Pria dingin itu sudah menarik handle pintu kamar dan membukanya. Memerintahkan Arumi untuk melangkah lebih dulu dengan gerakan retina matanya.
Tak ada bantahan, Arumi pun segera melangkah masuk meski dengan perasaan yang campur aduk. Takut, gugup, malu semua menumpuk, membuat dadanya menjadi begitu sesak. Rasanya, ingin ia melarikan diri saja daripada harus menghabiskan malam bersama laki-laki yang seharusnya ia panggil 'Papa' ini. "Kenapa kamu?" Langit bertanya dengan nada ketus. Ia bisa melihat kekhawatiran dari raut wajah Arumi. "Heuh? E ... nggak, aku nggak kenapa-kenapa kok, Om." Arumi tersenyum canggung. "Ya sudah, kamu tidur di ranjang, biar saya tidur di sofa," ucap Langit memberi solusi dari kegundahan hati Arumi. "Eh, jangan, Om. Biar ... biar Arum aja yang di sofa. Nggak papa." Gadis itu segera mengambil bantal dan selimut, hendak melangkah ke arah sofa yang ada di sudut ruang kamar itu. Namun, belum juga kakinya melangkah, tangan Langit sudah lebih dulu menahannya. Ia pun segera melihat ke arah tangan pria itu. "Di sini, saya yang mengatur, bukan kamu." Arumi pun langsung terdiam. Bukan, bukan ia tidak tahu harus mengatakan apa. Melainkan karena merasa cukup takut untuk kembali bersuara. Takut jika kata-kata yang ia keluarkan membuat keadaan semakin runyam. "Ya udah, Om." Angguknya patuh. Langit segera mengambil bantal dan selimut dari tangan istrinya. Kemudian berlalu ke arah sofa dan langsung merebahkan tubuh di sana. Ia bahkan membuat posisi membelakangi ranjang. Sebuah sikap yang benar-benar membuat harga diri Arumi seperti dicabik-cabik. Setelah menghela napas panjang sejenak, Arumi pun mematikan lampu kamar. Menyisakan hanya lampu tidur dengan cahaya yang temaram. Kemudian segera naik ke atas tempat tidur. Di ranjang, ia tidak langsung berbaring. Melainkan mengambil ponsel dan mencoba untuk menghubungi Andini lagi. Berharap jika sudah ada kabar dari wanita yang telah melahirkannya itu. [Mama, Mama di mana sih? Kenapa Mama pergi tanpa pamit sama Arum?] [Mama ... kasih tahu Arum, Mama sebenarnya ada di mana?] [Mama, Arum mau Mama kembali. Jangan tinggalkan Arum seperti ini.] [Mama, kenapa Mama tega sama Arum? Om Langit terus menanyakan keberadaan Mama. Arum tidak tahu harus jawab apa, Ma.] Sederet pesan yang Arumi kirim kepada nomor kontak ibunya masih ceklis satu. Tidak masuk, apalagi dibaca. Dan entah sudah berapa kali ia mencoba untuk menghubungi teman-teman Mamanya yang ia tahu dan kenal. Meng-stalking media sosial perempuan dewasa itu, tapi hasilnya hanya kesia-siaan yang ia dapat. Andini benar-benar seperti ditelan bumi. Tanpa sadar, Arumi pun menangis. Bahkan tangisnya hingga terisak-isak. Ia tekuk kedua kakinya dan menenggelamkan wajah di antara lipatan kedua tangannya. Dirinya benar-benar tampak nelangsa. "Mama ...," lirih suara gadis itu. Ia terus memanggil nama ibunya dengan nada yang begitu pilu dan menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Seakan tak ingat, ada dan bersama siapa ia saat ini. ‘Mama … apa Mama udah nggak sayang sama Arum?’ Batin gadis itu kian berkecamuk hebat. Terlebih ketika mengingat jika saat ini ia telah menjadi istri dari calon suami Mamanya sendiri. Tak pernah terpikirkan olehnya menjadi orang ketiga dalam hubungan ibunya dengan pria bernama Langit itu. Bagaimana jika tiba-tiba saja Andini kembali? Membayangkan hal itu, membuat Arumi semakin nelangsa. Tangisnya pun mulai berubah. Dari yang sebelumnya hanya isakan kecil dengan suara lirih. Berganti menjadi raungan keras yang kian menjadi-jadi. Semakin lama, semakin nyata. “Heh! Bisa diam tidak?!” Tiba-tiba saja suara seseorang mengalihkan atensi Arumi. Seketika ia pun menghentikan tangis dan menengadahkan kepalanya. "O—om, Om Langit?” ucapnya terbata. Ia terperanjat tatkala melihat Langit