Bab. 22
Ketika Roura sedang berdiri dalam dilema, tatapannya terpaku pada punggung Pak Jansen yang perlahan menjauh, tiba-tiba suara seorang penumpang di bus memecah lamunannya."Hei, Nona! Apa kau mau berdiri saja di situ atau mau naik? Kami akan segera pergi!"Roura tersentak. Gadis ini refleks, ia melangkah ke dalam bus. Pintu langsung tertutup dengan suara mekanis yang tegas di belakangnya, menandai keputusan yang kini tak bisa diubah lagi.Roura menghela napasnya untuk menenangkan diri akan keputusan yang ia ambil, gadis ini memilih tempat duduk di dekat jendela, agar pandangannya bisa tetap terarah ke trotoar. Di mana Pak Jansen berjalan tertatih di sana, perlahan semakin jauh dari pandangan mata Roura.Roura berusaha memperhatikan pergelangan tangan kanan pria tua itu, mencoba mencari tanda yang sangat penting dalam misi ini— sebuah tato burung hantu juga bekas luka yang mungkin bisa terlihat.Tapi dari jarak ini, Roura tBab. 23Kakek hantu itu menoleh perlahan, matanya memandang Sion dengan senyum kecil. “Tentu saja, aku bisa menceritakan banyak hal tentang wanita itu.”Sion memiringkan kepalanya, menajamkan pendengarannya. “Baiklah, tolong ceritakan apa yang kau tahu.”Kakek itu tertawa kecil, suaranya seperti bisikan angin yang berputar lembut. “Aku ingin menceritakannya, tapi sayangnya, tidak bisa untuk saat ini.”Dahi Sion berkerut, rasa frustrasi mulai terasa lagi di benaknya. “Kenapa tidak bisa? Apa yang menahanmu?”“Karena pagi hampir tiba,” jawab kakek itu sambil melirik ke arah timur, tempat warna fajar mulai merayap di balik gedung.Sion mengikuti pandangannya, lalu menatap kembali kakek itu dengan alis terangkat tinggi. “Benarkah? Apakah kau takut pada matahari? Apa benar hantu akan terbakar jika terkena sinarnya?”Tawa kakek itu meledak, menggema seolah mengisi ruang kosong di antara mereka. “Tidak, tidak, bukan begitu, nak.
Bab. 24Roura duduk di dekat jendela, memandangi pemandangan yang berlalu di sisi jalan dengan tatapan kosong. Langit siang yang cerah, perlahan berubah menjadi kelabu saat awan menggantung berat di cakrawala."Lihatlah, waktu begitu cepat berlalu. Tapi hidupku belum juga ada perubahan," gumam Roura sambil menghela napasnya dengan berat.Beberapa penumpang turun satu per satu di halte-halte kecil, dan bus perlahan semakin sepi. Ketika akhirnya bus tiba di pinggiran kota Ravendale, matahari sudah mulai condong ke barat. Bus berhenti dengan suara decitan rem yang panjang, dan sopir yang sudah tua itu melirik Roura sekilas."Nona, kita sudah sampai di halte terakhir," ucap sopir itu singkat."Oh, iya, kah?" Roura berdiri dengan tergesa, memegangi tasnya erat-erat saat menuruni tangga. Sopir itu menggeleng kepala. "Dia cantik dan masih muda, tapi sepertinya beban pikirannya terlalu berat," ucap sang sopir, m
Bab. 25Suara bel itu, membuat Roura langsung beranjak dari tempat duduknya dengan penuh semangat. “Nyonya, biar aku saja yang membuka pintu. Mungkin itu suami Anda,” ujar Roura sambil tersenyum penuh harap.Nyonya Liana, yang duduk tenang di kursinya, tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, silakan, Roura.”Roura segera menuju pintu dan membukanya dengan cepat. Namun, ekspresi wajahnya berubah kecewa, ketika melihat siapa yang berdiri di depan. Bukan Pak Jansen, melainkan seorang wanita tua yang tampak seusia dengan Nyonya Liana.Wanita tua itu memicingkan matanya, tampak bingung. “Siapa Anda?” tanyanya dengan nada curiga.Roura sempat kebingungan, namun sebelum ia sempat menjawab, Nyonya Liana yang berada di ruang tamu mengenali suara itu. “Lisa? Apakah itu kamu?” Wanita tua yang ternyata bernama Lisa itu mengangguk. “Iya, ini aku, Liana. Aku melihat lampu depan rumahmu belum menyala. Apa suamimu belum pu
