Mendengar informasi dari Mbok Jum, Langit dan yang lainnya bergegas menuju kamar. Termasuk Mutiara yang baru saja selesai mandi.
Tiba di kamar, mereka mendapati Arumi masih terbaring di atas ranjang tempat tidur. Tubuh perempuan itu tertutup sepenuhnya oleh bed cover tebal. "Arumi ...!" Viola lekas mendekat dan langsung memeriksa keadaan gadis muda itu. Mbok Jum bilang, tubuh Arumi cukup panas saat ia sentuh. Feeling Viola mengatakan jika menantunya itu sedang demam. "Badannya panas sekali. Kita harus panggilkan dokter," ucapnya lagi. "Mbok, tolong telepon dokter Reza. Tanyakan apa dia bisa ke sini?" perintah Langit kepada sang asisten rumah tangganya. "Baik, Mas." Perempuan paruh baya itu segera berlalu keluar kamar. Viola menurunkan sedikit bed cover dari wajah Arumi. Lalu menyuruh Langit untuk menaikkan suhu ruangan, agar Arumi merasa lebih hangat. "Dia mungkin shock," ucap Viola. "Shock, Bun? Shock kenapa memangnya?" tanya Mutiara penasaran. Viola tidak menjawab, ia hanya melempar pandang ke arah putranya yang berdiri diam di dekat lemari seperti patung Liberty. Mulutnya memang terkunci, tapi sorot matanya mengintimidasi. Selang tiga puluh menit, dokter pun sudah tiba di rumah. Arumi langsung diperiksa dan kemudian dokter meresepkan obat untuk menurunkan suhu panas badannya. "Ada apa dengan menantu saya, Dok?" tanya Viola penasaran. "Sepertinya dia sedikit kelelahan. Juga saya lihat dia seperti tertekan dan stres. Ini biasa terjadi pada pasangan yang baru menikah. Jadi saran saya, perbanyak istirahat, minum air putih yang cukup, dan kalau bisa, hindari dulu aktifitas-aktifitas yang bisa memicu stresnya semakin parah." "Oh, begitu. Baik Dokter. Terima kasih banyak." "Sama-sama. Saya permisi dulu." Dokter pun berlalu meninggalkan kediaman Langit. Seketika pandang Viola kembali tertuju kepada putra semata wayangnya itu. "Keterlaluan kamu Langit. Nggak bisa apa kamu pelan-pelan sedikit. Ini pasti yang pertama bagi Arum. Lihat, dia sampai shock begini gara-gara kamu." Viola melempar tuduhan kepada Langit. "Kok Langit sih, Bun? Memangnya langit apakan Arum? Orang langit nggak buat apa-apa." Langit membela diri. "Kalau kamu nggak apa-apakan dia, kenapa dia bisa sampai sakit kayak gini?" "Ya nggak tahu. Tanya saja sama orangnya sendiri." Langit masih tidak terima disalahkan. Seketika semua orang terdiam. Ruangan itu mendadak menjadi hening. Hanya helaan napas berat dari mulut Viola yang terdengar. Hingga kemudian Arumi bangkit dan duduk menyangga pada headboard. "Mas Langit nggak salah kok, Bun. Ini memang daya tahan tubuh Arum aja yang sedikit lemah. Nggak bisa berada di ruangan yang terlalu dingin." Arumi mencoba meluruskan duduk perkara yang ada. Tak sampai hati juga melihat suaminya terus-menerus menjadi kambing hitam. Viola mengelus lembut rambut Arumi. Kemudian tersenyum simpul sebagai bentuk dukungannya kepada sang menantu. "Kalau emang kamu nggak bisa suhu ruang terlalu dingin, harusnya kamu bilang sama Langit. Jangan diam aja. Lain kali kasih tau aja, ya?" "Iya Bun. Maaf ya, Arumi jadi merepotkan kalian semua." Gadis cantik itu menundukkan kepalanya. "It's ok, nggak masalah. Sekarang kamu istirahat lagi ya? Biar cepat sembuh. Besok kami sudah harus balik ke Belanda. Bunda nggak akan tenang kalau ninggalin kamu dalam keadaan