แชร์

Minta Anak?

ผู้เขียน: LV Edelweiss
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-15 18:03:52

Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah.

"Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi.

"Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya.

"Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."

Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.

Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali.

"Mau ke mana kamu?" 

Belum selesai Arumi mengemasi barang-barangnya, Langit sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Segera melangkah mendekati gadis bermata indah itu dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan. 

"E ... A—arum ... Arum harus pindah kamar, kan Om? Sesuai dengan perjanjian kita di awal." 

"Perjanjian kita sekarang sudah berubah." Langit melempar sebuah map coklat ke atas nakas yang ada di samping Arumi. "Baca itu."

"A—apa ini, Om?" tanyanya gugup. Entah mengapa, setiap kali berduaan dan ngobrol dengan suaminya itu, batin Arumi dag dig dug tak menentu. 

"Baca saja." 

Arumi pun mulai menggerakkan tangannya perlahan. Membuka map tersebut dan segera mengeluarkan isi di dalamnya.

"Surat Perjanjian Pernikahan?" tanya Arumi dengan dahi yang bertaut.

"Eum. Silahkan kamu baca." 

"Tapi bukannya Om udah ngasih ini ke Arum sebelum kita nikah? Kenapa sekarang ngasih lagi?" 

"Ini yang terbaru. Ada beberapa bagian yang saya revisi," jelas Langit. Kedua tangannya terus berada di dalam saku celana sejak tadi. 

"Revisi, Om? Bagian yang mana?" Arumi kembali bertanya.

Arumi benar-benar bingung dengan sosok yang ada di hadapannya itu. Tiba-tiba mengajak menikah. Tiba-tiba membuat perjanjian pernikahan. Sekarang tiba-tiba revisi. Ini dia sedang berumah tangga, atau membuat skripsi semester akhir?

"Kamu ini memang cerewet ya? Baca saja dulu." Langit pun kemudian berlalu keluar kamar. Meninggalkan Arumi dengan sejuta kebingungan di kepalanya.

Melihat Langit pergi, Arumi hanya bisa memanyunkan bibirnya, lalu mulai membaca dokumen itu perlahan.

Sampai akhirnya, Arumi mendapatkan poin yang agak mengusiknya. Akhirnya, ia langsung menghampiri Langit di ruang kerjanya dan berkata, "Arum nggak setuju dengan poin nomor sepuluh, Om." 

Arumi meletakkan map kontrak perjanjian pernikahan itu di depan Langit. Ia menolak langsung apa yang pria dewasa itu tulis di sana.

Langit yang sedang duduk di depan laptopnya seketika menoleh dan melihat sekilas ke arahnya.

"Kenapa?"

"Ya karena sejak awal, kesepakatan kita hanya menikah kan? Bukan menjadi suami-istri sungguhan?" Napas Arumi tampak terengah-engah seperti orang yang baru lari maraton lima kilometer.

"Saya tidak bilang kalau kita akan menjadi pasangan suami-istri sungguhan." 

"Terus ini ...." 

"Saya hanya minta kamu melahirkan seorang anak untuk saya. Untuk keluarga saya."

Arumi tercengang dan membuang napas kasar. Bibirnya mengulas tawa, tapi perasaan batinnya porak poranda.

"Maaf, Om. Tapi Arum bukan pelacur!" ucapnya lantang.

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Arumi, seketika Langit pun terdiam. Ia lalu menutup laptopnya dan bangkit. Kemudian menarik paksa tangan Arumi dan membawa istrinya itu menuju ke kamarnya.

"Om ... lepasin. Om mau bawa Arum ke mana?" Arumi terus berusaha melawan, tapi cengkraman tangan Langit benar-benar kuat. Mustahil untuk ia lepas. 

Mbok Jum yang melihat mereka, hanya bisa menatap iba kepada istri majikannya itu. Ia pikir, Langit akan memukul Arumi. Padahal, tidak sama sekali. 

"Masuk!" Langit melepaskan pegangan tangannya dari Arumi dan segera mengunci pintu.

"Om, Arum mau keluar." Arumi maju dan hendak menuju pintu. Namun Langit tidak mengizinkannya. Ia terus menahan istrinya itu dengan bidang dadanya yang memang cukup kuat untuk Arumi terobos.

"Apa permintaan saya begini sulit untuk kamu kabulkan?"

Arumi sedikit menengadah. Poster tubuh langit yang memang besar tinggi, jauh dari postur tubuhnya yang mungil, membuat ia harus sedikit mengangkat kepala dalam menatap wajah suaminya itu.

"Ini bukan perkara mudah atau sulit, Om. Ini masalah masa depan. Om sadar nggak sih, kalau Arum harus ngasih Om anak. Itu artinya Arum harus nyerahin seluruh hidup Arum, ke Om." Suara Arumi terdengar sedikit bergetar.

