LOGINSetelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah.
"Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bed rest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi. "Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya. "Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti." Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar. Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali. "Mau ke mana kamu?" Belum selesai Arumi mengemasi barang-barangnya, Langit sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Segera melangkah mendekati gadis bermata indah itu dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan. "E ... A—arum ... Arum harus pindah kamar, kan Om? Sesuai dengan perjanjian kita di awal." "Perjanjian kita sekarang sudah berubah." Langit melempar sebuah map coklat ke atas nakas yang ada di samping Arumi. "Baca itu." "A—apa ini, Om?" tanyanya gugup. Entah mengapa, setiap kali berduaan dan ngobrol dengan suaminya itu, batin Arumi dag dig dug tak menentu. "Baca saja." Arumi pun mulai menggerakkan tangannya perlahan. Membuka map tersebut dan segera mengeluarkan isi di dalamnya. "Surat Perjanjian Pernikahan?" tanya Arumi dengan dahi yang bertaut. "Eum. Silahkan kamu baca." "Tapi bukannya Om udah ngasih ini ke Arum sebelum kita nikah? Kenapa sekarang ngasih lagi?" "Ini yang terbaru. Ada beberapa bagian yang saya revisi," jelas Langit. Kedua tangannya terus berada di dalam saku celana sejak tadi. "Revisi, Om? Bagian yang mana?" Arumi kembali bertanya. Arumi benar-benar bingung dengan sosok yang ada di hadapannya itu. Tiba-tiba mengajak menikah. Tiba-tiba membuat perjanjian pernikahan. Sekarang tiba-tiba revisi. Ini dia sedang berumah tangga, atau membuat skripsi semester akhir? "Kamu ini memang cerewet ya? Baca saja dulu." Langit pun kemudian berlalu keluar kamar. Meninggalkan Arumi dengan sejuta kebingungan di kepalanya. Melihat Langit pergi, Arumi hanya bisa memanyunkan bibirnya, lalu mulai membaca dokumen itu dengan seksama. Sampai akhirnya, Arumi mendapatkan poin yang benar-benar mengusik jiwanya. Tanpa menunda, ia pun langsung menghampiri Langit di ruang kerjanya dan berkata, "Arum nggak setuju dengan poin nomor sepuluh, Om." Arumi meletakkan map kontrak perjanjian pernikahan itu di depan Langit. Ia menolak langsung apa yang pria dewasa itu tulis di sana. Langit yang sedang duduk di depan laptopnya seketika menoleh dan melihat sekilas ke arahnya. "Kenapa?" "Ya karena sejak awal, kesepakatan kita hanya menikah kan? Bukan menjadi suami-istri sungguhan?" Napas Arumi tampak terengah-engah seperti orang yang baru lari maraton lima kilometer. "Saya tidak bilang kalau kita akan menjadi pasangan suami-istri sungguhan." "Terus ini ...." "Saya hanya minta kamu melahirkan seorang anak untuk saya. Untuk keluarga saya." Arumi tercengang dan membuang napas kasar. Bibirnya mengulas tawa, tapi perasaan batinnya porak poranda. "Maaf, Om. Tapi Arum bukan p3l4cur!" ucapnya lantang. Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Arumi, seketika Langit pun terdiam. Ia lalu menutup laptopnya dan bangkit. Kemudian menarik paksa tangan Arumi dan membawa istrinya itu menuju ke kamarnya. "Om ... lepasin. Om mau bawa Arum ke mana?" Arumi terus berusaha melawan, tapi cengkraman tangan Langit benar-benar kuat. Mustahil untuk ia lepas. Mbok Jum yang melihat mereka, hanya bisa menatap iba kepada istri majikannya itu. Ia pikir, Langit akan memukul Arumi. Padahal, tidak sama sekali. "Masuk!" Langit melepaskan pegangan tangannya dari Arumi dan segera mengunci pintu. "Om, Arum mau keluar." Arumi maju dan hendak menuju pintu. Namun Langit tidak mengizinkannya. Ia terus menahan istrinya itu dengan bidang dadanya yang memang cukup kuat untuk Arumi terobos. "Apa permintaan saya begitu sulit untuk kamu kabulkan?" Arumi sedikit