Bab. 26Mendengar pertanyaan itu, Roura menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia menatap pria tua di depannya yang kini sedang memperbaiki posisi topi kebunnya. "Pak Jansen, perkenalkan saya Roura. Saya datang membawa pesan dari Nyonya Liana. Beliau meminta saya memastikan bahwa Anda baik-baik saja, karena Anda tidak pulang ke rumah seperti biasanya."Pak Jansen menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Ah, istri saya memang mudah cemas. Terima kasih sudah menyampaikan pesannya, Nona. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan ini. Jika tidak ada hal lain, mungkin Anda bisa kembali dan memberi tahu dia bahwa saya akan segera pulang."Namun, Roura tetap berdiri tegak. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan jawaban tentang Sion. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi."Sebenarnya, ada hal lain yang ingin saya tanyakan... sesuatu yang sangat penting. Tapi saya kh
Bab. 27Sementara ituRoura duduk di sofa ruangan itu, pandangannya menjelajahi ruangan yang tertata rapi. Meja kerja dengan berkas-berkas yang tersusun rapi, juga rak buku yang penuh dengan dokumen, serta hiasan dinding yang minimalis tetapi terlihat mahal. Gadis ini menghela napas panjang, merasa sedikit kosong di tengah keheningan itu."Entahlah, kenapa Sion tidak menemaniku sepanjang hari ini? Bukankah dia yang terus mendesakku untuk bertemu dengan Pak Jansen? Tapi sekarang, di saat aku membutuhkannya, dia malah tidak mau muncul. Dasar hantu menyebalkan."Mata Roura menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 malam. Roura memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gundah. "Aku belum kembali ke Mayro di jam segini. Aku pasti akan pulang telat lagi, dan Martha pasti akan marah padaku. Dia selalu bilang aku bodoh dan tidak bertanggung jawab."Namun,
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng
Bab. 29Roura menghentikan langkahnya, lalu menatap dalam ke arah Pak Jansen. Pria tua itu hanya mengangkat bahu dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Roura?”Gadis itu menggeleng. “Entahlah, Pak Jansen. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri.”Pak Jansen mengangguk pelan, memahami kebingungan gadis itu. “Aku tahu bagaimana rumitnya pertanyaan di dalam kepalamu. Kalau begitu, ikuti aku saja. Aku akan segera menunjukkan sesuatu. Tidak perlu banyak bertanya sekarang, nanti kau akan mengerti pelan-pelan.”Roura akhirnya mengangguk. Ia mengikuti pria tua itu melangkah melewati lorong rumah sakit yang tenang. Langkah kakinya bergema samar, berpadu dengan suara alat-alat medis yang berbunyi lembut dari berbagai ruangan.Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kamar bernomor 307.Pak Jansen membuka pintunya perlahan.Roura masih terdiam begitu melihat siapa yang t
Bab. 30Sion dan Roura terdiam, bersiap mendengarkan apa yang akan Pak Jansen sampaikan. Pria tua itu menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.“Ada alasan kenapa Sion bisa terpisah dari tubuhnya,” ucapnya pelan.Roura mengerutkan kening. “Apa alasannya, Pak Jansen?”Pak Jansen tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit, seolah tengah mengingat sesuatu dari masa lalu. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya, orang ini sangat ingin bertemu dengan Sion, tapi dia tidak bisa... karena mereka sudah berbeda alam,” jawab Pak Jansen lagi.Roura semakin bingung. “Apa maksud Anda? Siapa seseorang itu? Kenapa dia ingin bertemu dengan Sion? Apakah dia juga sudah meninggal sehingga mereka berada di alam yang berbeda?”Pak Jansen mengangguk perlahan. “Kurang lebih seperti itu, Roura.”Sion yang sejak tadi diam mulai bertanya, walaupun di sana hanya Roura ya
Bab. 34Marco dan Andre saling bertukar pandang, terkejut mendengar ucapan itu.Namun, Andre segera bersuara lebih dulu."Apa lagi ini? Kau masih ingin menanyakan soal keberadaan tubuh Sion? Kenapa kau begitu penasaran? Dasar gadis aneh!" Matanya menatap tajam penuh kecurigaan. "Aku curiga kau adalah mata-mata dari pesaing kami."Roura langsung menggelengkan kepala. "Tidak! Bukan itu! Justru aku ke sini untuk memberitahu kalau tubuh Sion—"Tapi tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi.Mulut Roura terbungkam.Seolah ada sesuatu yang tak terlihat menghentikannya berbicara.Mata gadis itu membulat karena terkejut. Lalu, ia menyadari sesuatu…Sion muncul di belakangnya.Tangannya yang tak kasat mata menutupi mulut Roura, mencegah gadis itu mengatakan apapun."Tolong jangan katakan apapun pada mereka," bisik Sion, suara dinginnya bergema di kepala Roura."Aku akan melepaskan tanganku j
