berangkat kerja?" ucap Shafira mengingatkan sang suami."Oh iya, ini aku mau berangkat. Aku pergi dulu ya?" ucap Satria disambut ciuman tangan dari Safira.Jika biasanya Satria mengecup keningnya, tidak untuk hari ini membuat Safira begitu kecewa.'Tenang Shafira, mungkin mas Satria lupa mencium keningmu,' batin Shafira mencoba menenangkan hatinya. Sejak saat itu, Satria mengubah pen
Shafira harus menelan pil kekecewaan dimana semua tamu keluarga berbondong bondong pergi dari rumahnya. Mereka bahkan tak menyentuh makanan yang disajikan di meja makan.Semua tamu kecewa karena tuan rumah mereka tak ada di acara penting ini. Terlebih Shafira harus menahan rasa malu yang terdalam karena semua menuduh jika Shafira berbohong padahal Shafira mengatakan yang sebenarnya."Sebenarnya kemana perginya anak nakal ini?" gerutu sang mertua membuat Shafira tak tahu harus menjawab apa."Apa benar, suamimu berpamitan pergi bersama Indra?" telisik sang mertua."Tentu saja bu. Untuk apa aku berbohong?" jawab Shafira tak mengira jika ibu mertua juga tak percaya kepadanya.Meski merasa dibohongi dan kecewa dengan sikap sang ibu mertua, Shafira tetap tersenyum dan meyakinkan diri jika suaminya itu pasti punya alasan tidak hadir di acaranya sendiri.Shafira mulai membersihkan ruang tamu dan beristirahat. Maklum saja, kandungan sudah delapan bulan akhir membuatnya cepat lelah dan sakit pu
Rumah Satria tidak pernah sepi, selalu ada teman ataupun saudara yang datang hanya sekedar silaturahmi ataupun meminta kritik serta saran sesuai profesi Satria yaitu konselor.Seperti saat ini, ada tamu yang datang. Mereka adalah teman Satria yang merasa tertolong berkat saran dan arahan dari Satria."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Mari masuk Pak Trio, Bu Marmi," ucap Shafira mempersilahkan masuk dan segera membuatkan minuman."Dimana Pak Satria, bu?""Silahkan diminum dulu Pak, Bu" ucap Aini yang kini duduk di depan para tamu, dia suka sekali nimbrung jika ada tamu yang datang."Satria sedang ke rumah adik saya dengan Mira.Setelah mendengar kabar jika adik saya sedang sakit, saya menyuruh mereka ke sana. Maklum saja, kaki saya sakit linu linu sedangkan Shafira ditinggal karena hamil tua," jelas Aini pada tamu Satria.Mereka mengangguk dan berbicara pada Aini sekedar basa- basi sedangkan Safira hanya duduk mendengarkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Satria datang dengan M