Share

Bab 5 - Pinky Boy

Cletak!

Aldi menjentikkan jarinya ke kening Riska yang melongo karena mendengar dirinya akan menambahkan uang belanja Riska.

“Awwh ... Bapak!” ringis Riska dengan mengusap keningnya.

“Lagian kamu melongo begitu?” ucap Aldi.

“Ya habisnya uang yang tiga bulan saja masih utuh, ngapain bapak ngasih tambahan uang lagi? Mubazir lho pak?” jawab Riska.

“Aku tidak suka dibantah, Riska! Mau tidak mau kamu harus menerima uang tambahan dari saya, dan mulai sekarang belilah baju yang layak pakai, sepatu, tas, make-up, parfum, dan lainnya! Jangan sampai kosong lagi ini meja rias!” tegas Aldi.

“Memang pakaian saya tidak layak pakai, Pak?” tanya Riska polos dan meneliti pakaian yang ia gunakan. Menurutnya sudah sangat layak pakai, bahkan itu adalah pakaian yang lumayan mahal harganya menurut Riska. “Ini sudah mahal lho, Pak? Saya beli di toko depan sana dekat sama Pasar itu, harganya sudah mahal sekali,” imbuhnya.

“Mahal? Berapa, Riska?” tanya Aldi yang tidak yakin pakaian yang Istri Keduanya pakai itu harganya mahal.

“Du—dua ratus ribu, Pak. Mahal, kan? Saya biasa beli harga lima puluh ribu saja di pasar?” jawabnya polos.

Aldi memijit keningnya, lalu membuang napasnya dengan kasar, berpikir kenapa masih ada perempuan seirit Riska di zaman milenial ini. Jarang sekali Aldi menemukan perempuan yang apa adanya, tidak neko-neko. Bahkan baju dua ratus ribu saja dibilangnya sudah mahal. Padahal bagi seorang Aldi dan Marta untuk membeli satu setel baju saja sudah habis jutaan bahkan puluhan juta.

“Ya sudah biar saya yang belikan pakaian kamu! Kalau nanti dikasih uang pasti belinya di toko pasar lagi!” ujar Aldi gemas. Apalagi melihat wajah Riska yang polos.

“Memangnya harus beli di mana, Pak? Mall atau butik begitu? Haduh ... sayang uangnya, Pak. Dua ratus ribu saja sudah mahal sekali, Pak,” ucapnya.

“Jangan membantah, Riska!” tegasnya. “Saya mau mandi, gerah bicara sama kamu!” tukasnya.

Riska mengangguk, lalu dia meninggalkan kamarnya, dan segera ke dapur menyiapkan sayuran untuk ia masak, untuk makan siang nanti.

^^^

Masih pukul sembilan pagi, pekerjaan Riska sudah selesai semua, menyiapkan sayuran untuk ia masak nanti siang juga sudah selesai. Sebelum memulai masak, ia istirahat sejenak sambil menonton acara Infotaiment di Televisi. Santai sejenak sambil menikmati keripik singkong yang ia beli kemarin di toko sebelah, juga ada kue kering yang ia buat kemarin.

Sementara Aldi masih berdiri di depan cermin setelah mandi. Badannya yang kekar, dada yang bidang, perutnya kotak-kotak bak roti sobek, terpampang jelas di pantulan cermin. Segera Aldi ambil kaos yang Riska siapkan tadi, dan memakainnya. Untung saja Aldi memakai celana pendek.

“Ironis sekali, seorang CEO yang katanya terkenal tegas, angkuh, dingin, sekarang pakai kaos pink, gambarnya Hello Kitty pula? Sudah nikmati saja, Aldi. Hari ini itung-itung kamu kenalan dengan Riska, pendekatan gitu sama istri kedua,” rutuk Aldi sambil melihat dirinya di cermin.

**

Brugh sreet!

Aldi tiba-tiba duduk di sebelah Riska dan mengambil toples yang sedang dipegang oleh Riska.

“Bapak? Ngagetin saja ih!” ucap Riska sedikit terjingkat.

“Lagian serius sekali nonton televisinya? Acara apa sih?” tanya Aldi.

“Biasa, acara gosip, Pak,” jawab Riska.

Riska beralih memandangi Aldi yang memakai kaosnya, berwarna pink dan bergambar Hello Kitty, Aldi hanya memakai kaos dan celana pendek saja, karena baju dan celananya baru saja dicuci Riska. Terlihat jelas Riska menyembunyikan tawa di wajahnya. Riska memang ingin tertawa,  tapi ia tahan, takut suaminya malah marah.

“Kenapa lihat saya begitu, Ris?” tanya Aldi.

“Bapak lucu sekali, pakai pink terlihat menggemaskan,” jawab Riska jujur dan tawanya meledak.