Bab. 33Pak Jansen tersenyum getir mendengar pertanyaan Roura. Ia berkata dengan nada berat, "Mungkin jika memang Sion tidak ingin bertemu dengan arwah putriku, aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadamu atau kepada siapa pun. Karena aku bisa melihat, ikatan batin di antara Sion dan putriku ternyata memang tidak ada."Roura terdiam, mencoba mencerna jawaban pria tua itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Pak Jansen yang mengusik pikirannya. "Tapi, Pak... kenapa di antara mereka harus ada ikatan batin? Apakah mereka memiliki hubungan darah?"Pak Jansen langsung terdiam, ia mendongak ke atas, mencoba menahan air matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan Liana yang duduk di sampingnya bisa merasakan bahwa suaminya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja."Jansen, apa kau baik-baik saja?" tanya Liana yang langsung berdiri dari duduknya.Pak Jansen hanya diam, wajahnya tampak menegang. Liana meraba-raba udara untuk meraih tangan suaminya, kemudian
Bab. 32Sementara di sisi lain, Roura berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Robin Group. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya, apalagi udara dingin dini hari mulai menusuk kulitnya. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh rembulan yang bersinar redup di atas sana. Hari bahkan hampir pagi. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah, kedua kakinya terasa berat, dan rasa kantuk mulai menyerangnya. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang."Aku benar-benar kehabisan tenaga," gumamnya sembari menghela napas panjang.Roura terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan semakin sunyi, rasa ngeri mulai merayap di pikirannya. Sementara perjalanan menuju kantor Robin Group masih cukup jauh.Angin malam bertiup dingin, menusuk kulitnya hingga membuatnya merapatkan jaket. Setiap bayangan yang bergerak karena hembusan angin terasa mencurigakan, membuatnya semakin waspada.Tiba-tiba, sua
Bab. 30Sion dan Roura terdiam, bersiap mendengarkan apa yang akan Pak Jansen sampaikan. Pria tua itu menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.“Ada alasan kenapa Sion bisa terpisah dari tubuhnya,” ucapnya pelan.Roura mengerutkan kening. “Apa alasannya, Pak Jansen?”Pak Jansen tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit, seolah tengah mengingat sesuatu dari masa lalu. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya, orang ini sangat ingin bertemu dengan Sion, tapi dia tidak bisa... karena mereka sudah berbeda alam,” jawab Pak Jansen lagi.Roura semakin bingung. “Apa maksud Anda? Siapa seseorang itu? Kenapa dia ingin bertemu dengan Sion? Apakah dia juga sudah meninggal sehingga mereka berada di alam yang berbeda?”Pak Jansen mengangguk perlahan. “Kurang lebih seperti itu, Roura.”Sion yang sejak tadi diam mulai bertanya, walaupun di sana hanya Roura ya
Bab. 29Roura menghentikan langkahnya, lalu menatap dalam ke arah Pak Jansen. Pria tua itu hanya mengangkat bahu dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Roura?”Gadis itu menggeleng. “Entahlah, Pak Jansen. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri.”Pak Jansen mengangguk pelan, memahami kebingungan gadis itu. “Aku tahu bagaimana rumitnya pertanyaan di dalam kepalamu. Kalau begitu, ikuti aku saja. Aku akan segera menunjukkan sesuatu. Tidak perlu banyak bertanya sekarang, nanti kau akan mengerti pelan-pelan.”Roura akhirnya mengangguk. Ia mengikuti pria tua itu melangkah melewati lorong rumah sakit yang tenang. Langkah kakinya bergema samar, berpadu dengan suara alat-alat medis yang berbunyi lembut dari berbagai ruangan.Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kamar bernomor 307.Pak Jansen membuka pintunya perlahan.Roura masih terdiam begitu melihat siapa yang t
