Share

Ada Apa Arumi?

Penulis: LV Edelweiss
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-15 17:58:52

Pria dingin itu sudah menarik handle pintu kamar dan membukanya. Memerintahkan Arumi untuk melangkah lebih dulu dengan gerakan retina matanya. 

Tak ada bantahan, Arumi pun segera melangkah masuk meski dengan perasaan yang campur aduk. Takut, gugup, malu semua menumpuk, membuat dadanya menjadi begitu sesak. Rasanya, ingin ia melarikan diri saja daripada harus menghabiskan malam bersama laki-laki yang seharusnya ia panggil 'Papa' ini.

"Kenapa kamu?" Langit bertanya dengan nada ketus. Ia bisa melihat kekhawatiran dari raut wajah Arumi.

"Heuh? E ... nggak, aku nggak kenapa-kenapa kok, Om." Arumi tersenyum canggung.

"Ya sudah, kamu tidur di ranjang, biar saya tidur di sofa," ucap Langit memberi solusi dari kegundahan hati Arumi.

"Eh, jangan, Om. Biar ... biar Arum aja yang di sofa. Nggak papa." Gadis itu segera mengambil bantal dan selimut, hendak melangkah ke arah sofa yang ada di sudut ruang kamar itu.

Namun, belum juga kakinya melangkah, tangan Langit sudah lebih dulu menahannya. Ia pun segera melihat ke arah tangan pria itu.

"Di sini, saya yang mengatur, bukan kamu." 

Arumi pun langsung terdiam. Bukan, bukan ia tidak tahu harus mengatakan apa. Melainkan karena merasa cukup takut untuk kembali bersuara. Takut jika kata-kata yang ia keluarkan membuat keadaan semakin runyam. 

"Ya udah, Om." Angguknya patuh. 

Langit segera mengambil bantal dan selimut dari tangan istrinya. Kemudian berlalu ke arah sofa dan langsung merebahkan tubuh di sana. Ia bahkan membuat posisi membelakangi ranjang. Sebuah sikap yang benar-benar membuat harga diri Arumi seperti dicabik-cabik. 

Setelah menghela napas panjang sejenak, Arumi pun mematikan lampu kamar. Menyisakan hanya lampu tidur dengan cahaya yang temaram. Kemudian segera naik ke atas tempat tidur. 

Di ranjang, ia tidak langsung berbaring. Melainkan mengambil ponsel dan mencoba untuk menghubungi Andini lagi. Berharap jika sudah ada kabar dari wanita yang telah melahirkannya itu.

[Mama, Mama di mana sih? Kenapa Mama pergi tanpa pamit sama Arum?]

[Mama ... kasih tahu Arum, Mama sebenarnya ada di mana?]

[Mama, Arum mau Mama kembali. Jangan tinggalkan Arum seperti ini.]

[Mama, kenapa Mama tega sama Arum? Om Langit terus menanyakan keberadaan Mama. Arum tidak tahu harus jawab apa, Ma.]

Sederet pesan yang Arumi kirim kepada nomor kontak ibunya masih ceklis satu. Tidak masuk, apalagi dibaca. Dan entah sudah berapa kali ia mencoba untuk menghubungi teman-teman Mamanya yang ia tahu dan kenal. Meng-stalking media sosial perempuan dewasa itu, tapi hasilnya hanya kesia-siaan yang ia dapat. Andini benar-benar seperti ditelan bumi.

Tanpa sadar, Arumi pun menangis. Bahkan tangisnya hingga terisak-isak. Ia tekuk kedua kakinya dan menenggelamkan wajah di antara lipatan kedua tangannya. Dirinya benar-benar tampak nelangsa.

"Mama ...," lirih suara gadis itu. Ia terus memanggil nama ibunya dengan nada yang begitu pilu dan menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Seakan tak ingat, ada dan bersama siapa ia saat ini. 

‘Mama … apa Mama udah nggak sayang sama Arum?’

Batin gadis itu kian berkecamuk hebat. Terlebih ketika mengingat jika saat ini ia telah menjadi istri dari calon suami Mamanya sendiri. Tak pernah terpikirkan olehnya menjadi orang ketiga dalam hubungan ibunya dengan pria bernama Langit itu.

Bagaimana jika tiba-tiba saja Andini kembali?

Membayangkan hal itu, membuat Arumi semakin nelangsa. Tangisnya pun mulai berubah. Dari yang sebelumnya hanya isakan kecil dengan suara lirih. Berganti menjadi raungan keras yang kian menjadi-jadi. Semakin lama, semakin nyata.

“Heh! Bisa diam tidak?!” 

Tiba-tiba saja suara seseorang mengalihkan atensi Arumi. Seketika ia pun menghentikan tangis dan menengadahkan kepalanya.

"O—om, Om Langit?” ucapnya terbata. Ia terperanjat tatkala melihat Langit sudah berdiri di hadapannya dengan posisi tangan bersedekap dada. Sorot mata pria itu jelas tidak bersahabat dalam menatapnya.

"Kamu tidak tahu ini sudah jam berapa? Menangis ditengah malam begini, apa kamu pikir tidak mengganggu istirahat orang lain? Bagaimana kalau Ayah dan Bunda dengar. Mereka pikir nanti saya apakan kamu lagi." Langit tampak kesal.

"Ma—maaf, Om." Arumi tampak menyesal. Dengan segera ia seka air matanya. 

"Ya sudah. Tidur sana. Awas saja kalau saya dengar kamu bernyanyi ria lagi." Ancam Langit.

"Iya, Om. Nggak bakalan lagi. Maaf." Arumi sedikit menunduk.

Tanpa sepatah kata lagi, Langit pun segera kembali ke tempat tidurnya dengan raut wajah kesal. Kemudian melempar pandang sekali lagi kepada Arumi, sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya. Namun kali ini dengan posisi yang menghadap ke arah ranjang. 

"Tidur!" ucapnya lagi dari arah sofa.

Arumi mengangguk dan segera merebahkan tubuh. Kemudian menutupinya dengan selimut karena memang Langit menyetel pendingin ruangan dengan suhu yang cukup rendah. Ia tidak terbiasa tidur dengan suhu yang begitu dingin. Mudah terserang flu dan demam.

***

"Pagi, Yah, Bun ...," ucap Langit sembari menarik kursi meja makan.

"Arum mana?" tanya Viola langsung. Ia bertanya karena tidak melihat Langit datang dengan sang menantu.

"Nggak tahu, masih tidur mungkin," jawab langit santai. 

Dahi Viola dan Erlangga mengernyit. Mereka cukup heran dengan respon yang ditunjukkan oleh putranya itu. Tidak seperti selayaknya pasangan pengantin baru pada umumnya. 

"Kamu ini gimana sih? Masa istri sendiri nggak tahu? Emang kamu waktu bangun tidur nggak perhatiin dia ada di samping atau nggak?" Viola mulai mengomeli Langit.

Langit terdiam. Seketika ia menyadari kesalahan yang sudah ia lakukan. Sementara Viola dan Erlangga hanya bisa menghela napas melihat tingkah putra mereka itu. 

Dan tanpa menunggu penjelasan dari putranya, Viola segera memanggil Mbok Jum, sang asisten rumah tangga rumah itu. Yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun dengan keluarga itu.

"Mbok, tolong lihat Arum di kamar Langit ya? Apa dia udah bangun atau belum. Kalau udah, suruh langsung sarapan. Kalau belum, biarin aja dulu. Mungkin dia kecapean semalam." Viola melirik ke arah Langit saat mengatakan kalimat yang terakhir.

Langit masih diam. Terus mengunyah dan menikmati roti lapis selainya. 

"Baik, Bu." Mbok Jum segera berlalu ke kamar Langit. 

Namun, baru sesaat perempuan paruh baya itu pergi, tiba-tiba sudah kembali lagi dengan tergopoh-gopoh dan wajah yang begitu panik.

"Bu …! Bu …!" teriaknya kepada Viola. 

Viola, Erlangga dan Langit terkejut bersamaan. Mereka pun segera menoleh ke arah Mbok Jum yang napasnya sudah naik turun tak beraturan. 

"Ada apa, Mbok? Kenapa panik begini?" tanya Viola.

"Bu ... itu, itu Bu!" Mbok Jum terbata. Ia seperti orang yang baru saja melihat setan.

"Itu, itu. Itu apa Mbok? Kalau bicara yang jelas!" hardik Erlangga dengan nada tinggi.

"Non Arum. Non Arumi ....”

Langit langsung berdiri. "Arumi? Arumi kenapa?" 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Jodoh Saya

    Suasana kamar itu menegang. Andini seperti terjebak di dalam perangkap yang ia buat sendiri. Mengurungnya dalam ketakutan beralasan akibat ulah dari sandiwaranya selama ini. Ingin ia menutupinya lagi, tapi sepertinya Langit terlalu pintar untuk dibodohi. Tak seperti Arumi yang polos dan lugu, sehingga bisa tipu setiap waktu.“Ma …,” lirih Arumi.Andini masih diam. Tatapannya yang semula begitu sangar dan menggebu-gebu, kini berubah sayu dan penuh kecemasan. Ia menunduk, tak kuasa untuk melihat kepada dua manusia di dekatnya.“Ma … jawab Arumi! Mama beneran hamil kan? Mama nggak bohongi Arumi kan?” desak Arumi. Kini giliran dirinya yang menggoyang-goyang tubuh Andini. Menuntut perempuan bergelar ibu baginya itu untuk menjawab pertanyaannya.“Dia tidak akan bisa menjawab, Arumi. Karena saya sudah mencari tahu semuanya. Sehari pasca Andini mendatangi rumah saya dan mengaku jika sudah hamil anak saya, saya pun mendatangi rumah sakit tempat kamu dirawat waktu itu. Dan hasilnya, seorang d

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Mengungkap Fakta

    Dengan tergopoh-gopoh, Arumi pun kembali melangkah mendekati kamar. Guna mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya. Dari pekikan suara wanita dewasa itu tadi, sepertinya telah terjadi sesuatu.“Mama?!” ucap Arumi setengah berteriak. Ia cukup terperanjat, tatkala melihat Andini sudah terduduk di lantai, dekat dengan ranjang tempat tidur.“Arumi, tolongin Mama. Perut Mama sakit,” ujar Andini. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang menahan sakit.“Pe—perut Mama sakit? Astaga, bagaimana ini?” tanya Arumi panik. Ia langsung berlari ke arah mamanya dan membantu perempuan itu untuk bangkit. Rasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan pun mulai menghampiri.Sementara di depan pintu kamar, Langit tampak berdiri santai dengan kedua tangan yang bersedekap di dada. Ekspresi wajahnya tak menyiratkan empati apalagi peduli sedikitpun. Seolah ia tidak mau tahu, dengan apa yang dialami oleh mertuanya itu.“Om, Mama Om. Bantuin …,” pinta Arumi. “Apa yang mau dibantu, Arumi? Mama

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Pilih Antara Dua

    Mobil jenis sedan itu sudah berhenti di depan sebuah rumah semi permanen berwarna putih dengan beberapa pot bunga di depannya. Bangunannya dikelilingi oleh pagar kayu dengan warna yang sama. Tak terlalu menjulang, hanya setinggi dada pria dewasa. Dari dalam mobil, Arumi keluar dan langsung berjalan ke arah pintu pagar. Membukanya dan masuk dengan langkah yang begitu berat. Udara di sekitarnya mendadak terasa panas dan menyesakkan. Mungkin karena ia tahu, dengan siapa sebentar lagi ia berhadapan. Di belakangnya, Langit masih setia berdiri dan menemani. Sosoknya yang tinggi dan dewasa, menjadikannya lebih mirip seperti seorang ayah yang melindungi putrinya ketimbang suami yang menjaga istri. “Ma …,” panggil Arumi pelan. Tangannya sudah bergerak menarik handle dan membuka pintu. Langsung melempar pandangan ke seluruh sudut ruangan rumah itu. Sesaat, terdengar suara sahutan dari dalam kamar. “Iya sayang, kamu sudah pulang? Mama lagi di kamar nih. Ke sini aja ya, di luar panas,” t