"Ya ... terus masalahnya di mana? Kita sudah menikah, kamu sudah halal untuk saya. Begitupun sebaliknya? Apa ...? Apa yang membuat kamu sulit melakukannya?" Langit mulai mencerca Arumi. 

Arumi menggeleng pelan. Tawa itu kembali menguar, menghiasi wajah sendunya. Tawa yang semakin membuat dirinya tampak begitu bodoh dan menyedihkan di hadapan Langit.

"Masalahnya, kita ini sama-sama nggak ada perasaan apa-apa, Om. Om cintanya sama Mama, bukan sama Arum. Arum juga nggak mungkin melakukan ini. Bagaimana kalau tiba-tiba Mama muncul?" 

Langit terdiam.

"Om nggak bisa jawab kan? Jadi biarin Arum keluar ya Om?" Arumi segera berlalu melewati Langit. Langsung menuju pintu dan bersiap untuk menarik handle. 

Akan tetapi, belum juga ia berhasil memegang handle pintu tersebut, Langit sudah lebih dulu berbalik dan menarik kembali tangannya. Bahkan tak sekedar menarik, pria dewasa itu juga membawa turut serta tubuh Arumi ke dalam pelukannya. 

"Om Langit?!" seru Arumi dengan dua bola mata yang membola. Ia benar-benar terkejut luar biasa. Langsung membeku dan terdiam dengan pandang yang terus terpatri ke arah Langit.

"Jangan membicarakan apa yang belum tentu terjadi, Arumi. Lebih baik kita jalani saja, apa yang ada di depan mata kita saat ini." 

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Kabar Dari Mama

    Arumi menghentikan gerakan tangannya, menjauhkannya dari handle pintu. Berbalik dan kembali melihat kepada Langit. Tampak laki-laki itu sudah dalam posisi berdiri dan melihat ke arahnya. Sejenak, hanya ada kebisuan di antara mereka. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Saking heningnya, suara sendok Mbok Jum di dapur sampai terdengar mengisi ruang kamar yang tak seberapa luas itu. Langit kemudian melangkah, mengikis jarak di antar mereka. Berdiri tepat satu meter di depan Arumi. "Kamu yakin mau mencari Mama kamu?" tanyanya serius. Arumi mengangguk pelan. Terus melihat wajah laki-laki dewasa itu dengan tatapan menuntut. Menunggu respon yang lebih lagi atas sikap yang akan ia ambil sebentar lagi. Langit bersedekap dada dan membuang napas pelan. "Kamu mau cari dia ke mana?" tanyanya lagi. "Ya ... ke mana saja, Om. Pokoknya sampai ketemu. Arumi yakin kok, Mama pasti masih di sekitaran kota ini. Tidak mungkin juga Mama pergi sampai ke luar negeri, kan?" Arumi b

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Om Ingkar Janji

    "Cerai?" tanya Langit. Arumi mengangguk. "Kamu pikir bercerai segampang itu, ha? Kamu pikir pernikahan itu main-main?" Langit jelas tidak setuju dengan rencana Arumi. Walau ia tahu niat di awal menikahi Arumi hanya karena keterpaksaan, tapi bukan berarti segampang itu untuk berpisah. Lagi pula, tidak ada point cerai di kontrak yang sudah ia revisi. Meski ia pernah melontarkannya malam itu. "Jadi Om maunya kita gimana? Masa kita gini-gini terus? Kalau tiba-tiba Mama balik dan dia tahu tentang kita, gimana? Aku nggak mau Mama kecewa, Om. Aku nggak mau dianggap anak yang durhaka." Raut wajah Arumi kembali tampak pilu. "Astaga, nggak akan ada yang menganggap kamu anak durhaka, Arumi. Dan lagi pula, kita tidak pernah tahu kapan Andini akan kembali. Mungkin saja dia tidak akan pernah kembali," tegas langit. "Kok Om gitu sih, ngomongnya? Jahat banget tauk, Om. 'Ucapanmu adalah doamu'. Om doain aku jadi anak yatim piatu? Nggak ada ayah nggak ada ibu, gitu?" "Ya mending, dari

