Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-11-01 13:32:22

"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.

Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"

David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab.

"Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"

Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."

David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"

Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"

David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."

Gilbert hanya tersenyum tipis mendengar nasihat David. Kalau saja temannya itu tahu betapa rumitnya situasi yang sedang ia hadapi.

Mereka berpisah di parkiran. Gilbert mengeluarkan ponselnya. Layar menampilkan satu pesan masuk dari Sheilla tiga puluh menit yang lalu.

*"Gilbert, kamu ada waktu sore ini? Aku pengen ketemu, ada yang mau aku tanyain soal fotografi. Gimana kalau di kafe Braga? Jam 4 sore? Aku traktir kopi."*

Jantung Gilbert berdebar membaca pesan itu. Pertemuan di luar rumah Seta. Hanya berdua. Tanpa sepengetahuan sahabatnya.

Ia tahu ini berbahaya. Tapi tangannya sudah mengetik balasan.

*"Oke, aku bisa. Jam 4 di kafe mana? Kirim lokasinya ya."*

Pesan terkirim.

Gilbert menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Excited, nervous, guilty—semuanya bercampur menjadi satu.

***

Pukul empat sore tepat. Gilbert sudah duduk di sudut kafe di kawasan Braga. Kafe bergaya vintage dengan dinding bata ekspos, lampu-lampu gantung industrial, dan kursi-kursi kayu antik.

Suasana ramai tapi tidak terlalu berisik. Aroma kopi dan kue-kue panggang memenuhi ruangan. Musik jazz mengalun lembut.

Gilbert duduk sambil memainkan ponselnya dengan gelisah. Ia sudah memesan secangkir americano yang masih mengepulkan uap panas.

Pintu kafe terbuka. Sosok Sheilla muncul dengan dress midi putih broken yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan volume sempurna. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Ia terlihat seperti model majalah fashion.

Gilbert berdiri dari kursinya tanpa sadar. Napasnya tercekat sejenak.

Sheilla tersenyum melihat Gilbert dan berjalan mendekat.

"Hai, Gilbert. Maaf ya kalau aku agak telat. Tadi macet di Dago," sapa Sheilla sambil duduk di kursi berhadapan dengan Gilbert.

Gilbert cepat-cepat duduk kembali. "Nggak apa-apa kok, Kak. Aku juga baru sampai."

Sheilla meletakkan tas branded-nya di kursi samping dan menatap Gilbert dengan senyuman hangat. "Kamu udah pesen? Aku mau pesen dulu ya."

Seorang pelayan mendekat mengambil pesanan. Sheilla memesan caramel macchiato dan sepotong red velvet cake.

Setelah pelayan pergi, Sheilla bersandar santai. "Gimana kuliahmu hari ini? Capek?"

Gilbert menggeleng sambil tersenyum. "Nggak terlalu. Cuma ngantuk aja tadi di kelas Manajemen Keuangan. Dosennya ngebosenin."

Sheilla tertawa kecil, suaranya merdu. "Dosen killer ya? Dulu aku juga punya dosen kayak gitu. Ngomongnya monoton, bikin mata langsung berat."

Mereka tertawa bersama. Suasana canggung di awal perlahan mencair.

Pesanan Sheilla datang. Pelayan meletakkan cangkir dan piring kue dengan hati-hati di atas meja.

"Jadi, aku pengen tanya tentang teknik foto produk interior. Kemarin aku nyoba sendiri tapi hasilnya kurang maksimal. Lightingnya nggak balance."

Gilbert mengangguk mengerti. "Biasanya kalau foto interior, natural lighting itu penting banget, Kak. Kalau bisa waktu golden hour, sekitar jam 4-5 sore gitu. Terus komposisinya jangan terlalu simetris, biar ada kesan dinamis."

Sheilla mendengarkan dengan serius sambil sesekali mengangguk. "Oh gitu. Aku kemarin malah foto siang bolong. Pantesan hasilnya terlalu terang dan flat."

Mereka berbincang tentang fotografi selama beberapa menit. Tapi perlahan topik pembicaraan bergeser menjadi lebih personal.

"Gilbert, aku boleh tanya sesuatu yang lebih pribadi nggak?" tanya Sheilla sambil menatap Gilbert dengan mata teduh.

Gilbert menelan ludah. "Boleh, Kak."

Sheilla memutar-mutar cangkirnya perlahan. "Kamu itu... kenapa bisa se-mature ini? Maksudku, cowok seumuranmu biasanya masih childish, suka nge-party, hal-hal kayak gitu. Tapi kamu beda."

Gilbert tersenyum pahit. "Mungkin karena keluarga aku broken home. Ibu aku meninggal pas aku SMA kelas 2. Bapak aku nikah lagi setahun kemudian. Sejak itu aku tinggal sendiri, ngekost, kerja part time sambil kuliah. Jadi mau nggak mau harus cepet dewasa."

Wajah Sheilla melembut mendengar cerita itu. "Maaf ya, aku jadi buka luka lama kamu."

Gilbert menggeleng cepat. "Nggak apa-apa, Kak. Justru aku jarang cerita ini ke orang. Tapi entah kenapa kalau sama Kakak, aku merasa nyaman aja."

Mata mereka bertemu dalam tatapan yang lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—pemahaman, empati, koneksi.

Sheilla menarik tangannya kembali dan menyeruput kopinya untuk menyembunyikan gugup.

"Aku juga punya mimpi-mimpi yang tertunda, Gilbert," ucapnya pelan. "Dulu aku pengen banget punya studio desain yang besar, terkenal. Tapi setelah nikah... semuanya berubah. Aku harus ngikutin kemana suamiku pindah, harus atur jadwal kerja sesuai kebutuhan dia. Kadang aku merasa kehilangan diriku sendiri."

Gilbert mendengarkan dengan penuh perhatian. "Tapi Kakak tetap kerja kan? Punya studio sendiri?"

Sheilla tersenyum getir. "Iya, tapi nggak sebesar yang aku impikan. Dan kadang aku merasa... kesepian. Punya segalanya tapi merasa hampa."

Hening sejenak. Hanya terdengar musik jazz dan suara obrolan samar dari meja-meja lain.

"Aku mengerti perasaan itu, Kak," kata Gilbert pelan. "Merasa kesepian meski dikelilingi orang."

Sheilla menatap Gilbert dengan mata berkaca-kaca. "Makanya aku seneng bisa ngobrol sama kamu. Kamu ngerti."

Mereka terus ngobrol hingga tanpa sadar waktu sudah menunjuk pukul enam sore. Langit di luar mulai gelap.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Air hujan mengguyur jalanan Braga dengan lebat.

"Waduh, hujan gede," ucap Sheilla sambil melirik keluar jendela.

Gilbert melihat jam tangannya. "Motor aku parkir agak jauh. Harus lari kayaknya."

Sheilla berdiri dari kursinya. "Aku bawa mobil. Tapi parkirnya juga agak jauh dari pintu. Kamu bawa payung?"

Gilbert menggeleng. "Nggak bawa, Kak."

Sheilla mengeluarkan payung lipat dari tasnya. "Yuk, kita pake payung aku bareng. Aku anter kamu sampe motor."

Mereka membayar bill di kasir lalu berjalan keluar kafe. Sheilla membuka payungnya.

Hujan mengguyur jalanan dengan deras. Mereka berjalan berdekatan di bawah payung kecil itu. Bahu mereka saling bersentuhan. Aroma parfum Sheilla bercampur dengan aroma hujan yang segar.

Gilbert merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Kehangatan tubuh Sheilla terasa sangat nyata di sampingnya.

Tiba-tiba Sheilla melangkah di genangan air yang licin. Kakinya tergelincir. Tubuhnya hampir jatuh.

"Ah!"

Refleks Gilbert menangkap lengan Sheilla dengan cepat, menariknya mendekat agar tidak terjatuh. Payung hampir terjatuh tapi Gilbert berhasil memegangnya dengan tangan satunya.

Sheilla menabrak dada Gilbert. Mereka berdiri diam dalam posisi berdekatan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Napas Sheilla yang hangat menyentuh pipi Gilbert. Mata mereka bertemu dalam tatapan intens.

Hujan terus turun mengguyur sekeliling mereka. Tapi rasanya waktu berhenti di momen itu.

"Kita... tidak seharusnya seperti ini," bisik Sheilla pelan, suaranya bergetar.

