Namun, setelah lama Arumi mematung, tidak ada yang terjadi dengan dirinya sama sekali. Bahkan hembusan napas hangat itu pun sudah tidak terasa di wajahnya lagi.
“Buka matamu," tutur Langit. Langit kembali menjarak. Melihat Arumi dengan ujung ekor matanya. Sejenak hanya ada keheningan di antara mereka. Serta detak jantung Arumi yang sudah sedikit lebih stabil. Perlahan dua netra indah itu pun terbuka. Ia lihat Langit sudah dalam posisi duduk di tepi ranjang. Fokus pria dewasa itu sudah beralih kepada benda pipih yang ada di tangannya. ‘Tidak jadi keluar kamar kah?’ batin Arumi. "Lekas ganti pakaianmu, semua orang sudah menunggu kita," titah Langit tanpa melihat sedikitpun kepada Arumi. "I—iya, Om ...." Arumi lekas berlalu ke arah kopernya. Koper yang seharusnya tidak pernah ada di kamar itu. Dan menjadi saksi bisu betapa menyedihkannya hidupnya saat ini. Sebab jika dikaji dari segi manapun, yang menjadi korban di sini tidak hanya Langit, tapi juga Arumi. Ia yang seharusnya masih memiliki masa depan yang panjang, menghabiskan masa muda dengan happy-happy bersama teman-teman, justru sudah harus menjadi seorang istri. Parahnya lagi, laki-laki itu tidak pernah mencintainya. Sebab Arumi bukanlah sang ibu yang cantik, dewasa dan sangat sempurna di mata seorang Langit. Mau menandingi ibunya sendiri, rasanya Arumi hanya akan mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Arumi mengeluarkan sebuah dress panjang dengan warna kalem dan desain yang sopan. Ia langsung membawanya ke kamar mandi karena akan memakainya di sana. Tidak mungkin juga ia mengganti pakaian di depan Langit. Walau pria itu sudah berstatus sebagai suami yang sah baginya. Tetap saja, mereka tidak saling menginginkan pernikahan ini. Dan pada akhirnya, mereka akan bercerai juga, kan? Setidaknya, kalau pun nanti ia menjadi jandanya seorang Langit, dirinya tidak sampai harus rugi secara fisik. Langit sempat melempar pandang ke arah Arumi, tapi kemudian kembali melihat kepada ponselnya. *** "Kapan kamu mulai masuk kuliah lagi?" Viola-Bunda Langit, bertanya kepada Arumi di sela-sela makan malam mereka. "Senin depan Arum udah mulai masuk kuliah lagi, Bu," jawab Arumi dengan sopan. "Panggil Bunda saja. Kamu sekarang sudah menjadi istrinya Langit." Viola tersenyum ramah. Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menyendokkan nasi ke dalam mulut. Meski rasanya seperti menelan duri, tapi jujur saja, dikelilingi oleh banyak orang seperti ini membuat dirinya sedikit bahagia. Wajar saja, sebab selama ini ia hanya hidup berdua bersama Andini. Wanita yang merupakan seorang single parent. Sejak sang ayah meninggal, ibunya memang tidak menikah lagi. Hingga kemudian perempuan paruh baya itu bertemu dengan Langit. Pria dewasa yang lima tahun lebih muda darinya. "Lusa kami sudah harus balik ke Belanda. Ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lama-lama. Nanti kabari Bunda ya Langit, kalau Arumi sudah hamil." "Uhuk-uhuk-uhuk ...." Langit terbatuk mendengar kalimat spontanitas Bundanya. Dengan cepat, ia pun mengambil air putih dan menenggaknya hingga tandas. Di sampingnya, Arumi juga tidak kalah terkejutnya. Ia bahkan sampai mematung beberapa saat dengan mulut yang ternganga. Tersadar tatkala Mutiara, adik Langit yang paling bungsu menyenggol lengannya pelan. "Kak ...." "Heuh?" jawab Langit seadanya. "Kok kalian kaget gitu sih? Yang mama bilang kan hal yang wajar dari sebuah pernikahan. Masa sudah menikah, nggak mau punya anak?" jelas Viola lagi. Arumi mengulas senyum canggung. Dalam hati hanya bisa berkata, bagaimana mau hamil dan punya anak, Langit saja sudah bilang tidak akan pernah mau menyentuhnya. Bibit dari mana coba? "Kecepatan membahas itu, Bun." Langit buka suara. Jelas, mana mungkin dia setuju. Dia bahkan tidak menganggap Arumi sebagai istri sungguhan. Hanya tebusan atas kesalahan yang telah Andini lakukan. Lagi pula, selama ini ia hanya menaruh hati kepada Andini, bukan Arumi. Bagaimana mungkin ia bisa tidur dengan wanita yang tidak pernah ia cintai. "Nggak ada yang kecepatan, Lang. Kami ini sudah tua dan sudah kepingin sekali menimang cucu." Erlangga, Ayah Langit ikut nimbrung di sela-sela percakapan ibu dan anak itu. "Arumi masih kuliah, Yah. Biar dia selesaikan dulu kuliahnya." Langit jelas membuat alibi. Arumi hanya terdiam dan terus memainkan sendoknya. Membolak-balik nasi tanpa berniat memasukkannya lagi ke dalam mulutnya. Seketika terlintas kembali bagaimana awal mula kesalahan ini terjadi. Semua berawal dari Andini yang mendadak menghilang tanpa jejak. Padahal, Langit sudah memberitahu keluarganya yang saat itu sudah menetap di Belanda, jika ia akan menikah sebentar lagi. Tak ingin keluarganya kecewa, ia pun mendatangi Arumi. Menuntut gadis tak berdosa itu untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah ibunya lakukan. "Kamu tahu, siapa yang sudah membayar kuliah kamu selama ini? Itu saya. Saya yang sudah menanggung semua kebutuhan kamu dan Mama kamu. Sekarang, anggap saja kamu sedang membalas kebaikan saya. Bisa kan?" ucap Langit sore itu di depan kampus Arumi. "Tapi aku bukan Mama, Om," ucap gadis polos itu. "Kamu tidak perlu khawatir. Keluarga saya tidak pernah melihat Andini. Mereka hanya tahu kalau saya akan menikah. Besok mereka akan tiba di Indonesia. Saya tidak mungkin mengecewakan mereka. Lagi pula, ini semua karena Mama kamu, kan?" Triiinggg! Suara sendok Arumi yang mental dari ayam goreng, seketika menyadarkannya dari lamunnya. Sekilas ia sapu pandang ke arah semua orang. "Ma—maaf," ucapnya lirih. "Tidak apa-apa, sayang." Viola mengelus lembut punggung tangan Arumi. Dan setelah makan malam, Arumi pun membantu Mbok Jum untuk membersihkan piring-piring kotor. Awalnya perempuan itu melarangnya, tapi Arumi tetap mau membantu. Lagi pula, selama ini ia sudah terbiasa dalam melakukan pekerjaan rumah, di saat Andini pergi bekerja. "Sedang apa kamu?" tiba-tiba suara Langit mengejutkan Arumi. Ia lekas berbalik dan melihat kepada laki-laki itu. "Eh, Om. Aku lagi bantu Mbok Jum cuci piring," jawab Arumi polos. "Tidak perlu. Langsung masuk kamar," perintah yang punya kuasa. "Tap—" "Kamu tidak dengar saya?" tanya Langit dengan intonasi yang lebih tegas. "Sudah, Bu, biar si Mbok aja yang lanjutkan." Mbok Jum mengelus pelan lengan Arumi. Satu-satunya orang yang tahu dengan apa yang tersembunyi dibalik pernikahan Arumi dan Langit. Arumi mengangguk patuh. Ia lalu membersihkan tangannya dan segera mengikuti Langit kembali ke kamar. Padahal sesuai perjanjian di awal, mereka akan tidur secara terpisah, tapi karena keluarga Langit masih ada di rumah itu, malam ini, mau tidak mau, suka tidak suka, Langit tetap harus sekamar dengan Arumi. “Malam ini, jangan ada yang ganggu pengantin baru, biarkan mereka membuat keturunan untuk keluarga kita,” ucap Viola sambil tertawa ringan.Arumi menghentikan gerakan tangannya, menjauhkannya dari handle pintu. Berbalik dan kembali melihat kepada Langit. Tampak laki-laki itu sudah dalam posisi berdiri dan melihat ke arahnya. Sejenak, hanya ada kebisuan di antara mereka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Saking heningnya, suara sendok Mbok Jum di dapur sampai terdengar mengisi ruang kamar yang tak seberapa luas itu. Langit kemudian melangkah, mengikis jarak di antar mereka. Berdiri tepat satu meter di depan Arumi. "Kamu yakin mau mencari Mama kamu?" tanyanya serius. Arumi mengangguk pelan. Terus melihat wajah laki-laki dewasa itu dengan tatapan menuntut. Menunggu respon yang lebih lagi atas sikap yang akan ia ambil sebentar lagi. Langit bersedekap dada dan membuang napas pelan. "Kamu mau cari dia ke mana?" tanyanya lagi. "Ya ... ke mana saja, Om. Pokoknya sampai ketemu. Arumi yakin kok, Mama pasti masih di sekitaran kota ini. Tidak mungkin juga Mama pergi sampai ke luar negeri, kan?" Arumi b
