“Mas Dika janji ya, gak bilang tuan Rizal tentang insiden tadi! Awas aja kalo bilang, saya gak mau lagi ikutin kemauan mas Dika.” Omelan gadis itu masih tak digubris Andika, ia masih membayangkan wanita cantik yang berbaring di ranjang pasien memberi senyuman indah pada dirinya. ”Mas Dika! orang ngomong dicuekin! Aku pulang nih!” “E-e-eh, enak aja pulang! Ketemu dulu sama si duda, baru pulang. Btw, Ya, kakak loe udah sembuh yak? Masa tadi senyum manis banget sama gue, kaya orang nyapa gitu.” ”Masa sih, Mas? Kapan? Di mana? Kok saya gak tau?” “Ya … tadi, pas loe ke kamar mandi ngompres memar. Em … kayanya gue suka deh sama kakak loe!” “Mas, aku mau pulang. Aku mau liat ka Nara!” seru Raya sambil melepas seatbelt. ”Eh … tar dulu.” Tahan Andika. ”Tunggu Rizal, bisa ngomel tuh anak kalo loe gak ada!” ”Biarin! saya mau liat ka Nara,” ucap Raya siap menuruni mobil Andika. ”Saya mau ketemu ka Nara! Mas Dika gak usah anter, mas Dika di sini aja, tunggu tuan Rizal. Saya balik!” Cepat da
Tiba di sebuah klub malam ibu kota, Rizal langsung turun dari mobil, menuju lantai dasar sebuah gedung perkantoran dan siap membooking salah satu ruang VIP yang ada di sana. Rizal mengedarkan pandangan. Tampak para wanita minim busana berjoget ria dengan beberapa pria. Alunan musik kencang dipimpin seorang DJ internasional membuat semua orang di sana menikmati hentakan musik yang terdengar. ”Loe yakin betah di sini?” tanya Andika, berbisik dengan suara dikeraskan. ”Di sini bukan loe banget!” lagi-lagi Andika berbisik, masih dengan cara yang sama. ”Nyoba doang, orang bilang ke tempat ginian bisa ngurangin beban dan masalah hilang,” balas Rizal ikut berbisik kencang. “Orang dipercaya! Masalah mau ilang, ya diselesain! Dasar duda jomblo!” ledek Andika, kali ini tak perlu berbisik karena mereka siap masuk ke ruang VIP. “Rizal?” Panggil seorang wanita dan langsung menghampirinya. “Kamu suka kesini juga? Ya ampun, aku gak menyangka, loh. Aku kira keseharian kamu monoton, ke kantor, teru
Rizal mengatur ritme nafasnya. “Tak banyak yang akan saya sampaikan, saya hanya ingin mengakui sesuatu pada anda. Oh ya, sorry. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Rizaldi Takki, seorang duda yang telah menyebabkan adik anda sengsara dan karena saya juga anda menjadi seperti ini,” ucapnya cepat, berharap kata-kata yang ia ungkapkan tidak mengakibatkan keraguan. Ingin menghentikan apa yang selanjutnya akan ia ucapkan namun logika kebenarannya berlawanan. ”Sayalah yang mengirimkan video dan foto-foto perselingkuhan suami anda dengan anak buahnya. Saya yang telah menyebabkan aibnya tersebar dan wanita sialan di sana adalah Ardila, mantan istri saya.” Rizal menelan saliva sambil meremas kuat sisi ranjang besi, berusaha menahan malu. Nara yang menyimak pengakuan duda itu hanya mampu terdiam. Jiwanya sedikit terguncang mengingat kepahitan yang ia alami terlebih perjuangan sang adik yang menyedihkan. Namun demi mendengar kelanjutan cerita duda itu, Nara berusaha tenang, mengontrol emosi da
Mendapati gadisnya mulai menaiki sebuah mini bus, dengan tergesa Rizal langsung menekan tombol autopilot kendaraannya. Satelit pribadinya langsung mengarah pada posisinya, sensor, radar, GPS, kamera pengintai dan teknologi canggih di dalamnya langsung bekerja. Tanpa menunggu lama, mobil itu pun mengemudikan dirinya sendiri. Rizal kembali mengamati Raya dibalik binokularnya yang canggih. Alat pengganti kedua indra penglihat yang mampu menampakkan Raya secara detail meski keduanya berada dibalik kaca, berjauhan. Mengamati gadis itu duduk terdiam bersandarkan dinding bus yang berkarat. 'Apa yang sedang kau pikirkan, hm?' 'Cantik.' 'Jika nanti kau menjadi istriku, tak akan pernah kubiarkan kau menaiki benda buruk itu!' 'Seharusnya kamu bersandar di bahuku.' 'Apa kamu sedang mikirin aku?' Tanpa ia sadari, celotehan-celotehan ringan itu keluar begitu saja. ’Kenapa ke rumah sakit ini?’ tanya Rizal ketika mendapati gadis itu memberhentikan mini bus, kemudian memasuki sebuah rumah sakit
