Share

Bab 3

Penulis: I-cream
Asterius sepertinya kembali tersadar.

Dia ingat tahun itu, itu gara-gara ada orang yang menyatakan cinta padaku.

Dirinya panik sampai diam-diam meminum alkohol, lalu tengah malam mencuri gelang giok, menangis dan mengamuk di rumahku. Bahkan, dia sampai berlutut memohon aku memakai gelang giok warisan keluarganya.

Sambil merapikan dasinya, Asterius menghela napas panjang, lalu tersenyum ke arahku. "Aku hanya terlalu gugup. Aku ... barang yang sudah kuberikan, nggak ada alasan untuk ditarik kembali ... simpan saja."

"Nggak apa, aku kembalikan. Aku pulang ambil sekarang." Aku berdiri dan menyela ucapannya. Suaraku terdengar tenang. "Aku bakal cepat kembali, nggak akan lama."

Tanpa menunggu reaksi keluarga, aku mengambil tas dan pergi cepat-cepat.

Baru akan mengetuk pintu saat kembali membawa gelang, aku terpaku mendengar suara sorakan dari dalam.

"Selamat datang ...."

Senyum Asterius segera membeku saat dia melihatku. "Kenapa kamu yang kembali?"

Dia tidak menyangka aku akan kembali. Tidak menyangka juga aku sungguh-sungguh mengembalikan gelang itu.

Saat aku menyerahkannya, dia menatapku dengan ekspresi tidak percaya.

Asterius akhirnya menyimpannya, lalu berbisik di telingaku, "Wiliana, ingat, kita partner yang paling cocok ... hari ini kamu jangan bikin hal yang aneh-aneh, ya."

"Ingrida itu perempuan, dia sensitif. Kamu jangan salah bicara dan buat dia nggak senang."

Aku tidak mau menanggapi Asterius.

Ingrida itu perempuan, tapi apa aku bukan?

Menatap orang yang kujalani seluruh masa mudaku untuk mencintainya, rasa dingin yang tajam menusuk sampai ke tulangku.

Sepuluh menit kemudian, Ingrida dipandu oleh orang perantara, masuk ke kediaman Keluarga Sordan.

Orang tua kami segera mengobrol, dan terlihat sangat cocok satu sama lain.

Itulah juga alasan kenapa aku dan orang tuaku diminta datang.

Mereka berbasa-basi biasa saja, tetapi tetap menyelipkan pembahasan tentang aset keluarga dan arah masa depan dengan terang dan halus.

Sementara itu, Asterius duduk di samping Ingrida, semua gerak-geriknya terlihat penuh perhatian.

Hampir 30 tahun, tetapi tingkahnya seperti anak muda yang pertama kali jatuh cinta.

Sebenarnya tidak ada urusannya denganku sama sekali. Jadi aku juga santai saja dan senang-senang sendiri. Tinggal cari kesempatan yang pas, lalu kabur.

Akan tetapi, tiba-tiba Ingrida memandang ke arahku dengan lembut.

"Ini Wiliana, 'kan? Aku sering dengar namanya. Dulu 'dewi' fakultas seni, ya?"

Mendengar namaku tiba-tiba disebut, aku segera mengibaskan tangan. "Hah? Ah, nggak, itu cuma masa sekolah ... semua orang suka bercanda saja."

Kupikir orang akan segera mengalihkan topik.

Akan tetapi, Ingrida masih lanjut bicara, "Mana ada begitu? Waktu itu, kamu menari tarian klasik di pesta dansa, ‘kan? Besok paginya, di bawah gedung asrama ... penuh bunga yang dikirim untuk kamu."

Tanpa menunggu aku bicara, Ingrida dengan manja menarik lengan Asterius.

"Kalian teman masa kecil, tapi malah nggak bersama?"

"Aku masih ingat, dulu kalian dekat bagaikan satu orang. Semua orang pikir kalian pasti akan menikah."

Semua mata segera tertuju padaku.

Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Ingrida yang terlihat tidak berbahaya itu, entah kenapa, membuatku merasakan permusuhan yang samar.

"Oh dia?" Asterius menatap Ingrida, lalu menyerahkan apel yang sudah dikupasnya. "Di mata kalian dia itu perempuan, atau 'dewi' apa pun."

"Tapi menurutku, dia itu cuma tomboi. Dia sahabat karibku, saudara sepermainan sejak kecil, kakak terbaik yang tumbuh bareng aku."