menengadah. Poster tubuh langit yang memang besar tinggi, jauh dari postur tubuhnya yang mungil, membuat ia harus sedikit mengangkat kepala dalam menatap wajah suaminya itu. "Ini bukan perkara mudah atau sulit, Om. Ini masalah masa depan. Om sadar nggak sih, kalau Arum harus ngasih Om anak. Itu artinya Arum harus nyerahin seluruh hidup Arum, ke Om." Suara Arumi terdengar sedikit bergetar. "Ya ... terus masalahnya di mana? Kita sudah menikah, kamu sudah halal untuk saya. Begitupun sebaliknya? Apa ...? Apa yang membuat kamu sulit melakukannya?" Langit mulai mencerca Arumi. Arumi menggeleng pelan. Tawa itu kembali menguar, menghiasi wajah sendunya. Tawa yang semakin membuat dirinya tampak begitu bodoh dan menyedihkan di hadapan Langit. "Masalahnya, kita ini sama-sama nggak ada perasaan apa-apa, Om. Om cintanya sama Mama, bukan sama Arum. Arum juga nggak mungkin melakukan ini. Bagaimana kalau tiba-tiba Mama muncul?" Langit terdiam. "Om nggak bisa jawab kan? Jadi biarin Arum keluar ya Om?" Arumi segera berlalu melewati Langit. Langsung menuju pintu dan bersiap untuk menarik handle. Akan tetapi, belum juga ia berhasil memegang handle pintu tersebut, Langit sudah lebih dulu berbalik dan menarik kembali tangannya. Bahkan tak sekedar menarik, pria dewasa itu juga membawa turut serta tubuh Arumi ke dalam pelukannya. "Om Langit?!" seru Arumi dengan dua bola mata yang membola. Ia benar-benar terkejut luar biasa. Langsung membeku dan terdiam dengan pandang yang terus terpatri ke arah Langit. "Jangan membicarakan apa yang belum tentu terjadi, Arumi. Lebih baik kita jalani saja, apa yang ada di depan mata kita saat ini."Suasana kamar itu menegang. Andini seperti terjebak di dalam perangkap yang ia buat sendiri. Mengurungnya dalam ketakutan beralasan akibat ulah dari sandiwaranya selama ini. Ingin ia menutupinya lagi, tapi sepertinya Langit terlalu pintar untuk dibodohi. Tak seperti Arumi yang polos dan lugu, sehingga bisa tipu setiap waktu.“Ma …,” lirih Arumi.Andini masih diam. Tatapannya yang semula begitu sangar dan menggebu-gebu, kini berubah sayu dan penuh kecemasan. Ia menunduk, tak kuasa untuk melihat kepada dua manusia di dekatnya.“Ma … jawab Arumi! Mama beneran hamil kan? Mama nggak bohongi Arumi kan?” desak Arumi. Kini giliran dirinya yang menggoyang-goyang tubuh Andini. Menuntut perempuan bergelar ibu baginya itu untuk menjawab pertanyaannya.“Dia tidak akan bisa menjawab, Arumi. Karena saya sudah mencari tahu semuanya. Sehari pasca Andini mendatangi rumah saya dan mengaku jika sudah hamil anak saya, saya pun mendatangi rumah sakit tempat kamu dirawat waktu itu. Dan hasilnya, seorang d
Dengan tergopoh-gopoh, Arumi pun kembali melangkah mendekati kamar. Guna mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya. Dari pekikan suara wanita dewasa itu tadi, sepertinya telah terjadi sesuatu.“Mama?!” ucap Arumi setengah berteriak. Ia cukup terperanjat, tatkala melihat Andini sudah terduduk di lantai, dekat dengan ranjang tempat tidur.“Arumi, tolongin Mama. Perut Mama sakit,” ujar Andini. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang menahan sakit.“Pe—perut Mama sakit? Astaga, bagaimana ini?” tanya Arumi panik. Ia langsung berlari ke arah mamanya dan membantu perempuan itu untuk bangkit. Rasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan pun mulai menghampiri.Sementara di depan pintu kamar, Langit tampak berdiri santai dengan kedua tangan yang bersedekap di dada. Ekspresi wajahnya tak menyiratkan empati apalagi peduli sedikitpun. Seolah ia tidak mau tahu, dengan apa yang dialami oleh mertuanya itu.“Om, Mama Om. Bantuin …,” pinta Arumi. “Apa yang mau dibantu, Arumi? Mama