“Ini kenapa bisa begini sih? Gue udah pake high security, kenapa masih aja bocor!? Ilham, Reza, Teguh, pada bener gak sih kerjanya?” omel Rizal pada Andika yang duduk di sampingnya. “Untung data anak perusahaan, kalo sampe kantor pusat mereka! Perusahaan gue bisa di tuntut!” Andika yang diajak berbicara hanya bisa diam, tidak memberi jawaban dan tidak berkomentar. “Tuan, saya mau pulang.” Ditengah-tengah keseriusan Rizal, gadis itu mengungkapkan isi hatinya. “Kamu lupa apa yang dokter katakan? Berbaring!” Gadis itu langsung gelengkan kepala. “Tetap disana, ingin sesuatu bilang padaku.” Rizal kembali sibuk dengan laptopnya. Sesekali telepon genggamnya berdering dan tak jarang ia tampak menghubungi seseorang. Lima hari sudah Raya menjalani penyembuhan, selama itu pula Rizal selalu mendampingi. Apa yang duda itu jalani akhir-akhir ini begitu menyenangkan menurutnya, meski pekerjaan entah mengapa tak bisa diwakilkan. Berlawanan terbalik dengan apa yang Raya rasakan, enam tahun selur
Perguliran waktu kian berlalu dengan cepat, Raya yang menjalani pengobatan kini telah diizinkan pulang. Dengan syarat tetap menjaga pola makan sehat, minum susu dan jangan melakukan hal-hal berat. Komunikasi dua sejoli itu masih terjaga meski Rizal mulai jarang menghubunginya. Berharap pekerjaan cepat selesai hingga ia mengurangi komunikasi intensnya dengan sang kekasih. Setelah menjenguk sang kakak, Raya mengajak Fayed mendatangi tempat di mana dirinya pernah bekerja. Sekedar mengingat kenangannya di tempat itu sekaligus mengecek kebutuhan apa saja yang harus ia beli dan lengkapi. Paska menekan digit-digit angka yang ia hafal, pandangannya dikagetkan dengan kondisi hunian yang tampak berantakan tak karuan. Kamera CCTV langsung mengarak padanya ketika pintu terbuka, dan tak menunggu lama duda pemilik hunian langsung melakukan panggilan. [Cantik! Jangan kausentuh benda-benda itu!] Kalimat pertama yang keluar ketika panggilannya terangkat. [Aku gak ngapa-ngapain.] Balas Raya cuek.
Dering sebuah pesan bertandakan huniannya dimasuki seseorang Rizal abaikan, berpikir bahwa itu adalah gadisnya yang kembali datang. ’Aku senang kau mulai membuka hati untukku, aku berharap kau akan tinggal di sana bersamaku,’ gumam Rizal sambil menikmati snack penunda rasa lapar yang biasa di konsumsi para militer. Berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat hingga ia meminimalisir waktu makannya. Sebenarnya perbaikan sistem jaringan dan pembaruan teknologi di pabri yang terbakar telah ia selesaikan, namun demi profesinalisme kerja, ia pun melakukan kunjungan ke beberapa perusahaan di sana yang bekerja sama dengan Z&T Corporate. Mengantisipasi tak akan ada kejadian sama terulang lagi. ”Come on, Rizal semua ini harus cepat selesai.” Menyemangati diri sendiri sambil memainkan jari-jarinya di atas keyboard, ditemani kunyahan snacknya. ’Tumben balik duluan.’ Gumam Rizal setelah mendapatkan informasi bahwa Rosa kembali lebih dulu. ’Tidak, tidak. Lusa terlalu lama. Ya, aku harus pul
Perkuliahan belum usai, namun Rizal sudah standby di depan ruang kelas. ‘Ngapain nungguin sih, kaya anak SD aja!’ ”Raya-nya masih di dalam.” ”Saya tau!” balas Rizal sinis. “Mau rujuk ya Mas?” “Hm.” “Kayanya Raya gak mau deh, dia ‘kan lagi dekat dengan Aries.” Rizal tak lagi menghiraukan, ia tau persis apa tujuan mahasiswi itu berbicara kepadanya. Kini dia hanya sibuk dengan ponsel di tangan mengirim banyak pesan sambil bersandar pada sebuah tiang di temani headset di telinganya. Meski banyak mahasiswi berseliweran jalan di depannya dan tak jarang coba menyapa, duda itu tak menanggapi, seolah ia sedang asyik mendengarkan musik. Setelah menunggu lama, yang di tunggu-tunggu pun datang. Gadis itu keluar kelas diikuti para mahasiswi yang penasaran. Rizal langsung menegakkan tubuhnya, melangkah, kemudian meraih jemari Raya. “Yuk, pulang!” ”Fayed mana?” tanyanya berusaha menyamakan langkah. ”Dika yang urus!” Menjawab singkat, menolehkan kepada pada gadisnya yang tampak kesulitan meny