Hari yang telah lama ditunggu akhirnya tiba. Nadine merasa seluruh tubuhnya kaku ketika dia memasuki kafe tempat pertemuan yang disepakati dengan Antonio. Suasana kafe yang biasa, dengan cahaya hangat dari lampu-lampu gantung, kini terasa berbeda. Setiap langkah yang dia ambil, hati Nadine semakin berdebar. Inilah saat yang menegangkan, yang akan menentukan arah hidupnya.
Dia memilih meja di sudut ruangan, tempat yang sedikit lebih pribadi. Tidak lama setelah itu, Antonio datang. Meskipun wajahnya tidak banyak berubah, ada sesuatu yang berbeda. Antonio kini terlihat lebih matang, lebih serius, dan kesan kekanak-kanakan yang dulu ada pada dirinya sudah menghilang. Matanya bertemu dengan mata Nadine, dan dalam sekejap, seakan waktu berhenti sejenak. "Nadine," kata Antonio pelan, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin sulit bagimu." Nadine menatapnya, mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaan yang bergolak di dalam hatinya. "Antonio, kenapa kamu datang kembali? Kenapa sekarang?" tanya Nadine dengan suara yang agak kaku. Antonio duduk di hadapannya, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tahu aku sudah banyak melukai kamu, Nadine. Aku minta maaf. Aku tidak pernah berniat membuatmu merasa terabaikan, tetapi aku benar-benar salah. Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu. Ketika aku melihat kamu lagi, aku merasa seolah semuanya berubah. Aku ingin memperbaikinya." Nadine terdiam. Kata-kata Antonio menyentuh hatinya, tetapi pada saat yang sama, dia merasa ada yang aneh. Bagaimana bisa seorang pria yang dulu begitu mencintainya, tiba-tiba berubah begitu saja setelah sukses? Kenapa baru sekarang dia muncul, setelah tujuh tahun berlalu? Apakah itu benar-benar karena cinta, atau hanya karena rasa bersalah? "Aku tahu ini tidak akan mudah," lanjut Antonio, mencoba menjelaskan lebih jauh. "Aku sudah mendengar tentang hidupmu, Nadine. Tentang bagaimana kamu bekerja keras dan membuktikan dirimu. Aku sangat menghargainya." Nadine menelan salivanya, berusaha menenangkan diri. "Aku sudah menjalani hidupku sendiri, Antonio. Dan aku sudah membuat keputusan untuk melanjutkan hidup tanpa kamu. Semua yang terjadi, aku sudah memaafkan. Tetapi itu tidak berarti aku bisa kembali ke masa lalu." Antonio menunduk, seolah kata-kata Nadine menembus hatinya. "Aku paham," ujarnya pelan. "Aku cuma ingin mengatakan bahwa aku menyesal, dan jika ada kesempatan, aku ingin kita memulai lagi. Jika kamu bisa memberi aku kesempatan itu, aku akan berusaha memperbaiki semuanya." Nadine merasa seolah ada suara di dalam dirinya yang berteriak. Bagaimana bisa dia kembali kepada pria yang telah menghancurkan hatinya dulu? Namun, di sisi lain, hatinya merasa hangat mendengar penyesalan Antonio. Semua kenangan manis yang dulu pernah ada antara mereka kembali muncul, membuatnya ragu untuk menutup pintu sepenuhnya. "Aku... Aku tidak tahu, Antonio," Nadine berkata pelan. "Aku sudah jauh berbeda. Aku sudah jauh lebih kuat daripada dulu. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa percaya padamu setelah semua yang terjadi." Antonio menatapnya dengan penuh harap. "Aku akan berusaha, Nadine. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita mencoba lagi, bersama-sama." Nadine merasa semakin bingung. Sebuah sisi dari dirinya ingin menerima tawaran itu, ingin kembali merasakan kasih sayang yang dulu. Namun, ada perasaan lain yang lebih kuat, yaitu rasa takut akan terluka lagi. Dia sudah terluka cukup lama, dan kali ini, dia merasa lebih berhati-hati. "Tunggu sebentar," kata Nadine, mencoba meredakan keraguan yang ada. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Ini tidak mudah bagiku." Antonio mengangguk, tampak mengerti. "Aku akan menunggu, Nadine. Aku tidak akan terburu-buru. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap melakukan apapun untuk mendapatkan kesempatan itu." Mereka duduk dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Nadine merasa tidak bisa terburu-buru dalam membuat keputusan. Meskipun hatinya terasa terbelah, dia tahu bahwa dia harus mencari jawaban dalam dirinya sendiri. --- Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berat bagi Nadine. Di satu sisi, Antonio muncul kembali dalam hidupnya, mencoba untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Di sisi lain, ada Saga, yang dengan perhatian dan sikap profesionalnya mulai membuat Nadine merasa dihargai lebih dari sekadar sekertaris. Setiap kali Nadine berada di dekat Saga, perasaan yang sulit dijelaskan muncul dalam hatinya. Dia merasa nyaman, dihargai, dan tidak tertekan seperti dulu. Saga juga tampaknya lebih memperhatikan Nadine akhir-akhir ini, meskipun mereka tetap menjaga hubungan profesional. Namun, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan. Seiring berjalannya waktu, Nadine mulai merasakan perbedaan antara kedua pria ini. Antonio, dengan penyesalannya yang tulus, menawarkan kesempatan kedua. Sementara Saga, meskipun tidak pernah secara langsung mengungkapkan perasaannya, selalu ada untuk Nadine, menawarkan dukungan yang tak terucapkan. Pada suatu sore yang cerah, setelah rapat selesai, Saga mengundang Nadine untuk berjalan-jalan sejenak di taman kota. Mereka berdua berjalan berdampingan, menikmati udara segar. "Bagaimana perasaanmu tentang pertemuanmu dengan Antonio?" tanya Saga setelah beberapa saat berjalan dalam diam. Nadine terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi dia memilih untuk jujur. "Saya merasa bingung, Tuan. Antonio kembali, dan dia meminta kesempatan kedua. Saya ingin memberinya jawaban, tapi Saya juga merasa ada sesuatu yang berbeda dengan diri Tuan." Saga berhenti sejenak, menatap Nadine dengan pandangan yang lebih dalam. "Bisakah kamu memanggilku dengan Nama saja disaat kita sedang berdua seperti ini?" Nadine mengangguk meskipun ragu. "Aku tahu kamu sedang bingung, Nadine. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa apapun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Yang paling penting adalah kamu memilih dengan hati yang tulus, tidak karena tekanan dari siapa pun." Lanjut Saga. Perkataan itu menenangkan Nadine, dan meskipun hatinya masih diliputi keraguan, dia merasa sedikit lebih ringan. Saga tidak memaksanya untuk memilih, dia memberi Nadine ruang untuk mengambil keputusan. Namun, keputusan itu tidak semudah yang dibayangkan. Nadine tahu bahwa dia harus benar-benar mendengarkan hatinya, karena hanya dengan cara itu dia bisa menentukan jalan yang benar. Apakah dia akan kembali bersama Antonio yang pernah menghancurkannya, atau apakah dia akan membuka hatinya untuk kesempatan baru yang diberikan oleh Saga? Waktu akan memberikan jawabannya.Pagi itu, Nadine merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, namun jantungnya tetap berdegup kencang setiap kali teringat makan siang dengan Saga kemarin. Hubungan mereka yang semakin dalam semakin sulit untuk disembunyikan, tapi mereka berdua tahu betul bahwa di kantor, mereka harus menjaga profesionalisme.Namun, di saat yang bersamaan, mereka berdua sudah tidak bisa menahan godaan kecil yang selalu hadir, bahkan di tengah-tengah rapat penting.Pagi itu, rapat berlangsung seperti biasa. Para eksekutif dan manajer saling bertukar ide dan laporan. Nadine duduk di meja panjang, terdiam dan mencatat setiap poin yang dibahas. Namun, di antara banyaknya diskusi tentang strategi perusahaan, pandangannya lebih sering tertuju pada Saga yang duduk di ujung meja, tampak serius namun tetap memancarkan karisma yang tidak bisa diabaikan.Nadine merasa matanya terkadang bertemu dengan mata Saga, dan setiap kali itu terjadi, ada semacam kehangatan yang datang dari dalam
Saat rapat dimulai, suasana di ruang rapat terasa lebih intens dari biasanya. Semua rekan kerja terlihat serius, tetapi Nadine bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali pandangan mereka bertemu, Nadine merasa ada semacam percikan di antara mereka berdua. Lirik-lirikan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.Di tengah rapat, ketika kepala bagian keuangan sedang menjelaskan laporan bulanan, Nadine merasakan pandangan Saga yang tajam mengarah padanya. Tanpa suara, tanpa kata, hanya dengan tatapan mata, mereka berdua saling mengerti. Saga mengerutkan alisnya sedikit, seolah memberi isyarat agar Nadine memperhatikan presentasi, dan Nadine hanya mengangguk sambil menahan senyum.Pernah, saat salah seorang manajer memberikan laporan tentang proyek baru, Nadine merasakan jari Saga yang dengan sengaja menyentuh tangannya di bawah meja. Jantung Nadine berdebar begitu keras, seolah seluruh dunia hanya berputar di sekitar sentuhan kecil itu. Namun, dia hanya bisa melirik ke
Rooftop gedung perusahaan menjadi tempat yang jarang dikunjungi kecuali oleh mereka yang mencari ketenangan. Malam itu, Nadine sengaja memilih tempat tersebut untuk menghabiskan waktu. Setelah seharian bekerja, dia butuh momen untuk bernapas. Langit malam penuh bintang, memberikan rasa damai yang tak bisa dia temukan di ruangan ber-AC dan lampu neon yang terlalu terang.Secangkir teh hangat berada dalam genggamannya. Asapnya mengepul tipis, melawan udara malam yang dingin. Pandangannya tertuju pada hamparan bintang yang seperti berlomba-lomba memamerkan sinar mereka. "Andai hidup ini sesederhana langit malam," pikirnya.Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Nadine sedikit menoleh, cukup untuk melihat siapa yang datang."Sendiri aja?" suara berat yang sudah sangat akrab itu menyapanya. Saga Avendra, CEO muda yang selalu tampil memukau, kini berdiri di belakangnya.Nadine tersenyum tipis tanpa menoleh sepenuhnya. “Kadang menyendiri itu menyen
Saga dan Nadine tidak bisa lagi bersembunyi. Ketegangan antara mereka semakin memuncak setelah pesan misterius yang mereka terima. Mereka tahu bahwa Sisca tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, perasaan mereka satu sama lain sudah semakin kuat, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan membiarkan ketakutan dan ancaman menghancurkan apa yang telah mereka bangun.---Beberapa hari setelah pesan terakhir dari Sisca, Saga memutuskan untuk bertindak."Aku sudah cukup," kata Saga, matanya penuh tekad. "Aku akan menemui orang yang ada di balik semua ini."Nadine memandangnya dengan cemas. "Saga, hati-hati. Jika Sisca tahu kita bergerak, dia bisa lebih berbahaya lagi.""Aku tahu, tapi kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghadapi ini sekarang juga," jawab Saga. Dia meraih tangan Nadine dan menggenggamnya erat. "Kamu bersedia menghadapinya bersamaku?"Nadine terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Saga. Dia tahu betul bahwa ini bukan hanya tentang mere
Di kediaman Saga, malam ituSaga dan Nadine duduk berhadapan. Di ruangan itu, suasana lebih tenang meskipun keduanya tahu bahwa ancaman yang mengintai semakin besar.“Apa yang akan terjadi, Saga?” tanya Nadine pelan. “Jika semua ini terbuka, bagaimana jika kita tidak bisa bertahan?”Saga mengangkat wajahnya, menatap Nadine dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan biarkan apapun menghancurkan kita. Kita lebih kuat dari yang kita kira.”Dengan tatapan yang penuh tekad, Saga meraih tangan Nadine. “Aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama-sama.”Nadine menatapnya dalam-dalam. Di mata Saga, dia melihat bukan hanya janji, tetapi sebuah harapan yang menguatkan dirinya untuk bertahan.“Aku percaya padamu, Saga,” ucap Nadine, suara lembut namun penuh kepercayaan.---Namun, saat mereka berbicara, ponsel Saga berdering. Dia melihat nama yang muncul di layar, dan wajahnya berubah seketika.“Ada apa?” tanya Nadine dengan cemas.Saga mengangkat telepon dengan cep
Hari berlalu dengan cepat, dan suasana di kantor semakin mencekam. Orang-orang mulai memperhatikan perubahan besar yang terjadi antara Saga dan Sisca. Beberapa mulai berspekulasi bahwa hubungan mereka sudah di ujung tanduk.Namun, ada satu hal yang lebih mengguncang, sesuatu yang lebih pribadi. Saga tiba-tiba menerima telepon dari ibunya yang sudah lama tidak menghubunginya.“Saga, kamu benar-benar ingin melawan Sisca?” suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran di ujung telepon. “Kau tahu dia bisa menghancurkan reputasi keluarga kita, bukan?”Saga menggigit bibirnya. “Ibu, aku sudah cukup mendengar ancaman dari Sisca. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayangnya selamanya. Dan aku tidak akan membiarkan dia menyakiti orang yang aku cintai.”“Ini bukan hanya tentang kamu, Saga,” suara ibunya mulai terdengar lebih lembut. “Keluarga kita sudah sangat terbuka dalam dunia bisnis. Jika reputasi kita tercoreng, semuanya bisa hancur.”Saga menatap Nadine yang sedang bekerja di luar ruangan. Ada