Roura terdiam mendengarkan semua yang pria itu sampaikan, dia sudah menduga, kalau momen ini pasti akan datang cepat atau lambat.“Tapi, pak. Bisakah saya mendapatkan sedikit waktu tambahan? Saya sedang mencoba untuk mengumpulkan uang.” pinta Roura.Pria itu menggeleng dengan tegas, memberikan selembar surat kepada Roura.“Sayangnya kebijakan universitas sangat jelas dalam hal ini. Kami telah memberikan cukup banyak peringatan. Jika pembayaran tidak dilakukan dalam dua minggu, nama Anda akan dikeluarkan dari daftar mahasiswa aktif.”Roura menghela napas, mencoba bernegosiasi. “Tapi saya hampir tidak bisa membayar sewa apartemen, bagaimana saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu sangat singkat?”“Saya mengerti kesulitan Anda, tapi kami juga harus menjalankan kebijakan yang berlaku. Mungkin Anda bisa mempertimbangkan mengambil pinjaman pelajar, atau berbicara dengan keluarga Anda untuk minta bantuan.”
Roura menarik napas dalam, merapikan penampilannya sejenak, lalu mulai melangkah masuk ke area kantor.Sesampainya di dalam gedung, ruangan dalam gedung tersebut memancarkan aura elegansi dan kekuasaan. Lantainya terbuat dari marmer hitam mengkilap dengan pola emas yang seakan dirancang khusus untuk menegaskan status penghuninya. Dindingnya dipenuhi panel kayu mahoni yang dipoles sempurna, dihiasi lukisan-lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Sebuah lampu gantung kristal besar menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan suasana mewah.“Waw!” Roura seakan tersihir dengan kemewahan gedung ini, padahal ini hanya kantor cabang dari menara utama Robin Group.Roura di bimbing masuk ke dalam sebuah ruangan, yang merupakan ruangan tuan Marco.Di tengah ruangan, terdapat meja besar dari kaca berwarna hitam dengan tepi perak, dihiasi ornamen kecil berupa jam antik dengan pena emas. Di su
Namun tidak ada pergerakan apapun di sana, ruangan tetap hening tanpa ada suara dari benda ataupun dari mulut seseorang.Andrew mengurut pelipisnya yang agak pusing, pria tua ini benar-benar menganggap Roura sudah kehilangan akal sehatnya. "Sudah cukup! Marco, tolong usir dia sebelum aku benar-benar kehilangan akal sehatku seperti dia."Marco hanya tertawa, tampaknya ia menikmati tontonan ini, Marco menganggap gadis di hadapannya ini cukup lucu dan menghibur, Marco hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kecil. "Tunggu, ayah. Apa yang salah dengan dia? Memang ada beberapa orang yang suka tepat dalam mengkhayal," ucap Marco."Ayolah, nak. Jangan biarkan ayahmu yang tua ini harus menyelesaikan kekacauan." Andrew memprotes sikap Marco.Roura berdiri di tengah situasi ini, dengan ekspresi tak berdosa, ia mengedipkan mata polos ke arah Marco. "Jadi aku harus keluar?" tanya Roura. Suaranya terdengar seperti
Roura menatap Sion dengan bingung, alisnya bertaut rapat. “Apa maksudmu tadi? Apa yang ingin kau coba katakan?”Sion hanya menghela napas dan mengangkat bahu. “Sudahlah, lupakan saja. Yang lebih penting sekarang, informasi apa yang kau dapat di sana tadi?”Roura menepuk kepala Sion dengan keras, membuatnya mengeluh sambil mengusap tempat yang dipukul. “Rasakan itu! Apa kau tuli atau bagaimana? Kau dengar sendiri tadi, tubuhmu belum ditemukan. Itu berita paling besar yang aku dapatkan!”Sion memutar matanya, menghela napas kesal. “Sudah kuduga, sia-sia saja meminta bantuan darimu.”Mendengar itu, Roura berhenti melangkah, matanya berbalik tajam, dan menatap Sion dengan sengit. “Apa? Sia-sia? Hey, tuan hantu! Aku datang ke sini dengan uangku sendiri, tahu?! Bahkan kau tidak memberiku sepeser pun untuk sekedar naik bus, lihat ini!” Roura mengeluarkan uang yang diberikan Marco, dan melambaikannya di depan wajah Sion