“Ketawamu kayak kuntilanak, Ris!” tukasnya geram.

“Habis lucu dan menggemaskan bapak ini? Pinky boy!” ucapnya dengan gelak tawa.

Bisa-bisanya Riska tertawa terbahak melihat suaminya memakai kaos pink bergambar hello kitty. Yang Aldi tahu Riska gadis pendiam, ternyata dia tidak terlalu pendiam, dan bisa tertawa terpingkal seperti itu di depannya.

“Kamu gemas dengan saya? Kalau gemas sini dekat dengan saya,” ucap Aldi dengan menarik tangan Riska.

“Ih enggak, Pak. Bukan begitu. Jangan begini, Pak,” ucap Riska gugup.

“Memang kenapa? Saya kan suami kamu?” ujar Aldi.

“I—iya, tapi kan tidak begitu juga, Pak?” ucap Riska gugup.

Riska sedikit menggeser tubuhnya, menjauh dari Aldi, karena takut Aldi macam-macam. Padahal enam bulan dia menunggu Aldi supaya memberikan hak batinnya, akan tetapi setelah didekati Aldi, dia tidak keruan rasanya, Riska malah canggung dan ketakutan. Apalagi dia belum pernah merasakan sedekat itu dengan laki-laki.

“Ris, kamu kenapa mau disuruh Marta jadi istri kedua? Kamu masih muda lho?” tanya Aldi.

“Kan bapak sudah tahu alasannya? Kenapa bapak tanya lagi?” jawab Riska.

“Karena ekonomi?”

“Iya itu lebih tepatnya, Pak,” jawabnya.

Aldi melirik Riska yang masih fokus dengan acara televisi yang ditontonnya. Entah kenapa selama enam bulan baru ketemu lagi dengan Riska, pagi ini dia merasa sudah begitu akrab dengan Riska, bahkan Aldi semakin penasaran, ingin mengenal Riska lebih jauh lagi.

“Ris?” panggil Aldi.

Riska sontak menoleh ke arah suaminya itu. “Iya, kenapa, Pak?” sahutnya.

“Kamu yakin mau melakukannya dengan saya? Kamu tidak tahu saya, saya juga tidak tahu kamu, bahkan saya tidak ada perasaan sama kamu, apa kamu mau disentuh oleh laki-laki yang tidak memiliki perasaan apa pun pada dirimu?” tanya Aldi.

“Saya tahu konsekuensinya, Pak,” ucap Riska.

“Bukankah kamu sama saja seperti menjual dirimu, Riska?”

“Kalau menjual diri itu kita melakukan tidak ada ikatan, Pak. Saya sudah dinikahi Bapak, meskipun dengan menikah siri,” jawab Riska.

“Iya betul. Tapi, nikah siri juga harus dengan Wali yang sah, Riska? Bukan seperti kemarin, sewaan Marta semua orangnya. Kita tidak sah kalau melakukan seperti itu. Apa kamu mau, anakmu lahir dengan tidak sah menjadi anak saya? Saya memang ingin anak, saya butuh memiliki keturunan, tapi dari istriku yang sah, bukan istri siri,” ucap Aldi.

Riska mengangguk paham apa yang Aldi jelaskan. Riska membenarkan ucapan suaminya itu, memang kalau anak hasil pernikahan siri, tidak bisa tercantum di catatan sipil, jadi untuk mendapatkan hak apa pun dari ayahnya juga akan dipersulit. Riska semakin memperdalam pikirannya, bagaimana kalau suatu hari nanti Marta hamil? Bagaimana nasib anaknya dengan Aldi nantinya? Pasti akan tersisihkan.

Sejenak mereka diam, hanyut dalam pikirannya masing-masing.

“Ucapan Bapak benar. Kalau anak saya lahir, bukan anak yang sah, terus kalau suatu hari Mbak Marta punya anak dari Bapak, kasihan anak saya,” ucap Riska lirih.

“Kamu baru sadar akan hal itu?” ucap Aldi, yang dijawab oleh anggukkan kepala Riska.

“Baiklah, sekarang aku butuh bantuanmu. Apa kamu mau membantuku, Riska?” tanya Aldi, lagi.

“Bantu apa, Pak? Biar punya anak sekarang? Saya siap kok, Pak,” ucap Riska, polos.

Melihat itu, Aldi menggelengkan kepala. Padahal, baru saja gadis itu sadar kalau nanti anaknya lahir bukan anak yang sah di mata hukum.

Sekarang, kok malah nawarin?

“Apa kamu sudah ingin saya sentuh? Disuruh duduk dekatan saya saja malah menjauh?” 

Ucapan Aldi membuat Riska tersipu. “Jadi, bantuan apa yang harus saya lakukan, Pak?” 

"Bantu aku untuk...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status