Se connecterTulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.
Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan. "Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja. Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam. Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali. "Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah. Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya. Bzzt! Bzzt! Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasaran. Siapa yang mengirim pesan tengah malam begini? Ia membuka aplikasi W******p. Sebuah pesan dari nomor dengan kode area Bandung terpampang di layar. "Halo, Gilbert. Ini Sheilla. Aku minta nomor kamu sama Seta. Maaf ya ganggu malem-malem. Lagi nggak tidur kan?" Jantung Gilbert langsung berdegup kencang. Napasnya tercekat sejenak. Matanya membaca ulang pesan itu dua kali untuk memastikan ia tidak salah baca. Sheilla. Ibu tiri Seta. Wanita yang sudah mengisi pikirannya hampir setiap hari sejak pertemuan pertama mereka. Gilbert duduk tegak, tiba-tiba semua rasa kantuk dan lelahnya menguap begitu saja. Tangannya sedikit bergetar saat mengetik balasan. "Halo, Kak Sheilla. Nggak apa-apa kok, aku memang belum tidur. Baru selesai ngerjain tugas. Ada yang bisa aku bantu?" Ia menekan tombol send dengan jantung masih berdebar keras. Pesan terkirim. Gilbert menatap layar dengan tegang, menunggu balasan. Tiga titik indikator mengetik muncul di layar. "Oh bagus kalau belum tidur. Aku mau tanya-tanya soal fotografi sebenarnya. Kamu kan kemarin bilang hobi motret-motret ya? Kebetulan aku lagi ada proyek desain interior, butuh foto produk yang bagus. Bisa kasih saran nggak?" Gilbert tersenyum lega. Jadi ini soal pekerjaan. Wajar. "Bisa, Kak. Mau tanya apa? Aku seneng kok bisa bantu." "Makasih ya, Gilbert. Aku tuh pengen foto hasil desain interior aku, tapi bingung angle sama lightingnya. Kamu punya tips nggak?" Obrolan dimulai dengan topik fotografi yang aman dan profesional. Gilbert menjelaskan tentang rule of thirds, golden hour, dan pentingnya natural lighting untuk fotografi interior. Sheilla merespons dengan antusias, sesekali bertanya lebih detail. Waktu berlalu tanpa terasa. Topik pembicaraan mulai melebar. Dari fotografi, mereka beralih ke desain, lalu ke film dan musik. "Kamu suka musik apa, Gilbert?" "Aku suka indie rock sama alternative, Kak. The Strokes, Arctic Monkeys, gitu-gitu. Kakak sendiri?" "Wah, sama dong! Aku juga suka Arctic Monkeys. Favorit aku 'Do I Wanna Know'. Lagunya enak banget buat dengerin malem-malem." Gilbert tersenyum membaca pesan itu. Ada kesamaan selera di antara mereka. "Itu juga lagu favorit aku, Kak! Liriknya dalam banget." Perbincangan mengalir natural, seperti dua teman lama yang sudah saling kenal bertahun-tahun. Sheilla bercerita tentang proyek desain terbarunya, klien yang cerewet, dan kepuasan saat melihat hasil kerja yang sempurna. Gilbert berbagi tentang kehidupan kuliahnya, dosen killer, dan cita-citanya di masa depan. Pukul menunjuk dua belas lewat empat puluh lima menit. Mereka sudah ngobrol hampir satu setengah jam. Tiba-tiba nada obrolan Sheilla berubah menjadi lebih serius. "Gilbert, boleh aku cerita sesuatu?" Gilbert menatap layar dengan jantung berdebar. "Boleh, Kak. Apa?" Ada jeda beberapa detik sebelum pesan berikutnya masuk. "Kadang aku merasa kesepian. Suamiku sibuk banget. Dia sering ke luar kota, seminggu bisa cuma pulang sekali dua kali. Kalau di rumah pun dia lebih banyak di ruang kerja. Aku ngerti sih dia harus kerja keras, tapi ya... kadang aku butuh didengar juga." Gilbert membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa iba, tapi juga ada sesuatu yang berbahaya—harapan kecil yang mulai tumbuh di sudut hatinya. "Maaf dengernya, Kak. Pasti berat ya. Tapi Kakak hebat kok, tetap kuat dan produktif dengan