Hujan deras mengguyur Kota Mayro sejak dini hari, membasahi jalanan dan memburamkan kaca jendela apartemen kecil yang ditempati Roura. Di kamar sempitnya, Roura merapikan tas kuliah dengan cepat. Pagi ini dia harus mengejar jadwal kuliah yang sudah menumpuk karena minggu lalu sibuk, dengan pekerjaan di kedai kecil tempatnya bekerja.Setelah memastikan semuanya lengkap, Roura melangkah keluar kamar, berjalan menuju meja makan. Bau roti panggang samar-samar tercium di udara, meski tidak ada tanda-tanda makanan lain yang lebih menggugah selera.“Pagi ayah? ibu?”“Pagi, nak!” sahut ayahnya.Louisa, kakak tirinya, sudah duduk manis di meja makan dengan piring berisi roti panggang dan sepotong daging sapi yang masih mengepul hangat. Dia menggigit kecil daging itu sambil tersenyum puas, matanya tertuju pada layar ponsel.Ibu tirinya Roura berdiri di sudut dapur dengan celemek kusam terikat di pinggang, membawa sebuah piring yang ia letakkan di depan Roura. Piring itu hanya berisi kulit rot
Roura masih terdiam, seolah tersihir oleh wajah tampan Sion. Dalam kesempatan itu, Sion mendekatkan bibirnya untuk mencium Roura."Pergilah!" Roura segera mendorong tubuh Sion hingga terlepas dari dirinya. Membuat pria ini tertawa."Aku pikir kau mau menerima ciumanku, nona." Sion meledek.Roura menghembuskan napas keras, wajahnya masih memerah. Dia menatap Sion dengan kesal."Awas kau berani mencuri ciuman pertamaku!" ancam Roura dengan kesal."Oyah? Jadi kau belum pernah berciuman?" Sion meledek lagi, membuat Roura semakin kesal. "Berhenti meledek ku, Tuan hantu. Pergilah!" Dengan cepat, Roura meraih tasnya dan keluar dari kamar mandi. Tapi bayangan wajah Sion yang begitu dekat tetap terlintas di pikirannya, membuat dadanya berdebar tak menentu.Roura berdiri di depan mesin kopi di sudut universitas, mencoba mengabaikan rambutnya yang masih setengah basah, dan suasana hati yang sudah cuku
"Baiklah aku mendengarkan," jawab Roura menatap Sion kali ini."Kau harus buat poster," Sion memberi saran.Roura kembali terkejut, menatap Sion dengan tatapan datar dan bicara dengan nada tidak percaya. “Maksudmu, aku harus membuat poster? Dengan tulisan besar (Dicari: Kakek dengan Luka Gores di tangan) apa itu idenya?" Sion tidak bisa menahan tawa, tampaknya lebih terhibur daripada tersinggung oleh sindiran Roura. “Itu ide yang bagus, sebenarnya.”“Tidak, itu ide bodoh, tapi aku lupa, kalau sedang berbicara dengan seseorang yang sudah tidak punya tubuh,” balas Roura.Sion menggeleng kepala, tidak sedikit pun terpengaruh oleh komentar sinis Roura. “Kau benar-benar pandai menghiburku, Rou. Ini sebabnya aku memilihmu.”Roura memutar mata dan kembali berjalan. “Ya, aku pasti sangat beruntung karena jadi pilihan mu. Sampai hidupku yang sulit, jadi bertambah susah.”Sion tetap mengikuti di sampingnya, tetap berja
Bab. 15“Ya, aku ingat!”“Siapa? Siapa dia?” desak Sion, sambil mengguncang pundak Roura, seolah-olah jawaban Roura akan menyelesaikan seluruh teka-teki dalam masalahnya.Roura mengerutkan dahi, berpikir keras. Mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat, tato burung hantu dan luka gores pada tangan seorang kakek.“Apa kau ingat kakek-kakek yang kita temui di taman di kota Ravendale?”Sion menatap Roura dengan serius, lalu perlahan mengangguk. “Ya, aku ingat. Kakek dengan senyuman aneh itu kan?”“Tapi aku tidak yakin,” kata Roura sambil menggaruk kepala, membuat rambutnya yang sudah kusut terlihat semakin berantakan. “Tapi kalau tidak salah ingat, aku melihat telapak tangannya diperban. Dan tato burung hantu di sana. Memang terdengar aneh, dan aku juga merasa tidak yakin jiika memikirkan, dia yang membawa tubuhmu. Tapi … bisa saja, kan?” terka Roura.Sion berdiri tegak, matanya berbinar dengan antusias. “Bagus! Kita punya petunjuk baru. Cepat, Roura, kita harus menemukannya!”R
Bab. 38 Roura menatap Andrew dengan tatapan tidak percaya. "Tapi... aku dengar tadi, jika kau ingin benar-benar melenyapkan Sion dan tidak ingin ia kembali lagi ke tubuhnya." Andrew mengangguk, senyum puas terlukis di bibirnya. "Kau memiliki pendengaran yang baik, Nona. Memang itu yang aku inginkan." "Tunggu sebentar. Bukankah Sion adalah keponakanmu, Tuan Andrew? Lalu kenapa kau menginginkan kematiannya? Seharusnya seorang keponakan memiliki kedudukan yang sama seperti seorang putra kandung," ucap Roura. Andrew tertawa renyah, suara tawanya menggema di dalam ruangan yang remang-remang itu. "Aku menginginkan kematiannya?" "Hey! Sepertinya kau masih belum mengerti, Nona. Sion itu sudah mati, jadi aku bukan menginginkan kematiannya. Aku justru ingin dia kembali ke alam baka dengan tenang." "Tapi... bukankah dia masih bisa hidup kembali jika dia bisa kembali ke tubuhnya," jawab Roura dengan suara