"Cerai?" tanya Langit. Arumi mengangguk. "Kamu pikir bercerai segampang itu, ha? Kamu pikir pernikahan itu main-main?" Langit jelas tidak setuju dengan rencana Arumi. Walau ia tahu niat di awal menikahi Arumi hanya karena keterpaksaan, tapi bukan berarti segampang itu untuk berpisah. Lagi pula, tidak ada point cerai di kontrak yang sudah ia revisi. Meski ia pernah melontarkannya malam itu. "Jadi Om maunya kita gimana? Masa kita gini-gini terus? Kalau tiba-tiba Mama balik dan dia tahu tentang kita, gimana? Aku nggak mau Mama kecewa, Om. Aku nggak mau dianggap anak yang durhaka." Raut wajah Arumi kembali tampak pilu. "Astaga, nggak akan ada yang menganggap kamu anak durhaka, Arumi. Dan lagi pula, kita tidak pernah tahu kapan Andini akan kembali. Mungkin saja dia tidak akan pernah kembali," tegas langit. "Kok Om gitu sih, ngomongnya? Jahat banget tauk, Om. 'Ucapanmu adalah doamu'. Om doain aku jadi anak yatim piatu? Nggak ada ayah nggak ada ibu, gitu?" "Ya mending, dari
Arumi sontak terkejut. Ia langsung menarik kembali tubuhnya ke belakang. “Siapa yang mengizinkan kamu mencuri ciuman dari saya?” tanya Langit dengan tatapan menelisik. Namun, Arumi justru mengernyitkan dahinya. Mencuri ciuman? “Om … Arum nggak mencuri ciuman,” bantah Arumi sambil menggelengkan kepalanya. “Terus, ngapain kamu kayak gitu kalau bukan mau cium saya?” Langit membenarkan posisi duduknya, tatapannya masih lurus ke arah Arumi. “Arum … Arum cuma mau benerin kancing baju Om yang terbuka biar nggak masuk angin!” jawab Arumi dengan cepat. Tujuannya memang itu, tapi sepertinya langit sudah terlanjur salah paham. Ditambah dengan posisi Arumi yang memang terasa menjurus ke arah pelecehan seksual, mungkin? Langit terdiam beberapa detik. Tatapannya menurun ke arah kancing bajunya yang memang terbuka satu. Ia menelan ludah kecil, lalu mengusap tengkuknya pelan. “Oh… jadi cuma itu?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya, buka
Dengan gerakan cepat dan gesit, Langit pun memutar posisi mereka, hingga menjadi terbalik. Kini ia di atas dan Arumi di bawah. Kembali dengan pandang yang bertemu untuk beberapa saat. “Dipahami baik-baik, saya tidak akan mengulanginya. Setelah ini, kamu harus bisa lebih baik dari sebelumnya. Mengerti?” tanya Langit dengan nada menuntut. “Mengerti, Om ….” Entah kenapa, Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menelan ludah dengan susah payah, sebab masih begitu gugup. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra, mengingat setiap gerakan yang nanti akan Langit lakukan kepadanya. Mau menolak, bagaimana, sudah jadi suami. “Bangun,” perintah Langit dengan suara rendah. Ia bangkit dan kembali duduk di tepi ranjang. "Eum ...." Arumi menyusul segera. Bangkit dan duduk di samping Langit. Merapikan sejenak rambutnya yang sempat berantakan. "Cepat!" Langit kembali menginterupsi. Melihat gadis itu dengan ujung ekor matanya. Minta dicium, tapi ketus. "I—iya, Om." Arumi segera berdiri. Me
Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal. "O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu."Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—""Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak."Ta—tapi kata Om waktu itu ....""Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi."Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?
Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah."Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi."Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya."Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali."Mau k