Bab. 28"Tentu saja, aku akan menjawab semua pertanyaanmu," kata Pak Jansen dengan suara beratnya.Roura langsung tersenyum mendengar jawaban itu. "Terima kasih, Pak Jansen. Lalu apa jawaban Anda? Apa Anda tahu sesuatu tentang Sion?" Tetapi pria tua itu tidak menjawab, ia malah mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam sudah larut, area sekitar Robin Group masih cukup ramai dengan beberapa karyawan lembur yang masih berlalu-lalang.Pak Jansen menatap Roura dan berkata, "Tapi tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk berbicara. Bagaimana kalau kau ikut denganku? Aku akan memberimu semua jawaban yang kau cari."Roura sempat terdiam. Ajakan itu tentu saja berisiko. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia masih harus pulang ke Kota Mayro. Martha pasti akan marah besar karena ia terlambat. Belum lagi kemungkinan bahaya yang bisa terjadi di jalan. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.Roura meng
Bab. 27Sementara ituRoura duduk di sofa ruangan itu, pandangannya menjelajahi ruangan yang tertata rapi. Meja kerja dengan berkas-berkas yang tersusun rapi, juga rak buku yang penuh dengan dokumen, serta hiasan dinding yang minimalis tetapi terlihat mahal. Gadis ini menghela napas panjang, merasa sedikit kosong di tengah keheningan itu."Entahlah, kenapa Sion tidak menemaniku sepanjang hari ini? Bukankah dia yang terus mendesakku untuk bertemu dengan Pak Jansen? Tapi sekarang, di saat aku membutuhkannya, dia malah tidak mau muncul. Dasar hantu menyebalkan."Mata Roura menatap jam dinding yang berdetak perlahan. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10.00 malam. Roura memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gundah. "Aku belum kembali ke Mayro di jam segini. Aku pasti akan pulang telat lagi, dan Martha pasti akan marah padaku. Dia selalu bilang aku bodoh dan tidak bertanggung jawab."Namun,
Bab. 26Mendengar pertanyaan itu, Roura menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia menatap pria tua di depannya yang kini sedang memperbaiki posisi topi kebunnya. "Pak Jansen, perkenalkan saya Roura. Saya datang membawa pesan dari Nyonya Liana. Beliau meminta saya memastikan bahwa Anda baik-baik saja, karena Anda tidak pulang ke rumah seperti biasanya."Pak Jansen menghela napas lega dan tersenyum kecil. "Ah, istri saya memang mudah cemas. Terima kasih sudah menyampaikan pesannya, Nona. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan ini. Jika tidak ada hal lain, mungkin Anda bisa kembali dan memberi tahu dia bahwa saya akan segera pulang."Namun, Roura tetap berdiri tegak. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan jawaban tentang Sion. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi."Sebenarnya, ada hal lain yang ingin saya tanyakan... sesuatu yang sangat penting. Tapi saya kh
Bab. 25Suara bel itu, membuat Roura langsung beranjak dari tempat duduknya dengan penuh semangat. “Nyonya, biar aku saja yang membuka pintu. Mungkin itu suami Anda,” ujar Roura sambil tersenyum penuh harap.Nyonya Liana, yang duduk tenang di kursinya, tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, silakan, Roura.”Roura segera menuju pintu dan membukanya dengan cepat. Namun, ekspresi wajahnya berubah kecewa, ketika melihat siapa yang berdiri di depan. Bukan Pak Jansen, melainkan seorang wanita tua yang tampak seusia dengan Nyonya Liana.Wanita tua itu memicingkan matanya, tampak bingung. “Siapa Anda?” tanyanya dengan nada curiga.Roura sempat kebingungan, namun sebelum ia sempat menjawab, Nyonya Liana yang berada di ruang tamu mengenali suara itu. “Lisa? Apakah itu kamu?” Wanita tua yang ternyata bernama Lisa itu mengangguk. “Iya, ini aku, Liana. Aku melihat lampu depan rumahmu belum menyala. Apa suamimu belum pu