LOGIN"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.
Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?" David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab. "Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?" Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja." David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!" Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?" David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya." Gilbert hanya tersenyum tipis mendengar nasihat David. Kalau saja temannya itu tahu betapa rumitnya situasi yang sedang ia hadapi. Mereka berpisah di parkiran. Gilbert mengeluarkan ponselnya. Layar menampilkan satu pesan masuk dari Sheilla tiga puluh menit yang lalu. *"Gilbert, kamu ada waktu sore ini? Aku pengen ketemu, ada yang mau aku tanyain soal fotografi. Gimana kalau di kafe Braga? Jam 4 sore? Aku traktir kopi."* Jantung Gilbert berdebar membaca pesan itu. Pertemuan di luar rumah Seta. Hanya berdua. Tanpa sepengetahuan sahabatnya. Ia tahu ini berbahaya. Tapi tangannya sudah mengetik balasan. *"Oke, aku bisa. Jam 4 di kafe mana? Kirim lokasinya ya."* Pesan terkirim. Gilbert menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Excited, nervous, guilty—semuanya bercampur menjadi satu. *** Pukul empat sore tepat. Gilbert sudah duduk di sudut kafe di kawasan Braga. Kafe bergaya vintage dengan dinding bata ekspos, lampu-lampu gantung industrial, dan kursi-kursi kayu antik. Suasana ramai tapi tidak terlalu berisik. Aroma kopi dan kue-kue panggang memenuhi ruangan. Musik jazz mengalun lembut. Gilbert duduk sambil memainkan ponselnya dengan gelisah. Ia sudah memesan secangkir americano yang masih mengepulkan uap panas. Pintu kafe terbuka. Sosok Sheilla muncul dengan dress midi putih broken yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya tergerai dengan volume sempurna. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Ia terlihat seperti model majalah fashion. Gilbert berdiri dari kursinya tanpa sadar. Napasnya tercekat sejenak. Sheilla tersenyum melihat Gilbert dan berjalan mendekat. "Hai, Gilbert. Maaf ya kalau aku agak telat. Tadi macet di Dago," sapa Sheilla sambil duduk di kursi berhadapan dengan Gilbert. Gilbert cepat-cepat duduk kembali. "Nggak apa-apa kok, Kak. Aku juga baru sampai." Sheilla meletakkan tas branded-nya di kursi samping dan menatap Gilbert dengan senyuman hangat. "Kamu udah pesen? Aku mau pesen dulu ya." Seorang pelayan mendekat mengambil pesanan. Sheilla memesan caramel macchiato dan sepotong red velvet cake. Setelah pelayan pergi, Sheilla bersandar santai. "Gimana kuliahmu hari ini? Capek?" Gilbert menggeleng sambil tersenyum. "Nggak terlalu. Cuma ngantuk aja tadi di kelas Manajemen Keuangan. Dosennya ngebosenin." Sheilla tertawa kecil, suaranya merdu. "Dosen killer ya? Dulu aku juga punya dosen kayak gitu. Ngomongnya monoton, bikin mata langsung berat." Mereka tertawa bersama. Suasana canggung di awal perlahan mencair. Pesanan Sheilla datang. Pelayan meletakkan cangkir dan piring kue dengan hati-hati di atas meja. "Jadi, aku pengen tanya tentang teknik foto produk interior. Kemarin aku nyoba sendiri tapi hasilnya kurang maksimal. Lightingnya nggak balance." Gilbert mengangguk mengerti. "Biasanya kalau foto interior, natural lighting itu penting banget, Kak. Kalau bisa waktu golden hour, sekitar jam 4-5 sore gitu. Terus komposisinya jangan terlalu simetris, biar ada kesan dinamis." Sheilla mendengarkan dengan serius sambil sesekali mengangguk. "Oh gitu. Aku kemarin malah foto siang bolong. Pantesan hasilnya terlalu terang dan flat." Mereka berbincang tentang fotografi selama beberapa menit. Tapi perlahan topik pembicaraan bergeser menjadi lebih personal. "Gilbert, aku boleh tanya sesuatu yang lebih pribadi nggak?" tanya Sheilla sambil menatap Gilbert dengan mata teduh. Gilbert menelan ludah. "Boleh, Kak." Sheilla memutar-mutar cangkirnya perlahan. "Kamu itu... kenapa bisa se-mature ini? Maksudku, cowok seumuranmu biasanya masih childish, suka nge-party, hal-hal kayak gitu. Tapi kamu beda." Gilbert tersenyum pahit. "Mungkin karena keluarga aku broken home. Ibu aku meninggal pas aku SMA kelas 2. Bapak aku nikah lagi setahun kemudian. Sejak itu aku tinggal sendiri, ngekost, kerja part time sambil kuliah. Jadi mau