Tapi tangannya tidak melepaskan lengan Gilbert. Jemarinya malah sedikit meremas kain kemeja Gilbert.

Gilbert menatap mata Sheilla dalam-dalam. Mata yang teduh tapi juga penuh gejolak.

"Aku tahu, Kak..." ucapnya pelan. "Tapi kenapa aku tidak bisa berhenti ingin bertemu Kakak lagi?"

Sheilla menarik napas panjang. Dadanya naik turun. Ia melepaskan pegangannya pada Gilbert dan melangkah mundur, membuat jarak di antara mereka.

"Pulang dulu, Gilbert. Ini sudah terlalu berbahaya."

Suaranya tegas tapi ada gemetar di dalamnya.

Sheilla berbalik dan berjalan cepat menuju mobilnya yang terparkir beberapa meter di depan. Pintu mobil terbuka. Sheilla masuk dengan cepat tanpa menoleh lagi. Mesin mobil dihidupkan.

Lampu rem menyala merah di tengah hujan saat mobil melaju meninggalkan parkiran.

Gilbert berdiri sendirian di tengah hujan dengan payung yang masih terbuka. Air hujan memercik membasahi sepatunya. Tubuhnya basah setengah.

Tapi ia tidak bergerak. Matanya menatap kosong ke arah mobil Sheilla yang semakin menjauh.

Di kepalanya bergejolak jutaan pertanyaan. Di dadanya bergejolak ribuan perasaan yang tidak bisa ia terjemahkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?" gumamnya pelan, suaranya tertelan suara hujan yang deras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 94

    Sore itu Gilbert duduk di kafe langganannya dekat kampus, laptop terbuka dengan beberapa file editing foto yang sedang ia kerjakan. Ia sengaja datang lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu Kevin yang tadi pagi tiba-tiba mengajaknya ngopi.Ponselnya bergetar. Pesan dari Kevin:Gue udah sampai parkiran. Sebentar lagi masuk.Gilbert membalas dengan emoji jempol, lalu kembali fokus pada layar.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka. Kevin masuk dengan senyum lebar yang entah kenapa terlihat… mencurigakan. Dan di sampingnya, berjalan seorang perempuan muda yang jelas lebih muda dari mereka.Gilbert mengerutkan kening. Dia tidak ingat Kevin bilang akan membawa orang lain.“Bro! Sorry lama!”Kevin menghampirinya dengan antusias berlebihan, dan perempuan muda itu mengikuti dengan langkah sedikit gugup.Gilbert berdiri sopan, menutup laptop.“Tidak apa-apa. Gue juga baru sampai.”Lalu dia melirik ke perempuan yang berdiri di samping Kevin dengan canggung. Tingginya sekit

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 93

    Kampus Universitas Parahyangan di sore hari biasanya ramai dengan mahasiswa yang keluar masuk gedung fakultas. Gilbert baru saja selesai bertemu dengan Profesor Hendra untuk finalisasi tugas akhirnya. Ia berjalan menuju parkiran dengan tas ransel di punggung dan ponsel di tangan, tersenyum membaca pesan dari Sheilla.“Bro! Gilbert!”Suara familiar memanggilnya dari sisi kanan. Gilbert menoleh dan melihat Kevin berlari kecil menghampirinya dengan senyum lebar.Kevin Hartanto. Teman satu angkatan sekaligus teman dekat Seta. Tinggi, berpostur atletis, selalu memakai snapback dan hoodie meskipun cuaca panas.“Kevin! Lama nggak ketemu.”Gilbert tersenyum, berhenti dan menunggu Kevin sampai.“Iya! Lu ke mana aja, bro? Udah seminggu nggak kelihatan. Group chat juga lu jarang reply. Gue pikir lu menghilang dari muka bumi.”Nada Kevin bercanda, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.Gilbert menggaruk tengkuk, mencari alasan yang masuk akal.“Sibuk di studio, Kev. Lagi banyak project. Client