sudah berdiri di hadapannya dengan posisi tangan bersedekap dada. Sorot mata pria itu jelas tidak bersahabat dalam menatapnya. "Kamu tidak tahu ini sudah jam berapa? Menangis ditengah malam begini, apa kamu pikir tidak mengganggu istirahat orang lain? Bagaimana kalau Ayah dan Bunda dengar. Mereka pikir nanti saya apakan kamu lagi." Langit tampak kesal. "Ma—maaf, Om." Arumi tampak menyesal. Dengan segera ia seka air matanya. "Ya sudah. Tidur sana. Awas saja kalau saya dengar kamu bernyanyi ria lagi." Ancam Langit. "Iya, Om. Nggak bakalan lagi. Maaf." Arumi sedikit menunduk. Tanpa sepatah kata lagi, Langit pun segera kembali ke tempat tidurnya dengan raut wajah kesal. Kemudian melempar pandang sekali lagi kepada Arumi, sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya. Namun kali ini dengan posisi yang menghadap ke arah ranjang. "Tidur!" ucapnya lagi dari arah sofa. Arumi mengangguk dan segera merebahkan tubuh. Kemudian menutupinya dengan selimut karena memang Langit menyetel pendingin ruangan dengan suhu yang cukup rendah. Ia tidak terbiasa tidur dengan suhu yang begitu dingin. Mudah terserang flu dan demam. *** "Pagi, Yah, Bun ...," ucap Langit sembari menarik kursi meja makan. "Arum mana?" tanya Viola langsung. Ia bertanya karena tidak melihat Langit datang dengan sang menantu. "Nggak tahu, masih tidur mungkin," jawab langit santai. Dahi Viola dan Erlangga mengernyit. Mereka cukup heran dengan respon yang ditunjukkan oleh putranya itu. Tidak seperti selayaknya pasangan pengantin baru pada umumnya. "Kamu ini gimana sih? Masa istri sendiri nggak tahu? Emang kamu waktu bangun tidur nggak perhatiin dia ada di samping atau nggak?" Viola mulai mengomeli Langit. Langit terdiam. Seketika ia menyadari kesalahan yang sudah ia lakukan. Sementara Viola dan Erlangga hanya bisa menghela napas melihat tingkah putra mereka itu. Dan tanpa menunggu penjelasan dari putranya, Viola segera memanggil Mbok Jum, sang asisten rumah tangga rumah itu. Yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun dengan keluarga itu. "Mbok, tolong lihat Arum di kamar Langit ya? Apa dia udah bangun atau belum. Kalau udah, suruh langsung sarapan. Kalau belum, biarin aja dulu. Mungkin dia kecapean semalam." Viola melirik ke arah Langit saat mengatakan kalimat yang terakhir. Langit masih diam. Terus mengunyah dan menikmati roti lapis selainya. "Baik, Bu." Mbok Jum segera berlalu ke kamar Langit. Namun, baru sesaat perempuan paruh baya itu pergi, tiba-tiba sudah kembali lagi dengan tergopoh-gopoh dan wajah yang begitu panik. "Bu …! Bu …!" teriaknya kepada Viola. Viola, Erlangga dan Langit terkejut bersamaan. Mereka pun segera menoleh ke arah Mbok Jum yang napasnya sudah naik turun tak beraturan. "Ada apa, Mbok? Kenapa panik begini?" tanya Viola. "Bu ... itu, itu Bu!" Mbok Jum terbata. Ia seperti orang yang baru saja melihat setan. "Itu, itu. Itu apa Mbok? Kalau bicara yang jelas!" hardik Erlangga dengan nada tinggi. "Non Arum. Non Arumi ....” Langit langsung berdiri. "Arumi? Arumi kenapa?"Arumi menghentikan gerakan tangannya, menjauhkannya dari handle pintu. Berbalik dan kembali melihat kepada Langit. Tampak laki-laki itu sudah dalam posisi berdiri dan melihat ke arahnya. Sejenak, hanya ada kebisuan di antara mereka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Saking heningnya, suara sendok Mbok Jum di dapur sampai terdengar mengisi ruang kamar yang tak seberapa luas itu. Langit kemudian melangkah, mengikis jarak di antar mereka. Berdiri tepat satu meter di depan Arumi. "Kamu yakin mau mencari Mama kamu?" tanyanya serius. Arumi mengangguk pelan. Terus melihat wajah laki-laki dewasa itu dengan tatapan menuntut. Menunggu respon yang lebih lagi atas sikap yang akan ia ambil sebentar lagi. Langit bersedekap dada dan membuang napas pelan. "Kamu mau cari dia ke mana?" tanyanya lagi. "Ya ... ke mana saja, Om. Pokoknya sampai ketemu. Arumi yakin kok, Mama pasti masih di sekitaran kota ini. Tidak mungkin juga Mama pergi sampai ke luar negeri, kan?" Arumi b
