BAGIAN 37
KETIKA DIA MENCIUM KAKIKU
“Di mana perempuan jalang itu?!” jeritku sambil terus membidik kamera ke depan wajah Mas Hendra. Aku sengaja menerobos bapak-bapak lain yang tadinya mencoba menahanku. Aku tidak takut kepada Mas Hendra! Juga Nadia. Mereka berdua harus kupermalukan!
“Pak Yudi, Pak Susilo, tolong geledah kamar ini! Perempuan itu pasti sedang bersembunyi!” kataku keras.
Semua orang pun langsung masuk ke kamar. Membuka pintu kamar mandi dan lemari. Menyibak tirai jendela yang tampak masih tertutup. Lambat laun, terdengar suara isakan dari arah kamar mandi.
“Keluar!” Pekik garang Pak Susilo yang punya tubuh agak gemuk itu menggema dari arah kamar mandi. Aku yang masih b
BAGIAN 38LEPASKAN BENALU “Wah, ini pelakornya? Nggak tahu malu! Dasar murahan, bisanya ngerebut laki orang!” “Gebukin tuh yang cowok! Nggak punya iman! Selingkuh di rumah sendiri, apa udah nggak mampu nyewa hotel?” “Bikin malu komplek aja! Manusia kaya begini, cocoknya diarak aja dulu, sebelum dibawa ke kantor polisi!” Ribuan caci maki tumpah ruah memenuhi sekeliling teras rumah. Masyarakat sekitar berduyun-duyun datang ke rumahku hingga tumpah ke jalanan. Informasi cepat sekali menyebar. Dalam sekejap mata, orang-orang sudah menyerbu masuk. Tak peduli lagi imbauan dari aparat yang mengamankan. Bagi mereka, ini hiburan yang menyenangkan.&n
BAGIAN 39KERASNYA TAKDIR “Omong kosong! Kamu yang menggodaku duluan! Kamu yang bilang jika aku tipe laki-laki idamanmu. Jangan menyangkal, Nad. Tidak akan ada asap kalau tidak ada apinya. Kamu yang membuat perselingkuhan ini ada. Kamu yang menggodaku mati-matian dan kamu sendiri yang menawarkan diri buat membunuh Wahyu. Semua percakapanmu masih kusimpan di ponselku!” Suara Mas Hendra begitu menggelegar. Kepalaku seketika semakin pening mendengarkan bantah-bantahan mereka. Mereka sama-sama sampah. Ya, sampah yang tak bisa dipercaya. Baik Nadia, maupun Mas Hendra, mereka memang tak layak dipegang omongannya. Hanya barang buktilah yang akan mengungkapkan segalanya. “Kalian sama-sama sampah! Tidak pantas kalian hidup di dunia ini. Penjarakan mereka segera, Pak. Mer
BAGIAN 40MAMA “Kenapa ini, Bun?” Ummi Mega yang langsung duduk di sebelah kananku, kini memberikan rangkulan. Perempuan 31 tahun yang mengenakan khimar panjang berwarna krem dan gamis cokelat tua itu terdengar khawatir sekaligus cemas. Sedangkan Alexa dan Carissa kini menangis. Keduanya langsung digendong oleh Mbak Naja keluar ruangan bermain karena membuat anak-anak yang lain jadi mengerumuni kami. Setelah kedua bocah perempuan itu sudah menjauh dariku, aku pun langsung berbicara kepada Ummi Mega. “Ummi, maaf … saya bawa Ica pulang lebih awal,” kataku dengan suara yang parau. “Oh, iya, Bun. Nggak apa-apa. Bunda kenapa? Wajahnya pucat sekali,” ujar Ummi Mega sambil menatapku cemas. Wanita