Seolah teringat sesuatu, Asterius malah tertawa. "Di waktu kecil, begitu menangis, air mata dan ingusnya langsung mengalir bareng."

"Kalau bukan aku yang usap, itu pasti sudah masuk ke mulutnya."

"Dan Wiliana waktu umur 15, pingsan saat pelajaran olahraga karena lari, lalu mengigau nggak jelas, tangannya gerak-gerak di udara seperti mau menerkam orang ...."

"Aku ada urusan." Emosiku hampir meledak. Aku berdiri sambil tersenyum tipis kepada para senior keluarga. "Kalian lanjut saja bicara."

Ingrida menatap Asterius dengan raut malu-malu. "Apa mungkin aku tadi salah bicara, sampai bikin adik tersinggung?"

Tatapan Asterius segera berubah dingin, jelas menyalahkanku, seolah aku perusak suasana.

Namun sebelum dia berbicara, aku yang duluan menyela, "Aku malam ini ada janji kencan dengan pacarku. Kalau aku nggak pergi sekarang, bisa terlambat."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 10

    "Bukannya kita ... pernah bilang mau menikah?""Kamu lupa? Kita sahabat sejak kecil. Kita tumbuh bareng. Dari kecil kita selalu bilang, kalau sudah besar akan jadi suami istri. Waktu main rumah-rumahan dulu ... kamu jadi ibu, aku jadi ayah ....""Dan kita pernah bersama hampir setahun, kita ... sangat bahagia ...."Nada suaranya yang dulu penuh gengsi dan berjarak, kini telah sirna. Asterius bahkan mulai berkata dengan suara tercekat, "Kita ... hampir menikah, 'kan?"Kamu pasti seperti sebelumnya ... cuma bilang itu karena kamu lagi marah, 'kan? Itu cuma ucapan emosi, 'kan?"Ayahku menghantam meja dan berdiri. "Maksud kamu, Wilia bohong padamu? Maksud kamu ... kita sekeluarga juga bohong ke kamu?""Tentang Ditya? Dia itu anak yang sangat baik, sopan, hormat pada kami berdua. Walau Wilia memang baru saja menerima perasaan dia, tapi sebagai orang tuanya, kami bisa melihat hubungan mereka yang serius, dan bisa sampai ke tahap pernikahan ...."Khawatir ayahku benar-benar terpancing emosi,

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 9

    "Dan hubunganku pada kamu, barulah ....""Asterius." Suaraku datar, tanpa riak emosi, seolah orang di ujung sana hanyalah orang asing yang kutemui sekilas. "Kita hanya sekadar partner sementara, 'kan?"Semoga kamu nanti menemukan partner yang lebih cocok."Masih banyak hal yang harus aku kerjakan.Akhirnya aku berkata, "Jangan hubungi aku lagi. Waktu kamu memblokir kontak-ku dulu, kamu terlihat sangat tegas dan cepat. Sekarang malah jadi lengket sekali."Aku berpikir sebentar lalu menambahkan, "Sangat mengganggu."Entah karena sudah pensiun, atau mungkin memang karena iklim di sini benar-benar menyehatkan, wajah dan tubuh ayah ibu terlihat jauh lebih segar.Kalau saja bukan karena urusan balik nama dan serah terima rumah saat Tahun Baru, mereka bahkan tidak mau pulang."Biar aku saja yang pulang dan mengurus semuanya," kataku sambil tetap menatap dokumen di tangan. "Aku juga bisa mengatasinya sendiri."Ayah dan ibu saling bertukar pandang, lalu berkata, "Sudahlah, kami tetap ikut. Kami

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 8

    Asterius menatapku yang tidak terluka sama sekali. "Lah, kamu kenapa nggak kenapa-kenapa? Kamu pikir aku nggak tahu sifat kamu? Waktu kecil kamu seret aku ke taman bermain sampai orang tua lapor polisi. Ujung-ujungnya, siapa yang membereskan semua kekacauan kamu?""Kamu itu selalu balas dendam kalau sudah sakit hati. Kamu marah karena Ingrida rebut apa yang dulu kamu kira milik kamu ... makanya kamu melakukan hal kayak begitu!""Minta maaf sama Ingrida, sekarang juga!"Orang-orang di kerumunan menatapku dengan sorot menyelidik, sekaligus merendahkan.Aku tertawa dingin. "Oh, ya? Mau aku minta maaf?"Asterius akhirnya mengendurkan cengkeraman. "Kamu saja bahkan nggak punya pacar. Minggu lalu kamu ngomong itu cuma untuk bikin aku jengkel, 'kan? Kamu bilang kamu ....""Aku minta maaf," gumamku pelan, lalu tiba-tiba aku teriak keras. "Minta maaf buat kepala Ibu kamu!"Tanpa ragu, aku memutar badan, menampar Ingrida yang sembunyi di belakangnya, tepat di pipi yang tadi aku pukul.Aku lalu m