sakit seperti ini. Ya?" Arumi tersenyum dan mengangguk patuh. "Makasih, Bunda." "Sama-sama." Viola mengelus lembut punggung tangan Arumi. *** "Kalian baik-baik ya? Kalau ada apa-apa kabari Bunda." Pesan Viola kepada anak dan menantunya. Hari ini ia dan yang lainnya sudah harus kembali ke Amsterdam, Belanda. Sebab libur cuti Erlangga sebagai kedutaan besar Indonesia di sana tinggal dua hari lagi. Mutiara juga sudah harus masuk sekolah. Jadi mau tidak mau, mereka sudah harus meninggalkan Indonesia. "Maaf ya, Bun, Langit tidak bisa antar kalian ke Bandara." Raut wajah pria ini tampak menyesal. "Nggak apa-apa. Arumi juga belum sembuh betul. Kamu fokus aja sama kesembuhan dia. Biar cepat ngasih Bunda cucu," Bisik Viola di telinga putranya. "Iya, iya. Sudah, langsung berangkat. Driver-nya udah nungguin tuh," ucap Langit, mengalihkan pembicaraan. Viola bergeser kepada Arumi yang berdiri di samping Langit. Ia tatap sekejap wajah gadis lugu itu. "Bunda pergi dulu ya? Bunda titip anak laki-laki Bunda ini. Dia ini umurnya memang jauh di atas kamu, tapi sifatnya masih seperti bayi yang baru lahir. Harus banyak-banyak sabar ngadepin dia?" Panjang kali lebar Viola memberitahu Arumi tentang putranya. Arumi pun tertawa pelan mendengarnya. Bisa-bisanya perempuan sejuta branded itu mengatai anaknya sendiri. "Baik, Bun. Bunda, Ayah, dan Mutiara, hati-hati ya. Semoga sampai tujuan dengan selamat." "Amin. Thank you, sayang. And ... see u next time." Viola memeluk erat Arumi. Sebuah pelukan yang bermakna ganda. Antara kasih sayang, dan sebuah amanat yang tak boleh dibuang. Setelah semua barang-barang masuk ke dalam taksi, Viola, Erlangga dan Mutiara segera masuk ke dalam mobil. Mereka lalu melambaikan tangan kepada Arumi dan juga Langit. Sesaat kemudian, kendaraan roda empat itu pun sudah menghilang dari pandangan keduanya. "Kamu tahu apa yang Bunda saya bisikan tadi kepada saya?" Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Langit bertanya. Arumi menoleh ke arah laki-laki itu. "Apa emangnya, Om?" tanyanya balik. "Dia mau cucu."Arumi menghentikan gerakan tangannya, menjauhkannya dari handle pintu. Berbalik dan kembali melihat kepada Langit. Tampak laki-laki itu sudah dalam posisi berdiri dan melihat ke arahnya. Sejenak, hanya ada kebisuan di antara mereka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Saking heningnya, suara sendok Mbok Jum di dapur sampai terdengar mengisi ruang kamar yang tak seberapa luas itu. Langit kemudian melangkah, mengikis jarak di antar mereka. Berdiri tepat satu meter di depan Arumi. "Kamu yakin mau mencari Mama kamu?" tanyanya serius. Arumi mengangguk pelan. Terus melihat wajah laki-laki dewasa itu dengan tatapan menuntut. Menunggu respon yang lebih lagi atas sikap yang akan ia ambil sebentar lagi. Langit bersedekap dada dan membuang napas pelan. "Kamu mau cari dia ke mana?" tanyanya lagi. "Ya ... ke mana saja, Om. Pokoknya sampai ketemu. Arumi yakin kok, Mama pasti masih di sekitaran kota ini. Tidak mungkin juga Mama pergi sampai ke luar negeri, kan?" Arumi b