Bab. 37Roura menghentikan langkah, matanya menatap tajam ke arah Andrew yang berdiri menjulang di hadapannya. Tawaran pria itu terlalu menggiurkan, tetapi juga mencurigakan."Apa yang Anda bilang tadi? Anda akan memberikan berapa pun yang aku minta?" tanya Roura.Andrew mengangguk dengan penuh keyakinan. "Tentu saja. Berapa pun yang kau butuhkan, tinggal kau sebut saja."Roura terkekeh kecil, ada nada geli dalam tawanya. "Oh ya ampun, ada apa ini? Biasanya Anda sangat galak dan tidak menyukaiku, tapi kenapa tiba-tiba berubah jadi baik?"Andrew melangkah lebih dekat, ekspresinya tetap tenang namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. "Karena ini adalah kesempatan yang saling menguntungkan, Nona. Jika kau menerima penawaranku, kita berdua akan mendapatkan apa yang kita inginkan."Roura menyipitkan mata, tatapannya penuh kewaspadaan. "Penawaran apa yang Anda tawarkan kepadaku?""Ikutlah denganku dulu. Aku akan me
Bab. 36Roura mendekatkan telinganya ke mulut ayahnya. "Aku siap mendengarkannya, Ayah. Ada hubungan apa ibu dengan seseorang bernama Elisa itu?" "Ibumu... Dia..."Namun sebelum ayahnya sempat menyelesaikan ucapannya, napasnya kembali tersengal dan monitor jantung mulai berbunyi tak beraturan."Ayah! Ada apa, ayah?" Roura sangat panik.Melihat kondisi ayahnya, Roura langsung berlari ke luar untuk mencari bantuan. "Suster! Tolong ayahku!" teriak Roura.Beberapa petugas medis segera menuju ke arahnya, dan segera mengikuti langkah gadis ini. "Maaf, Nona, Anda harus keluar sekarang!" ucap Suster, ketika melihat kondisi pasiennya.Beberapa petugas medis lain menghampiri, memaksa Roura mundur dari sana. Sementara dokter-dokter itu segera melakukan tindakan darurat. Kini Roura hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan itu, ia tidak tahu harus berbuat apa kali ini, sungguh ia sudah sangat bi
Bab. 35Roura terlihat gemetar mendengar ucapan Louisa, dan Sion bisa melihat bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Saat Roura akhirnya menutup telepon, wajahnya tampak pucat.Sion langsung bertanya dengan cepat, "Ada apa, Roura?"Roura menelan ludah, suaranya bergetar saat menjawab, "Ayahku... Louisa bilang dia sedang di rumah sakit sekarang... dan kondisinya kritis."Sion terkejut, "Apa? Jadi ayahmu sakit?"Roura mengangguk cepat, "Benar. Aku harus segera ke rumah sakit sekarang juga!"Sion menatapnya dengan ekspresi serius. "Baiklah, aku akan menemanimu. Kita harus segera pergi dari sini."Tanpa membuang waktu, Roura langsung berlari menuju halte bus dan pergi meninggalkan tempat itu.*Setelah melakukan perjalanan hampir dua jam, Roura akhirnya tiba di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia segera menuju ruang ICU dengan langkah tergesa-gesa. Di ruang tunggu, ia melihat Louisa dan Martha sedang du
Bab. 34Marco dan Andre saling bertukar pandang, terkejut mendengar ucapan itu.Namun, Andre segera bersuara lebih dulu."Apa lagi ini? Kau masih ingin menanyakan soal keberadaan tubuh Sion? Kenapa kau begitu penasaran? Dasar gadis aneh!" Matanya menatap tajam penuh kecurigaan. "Aku curiga kau adalah mata-mata dari pesaing kami."Roura langsung menggelengkan kepala. "Tidak! Bukan itu! Justru aku ke sini untuk memberitahu kalau tubuh Sion—"Tapi tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi.Mulut Roura terbungkam.Seolah ada sesuatu yang tak terlihat menghentikannya berbicara.Mata gadis itu membulat karena terkejut. Lalu, ia menyadari sesuatu…Sion muncul di belakangnya.Tangannya yang tak kasat mata menutupi mulut Roura, mencegah gadis itu mengatakan apapun."Tolong jangan katakan apapun pada mereka," bisik Sion, suara dinginnya bergema di kepala Roura."Aku akan melepaskan tanganku j