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 7

    Dia segera meraih lengan Asterius, tersenyum lembut, lemah lembut sekali.Aku membalas dengan senyum sopan, meletakkan botol anggur yang tadi kugenggam ke lantai. Setelah itu, aku menarik napas dalam-dalam. Aku kembali menenggelamkan pikiranku ke obrolan dengan senior di sebelahku.Aku tidak melihat, bagaimana tatapan Asterius di belakangku lama sekali, tidak kunjung menarik tatapan itu kembali.Setelah minum dua gelas anggur merah, aku masih cukup sadar.Saat ke toilet, sekalian aku menambah riasan muka, merapikan dandanan.Semua orang bersepakat, sehabis ini akan menjenguk guru.Di antara mereka, ada pemimpin asosiasi tari yang sangat kuhormati.Waktu aku sekolah, beliaulah yang paling menganggapku berbakat, jadi tentu aku harus hadir.Setelah riasan wajah sudah oke, tampak rapi, aku membuka pintu toilet."Wilia?" Ingrida muncul dalam gaun putih, langkahnya anggun sekali.Aku menjawab singkat, "Hai."Baru ingin lewat begitu saja, Ingrida tarik pergelangan tanganku.Aku meringis kesa

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 6

    Mataku terasa panas dan perih.Satu jam kemudian, aku memastikan di rumah ini sudah tidak ada lagi barang yang ingin kubawa.Asterius sudah menyiapkan makanan dan meletakkannya di atas meja.Satu meja penuh hidangan.Dalam pikiranku sempat terlintas, mungkin nanti kita masih bisa bertemu dan berpura-pura jadi teman biasa. Lagi pula, ada begitu banyak tahun dan kenangan di antara kita.Aku mengulurkan tangan, baru hendak mengambil makanan, tiba-tiba terkejut oleh suara tegas Asterius, “Jangan!”Dirinya berlari kecil tergesa-gesa ke arahku, lalu menyerahkan piring kecil berbentuk bulat."Kamu cukup makan satu suap kecil dari masing-masing, sisanya masih panas, mau kubawakan untuk Ingrida."Asterius memegang piring kecil itu, lebarnya bahkan belum sebesar telapak tangan. "Cepat coba yang mana paling enak, yang paling enak nanti aku isi lebih banyak.""Kalau yang kamu coba nggak enak, aku nggak akan bawa, biar kamu saja yang makan."Pranng!Aku membanting sendok dan garpu.Tangan Asterius

  • Pertalian Sejak Kecil   Bab 5

    "Tapi ...." Ibu mengerutkan kening, membuka mulut, "Wilia, kamu ...."Aku menunduk melihat waktu. "Sudah, aku serius lho.""Aku baik-baik saja dan aku sangat sadar, nggak usah khawatir, Bu.""Justru kalian yang harus mulai memikirkan soal uang."Aku mengecup pipi Ibu sekilas. "Aku ada urusan, pergi dulu, ya."Aku berpikir ... mungkin waktu dan jarak akan mengikis luka di hatiku.Aku jadi jauh lebih tenang.Cintaku yang dalam dan membara... tidak sempat kuucapkan, tetapi setidaknya tidak jatuh memalukan.Aku kira hubunganku dan Asterius akan berakhir baik-baik.Tapi ... aku tidak menyangka, aku tidak bisa masuk ke rumah itu lagi.Aku berdiri di depan pintu, berkali–kali memasukkan kata sandi.[Input salah][Input salah]...Amarah segera menyala di dadaku.Setelah pintu tetap tidak merespons ketukan, logikaku datang kembali.Aku baru ingat, aku harus menelepon Asterius.Tuuut ... tuuut ... nada sibuk, lalu telepon dimatikan.Sampai panggilan ke lima, Asterius mengirim pesan: [Sedang ken

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status