Mobil jenis sedan itu sudah berhenti di depan sebuah rumah semi permanen berwarna putih dengan beberapa pot bunga di depannya. Bangunannya dikelilingi oleh pagar kayu dengan warna yang sama. Tak terlalu menjulang, hanya setinggi dada pria dewasa. Dari dalam mobil, Arumi keluar dan langsung berjalan ke arah pintu pagar. Membukanya dan masuk dengan langkah yang begitu berat. Udara di sekitarnya mendadak terasa panas dan menyesakkan. Mungkin karena ia tahu, dengan siapa sebentar lagi ia berhadapan. Di belakangnya, Langit masih setia berdiri dan menemani. Sosoknya yang tinggi dan dewasa, menjadikannya lebih mirip seperti seorang ayah yang melindungi putrinya ketimbang suami yang menjaga istri. “Ma …,” panggil Arumi pelan. Tangannya sudah bergerak menarik handle dan membuka pintu. Langsung melempar pandangan ke seluruh sudut ruangan rumah itu. Sesaat, terdengar suara sahutan dari dalam kamar. “Iya sayang, kamu sudah pulang? Mama lagi di kamar nih. Ke sini aja ya, di luar panas,” t
Di balik pekatnya aroma kopi dan pendingin ruangan yang menusuk, lobi hotel itu mendadak terasa dingin. Kaki-kaki berlapis alas sepatu di atas marmer memantul kembali keheningan canggung yang tebal. Jason, si mucikari, hanya diam. Jari-jarinya memilin tepi ponsel yang sudah sejak tadi ada di tangannya. Ia memperhatikan siluet pelanggannya—seorang pria mapan, berkeme abu-abu yang kini tampak berdiri gagah—yang baru saja menyelesaikan penuturan paling absurd yang pernah ia dengar. “She—she is your wife?” tanyanya terbata. “Yes. She is my wife,” ulang Langit. Bukannya merasa bersalah setelah mendengar pengakuan Langit, Jason justru terkekeh bahkan terbahak hingga terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu, Langit dan Arumi sedikit bingung dibuatnya. “She is your wife?” tanya Jason sekali lagi. Langit hanya diam. Menurutnya, pertanyaan Jason kali ini tidak perlu ia jawab. Hanya tangannya yang bergerak—menarik pelan tangan Arumi—dan membawa istrinya itu ke sampingnya. “Jangan
Pagi menjelang. Udara di Nauru masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun tidak dengan suasana hati seorang Arumi.Terbangun dari tidur setelah melewati malam yang panjang bersama Langit, dirinya langsung disambut oleh senampan sarapan pagi berisi roti lapis selai coklat dan segelas susu. Serta seikat bunga yang sangat indah di atas nakas.“Ih, ada bunga. Cantik banget,” puji Arumi.Ia lalu mengambil bouqet mawar merah itu dan mengendus wanginya sesaat. Tak berselang lama, Langit pun muncul dari balik pintu balkon. “Kamu sudah bangun?” tanya pria berkemeja abu-abu rokok tersebut.“Eum ….” Angguk Arumi pelan. “Ini semua dari Om Langit?” tanyanya.“Iya. Kenapa? Kamu nggak suka?” Langit terdengar kurang percaya diri. “Enggak … Arumi suka kok, Om. Cuma … keget aja. Kan selama ini nggak pernah dikasih bunga.” Arumi tersenyum lebar hingga semua gigi depannya terlihat.Langit diam sesaat. Segera meraih sebuah paper bag dan menyerahkannya kepada Arumi. “Lansung mandi dan berkemas. Ini
Arumi terus menatap Langit. Wajahnya memelas, dengan ekspresi seperti orang malas. Sedang di dekatnya, Langit tampak menghela napas panjang, seolah begitu berat baginya untuk sekedar mengatakan ‘iya’ pada istrinya itu. “Om ….” lirih Arumi. “Saya bukannya tidak menghargai mama kamu, Arumi. Saya hanya tidak mau kamu ribut lagi dengan dia.” “Kali ini aja lagi, Om.” Arumi memohon, kedua tangannya tampak mengatup di depan dada. Dan kalau soal rayu-merayu, perempuan berkulit putih kuning langsat khas wanita Indonesia itu, memang juaranya. “Yakin?” tanya Langit. “Yakin, Om.” “Ya sudah. Besok sebelum pesawat take off, kita ketemu dengan Mama kamu dulu. Tapi janji sama saya, hanya pamit dan nggak ada drama-drama lainnya. Ok?” tanya Langit. “Iya, Om. Arumi janji. Makasih ya Om?” Mata Arumi tampak berkaca-kaca. Langit tersenyum. Mengusap lembut pipi Arumi yang lembut seperti mochi. Kemudian membingkainya sembari berkata, “Apapun yang membuat kamu bahagia, pasti akan saya usahakan, Ar