BAGIAN 41KISRUH “Ri, ceritakan pada Mama. Ada apa sebenarnya?” Mama melepaskan peluknya. Wanita yang memiliki wajah oval mirip denganku tersebut berkaca-kaca kedua bola matanya. “Ma, kita bicarakan pelan-pelan, ya,” lirihku. Perempuan berusia senja tersebut mengangguk pelan. Dia menuntunku kembali duduk ke sofa. Sementara itu, aku melempar pandang ke arah Mbak Naja. Wanita baik hati bertubuh kurus tersebut langsung berdiri dan mengajak anak-anak buat main di luar. Dia seakan paham dengan apa yang aku maksud. “Alexa, Ica, ayo main di luar sama Tante Naja. Kita nonton Coco Melon,” kata Mbak Naja sembari menggiring dua bocah tersebut.&n
BAGIAN 42SEBUAH KECURIGAAN “Ma, bapaknya almarhum Wahyu itu disetir oleh istri keduanya—” “Mama nggak peduli! Anak itu akan menjadi bumerang buat kita, Ri. Sudah cukup kamu membawa Nadia ke dalam rumah tanggamu yang sekarang telah hancur. Jangan sampai anaknya lagi yang membuatmu hancur buat kedua kalinya!” Mama bangkit dari duduknya. Wanita tua yang memiliki mata sendu itu tampak geram bukan kepalang. Buru-buru aku ikut bangkit dan menahan lengan kurus Mama. “Ma, dia masih kecil. Aku hanya kasihan dengannya.” “Masa bodoh! Kamu coba berkaca, Ri. Adakah yang kasihan kepadamu selain keluargamu sendiri?” Da
BAGIAN 43POV INDRIKEBENCIAN TERHADAPNYASetahun lalu …. “In, Mama udah dianterin makanan?” Baru saja aku duduk di depan televisi untuk menikmati acara talk show kesayangan, Bang Tama malah menanyakan perihal yang paling aku benci di muka bumi ini. Mama. Ya, selalu saja orang itu yang muncul setiap harinya dalam obrolan kami. Bisakah sehari saja suamiku tidak menyebut nama itu? Bikin muak! Aku menarik napas dalam sambil mengerling ke arah Bang Tama. “Belum,” jawabku sedikit ketus. “In, udah jam berapa ini? Kan, kamu udah masak. Anterin, gih. Kasihan Mama sama Papa kalau belum makan sampai jam segini.”
BAGIAN 44POV INDRIKUPEGANG KARTU AS-MU! “Jadi … kamu tidak setuju ya, In?” tanya Mama dengan suara lirih. “Terserah Mama saja. Silakan pakai hati nurani Mama sebagai orangtua.” Aku mendengus. Bangkit dari kursi dan buru-buru menyambar tangan Mama. “Aku pulang, Ma. Pekerjaan di rumah masih banyak yang menumpuk.” “Makasih, In, buat lauknya.” Hanya itu yang Mama katakan. Padahal, dia tahu aku sedang merajuk. Orangtua macam apa dia? “Iya. Sama-sama. Riri mungkin seharusnya bisa lebih sering ke sini, Ma. Jangan hanya tahunya minta bagian warisan saja.” Geram sekali, akhirnya keluar juga u
BAGIAN 45POV INDRITERTANGKAP BASAH “Ayo, Wil. Kita buntuti mereka,” kataku kepada Wilda sembari buru-buru keluar dari mobil setelah Hendra dan Nadia berjalan menjauh dari parkiran menuju ke pintu masuk mall. “Jadi, itu siapa, sih?” tanya Wilda kebingungan. “Dia suami iparku. Adik bungsunya Bang Tama. Tapi yang cewek itu bukan iparku. Melainkan simpanannya.” “Hah?” Muka Wilda berubah merah. Dia kaget. Matanya sampai membelalak besar. “Udah, ayo keluar. Nanti kita kehilangan jejak mereka!” Cepat aku membuka pintu mobil milik Wilda dan merapatkan jaket jins yang kukenakan. Tak lupa, sebuah kac