pekerjaan Kakak sendiri. Aku yakin suami Kakak juga sayang sama Kakak, cuma mungkin dia nggak terlalu pandai ngungkapinnya." "Terima kasih, Gilbert. Kamu pengertian banget ya. Jarang lho ada cowok semuda kamu yang se-mature ini. Biasanya anak-anak seumuran kamu kan masih suka main-main, nggak serius." Pipi Gilbert terasa panas membaca pujian itu. "Ah, nggak juga kok, Kak. Aku juga masih belajar jadi dewasa. Cuma kebetulan Ibu aku dulu sering ngajarin buat peka sama perasaan orang lain." "Ibumu pasti bangga punya anak seperti kamu." Gilbert tersenyum sedih. Ia teringat ibunya yang sudah meninggal lima tahun lalu karena sakit. "Semoga, Kak. Ibu aku sudah nggak ada. Tapi aku berusaha jadi orang yang dia banggakan." Kali ini Sheilla yang membalas dengan pesan panjang penuh empati dan dukungan. Mereka saling berbagi cerita tentang kehilangan, kesepian, dan perjuangan hidup. Obrolan menjadi sangat personal dan dalam. Tanpa sadar, Gilbert mulai merasakan koneksi emosional yang kuat dengan Sheilla. Bukan hanya ketertarikan fisik, tapi ada ikatan di level yang lebih dalam understanding, comfort, companionship. Jam terus berdetak. Pukul satu lewat tiga puluh menit. Lalu dua lewat lima belas menit. Keduanya seperti tidak ingin mengakhiri percakapan. "Aku seneng banget bisa ngobrol sama kamu, Gilbert. Rasanya lega bisa cerita tanpa dihakimi." "Aku juga seneng, Kak. Kakak orang yang menarik. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari Kakak." "Jangan terlalu formal dong. Panggil aku Sheilla aja kalau chat. Nggak usah 'Kakak' terus. Biar berasa lebih friendly." Gilbert ragu sejenak. Tapi akhirnya mengetik balasan. "Oke... Sheilla." Mengetik nama itu tanpa embel-embel terasa aneh tapi juga intim. "Nah gitu dong! Lebih enak kan?" Mereka tertawa sendiri-sendiri di balik layar ponsel masing-masing. Waktu terus berlalu hingga pukul dua lewat tiga puluh menit dini hari. Mata Gilbert sudah mulai terasa berat, tapi ia tidak ingin berhenti ngobrol. Akhirnya Sheilla yang mengakhiri duluan. "Gilbert, aku harus tidur nih. Besok pagi ada meeting sama klien jam sembilan. Tapi terima kasih ya sudah mau mendengarkan curhatanku. Aku merasa... nyaman bicara denganmu. Mungkin terlalu nyaman. Selamat tidur, Gilbert." Jantung Gilbert berhenti sedetik membaca kalimat itu. "Terlalu nyaman." Apa maksudnya? Jari-jarinya mulai mengetik berbagai balasan. Tapi setiap kali selesai mengetik, ia menghapusnya lagi. Terlalu agresif. Terlalu dingin. Terlalu formal. Tidak ada yang terasa pas. Akhirnya setelah lima kali menghapus dan menulis ulang, ia mengetik balasan sederhana. "Sama-sama, Sheilla. Kapan pun butuh teman bicara, aku siap." Ia menatap layar beberapa detik, ragu. Lalu akhirnya menekan tombol send. Pesan terkirim. Gilbert menjatuhkan ponselnya ke atas dada sambil berbaring di tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar yang gelap. Cahaya bulan dari luar jendela menerobos celah gorden. Napasnya terdengar berat di tengah kesunyian malam. "Apa yang sedang terjadi padaku?" bisiknya pelan pada dirinya sendiri. Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu ini salah. Sheilla adalah istri orang, ibu tiri sahabatnya sendiri. Tapi kenapa setiap kali berinteraksi dengannya, Gilbert merasa hidup? Merasa dimengerti? Merasa ada yang spesial? Bzzt! Ponsel di dadanya bergetar lagi. Gilbert cepat-cepat mengangkatnya. Satu pesan terakhir dari Sheilla. "Terima kasih, Gilbert. Good night. " Emoji bulan sabit di akhir pesan itu terasa sangat personal. Gilbert tersenyum dalam gelap. "Good night, Sheilla." Ia memeluk ponselnya erat-erat, seolah memeluk harapan yang tidak seharusnya ada. Dalam kegelapan kamar kost yang sempit itu, sesuatu yang berbahaya mulai tumbuh—perasaan yang akan mengubah segalanya.Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka