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Tanpa Perasaan

    Arumi sontak terkejut. Ia langsung menarik kembali tubuhnya ke belakang. “Siapa yang mengizinkan kamu mencuri ciuman dari saya?” tanya Langit dengan tatapan menelisik. Namun, Arumi justru mengernyitkan dahinya. Mencuri ciuman? “Om … Arum nggak mencuri ciuman,” bantah Arumi sambil menggelengkan kepalanya. “Terus, ngapain kamu kayak gitu kalau bukan mau cium saya?” Langit membenarkan posisi duduknya, tatapannya masih lurus ke arah Arumi. “Arum … Arum cuma mau benerin kancing baju Om yang terbuka biar nggak masuk angin!” jawab Arumi dengan cepat. Tujuannya memang itu, tapi sepertinya langit sudah terlanjur salah paham. Ditambah dengan posisi Arumi yang memang terasa menjurus ke arah pelecehan seksual, mungkin? Langit terdiam beberapa detik. Tatapannya menurun ke arah kancing bajunya yang memang terbuka satu. Ia menelan ludah kecil, lalu mengusap tengkuknya pelan. “Oh… jadi cuma itu?” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Senyum tipis muncul di ujung bibirnya, buka

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Belajar Ciuman?

    Dengan gerakan cepat dan gesit, Langit pun memutar posisi mereka, hingga menjadi terbalik. Kini ia di atas dan Arumi di bawah. Kembali dengan pandang yang bertemu untuk beberapa saat. “Dipahami baik-baik, saya tidak akan mengulanginya. Setelah ini, kamu harus bisa lebih baik dari sebelumnya. Mengerti?” tanya Langit dengan nada menuntut. “Mengerti, Om ….” Entah kenapa, Arumi mengangguk patuh. Kemudian kembali menelan ludah dengan susah payah, sebab masih begitu gugup. Otaknya seakan dipaksa untuk bekerja ekstra, mengingat setiap gerakan yang nanti akan Langit lakukan kepadanya. Mau menolak, bagaimana, sudah jadi suami. “Bangun,” perintah Langit dengan suara rendah. Ia bangkit dan kembali duduk di tepi ranjang. "Eum ...." Arumi menyusul segera. Bangkit dan duduk di samping Langit. Merapikan sejenak rambutnya yang sempat berantakan. "Cepat!" Langit kembali menginterupsi. Melihat gadis itu dengan ujung ekor matanya. Minta dicium, tapi ketus. "I—iya, Om." Arumi segera berdiri. Me

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Belajar Berciuman

    Susah payah Arumi menelan ludah, saat pelukan tangan Langit sudah melingkar sempurna di pinggangnya. Dan untuk pertama kali di hidupnya, ia merasakan di dekap seerat itu. Sehingga membuat napasnya sesak dan tersengal. "O—om ...." Suara lirih Arumi tercekal dan nyaris tak terdengar. Dua bola matanya tak pudar dari menatap pria dewasa itu."Kenapa kamu gugup?" tanya Langit. Jelas itu bukan sebuah pertanyaan. Sebab tanpa Arumi jawab saja, ia bisa melihat seperti apa gelagapannya istrinya itu saat ini. "Om, ini nggak bener. Kit-kita—""Dari segi mana kamu bilang kalau ini tidak benar? Apa saya ini sugar daddy kamu? Saya ini suamimu, Arumi." Langit mempertegas status mereka kepada Arumi. Yang semakin membuat Arumi bingung dan terjebak."Ta—tapi kata Om waktu itu ....""Tidak akan menyentuh kamu?" potong Langit. "Itu sebelum kontrak kita direvisi."Langit semakin membawa tubuh Arumi tenggelam di dalam tubuh perkasanya. "Ja—jadi maksud, Om. Om mau kita benar-benar jadi suami-istri, gitu?

  • Pesona Calon Ayah Tiriku Yang Penuh Kuasa    Minta Anak?

    Setelah mendengar kata-kata Langit tadi siang, jiwa Arumi kian tak tenang. Ia terus saja gelisah sampai-sampai apa yang ia sentuh, jatuh dan berserakan di mana-mana. Seperti air minum yang tumpah. Piring yang pecah. Hingga beberapa benda lainnya yang seperti enggan untuk ia jamah."Ada apa denganmu? Kalau belum sanggup bergerak, kenapa tidak bedrest saja dulu." Omel Langit sembari mengelap lantai yang basah. Mbok Jum tengah mandi, jadi tidak tahu dengan apa yang terjadi."Biar Arum aja, Om." Arumi ingin mengambil alih pekerjaan itu, tapi gerakan tangan Langit begitu cepat mencegahnya."Sudah, kembali ke kamar sana. Kalau sakitmu bertambah parah, saya juga yang repot nanti."Arumi mengangguk patuh. "Maaf ya, Om." Ia segera berlalu ke dalam kamar.Namun, bukannya istirahat, ia justru memberesi barang-barangnya dan bersiap untuk pindah kamar. Sebab ia teringat dengan isi perjanjian pernikahan mereka di awal. Jika mereka akan tidur dengan kamar yang terpisah, sampai Andini kembali."Mau k

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status