nggak mau harus cepet dewasa." Wajah Sheilla melembut mendengar cerita itu. "Maaf ya, aku jadi buka luka lama kamu." Gilbert menggeleng cepat. "Nggak apa-apa, Kak. Justru aku jarang cerita ini ke orang. Tapi entah kenapa kalau sama Kakak, aku merasa nyaman aja." Mata mereka bertemu dalam tatapan yang lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—pemahaman, empati, koneksi. Sheilla menarik tangannya kembali dan menyeruput kopinya untuk menyembunyikan gugup. "Aku juga punya mimpi-mimpi yang tertunda, Gilbert," ucapnya pelan. "Dulu aku pengen banget punya studio desain yang besar, terkenal. Tapi setelah nikah... semuanya berubah. Aku harus ngikutin kemana suamiku pindah, harus atur jadwal kerja sesuai kebutuhan dia. Kadang aku merasa kehilangan diriku sendiri." Gilbert mendengarkan dengan penuh perhatian. "Tapi Kakak tetap kerja kan? Punya studio sendiri?" Sheilla tersenyum getir. "Iya, tapi nggak sebesar yang aku impikan. Dan kadang aku merasa... kesepian. Punya segalanya tapi merasa hampa." Hening sejenak. Hanya terdengar musik jazz dan suara obrolan samar dari meja-meja lain. "Aku mengerti perasaan itu, Kak," kata Gilbert pelan. "Merasa kesepian meski dikelilingi orang." Sheilla menatap Gilbert dengan mata berkaca-kaca. "Makanya aku seneng bisa ngobrol sama kamu. Kamu ngerti." Mereka terus ngobrol hingga tanpa sadar waktu sudah menunjuk pukul enam sore. Langit di luar mulai gelap. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Air hujan mengguyur jalanan Braga dengan lebat. "Waduh, hujan gede," ucap Sheilla sambil melirik keluar jendela. Gilbert melihat jam tangannya. "Motor aku parkir agak jauh. Harus lari kayaknya." Sheilla berdiri dari kursinya. "Aku bawa mobil. Tapi parkirnya juga agak jauh dari pintu. Kamu bawa payung?" Gilbert menggeleng. "Nggak bawa, Kak." Sheilla mengeluarkan payung lipat dari tasnya. "Yuk, kita pake payung aku bareng. Aku anter kamu sampe motor." Mereka membayar bill di kasir lalu berjalan keluar kafe. Sheilla membuka payungnya. Hujan mengguyur jalanan dengan deras. Mereka berjalan berdekatan di bawah payung kecil itu. Bahu mereka saling bersentuhan. Aroma parfum Sheilla bercampur dengan aroma hujan yang segar. Gilbert merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Kehangatan tubuh Sheilla terasa sangat nyata di sampingnya. Tiba-tiba Sheilla melangkah di genangan air yang licin. Kakinya tergelincir. Tubuhnya hampir jatuh. "Ah!" Refleks Gilbert menangkap lengan Sheilla dengan cepat, menariknya mendekat agar tidak terjatuh. Payung hampir terjatuh tapi Gilbert berhasil memegangnya dengan tangan satunya. Sheilla menabrak dada Gilbert. Mereka berdiri diam dalam posisi berdekatan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Napas Sheilla yang hangat menyentuh pipi Gilbert. Mata mereka bertemu dalam tatapan intens. Hujan terus turun mengguyur sekeliling mereka. Tapi rasanya waktu berhenti di momen itu. "Kita... tidak seharusnya seperti ini," bisik Sheilla pelan, suaranya bergetar. Tapi tangannya tidak melepaskan lengan Gilbert. Jemarinya malah sedikit meremas kain kemeja Gilbert. Gilbert menatap mata Sheilla dalam-dalam. Mata yang teduh tapi juga penuh gejolak. "Aku tahu, Kak..." ucapnya pelan. "Tapi kenapa aku tidak bisa berhenti ingin bertemu Kakak lagi?" Sheilla menarik napas panjang. Dadanya naik turun. Ia melepaskan pegangannya pada Gilbert dan melangkah mundur, membuat jarak di antara mereka. "Pulang dulu, Gilbert. Ini sudah terlalu berbahaya." Suaranya tegas tapi ada gemetar di dalamnya. Sheilla berbalik dan berjalan cepat menuju mobilnya yang terparkir beberapa meter di depan. Pintu mobil terbuka. Sheilla masuk dengan cepat tanpa menoleh lagi. Mesin mobil dihidupkan. Lampu rem menyala merah di tengah hujan saat mobil melaju meninggalkan parkiran. Gilbert berdiri sendirian di tengah hujan dengan payung yang masih terbuka. Air hujan memercik membasahi sepatunya. Tubuhnya basah setengah. Tapi ia tidak bergerak. Matanya menatap kosong ke arah mobil Sheilla yang semakin menjauh. Di kepalanya bergejolak jutaan pertanyaan. Di dadanya bergejolak ribuan perasaan yang tidak bisa ia terjemahkan. "Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?" gumamnya pelan, suaranya tertelan suara hujan yang deras.Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka







