Di tengah-tengah emosi yang berkecamuk di dalam diri Siena, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Suaranya nyaring, memecah keheningan yang sempat membalut mereka. Siena tertegun sedang Niccolò hanya melirik ke arah tas yang ada di atas pangkuan. Sebelah tangan Siena merogoh ke dalam, mengeluarkan benda pipih yang masih berdering. Matanya tertegun saat menatap nama Maxime tertera di layar yang menyala. “Maxime…” gumamnya penuh ketakutan, lalu menoleh ke arah Niccolò. “Dia menelpon. Apa yang harus aku lakukan? Sebelumnya dia menyuruhku untuk menemuinya. Mungkin… dia masih menungguku.” “Angkat saja teleponnya. Katakan padanya kalau kau tidak bisa menemuinya sekarang. Dan suruh dia untuk datang ke restoran La Cripta Bianca di Palermo.” “Apa?!” Siena terkejut. “Bukankah kau melarangku untuk menemui mereka? Kenapa berubah pikiran?” “Kita akan menemuinya bersama-sama, kau tidak perlu khawatir.” “Tapi…” Siena menggigit bibirnya. Ia merasa frustasi. Rasa takutnya tidak hilang begitu saj
Suara ketukan pintu mengalihkan lamunan Niccolò. Langkahnya tertuju ke arah pintu, lalu membukanya. Ia melihat bayangan wanita yang membuat pikirannya berantakan. Hening. Keduanya saling menatap intens. Seolah menyimpan sesuatu yang mengganggu benak masing-masing. Siena tampak mematung kaku. Untuk pertama kalinya, pria itu berhasil menghancurkan irama jantungnya. Kaos hitam yang pas di badan. Dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya masih acak-acakan dan basah, sebuah tanda kalau pria itu baru saja mandi. Tidak ada sapaan lembut atau senyuman ramah di antara mereka. Niccolò membuka penuh pintunya dan memberikan jalan, seolah membiarkannya masuk. Sedangkan Siena langsung menundukkan kepala, tak berani menatap wajah yang sekarang memberikan rasa berbeda. Mereka duduk di sofa berseberangan. Niccolò mulai menuangkan Red Wine ke dalam gelas kristal yang kosong. Lalu mendorongnya ke arah Siena. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Niccolò sambil menggenggam gelas miliknya. Sorot
Seorang pria sedang duduk diam di dalam mobil yang melaju pelan di jalan batu. Matanya tak lepas dari pemandangan malam kota Roma. Suasana kota yang ramai dan penuh, tidak mampu mengisi kekosongan di dadanya. Ia pulang dibalut rasa kecewa. Ia pulang tanpa pamit. Sepertinya ini adalah akhir pertemuannya dengan Siena. Ia harus menelan kekecewaan itu untuk kedua kalinya. Mobil itu berhenti di sebuah hotel di tengah kota. Niccolò sengaja menginap satu malam untuk menunggu hasil rekam medis Siena di masa lalu. Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya untuk Siena mendapatkan warisan, ia akan kembali ke Palermo. Sendirian tanpa Siena. Selang beberapa saat, akhirnya Niccolò sudah berada di dalam kamar hotel. Seiring langkahnya, ia melepaskan jas lalu melemparnya ke arah sofa. Jari tangannya mulai membuka kancing kemeja hitam itu lalu melepaskannya. Dalam sekejap, terlihat tubuh atletis yang mampu menghipnotis setiap wanita. Sebuah tato salib kayu tua yang dibalut ular memenuhi punggungnya
“Apa kau masih ingat nama rumah sakitnya?” tanya Niccolò. “Ya, saya masih ingat dengan jelas karena itu adalah masa yang sulit. Nama rumah sakitnya Santa Lucia. Sembilan belas tahun yang lalu. Saat Nona muda terkena penyakit itu, dia menolak mandi, demam tinggi dan tidak bisa tidur sebelum saya membacakan dongeng.” “Kita harus meminta rekam medis dari rumah sakit tersebut,” ujar Massimo. “Aku akan melakukannya,” timpal Niccolò. Suasana berubah hening saat Niccolò sibuk dengan ponsel. Ia mengirimkan pesan singkat pada Pietro. Sedangkan Benigno masih berdiri menunggu dan Massimo kembali menikmati minuman. *** Waktu berjalan cepat, tapi tidak untuk Niccolò. Sudah lebih dari lima jam ia hanya duduk diam memperhatikan seorang wanita yang sedang terbaring lelap di atas tempat tidur. Usai pertemuannya dengan Massimo, ia langsung pergi ke ruangan itu hingga sekarang. Ia sempat menyuruh Benigno untuk memanggil dokter. Untungnya saat dokter memeriksa keadaannya, tidak ada hal serius yang
Ruangan itu tampak hening. Tangis Siena mereda. Kini dirinya duduk di sofa yang terletak tak jauh dari meja kerja Niccolò. Niccolò duduk di samping Siena. Memperhatikan wajah sembabnya yang masih sesenggukan. Sedangkan pelayan mulai masuk dengan membawa secangkir kopi yang diinginkan Siena. Siena tak berkutik sedikitpun meskipun aroma wangi kopi mulai menyusup ke dalam indra penciumannya. Tak ada selera untuk mencicipi minuman. Hatinya masih terguncang oleh fakta mengerikan yang baru ia ketahui. “Kenapa… kau tidak mengatakannya sejak awal?” tanya Siena. Suaranya pelan nyaris tak terdengar. Niccolò hanya menghela napas panjang. Ia bangkit berdiri lalu mendekat ke arah lemari berdinding kaca. Ia mengambil salah satu botol whiskey dan gelas kristal. Lalu kembali duduk di tempat semula. “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” tanya Siena saat melirik ke arah Niccolò. Ada emosi yang terselip di tatapannya. “Karena kau akan bereaksi seperti ini,” jawab Niccolò sambil menuangkan minum
Di tengah-tengah lamunan Siena, ia terkejut saat merasakan ponsel dalam genggamannya bergetar lalu disusul nada dering. Pandangan Siena langsung tertuju ke arah layar, menatap deretan nomor asing tak dikenal. Lalu menerima telepon tersebut dan mendekatkannya ke arah telinga. “Halo,” sapanya. “Apa kau sudah menelpon mereka?” Siena tertegun. Itu suara Niccolò. “Ya. Aku sudah menelpon Maxime,” jawab Siena diiringi helaan napas panjang. Siena berjalan ke arah kamar. Ia memilih duduk di sofa depan tempat tidur. “Begitu,” gumam Niccolò. “Ya. Dia menyuruhku untuk datang ke apartemen Laura. Dia menunggu di sana,” timpal Siena. “Apa kau tidak ada di mansion?” tanya Siena penasaran. “Aku sedang di luar. Sebaiknya kau sarapan dan bersiap. Kita akan pergi ke Roma setelah aku sampai.” Siena tertegun. “Roma? Kenapa ke Roma?” Namun Siena tidak mendapat jawaban. Niccolò justru memutuskan sambungan teleponnya. “Halo!” Siena mendesah kasar. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di atas sofa.