Tiba di ruang IGD, para tim medis mulai menangani Raya dengan teliti. Dua orang perawat mulai memeriksa tekanan darah, memasangkan oksigen, infus dan mengobati tubuh Raya yang terluka, sedangkan beberapa dokter mulai menganalisa dan mengecek organ vital pasiennya.
Tampak Rizal serius mengamati, terlihat jelas kekhawatiran dan kepanikan dari wajahnya dikarenakan Raya belum juga sadar dan tubuhnya tidak ada gerakan. "Dok, sudah tau dia kenapa? Apa karena oksigen palsu yang saya berikan tadi? Dia tidak apa-apa 'kan, dok? Dia pingsan dalam insiden kebakaran, apa dia ada penyakit bawaan? Mungkin asma? Atau maag kronis, seperti saya? Atau ... penyakit jantung? Dok, tolong beritahu saya, dia kenapa? Mengapa dia belum sadar juga?"
Tim medis masih fokus memeriksa dan menganalisa hingga perkataan Rizal mereka abaikan."Ganggu konsentrasi, biasa aja kale! Mereka nanganin dengan benar kok, sabar, heboh banget!" ucap Andika heran melihat sahabatnya kali ini."Gak u"Hai," sapa Rizal melambai pelan sambil berjalan santai dari arah pintu yang terbuka, senyumnya begitu indah ketika melihat Raya dalam keadaan baik-baik saja. "Tu-tuan!" Raya terkaget, mendapati duda itu menyapanya pagi ini. "Ma-maaf tuan, saya tidak ke SOHO, mas Dika membawa saya ke sini dan saya tidak diperbolehkan pulang." "Lanjutkan makanmu!" titah Rizal."Sudah tuan, sudah kenyang." Sambil meletakan nampan di meja sebelahnya. Seketika Rizal mengerutkan dahi, melihat nampan berisi sarapan masih utuh tak tersentuh. Dengan penuh kewibawaan tanpa banyak gerakan, duda itu langsung meraih nampan kemudian duduk di sisi ranjang pasien. "A ...." mengarahkan sendok yang telah terisi aneka lauk sarapan. "Ayo, buka mulutmu!" "Melihat menunya, sudah membuat lambung saya penuh, Tuan," balas Raya terdengar pelan. "O ... mulai membantah, mulai tidak menurut!" Raya geleng kepala ditemani kedua bibir merapat kuat. "Buka mulutmu!"
"Saya paham dan sangat tau apa yang harus saya lakukan, Tuan. Saya permisi, masih banyak aktivitas yang harus saya kerjakan." Raya meninggalkan Bimo dengan rasa heran. 'Tuan sih terlalu baik, orang jadi salah paham, kan! Huft. Masa iya aku resign, mana ada tempat yang mau ngegajiku dengan nominal sebanyak itu.' Genap dua minggu hari berganti, Rizaldi Takki masih setia menemani Rosa dan merawat sang ayah angkat, di rumah sakit. Meski raga sang duda di tempat itu namun terkadang pikiran dan fokusnya terpecah, pecahan yang menghasilkan gambar-gambar gadis bernama Rayana Livina berkativitas di dalam rumahnya, hingga pancaran kebahagiaan tampak di wajah sang duda tanpa dipinta. 'Rizal kenapa, sih? Emang ada apa di laptopnya, mengapa dengan laptop saja aku cemburu!? Mengapa aku merasa dia sedikit berubah!' keluh Rosa pada dirinya sendiri. Niat bertanya tapi ia urungkan, karena bingung harus mulai bertanya dari mana.Gelagat anak semata wayangnya terbaca. 'Pa
"Zal ... sudah selesai ya kerjanya, bisa kita bicara? Aku sudah menunggumu sejak tadi, a-aku berharap kamu mau bicara denganku," terang Ardila sambil mensejajarkan langkah dengan Rizal. Rizal mulai menambah kecepatan langkahnya, pandangan mata ia fokuskan pada Mecedes Benz bertipe G-Class di luar lobi, berharap raga segera tiba dalam kendaraan gagahnya. "Tidak ada lagi yang harus dibicarakan! Dan saya harap, anda tidak perlu lagi datang ke kantor ini!" "Zal, mungkin in-ini adalah hukuman untukku. Tapi ini bukan sepenuhnya salahku, maka dari itu aku ingin menjelaskannya padamu." Mata indah wanita itu mulai berkaca-kaca. "Tidak perlu menampakan kesedihan, karena itu sama sekali tidak berpengaruh bagiku!" BREG! Rizal menutup pintu mobil dengan kasar dan mobil itu langung melaju kencang meninggalkan Ardila sendirian.Ardila terdiam, percaya tak percaya dengan apa yang baru saja Rizal lakukan. 'Semarah dan sebenci itu kam
"Atau tuan memiliki perasaan lebih terhadap saya? Jika benar seperti itu, saya harap tuan bisa rubah perasaan itu." 'Gila neh cewek, jujur bener!' Gumam Andika dalam hati. 'Cewek bego!" giliran para pengunjung ikut komentar tanpa terdengar. "Saya tidak cukup baik untuk tuan, sayapun sama sekali tidak memiliki perasaan pada tuan. Saya hanya ingin fokus pada keluarga dan bekerja. Adapun perhatiaan yang saya berikan, itu semua semata-mata karena kebaikan tuan, jadi tuan jangan salah mengartikan," jelas Raya tanpa jeda. "Maaf jika kata-kata saya membuat tuan tersinggung. Saya berharap, tebakan saya ini salah," tegas Raya. "Ya, tebakanmu salah! Kamu terlalu percaya diri!" Bentak Rizal, kesal. "Lagi pula, apa salah jika seorang majikan memberi perhatian? Salah, jika majikan takut pekerjanya patah hati dan berakhir resign dari kerjaannya? Salah, jika majikan suka sama pekerja di rumahnya? Salah, jika majikan ingin memiliki hubunga
