Aldi duduk berhadapan dengan Marta di depan meja makan yang luas. Sayangnya hanya dua orang saja yang berada di depan meja makan yang luas dan mewah, terbuat dari batu marmer. Aldi selalu membayangkan, jika di dalam rumahnya ada gelak tawa anak kecil, keributan, teriakan anak kecil, pasti akan bahagia sekali, dan bisa menghidupkan suasana rumahnya yang hampa seperti sekarang.“Mas, jangan nginep lagi di rumah Riska dong, masa sejak aku pulang dari Paris, kamu di rumah Cuma sehari saja? Aku kesepian, Mas,” ucap Marta dengan manja.“Makanya punya anak, jadi gak kesepian! Kamu gak kelayaban, ada anak yang akan menemani hari-hari kamu menjadi seorang ibu!” ucap Aldi dengan ketus.“Kenapa bahas anak sih? Kan sudah ada Riska untuk memberikan kamu anak?” ucap Marta.“Ya sudah terima saja kesepianmu itu! Kamu di rumah sepi, tapi di luar hura-hura, foya-foya, cekikak-cekikik sana-sini dengan geng sosialitamu! Ingat, kamu ini perempuan, perempuan yang melawan kodranya sebagai seorang perempuan
Marta semakin geram, sudah satu bulan Aldi masih saja menolak dirinya untuk bercinta. Aldi sering pulang ke rumahnya, akan tetapi pria itu sama sekali tidak mau menyentuh Marta. Tidak ada hasrat pada Marta lagi, entah kenapa Aldi merasakan hal seperti itu, padahal tubuh Marta sangat indah, mungkin di luar sana banyak sekali laki-laki yang ingin menjamah tubuh indah Marta, tapi Aldi sama sekali sudah tidak ada rasa dengan Marta, sedikit pun tidak bangkit bagian inti tubuhnya saat melihat Marta telanjang bulat di depannya. Entah mengapa bisa seperti itu, Aldi pun tidak tahu.Riska benar-benar mengalihkan duninya, yang Aldi rindukan setiap hari adalah Riska, yang selalu bisa mengerti dirinya, menentramkan kegundahan hatinya. Bukan Marta lagi, tapi Riska.Aldi kembali ke ruang kerjanya setelah meeting selesai. Ia sudah ingin cepat-cepat pulang ke rumah Riska. Merindukan makan siang bersama yang kemarin terlewati karena dirinya harus menyelesaikan pekerjaan di luar kantor sampai sore hari.
Marta menatap kepergian Aldi yang tidak mempedulikan dirinya. Masih terngiang ucapan Aldi yang mengatakan bahwa dia sudah tidak ada lagi rasa terhadap dirinya. Sebegitu hinanya Marta, hingga Aldi tega mengatakan hal seperti itu pada dirinya. Marta mengusap air matanya, memaksakan dirinya tersenyum seolah tidak ada yang terjadi hari ini.Ia menguatakan dirinya, pantang bagi Marta untuk rapuh, ia memikirkan cara lain untuk mengembalikan Aldi pada dirinya. Mungkin cara dari Fania akan ia gunakan untuk mengambil hati dan perasaan Aldi lagi.Sedangkan Aldi, dia masih tidak percaya Marta ikut program hamil. Bagi Aldi semua sudah terlambat, karena Marta sudah berhasil menawarkan rasa cintanya. Aldi kembali menemui Riska, perempuan yang bisa mengembalikan moodnya menjadi lebih baik.“Lho, Pak? Katanya pulang ke rumah Mbak Marta? Kok ke sini?” tanya Riska saat membukakan pintu.“Kamu suami pulang malah menyambutnya begitu? Salim kek, cium, atau peluk!” gerutu Aldi.“Pak, kan saya tanya? Malam
Segera Riska berganti baju untuk pergi bersama Aldi. Sebetulnya Aldi tidak suka dengan keramaian, apalagi pasar malam, yang menurutnya hiburan seperti itu hanya untuk orang kelas menengah ke bawah. Bukan untuk orang seperti dirinya yang tergolong kalangan atas, mungkin bisa disebut sultan, karena kekayaan Aldi yang tidak ada habisnya itu. Riska mengenakan kaos dengan rok selutut model A, membuat dirinya terlihat seperti anak SMA. Aldi mengulum senyuman gemas melihat Riska yang terlihat sangat cantik dan seperti anak remaja. “Mau berangkat les ya, Dik?” tanya Aldi. “Les gimana, Pak?” Riska balik tanya pada Aldi. “Kayak anak SMA yang mau berangkat les pakaiannya, apa gak ada pakaian lain? Dress atau gaun gitu? Santai sekali pakaiannya?” protes Aldi. “Mau ke pasar malam, Pak. Bukan mau ke pesta. Yang penting sedap dipandang, rapi, dan kucel,” ujar Riska. “Iya betul, kamu terlihat cantik menggemaskan, ingin sekali memakan kamu sekarang kalau kamu begini,” ujar Aldi. "Pak, jangan git
