Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal.
"O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu. "Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—" "Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak. "Ta—tapi kata Om waktu itu ...." "Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi." Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?" "Memangnya kenapa?" tanya Langit balik dengan satu alisnya yang menanjak. Arumi terdiam tanpa sepatah kata pun. Hanya dua hazelnya yang tampak berkedip-kedip. Bermakna jika tak ada penolakan di sana. Tubuhnya kian lunglai dan gemetar. Sebuah respon yang cukup normal dari seorang wanita yang baru beranjak dewasa, dan belum pernah merasakan sentuhan dari laki-laki asing. Kenapa pria ini tiba-tiba berubah pikiran begitu? Pikiran Arumi berkecamuk. Jujur saja ia tidak siap dengan hal seperti ini. Menerima fakta bahwa ia menggantikan posisi ibunya saja masih tidak masuk akal. Lalu sekarang, Arumi harus benar-benar menghabiskan malam panas dengan pria itu? Pria yang sebelumnya mengatakan tidak akan menyentuhnya, bahkan akan menceraikannya saat ibunya kembali? "T–tapi, Om ..." Langit mengulas senyum tipis dengan mata yang sedikit memicing. Sebelum kemudian mendekatkan perlahan wajahnya kepada wajah Arumi. Gadis itu refleks memejamkan matanya. Sesaat kemudian, Arumi pun merasakan sesuatu menabrak kedua bibir ranumnya. “Hmmpp—” 'Apa ini? Apa dia menciumku?' bisik batin Arumi. Awalnya, ciuman itu hanya berupa kecupan- kecupan lembut, sampai kemudian berubah menjadi lumatan-lumatan yang sedikit kasar, tapi tidak menyakiti. Kedua tangan Arumi mulai bergerak perlahan. Yang semula ada pada bidang dada sixpack milik Langit, kini berpindah melingkar mengalungi leher laki-laki dingin itu. Sementara Langit, pria itu benar-benar seperti kehilangan jati dirinya saat bersama Arumi. Yang semula begitu yakin untuk tidak akan menyentuh, berbelok menjadi sangat menikmati saat mencium calon anak tirinya itu. Dan, setelah lama hal itu berlangsung, Langit pun melepaskan sejenak tautan bibir mereka. Ia lalu melihat Arumi dengan dahi yang sedikit mengernyit. "Kamu benar-benar tidak pernah ciuman ya?" selidiknya tiba-tiba. Arumi menggelengkan kepala. Terlalu gugup untuk bersuara. Rasanya jangankan berbicara, melihat ke arah wajah Langit saja ia belum bisa. Jari-jari tangannya terus saja menarik ujung piyamanya. Persis seperti anak yang sedang dimarahi oleh ayahnya. "Saya pikir kamu bohong," kata Langit singkat, masih dengan senyum tipis di sudut bibirnya. Arumi mengangkat kepala cepat. "Maksud Om Langit, apa?" tanyanya. "Ternyata kamu memang bodoh berciuman." Deg! Mendengar penuturan Langit membuat Arumi rasanya seperti dihujani jutaan batu kerikil dari atas langit. Walau kecil, tapi cukup menyakitkan. Padahal, bukannya itu bagus? Itu tandanya ia bisa menjaga diri, kan?! “Om …” Namun, sesakit apapun yang Arumi rasakan, ia tetap tidak mau memperpanjang perbincangan. Yang hanya akan berakhir dengan dirinya yang salah sebab tidak berpengalaman. Akhirnya, ia hanya menghela napas. Melihat Arumi hanya diam, Langit pun segera menjarak dan duduk di tepi ranjang. Lalu menggerakkan keempat jari tangannya, menyuruh istri kecilnya itu untuk mendekat. "Ke sini." Arumi tertegun sejenak, lalu melangkah perlahan mendekati Langit. Kedua tangannya masih menarik-narik ujung pakaiannya. Berhenti tepat di depan pria dewasa itu tapi masih dengan wajah yang menunduk. "Mau saya ajarkan caranya berciuman?" tanya Langit yang membuat Arumi menoleh ke arahnya. "Heuh?" "Sini ...." Langit kembali menarik pinggang Arumi, menyuruh perempuan polos itu duduk di atas pangkuannya. "Cium saya," titah Langit. "Hah?" Arumi cukup terkejut mendengar perintah itu. “Om gila ya?” "Kamu pikir anak bisa datang hanya dengan kita saling pandang?" bukannya menjawab, Langit justru melempar pertanyaan lain. Arumi menegang seketika. Kembali ia telan ludah dengan susah payah. Berusaha untuk menyingkirkan semua perasaan gugup, malu, takut, yang telah berkecamuk sejak tadi di dalam diri. Jadi, mereka sungguh akan membuat bayi?! Langit mulai menutup mata. Bersiap untuk menerima ciuman pertama dari istrinya itu. Yang tadi gladi resik, jadi tidak masuk hitungan. "Dicium ini, Om?" tanya Arumi terlalu lugu. Langit kembali membuka mata, melihat datar ke arah perempuan berambut panjang dan lurus yang masih bertengger di atas pahanya itu. "Kamu ini tidak paham ya dengan ucapan saya? Masa saya harus ulang lagi," ucap Langit kesal. "Ya ... maaf, Om. Habisnya Arum nggak pernah. Takut salah dengar ...." "Ya sudah, cepat." Langit kembali menutup kedua matanya. Arumi kembali memandangi dua benda tipis kemerahan yang ada di depannya. Perlahan ia gerakkan satu telapak tangannya, menyentuh lembut pipi berahang tegas itu. Arumi dekatkan bibirnya hingga mendarat sempurna di bibir Langit. Laki-laki dewasa yang seharusnya mencium pipinya selayaknya seorang ayah yang mengayomi. Bukan justru menjadi suami. Kini mereka saling menikmati perasaan masing-masing. Arumi dengan rasa penasaran karena ini adalah hal baru baginya. Sementara Langit dengan rasa