"Cerai?" tanya Langit. Arumi mengangguk. "Kamu pikir bercerai segampang itu, ha? Kamu pikir pernikahan itu main-main?" Langit jelas tidak setuju dengan rencana Arumi. Walau ia tahu niat di awal menikahi Arumi hanya karena keterpaksaan, tapi bukan berarti segampang itu untuk berpisah. Lagi pula, tidak ada point cerai di kontrak yang sudah ia revisi. Meski ia pernah melontarkannya malam itu. "Jadi Om maunya kita gimana? Masa kita gini-gini terus? Kalau tiba-tiba Mama balik dan dia tahu tentang kita, gimana? Aku nggak mau Mama kecewa, Om. Aku nggak mau dianggap anak yang durhaka." Raut wajah Arumi kembali tampak pilu. "Astaga, nggak akan ada yang menganggap kamu anak durhaka, Arumi. Dan lagi pula, kita tidak pernah tahu kapan Andini akan kembali. Mungkin saja dia tidak akan pernah kembali," tegas langit. "Kok Om gitu sih, ngomongnya? Jahat banget tauk, Om. 'Ucapanmu adalah doamu'. Om doain aku jadi anak yatim piatu? Nggak ada ayah nggak ada ibu, gitu?" "Ya mending, dari
Arumi sontak terkejut. Ia langsung menarik kembali tubuhnya ke belakang. “Siapa yang mengizinkan kamu mencuri ciuman dari saya?” tanya Langit dengan tatapan menelisik. Namun, Arumi justru mengernyitkan dahinya. Mencuri ciuman? “Om … Arum nggak mencuri ciuman,” bantah Arumi sambil menggelengkan kepalanya. “Terus, ngapain kamu kayak gitu kalau bukan mau cium saya?” Langit membenarkan posisi duduknya, tatapannya masih lurus ke arah Arumi. “Arum … Arum cuma mau benerin kancing baju Om yang terbuka biar nggak masuk angin!” jawab Arumi dengan cepat. Tujuannya memang itu, tapi sepertinya langit sudah terlanjur salah paham. Ditambah dengan posisi Arumi yang memang terasa menjurus ke arah pelecehan seksual, mungkin? Langit terdiam beberapa detik. Tatapannya menurun ke arah kancing bajunya yang memang terbuka satu. Ia menelan ludah kecil, lalu mengusap tengkuknya pelan. “Oh… jadi cuma itu?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya, buka
Dengan gerakan cepat dan gesit, Langit pun memutar posisi mereka, hingga menjadi terbalik. Kini ia di atas dan Arumi di bawah. Kembali dengan pandang yang bertemu untuk beberapa saat. “Dipahami baik-baik, saya tidak akan mengulanginya. Setelah ini, kamu harus bisa lebih baik dari sebelumnya. Mengerti?” tanya Langit dengan nada menuntut. “Mengerti, Om ….” Entah kenapa, Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menelan ludah dengan susah payah, sebab masih begitu gugup. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra, mengingat setiap gerakan yang nanti akan Langit lakukan kepadanya. Mau menolak, bagaimana, sudah jadi suami. “Bangun,” perintah Langit dengan suara rendah. Ia bangkit dan kembali duduk di tepi ranjang. "Eum ...." Arumi menyusul segera. Bangkit dan duduk di samping Langit. Merapikan sejenak rambutnya yang sempat berantakan. "Cepat!" Langit kembali menginterupsi. Melihat gadis itu dengan ujung ekor matanya. Minta dicium, tapi ketus. "I—iya, Om." Arumi segera berdiri. Me
Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal. "O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu."Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—""Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak."Ta—tapi kata Om waktu itu ....""Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi."Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?
Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah."Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi."Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya."Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali."Mau k