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Yes, She Is My Wife

    ​Di balik pekatnya aroma kopi dan pendingin ruangan yang menusuk, lobi hotel itu mendadak terasa dingin. Kaki-kaki berlapis alas sepatu di atas marmer memantul kembali keheningan canggung yang tebal. Jason, si mucikari, hanya diam. Jari-jarinya memilin tepi ponsel yang sudah sejak tadi ada di tangannya. Ia memperhatikan siluet pelanggannya—seorang pria mapan, berkeme abu-abu yang kini tampak berdiri gagah—yang baru saja menyelesaikan penuturan paling absurd yang pernah ia dengar. “She—she is your wife?” tanyanya terbata. “Yes. She is my wife,” ulang Langit. Bukannya merasa bersalah setelah mendengar pengakuan Langit, Jason justru terkekeh bahkan terbahak hingga terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu, Langit dan Arumi sedikit bingung dibuatnya. “She is your wife?” tanya Jason sekali lagi. Langit hanya diam. Menurutnya, pertanyaan Jason kali ini tidak perlu ia jawab. Hanya tangannya yang bergerak—menarik pelan tangan Arumi—dan membawa istrinya itu ke sampingnya. “Jangan

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Don't Touch My Wife

    Pagi menjelang. Udara di Nauru masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun tidak dengan suasana hati seorang Arumi.Terbangun dari tidur setelah melewati malam yang panjang bersama Langit, dirinya langsung disambut oleh senampan sarapan pagi berisi roti lapis selai coklat dan segelas susu. Serta seikat bunga yang sangat indah di atas nakas.“Ih, ada bunga. Cantik banget,” puji Arumi.Ia lalu mengambil bouqet mawar merah itu dan mengendus wanginya sesaat. Tak berselang lama, Langit pun muncul dari balik pintu balkon. “Kamu sudah bangun?” tanya pria berkemeja abu-abu rokok tersebut.“Eum ….” Angguk Arumi pelan. “Ini semua dari Om Langit?” tanyanya.“Iya. Kenapa? Kamu nggak suka?” Langit terdengar kurang percaya diri. “Enggak … Arumi suka kok, Om. Cuma … keget aja. Kan selama ini nggak pernah dikasih bunga.” Arumi tersenyum lebar hingga semua gigi depannya terlihat.Langit diam sesaat. Segera meraih sebuah paper bag dan menyerahkannya kepada Arumi. “Lansung mandi dan berkemas. Ini

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    I Love You Very Much

    Arumi terus menatap Langit. Wajahnya memelas, dengan ekspresi seperti orang malas. Sedang di dekatnya, Langit tampak menghela napas panjang, seolah begitu berat baginya untuk sekedar mengatakan ‘iya’ pada istrinya itu. “Om ….” lirih Arumi. “Saya bukannya tidak menghargai mama kamu, Arumi. Saya hanya tidak mau kamu ribut lagi dengan dia.” “Kali ini aja lagi, Om.” Arumi memohon, kedua tangannya tampak mengatup di depan dada. Dan kalau soal rayu-merayu, perempuan berkulit putih kuning langsat khas wanita Indonesia itu, memang juaranya. “Yakin?” tanya Langit. “Yakin, Om.” “Ya sudah. Besok sebelum pesawat take off, kita ketemu dengan Mama kamu dulu. Tapi janji sama saya, hanya pamit dan nggak ada drama-drama lainnya. Ok?” tanya Langit. “Iya, Om. Arumi janji. Makasih ya Om?” Mata Arumi tampak berkaca-kaca. Langit tersenyum. Mengusap lembut pipi Arumi yang lembut seperti mochi. Kemudian membingkainya sembari berkata, “Apapun yang membuat kamu bahagia, pasti akan saya usahakan, Ar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status