penasarannya, seperti apa perempuan itu akan menciumnya. Dan ... tanpa Arumi duga, Langit pun menjatuhkan tubuh mereka ke atas kasur. Membuat posisi keduanya saling tumpang tindih satu sama lain. Langit di bawah sedang Arum di atas. "Om ...." Terkejut, Arumi pun melepaskan ciumannya. Menatap Langit dengan dua bola mata yang sudah membesar dua kali lipat dari ukuran normalnya. "Masih kurang," ucap laki-laki itu. "A—apanya, Om? Om mau yang kayak mana lagi?" tanya Arumi putus asa. "Saya ajari yang lengkap," kata Langit sambil sedikit berbisik tepat di telinga Arumi.Arumi menghentikan gerakan tangannya, menjauhkannya dari handle pintu. Berbalik dan kembali melihat kepada Langit. Tampak laki-laki itu sudah dalam posisi berdiri dan melihat ke arahnya. Sejenak, hanya ada kebisuan di antara mereka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Saking heningnya, suara sendok Mbok Jum di dapur sampai terdengar mengisi ruang kamar yang tak seberapa luas itu. Langit kemudian melangkah, mengikis jarak di antar mereka. Berdiri tepat satu meter di depan Arumi. "Kamu yakin mau mencari Mama kamu?" tanyanya serius. Arumi mengangguk pelan. Terus melihat wajah laki-laki dewasa itu dengan tatapan menuntut. Menunggu respon yang lebih lagi atas sikap yang akan ia ambil sebentar lagi. Langit bersedekap dada dan membuang napas pelan. "Kamu mau cari dia ke mana?" tanyanya lagi. "Ya ... ke mana saja, Om. Pokoknya sampai ketemu. Arumi yakin kok, Mama pasti masih di sekitaran kota ini. Tidak mungkin juga Mama pergi sampai ke luar negeri, kan?" Arumi b
"Cerai?" tanya Langit. Arumi mengangguk. "Kamu pikir bercerai segampang itu, ha? Kamu pikir pernikahan itu main-main?" Langit jelas tidak setuju dengan rencana Arumi. Walau ia tahu niat di awal menikahi Arumi hanya karena keterpaksaan, tapi bukan berarti segampang itu untuk berpisah. Lagi pula, tidak ada point cerai di kontrak yang sudah ia revisi. Meski ia pernah melontarkannya malam itu. "Jadi Om maunya kita gimana? Masa kita gini-gini terus? Kalau tiba-tiba Mama balik dan dia tahu tentang kita, gimana? Aku nggak mau Mama kecewa, Om. Aku nggak mau dianggap anak yang durhaka." Raut wajah Arumi kembali tampak pilu. "Astaga, nggak akan ada yang menganggap kamu anak durhaka, Arumi. Dan lagi pula, kita tidak pernah tahu kapan Andini akan kembali. Mungkin saja dia tidak akan pernah kembali," tegas langit. "Kok Om gitu sih, ngomongnya? Jahat banget tauk, Om. 'Ucapanmu adalah doamu'. Om doain aku jadi anak yatim piatu? Nggak ada ayah nggak ada ibu, gitu?" "Ya mending, dari
Arumi sontak terkejut. Ia langsung menarik kembali tubuhnya ke belakang. “Siapa yang mengizinkan kamu mencuri ciuman dari saya?” tanya Langit dengan tatapan menelisik. Namun, Arumi justru mengernyitkan dahinya. Mencuri ciuman? “Om … Arum nggak mencuri ciuman,” bantah Arumi sambil menggelengkan kepalanya. “Terus, ngapain kamu kayak gitu kalau bukan mau cium saya?” Langit membenarkan posisi duduknya, tatapannya masih lurus ke arah Arumi. “Arum … Arum cuma mau benerin kancing baju Om yang terbuka biar nggak masuk angin!” jawab Arumi dengan cepat. Tujuannya memang itu, tapi sepertinya langit sudah terlanjur salah paham. Ditambah dengan posisi Arumi yang memang terasa menjurus ke arah pelecehan seksual, mungkin? Langit terdiam beberapa detik. Tatapannya menurun ke arah kancing bajunya yang memang terbuka satu. Ia menelan ludah kecil, lalu mengusap tengkuknya pelan. “Oh… jadi cuma itu?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya, buka
Dengan gerakan cepat dan gesit, Langit pun memutar posisi mereka, hingga menjadi terbalik. Kini ia di atas dan Arumi di bawah. Kembali dengan pandang yang bertemu untuk beberapa saat. “Dipahami baik-baik, saya tidak akan mengulanginya. Setelah ini, kamu harus bisa lebih baik dari sebelumnya. Mengerti?” tanya Langit dengan nada menuntut. “Mengerti, Om ….” Entah kenapa, Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menelan ludah dengan susah payah, sebab masih begitu gugup. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra, mengingat setiap gerakan yang nanti akan Langit lakukan kepadanya. Mau menolak, bagaimana, sudah jadi suami. “Bangun,” perintah Langit dengan suara rendah. Ia bangkit dan kembali duduk di tepi ranjang. "Eum ...." Arumi menyusul segera. Bangkit dan duduk di samping Langit. Merapikan sejenak rambutnya yang sempat berantakan. "Cepat!" Langit kembali menginterupsi. Melihat gadis itu dengan ujung ekor matanya. Minta dicium, tapi ketus. "I—iya, Om." Arumi segera berdiri. Me
Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal. "O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu."Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—""Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak."Ta—tapi kata Om waktu itu ....""Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi."Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?
Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah."Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi."Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya."Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali."Mau k