Share

Bunda Mau Cucu

Author: LV Edelweiss
last update Last Updated: 2025-10-15 18:02:04

Mendengar informasi dari Mbok Jum, Langit dan yang lainnya bergegas menuju kamar. Termasuk Mutiara yang baru saja selesai mandi.

Tiba di kamar, mereka mendapati Arumi masih terbaring di atas ranjang tempat tidur. Tubuh perempuan itu tertutup sepenuhnya oleh bed cover tebal. 

"Arumi ...!" Viola lekas mendekat dan langsung memeriksa keadaan gadis muda itu. Mbok Jum bilang, tubuh Arumi cukup panas saat ia sentuh. Feeling Viola mengatakan jika menantunya itu sedang demam.

"Badannya panas sekali. Kita harus panggilkan dokter," ucapnya lagi.

"Mbok, tolong telepon dokter Reza. Tanyakan apa dia bisa ke sini?" perintah Langit kepada sang asisten rumah tangganya.

"Baik, Mas." Perempuan paruh baya itu segera berlalu keluar kamar. 

Viola menurunkan sedikit bed cover dari wajah Arumi. Lalu menyuruh Langit untuk menaikkan suhu ruangan, agar Arumi merasa lebih hangat. 

"Dia mungkin shock," ucap Viola. 

"Shock, Bun? Shock kenapa memangnya?" tanya Mutiara penasaran.

Viola tidak menjawab, ia hanya melempar pandang ke arah putranya yang berdiri diam di dekat lemari seperti patung Liberty. Mulutnya memang terkunci, tapi sorot matanya mengintimidasi. 

Selang tiga puluh menit, dokter pun sudah tiba di rumah. Arumi langsung diperiksa dan kemudian dokter meresepkan obat untuk menurunkan suhu panas badannya.

"Ada apa dengan menantu saya, Dok?" tanya Viola penasaran.

"Sepertinya dia sedikit kelelahan. Juga saya lihat dia seperti tertekan dan stres. Ini biasa terjadi pada pasangan yang baru menikah. Jadi saran saya, perbanyak istirahat, minum air putih yang cukup, dan kalau bisa, hindari dulu aktifitas-aktifitas yang bisa memicu stresnya semakin parah." 

"Oh, begitu. Baik Dokter. Terima kasih banyak."

"Sama-sama. Saya permisi dulu." Dokter pun berlalu meninggalkan kediaman Langit. 

Seketika pandang Viola kembali tertuju kepada putra semata wayangnya itu.

"Keterlaluan kamu Langit. Nggak bisa apa kamu pelan-pelan sedikit. Ini pasti yang pertama bagi Arum. Lihat, dia sampai shock begini gara-gara kamu." Viola melempar tuduhan kepada Langit.

"Kok Langit sih, Bun? Memangnya langit apakan Arum? Orang langit nggak buat apa-apa." Langit membela diri.

"Kalau kamu nggak apa-apakan dia, kenapa dia bisa sampai sakit kayak gini?" 

"Ya nggak tahu. Tanya saja sama orangnya sendiri." Langit masih tidak terima disalahkan.

Seketika semua orang terdiam. Ruangan itu mendadak menjadi hening. Hanya helaan napas berat dari mulut Viola yang terdengar. Hingga kemudian Arumi bangkit dan duduk menyangga pada headboard.

"Mas Langit nggak salah kok, Bun. Ini memang daya tahan tubuh Arum aja yang sedikit lemah. Nggak bisa berada di ruangan yang terlalu dingin." Arumi mencoba meluruskan duduk perkara yang ada. Tak sampai hati juga melihat suaminya terus-menerus menjadi kambing hitam.

Viola mengelus lembut rambut Arumi. Kemudian tersenyum simpul sebagai bentuk dukungannya kepada sang menantu. "Kalau emang kamu nggak bisa suhu ruang terlalu dingin, harusnya kamu bilang sama Langit. Jangan diam aja. Lain kali kasih tau aja, ya?" 

"Iya Bun. Maaf ya, Arumi jadi merepotkan kalian semua." Gadis cantik itu menundukkan kepalanya. 

"It's ok, nggak masalah. Sekarang kamu istirahat lagi ya? Biar cepat sembuh. Besok kami sudah harus balik ke Belanda. Bunda nggak akan tenang kalau ninggalin kamu dalam keadaan sakit seperti ini. Ya?" 

Arumi tersenyum dan mengangguk patuh. "Makasih, Bunda." 

"Sama-sama." Viola mengelus lembut punggung tangan Arumi.

***

"Kalian baik-baik ya? Kalau ada apa-apa kabari  Bunda." Pesan Viola kepada anak dan menantunya. 

Hari ini ia dan yang lainnya sudah harus kembali ke Amsterdam, Belanda. Sebab libur cuti Erlangga sebagai kedutaan besar Indonesia di sana tinggal dua hari lagi. Mutiara juga sudah harus masuk sekolah. Jadi mau tidak mau, mereka sudah harus meninggalkan Indonesia.

"Maaf ya, Bun, Langit tidak bisa antar kalian ke Bandara." Raut wajah pria ini tampak menyesal.

"Nggak apa-apa. Arumi juga belum sembuh betul. Kamu fokus aja sama kesembuhan dia. Biar cepat ngasih Bunda cucu," Bisik Viola di telinga putranya.

"Iya, iya. Sudah, langsung berangkat. Driver-nya udah nungguin tuh," ucap Langit, mengalihkan pembicaraan.

Viola bergeser kepada Arumi yang berdiri di samping Langit. Ia tatap sekejap wajah gadis lugu itu. "Bunda pergi dulu ya? Bunda titip anak laki-laki Bunda ini. Dia ini umurnya memang jauh di atas kamu, tapi sifatnya masih seperti bayi yang baru lahir. Harus banyak-banyak sabar ngadepin dia?"

Panjang kali lebar Viola memberitahu Arumi tentang putranya.

Arumi pun tertawa pelan mendengarnya. Bisa-bisanya perempuan sejuta branded itu mengatai anaknya sendiri. "Baik, Bun. Bunda, Ayah, dan Mutiara, hati-hati ya. Semoga sampai tujuan dengan selamat." 

"Amin. Thank you, sayang. And ... see u next time." Viola memeluk erat Arumi. Sebuah pelukan yang bermakna ganda. Antara kasih sayang, dan sebuah amanat yang tak boleh dibuang.

Setelah semua barang-barang masuk ke dalam taksi, Viola, Erlangga dan Mutiara segera masuk ke dalam mobil. Mereka lalu melambaikan tangan kepada Arumi dan juga Langit. Sesaat kemudian, kendaraan roda empat itu pun sudah menghilang dari pandangan keduanya.

"Kamu tahu apa yang Bunda saya bisikan tadi kepada saya?" Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Langit bertanya. 

Arumi menoleh ke arah laki-laki itu. "Apa emangnya, Om?" tanyanya balik.

"Dia mau cucu." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Jodoh Saya

    Suasana kamar itu menegang. Andini seperti terjebak di dalam perangkap yang ia buat sendiri. Mengurungnya dalam ketakutan beralasan akibat ulah dari sandiwaranya selama ini. Ingin ia menutupinya lagi, tapi sepertinya Langit terlalu pintar untuk dibodohi. Tak seperti Arumi yang polos dan lugu, sehingga bisa tipu setiap waktu.“Ma …,” lirih Arumi.Andini masih diam. Tatapannya yang semula begitu sangar dan menggebu-gebu, kini berubah sayu dan penuh kecemasan. Ia menunduk, tak kuasa untuk melihat kepada dua manusia di dekatnya.“Ma … jawab Arumi! Mama beneran hamil kan? Mama nggak bohongi Arumi kan?” desak Arumi. Kini giliran dirinya yang menggoyang-goyang tubuh Andini. Menuntut perempuan bergelar ibu baginya itu untuk menjawab pertanyaannya.“Dia tidak akan bisa menjawab, Arumi. Karena saya sudah mencari tahu semuanya. Sehari pasca Andini mendatangi rumah saya dan mengaku jika sudah hamil anak saya, saya pun mendatangi rumah sakit tempat kamu dirawat waktu itu. Dan hasilnya, seorang d

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Mengungkap Fakta

    Dengan tergopoh-gopoh, Arumi pun kembali melangkah mendekati kamar. Guna mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya. Dari pekikan suara wanita dewasa itu tadi, sepertinya telah terjadi sesuatu.“Mama?!” ucap Arumi setengah berteriak. Ia cukup terperanjat, tatkala melihat Andini sudah terduduk di lantai, dekat dengan ranjang tempat tidur.“Arumi, tolongin Mama. Perut Mama sakit,” ujar Andini. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang menahan sakit.“Pe—perut Mama sakit? Astaga, bagaimana ini?” tanya Arumi panik. Ia langsung berlari ke arah mamanya dan membantu perempuan itu untuk bangkit. Rasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan pun mulai menghampiri.Sementara di depan pintu kamar, Langit tampak berdiri santai dengan kedua tangan yang bersedekap di dada. Ekspresi wajahnya tak menyiratkan empati apalagi peduli sedikitpun. Seolah ia tidak mau tahu, dengan apa yang dialami oleh mertuanya itu.“Om, Mama Om. Bantuin …,” pinta Arumi. “Apa yang mau dibantu, Arumi? Mama