Bab. 33Pak Jansen tersenyum getir mendengar pertanyaan Roura. Ia berkata dengan nada berat, "Mungkin jika memang Sion tidak ingin bertemu dengan arwah putriku, aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadamu atau kepada siapa pun. Karena aku bisa melihat, ikatan batin di antara Sion dan putriku ternyata memang tidak ada."Roura terdiam, mencoba mencerna jawaban pria tua itu. Ada sesuatu dalam kata-kata Pak Jansen yang mengusik pikirannya. "Tapi, Pak... kenapa di antara mereka harus ada ikatan batin? Apakah mereka memiliki hubungan darah?"Pak Jansen langsung terdiam, ia mendongak ke atas, mencoba menahan air matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan Liana yang duduk di sampingnya bisa merasakan bahwa suaminya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja."Jansen, apa kau baik-baik saja?" tanya Liana yang langsung berdiri dari duduknya.Pak Jansen hanya diam, wajahnya tampak menegang. Liana meraba-raba udara untuk meraih tangan suaminya, kemudian
Bab. 32Sementara di sisi lain, Roura berjalan dengan langkah cepat menuju kantor Robin Group. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya, apalagi udara dingin dini hari mulai menusuk kulitnya. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh rembulan yang bersinar redup di atas sana. Hari bahkan hampir pagi. Waktu di ponselnya menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tubuhnya sudah terlalu lelah, kedua kakinya terasa berat, dan rasa kantuk mulai menyerangnya. Namun, ia tidak bisa berhenti sekarang."Aku benar-benar kehabisan tenaga," gumamnya sembari menghela napas panjang.Roura terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan semakin sunyi, rasa ngeri mulai merayap di pikirannya. Sementara perjalanan menuju kantor Robin Group masih cukup jauh.Angin malam bertiup dingin, menusuk kulitnya hingga membuatnya merapatkan jaket. Setiap bayangan yang bergerak karena hembusan angin terasa mencurigakan, membuatnya semakin waspada.Tiba-tiba, sua
Bab. 30Sion dan Roura terdiam, bersiap mendengarkan apa yang akan Pak Jansen sampaikan. Pria tua itu menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.“Ada alasan kenapa Sion bisa terpisah dari tubuhnya,” ucapnya pelan.Roura mengerutkan kening. “Apa alasannya, Pak Jansen?”Pak Jansen tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke arah jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit, seolah tengah mengingat sesuatu dari masa lalu. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengannya, orang ini sangat ingin bertemu dengan Sion, tapi dia tidak bisa... karena mereka sudah berbeda alam,” jawab Pak Jansen lagi.Roura semakin bingung. “Apa maksud Anda? Siapa seseorang itu? Kenapa dia ingin bertemu dengan Sion? Apakah dia juga sudah meninggal sehingga mereka berada di alam yang berbeda?”Pak Jansen mengangguk perlahan. “Kurang lebih seperti itu, Roura.”Sion yang sejak tadi diam mulai bertanya, walaupun di sana hanya Roura ya
Bab. 29Roura menghentikan langkahnya, lalu menatap dalam ke arah Pak Jansen. Pria tua itu hanya mengangkat bahu dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Roura?”Gadis itu menggeleng. “Entahlah, Pak Jansen. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri.”Pak Jansen mengangguk pelan, memahami kebingungan gadis itu. “Aku tahu bagaimana rumitnya pertanyaan di dalam kepalamu. Kalau begitu, ikuti aku saja. Aku akan segera menunjukkan sesuatu. Tidak perlu banyak bertanya sekarang, nanti kau akan mengerti pelan-pelan.”Roura akhirnya mengangguk. Ia mengikuti pria tua itu melangkah melewati lorong rumah sakit yang tenang. Langkah kakinya bergema samar, berpadu dengan suara alat-alat medis yang berbunyi lembut dari berbagai ruangan.Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah kamar bernomor 307.Pak Jansen membuka pintunya perlahan.Roura masih terdiam begitu melihat siapa yang t