Aldi memeluk tubuh Riska. Ia tahu bagaimana menderitanya Riska setelah kepergian kedua orang tuanya. Dari hidup berkecukupan, bahkan menjadi orang berada yang mungkin memiliki segalanya, sekarang Riska berada di titik paling bawah, dan bekerja sebagai istri kontrak demi adiknya, supaya kedua adiknya menempuh pendidikan yang layak.“Aku janji, aku akan membahagiakan kamu, Ris. Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu bersamamu,” ucap Aldi dengan mencium puncak kepala Riska.“Tapi, aku tidak janji untuk itu, Mas. Aku sadar diri, sadar posisiku itu apa,” ucap Riska.“Tidak usah memikirkan kontrak pernikahan kita. Aku hanya mau kamu, aku akan ceraikan Marta,” ucap Aldi.Riska mendongakkan kepalanya menatap Aldi yang berani bicara seperti itu. Tidak disangka Aldi berniat untuk menceraikan Marta.“Enggak, jangan lakukan itu, Mas. Aku tidak mau dicap sebagai perebut suami orang. Aku di sini bekerja, aku terima bayaran dari Mbak Marta, aku harus profesional dengan pekerjaanku,” ucap Risk
“Apa kamu jatuh cinta dengan Riska? Kamu tidak salah, Mas, karena itu salahku,” potong Marta.Mereka saling terdiam lagi dengan perasaan masing-masing. Aldi memang akan mengatakan hal tersebut, bahwa dirinya sudah jatuh cinta pada Riska. Akan tetapi melihat keadaan Marta ia tidak tega. Apalagi sampai sekarang masih terlihat raut wajah ketakutan Marta.“Ceritakan padaku, kenapa kamu bilang seperti itu pada Papi?” pinta Aldi.Marta menarik napasnya dalam-dalam. Ia menguatkan hatinya untuk kembali mengingat kejadian dulu, dan berusaha menceritakan semuanya pada Aldi, apa yang terjadi saat dulu.“Dulu, Papi mengatakan sesuatu pada Mami di depanku, dan sampai sekarang masih aku ingat, masih sangat jelas di telingaku kata-kata yang membuat mentalku down sampai sekarang. Mungkin semua sikap laki-laki tidak sama, akan tetapi aku takut itu akan terjadi padaku, karena hukum karma itu nyata,” ucap Marta.“Apa yang dikatakan papi, hingga kamu begini?” tanya Aldi.Namun, Marta tidak menjawab, ia m
“Kenapa, Mas? Kok ditekuk gini wajahnya?” Riska mendekati suaminya yang baru saja pulang pergi bersama Marta. Aldi memasang wajah yang terlihat bingung, seperti sedang memikirkan seuatu.“Eng—enggak apa-apa,” jawabnya.“Aku sudah masak kesukaan mas, mau makan sekarang atau nanti?” tawar Riska.“Aku maunya makan kamu!” Aldi langsung menarik tubuh Riska, membawanya ke pangkuannya. Dengan gemas Aldi menciumi wajah Riska hingga ke leher jenjangnya.“Ah ... geli, Mas .... Mas belum mandi lho?” ucap Riska dengan menahan hasrat yang berhasil dibangunkan oleh Aldi.“Iya mas belum mandi, sekarang aku mau ajak kamu mandi bersama, ayok!” Aldi langsung menggendong tubuh Riska dan membawanya ke kamar mandi.Terjadilah pergumulan panas di dalam kamar mandi, tanpa henti sampai mereka benar-benar puas bersama.“Ahhh ... aku mau ahhh ... mas...!” pekik Riska dengan tubuh bergetar.“Sudah? Puas tidak hmmm?” tanya Aldi.“Sangat,” jawabnya dengan terengah-engah.“Aku belum sampai, ayo duduk di sini.” Ald
Seperti yang dijanjikan Aldi, sore ini Aldi akan mengajak Riska ke mall. Mengajak Riska berbelanja kebutuhannnya, sekalian makan malam dan nonton. Riska langsung keluar rumah saat mendengar klakson mobil Aldi, ia langsung mengunci pintu rumahnya, lalu masuk ke dalam mobil Aldi.“Sudah siap? Cantik sekali istriku?” puji Aldi.“Mas bisa saja, yuk berangkat sekarang?” ajak Riska.“Oke,” jawab Aldi.Aldi mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah mall terbesar di kotanya. Aldi menggamit tangan Riska saat Riska akan turun dari dalam mobilnya.“Mau makan dulu, atau kamu mau beli apa?” tanya Aldi.“Makan boleh, belanja dulu boleh, atau nonton dulu enaknya?”“Kamu ditanya malah tanya balik, Ris? Ya sudah lihat jadwal filmnya dulu yuk?”Karena jadwal filmnya masih beberapa jam lagi, akhirnya Riska memilih untuk belanja. Padahal dia tidak ingin beli ini dan itu, namun Aldi yang menyuruhnya.“Parfum kan masih banyak, Mas? Kenapa ke sini? Habiskan dulu ih, jangan boros!”“Sudah ayo beli lagi.” Aldi m