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 92

    Apartemen Sheilla dipenuhi aroma masakan Italia yang harum. Sheilla sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sementara Gilbert membantu menata meja dengan teliti. Hari ini adalah hari penting. Rania akan datang untuk secara resmi bertemu Gilbert.“Kamu gugup?”Sheilla bertanya sambil mengaduk saus pasta.Gilbert yang sedang melipat serbet dengan rapi menghentikan gerakannya sejenak.“Sedikit. Rania sahabat terbaikmu. Pendapat dia penting.”Sheilla tersenyum, berjalan mendekat dan mengecup pipi Gilbert lembut.“Dia bakal suka kamu. Aku yakin.”“Aku harap.”Gilbert menarik napas dalam, melanjutkan pekerjaannya.Tepat pukul tujuh malam, bel apartemen berbunyi. Gilbert refleks menegakkan postur dan merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi.Sheilla membuka pintu. Rania berdiri di sana dengan dress hitam yang stylish, heels merah, dan senyum lebar yang sedikit intimidating.“Halo sayang!”Rania memeluk Sheilla, lalu matanya langsung mencari Gilbert yang berdiri di ruang makan.“D

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 91

    Ketukan pintu apartemen Sheilla terdengar dengan pola yang familiar. Tiga ketukan cepat, jeda, dua ketukan lagi. Kode yang hanya digunakan satu orang.Rania.Sheilla membuka pintu, dan di sana berdiri sahabatnya sejak kuliah. Rania Kusuma. Tiga puluh empat tahun. Rambut sebahu dengan highlight karamel. Mengenakan blazer pink fuchsia di atas jeans hitam dan heels. Kacamata hitam besar bertengger di atas kepala. Membawa dua cup coffee dan paper bag yang jelas berisi pastry."Halo sayang! Gue bawa ammunition. Coffee dan croissant. Karena dari suara lo di telepon tadi pagi, kayaknya kita butuh serious girl talk."Rania langsung masuk tanpa menunggu undangan, kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.Sheilla menutup pintu, tersenyum melihat energi Rania yang selalu infectious."Thanks, Ran. Kamu emang yang terbaik."Mereka duduk di sofa, Rania mendistribusikan coffee dan croissant sebelum menatap Sheilla dengan tatapan investigatif."Oke. Spill. Lo bilang ada big news. Dan dari tone

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 90

    Gedung firma hukum Prasetya & Associates berdiri megah di kawasan bisnis pusat kota Bandung. Sheilla berdiri di depan pintu kaca besar, tas tangan di genggamannya berisi map tebal penuh bukti-bukti yang sudah dia kumpulkan dengan teliti. Napasnya ditarik dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar keras.Ini adalah langkah besar. Langkah yang akan mengubah hidupnya selamanya.Tapi dia siap. Sangat siap.Sheilla mendorong pintu, melangkah masuk ke lobby yang elegan dengan lantai marmer mengkilap dan resepsionis yang tersenyum profesional.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”Resepsionis muda itu bertanya dengan ramah.“Saya ada janji dengan Pak Carlos Prasetya. Jam sepuluh. Atas nama Sheilla Hartanto.”“Sebentar, Bu.”Resepsionis mengecek jadwal di komputer, lalu mengangguk.“Silakan naik ke lantai lima, ruangan lima nol dua. Pak Carlos sudah menunggu.”“Terima kasih.”Sheilla berjalan ke lift dengan langkah yang lebih mantap dari yang dia rasakan. Dalam lift, dia

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 89

    Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah gorden apartemen Sheilla yang kini terasa berbeda. Lebih hidup. Lebih hangat. Lebih seperti rumah.Gilbert berdiri di dapur hanya dengan mengenakan celana training, dada telanjangnya menampilkan otot-otot terdefinisi hasil latihan gym yang konsisten. Ia sedang membalik telur dadar di wajan dengan gerakan yang sudah terbiasa, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.Ini sudah minggu ketiga Gilbert praktis tinggal di sini. Pakaiannya menggantung di lemari Sheilla. Sikat giginya ada di kamar mandi. Sepatu-sepatunya berjejer rapi di rak sepatu. Semua tanda bahwa dia bukan lagi sekadar tamu, tapi penghuni.Gilbert tidak mendengar suara langkah kecil yang mendekat dari belakang. Baru ketika dua tangan melingkar di pinggangnya, menariknya ke pelukan hangat, ia tersenyum.Selamat pagi, sayang.Suara Sheilla pelan, masih serak baru bangun tidur, bibirnya menyentuh punggung telanjang Gilbert dengan lembut.Pagi.Gilbert meletakkan spatula, tangann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status