"Cerai?" tanya Langit. Arumi mengangguk. "Kamu pikir bercerai segampang itu, ha? Kamu pikir pernikahan itu main-main?" Langit jelas tidak setuju dengan rencana Arumi. Walau ia tahu niat di awal menikahi Arumi hanya karena keterpaksaan, tapi bukan berarti segampang itu untuk berpisah. Lagi pula, tidak ada point cerai di kontrak yang sudah ia revisi. Meski ia pernah melontarkannya malam itu. "Jadi Om maunya kita gimana? Masa kita gini-gini terus? Kalau tiba-tiba Mama balik dan dia tahu tentang kita, gimana? Aku nggak mau Mama kecewa, Om. Aku nggak mau dianggap anak yang durhaka." Raut wajah Arumi kembali tampak pilu. "Astaga, nggak akan ada yang menganggap kamu anak durhaka, Arumi. Dan lagi pula, kita tidak pernah tahu kapan Andini akan kembali. Mungkin saja dia tidak akan pernah kembali," tegas langit. "Kok Om gitu sih, ngomongnya? Jahat banget tauk, Om. 'Ucapanmu adalah doamu'. Om doain aku jadi anak yatim piatu? Nggak ada ayah nggak ada ibu, gitu?" "Ya mending, dari
Arumi sontak terkejut. Ia langsung menarik kembali tubuhnya ke belakang. “Siapa yang mengizinkan kamu mencuri ciuman dari saya?” tanya Langit dengan tatapan menelisik. Namun, Arumi justru mengernyitkan dahinya. Mencuri ciuman? “Om … Arum nggak mencuri ciuman,” bantah Arumi sambil menggelengkan kepalanya. “Terus, ngapain kamu kayak gitu kalau bukan mau cium saya?” Langit membenarkan posisi duduknya, tatapannya masih lurus ke arah Arumi. “Arum … Arum cuma mau benerin kancing baju Om yang terbuka biar nggak masuk angin!” jawab Arumi dengan cepat. Tujuannya memang itu, tapi sepertinya langit sudah terlanjur salah paham. Ditambah dengan posisi Arumi yang memang terasa menjurus ke arah pelecehan seksual, mungkin? Langit terdiam beberapa detik. Tatapannya menurun ke arah kancing bajunya yang memang terbuka satu. Ia menelan ludah kecil, lalu mengusap tengkuknya pelan. “Oh… jadi cuma itu?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya, buka
Dengan gerakan cepat dan gesit, Langit pun memutar posisi mereka, hingga menjadi terbalik. Kini ia di atas dan Arumi di bawah. Kembali dengan pandang yang bertemu untuk beberapa saat. “Dipahami baik-baik, saya tidak akan mengulanginya. Setelah ini, kamu harus bisa lebih baik dari sebelumnya. Mengerti?” tanya Langit dengan nada menuntut. “Mengerti, Om ….” Entah kenapa, Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menelan ludah dengan susah payah, sebab masih begitu gugup. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra, mengingat setiap gerakan yang nanti akan Langit lakukan kepadanya. Mau menolak, bagaimana, sudah jadi suami. “Bangun,” perintah Langit dengan suara rendah. Ia bangkit dan kembali duduk di tepi ranjang. "Eum ...." Arumi menyusul segera. Bangkit dan duduk di samping Langit. Merapikan sejenak rambutnya yang sempat berantakan. "Cepat!" Langit kembali menginterupsi. Melihat gadis itu dengan ujung ekor matanya. Minta dicium, tapi ketus. "I—iya, Om." Arumi segera berdiri. Me
Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal. "O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu."Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—""Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak."Ta—tapi kata Om waktu itu ....""Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi."Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?
Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah."Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi."Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya."Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali."Mau k