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Pilih Antara Dua

    Mobil jenis sedan itu sudah berhenti di depan sebuah rumah semi permanen berwarna putih dengan beberapa pot bunga di depannya. Bangunannya dikelilingi oleh pagar kayu dengan warna yang sama. Tak terlalu menjulang, hanya setinggi dada pria dewasa. Dari dalam mobil, Arumi keluar dan langsung berjalan ke arah pintu pagar. Membukanya dan masuk dengan langkah yang begitu berat. Udara di sekitarnya mendadak terasa panas dan menyesakkan. Mungkin karena ia tahu, dengan siapa sebentar lagi ia berhadapan. Di belakangnya, Langit masih setia berdiri dan menemani. Sosoknya yang tinggi dan dewasa, menjadikannya lebih mirip seperti seorang ayah yang melindungi putrinya ketimbang suami yang menjaga istri. “Ma …,” panggil Arumi pelan. Tangannya sudah bergerak menarik handle dan membuka pintu. Langsung melempar pandangan ke seluruh sudut ruangan rumah itu. Sesaat, terdengar suara sahutan dari dalam kamar. “Iya sayang, kamu sudah pulang? Mama lagi di kamar nih. Ke sini aja ya, di luar panas,” t

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Yes, She Is My Wife

    ​Di balik pekatnya aroma kopi dan pendingin ruangan yang menusuk, lobi hotel itu mendadak terasa dingin. Kaki-kaki berlapis alas sepatu di atas marmer memantul kembali keheningan canggung yang tebal. Jason, si mucikari, hanya diam. Jari-jarinya memilin tepi ponsel yang sudah sejak tadi ada di tangannya. Ia memperhatikan siluet pelanggannya—seorang pria mapan, berkeme abu-abu yang kini tampak berdiri gagah—yang baru saja menyelesaikan penuturan paling absurd yang pernah ia dengar. “She—she is your wife?” tanyanya terbata. “Yes. She is my wife,” ulang Langit. Bukannya merasa bersalah setelah mendengar pengakuan Langit, Jason justru terkekeh bahkan terbahak hingga terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu, Langit dan Arumi sedikit bingung dibuatnya. “She is your wife?” tanya Jason sekali lagi. Langit hanya diam. Menurutnya, pertanyaan Jason kali ini tidak perlu ia jawab. Hanya tangannya yang bergerak—menarik pelan tangan Arumi—dan membawa istrinya itu ke sampingnya. “Jangan

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Don't Touch My Wife

    Pagi menjelang. Udara di Nauru masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun tidak dengan suasana hati seorang Arumi.Terbangun dari tidur setelah melewati malam yang panjang bersama Langit, dirinya langsung disambut oleh senampan sarapan pagi berisi roti lapis selai coklat dan segelas susu. Serta seikat bunga yang sangat indah di atas nakas.“Ih, ada bunga. Cantik banget,” puji Arumi.Ia lalu mengambil bouqet mawar merah itu dan mengendus wanginya sesaat. Tak berselang lama, Langit pun muncul dari balik pintu balkon. “Kamu sudah bangun?” tanya pria berkemeja abu-abu rokok tersebut.“Eum ….” Angguk Arumi pelan. “Ini semua dari Om Langit?” tanyanya.“Iya. Kenapa? Kamu nggak suka?” Langit terdengar kurang percaya diri. “Enggak … Arumi suka kok, Om. Cuma … keget aja. Kan selama ini nggak pernah dikasih bunga.” Arumi tersenyum lebar hingga semua gigi depannya terlihat.Langit diam sesaat. Segera meraih sebuah paper bag dan menyerahkannya kepada Arumi. “Lansung mandi dan berkemas. Ini

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    I Love You Very Much

    Arumi terus menatap Langit. Wajahnya memelas, dengan ekspresi seperti orang malas. Sedang di dekatnya, Langit tampak menghela napas panjang, seolah begitu berat baginya untuk sekedar mengatakan ‘iya’ pada istrinya itu. “Om ….” lirih Arumi. “Saya bukannya tidak menghargai mama kamu, Arumi. Saya hanya tidak mau kamu ribut lagi dengan dia.” “Kali ini aja lagi, Om.” Arumi memohon, kedua tangannya tampak mengatup di depan dada. Dan kalau soal rayu-merayu, perempuan berkulit putih kuning langsat khas wanita Indonesia itu, memang juaranya. “Yakin?” tanya Langit. “Yakin, Om.” “Ya sudah. Besok sebelum pesawat take off, kita ketemu dengan Mama kamu dulu. Tapi janji sama saya, hanya pamit dan nggak ada drama-drama lainnya. Ok?” tanya Langit. “Iya, Om. Arumi janji. Makasih ya Om?” Mata Arumi tampak berkaca-kaca. Langit tersenyum. Mengusap lembut pipi Arumi yang lembut seperti mochi. Kemudian membingkainya sembari berkata, “Apapun yang membuat kamu bahagia, pasti akan saya usahakan, Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status