Wanita itu berjalan penuh percaya diri, pakaian casual ala wanita kantoran dilengkapi high heels dan tas berwarna senada menunjukan kelas berbeda atas dirinya. Tampak dalam jangkauan penglihatannya para karyawan yang berlalu-lalang coba mencari simpati Rizal. Menyapa grogi, memanggil dengan suara dilembutkan, dan tak sedikit dari mereka memperlihatkan senyuman termanis demi memikat hati sang atasan. Wanita itu tak tinggal diam, pemandangan yang baru saja ia lihat membuat tekatnya semakin kuat 'Zal, dulu aku begitu menyukaimu saat inipun masih sama, tak berubah. Jangan pedulikan mereka, aku yang akan selalu ada untukmu, hanya aku yang kaubutuhkan.' Hentakan dari high heels wanita itu begitu nyaring membuat orang di sekitarnya menoleh dan reflek membuka jalan. "Zal," panggil wanita itu elegan dengan suara begitu lembut dilengkapi senyuman termanis yang ia miliki. Rizal langsung mengarahkan pandangan pada wanita yang memanggilnya. "Hai, Sa. Papah menyuru
Entah apa yang dibicarakan Bimo dan orang tua itu namun yang pasti pembicaraan serius itu berkaitan dengan nasib Rosalia, kisah bertepuk sebelah tangan yang menurut mereka begitu memprihatinkan. Rizal membawa mobil menuju lingkungan bersejarah dalam hidupnya. Lingkungan kumuh, padat penduduk, bergang sempit, lengkap dengan kisah kelam yang belum hilang. Mobil telah terparkir cukup lama namun gadis yang ditunggunya tak juga tiba. Ratusan pertanyaan berlalu-lalang membuat duda itu tak sabar dan gelisah, dengan rasa penasaran Rizal pun mengambil keputusan mendatangi kontrakan gadis itu.Satu-persatu sapaan ramah warga ia balas dengan terpaksa demi menutupi amarah. Langkahnya terhenti, tatkala melihat kontrakan itu masih terkunci.'Apa dia masih dengan dokter itu? Apa mereka mulai menjalani hubungan? Apa Raya menyukainya? Gak, gak, itu gak boleh terjadi. Zaal ... tenang, loe harus tetep di sini, tunggu dia sampe datang, dan minta penjelasan." Berdia
'Tuhan tolong aku, selamatkan dan lindungi aku, aku mohon pada-Mu,' gumam Raya dalam hati penuh ketakutan. 'Aku tak mau tuhan ... aku memohon pertolongan-Mu.' Gadis itu menekan kuat pintu di belakang tububnya. Dalam lirih memohon pertolongan sang pencipta suara langkah kaki tertangkap pendengarannya, langkah tergesa itu semakin jelas terdengar seolah ingin menerkam tubuhnya yang kini merasa lelah. "Raya, buka." Rizal berusaha mengatur emosi. "Kau belum memberi penjelasan padaku." Permukaan mulut bersimbah darah bahkan kini mulai menetes di permukaan bajunya namun gadis yang diajak bicara sama sekali tak mengeluarkan suara. "Buka pintunya, atau kudobrak!" ucap Rizal mulai kesal. "Raya! Kautidak menurut padaku?" DUK DUK DUK Hunian mungil, mengakibatkan suara gedoran pintu terdengar menggelegar membuat Raya semakin yakin pelecehan yang pernah dialaminya dulu akan terulang kembali hari ini. Ketakutan mendalam, gadis itu pun merapatkan bibi
Seharian perut tak masuk makanan di tambah lagi indra pengecapnya mengalami luka sobekan, mau tidak mau Rizal harus menghabiskan malam di rumah sakit. Merebahkan tubuh di atas ranjang pasien, dengan pergelangan tangan kanan ia letakan diatas kedua mata yang terpejam adalah cara ternyaman baginya saat ini. "Nyosor aja si loe, kena batunya, 'kan!" goda Andika, membanting tubuh di sofa panjang. "Apa perlu gue ngecek dia?" ucap Rizal tampak tenang. "Cek aja, biar lega." "Gak, gak, gak, gue percaya sama dia. Dia gak mungkin macem-macem, dia beda. Dia bukan Ardila." Gelengkan kepala, seolah meyakinkan diri. "Gak usah di cek, gue percaya sama Raya.” “Serah loe daah … gue ngantuk!” Andika langsung memejamkan matanya. Rizal masih tak bisa tidur, mengirim puluhan pesan teks pada gadis yang dituju namun sayang gadis itu sama sekali tak membalas. Bahkan pesan terakhirnya kini berstatus tak terkirim, dan ia sangat paham apa penyebabnya. Mas