“Eh Tuan di sini?” ucap Hasan gugup begitu menyadari sosok atasannya kini berdiri di sebelah Riska.
“Kenapa kalau saya di sini, Hasan?” tanya Aldi, dingin.
“Ya tidak apa-apa, memang harusnya begitu? Kebetulan nih saya bawakan jajanan pasar, buat cemilan Tuan sama Nyonya,” ucap Hasan.
“Hmmm ... terima kasih, ya sudah sana kamu pulang, saya ke kantor agak siangan!” titah Aldi.
“Siap, Tuan! Selamat bersenang-senang, sudah saya duga pasti ketagihan, kan?” gurau Hasan.
“Jangan banyak bicara! Pulanglah!” perintah Aldi sedikit menekan.
Dengan cengar-cengir melihat wajah Bosnya yang lucu, Hasan langsung pergi meninggalkan rumah Riska.
Padahal Hasan masih ingin lama di rumah Riska, untuk sekadar makan jajanan pasar bersama sambil ngopi di teras Riska.
Ya, Riska tidak pernah menyuruh Hasan masuk ke dalam rumah, meskipun ada sesuatu hal yang perlu diperbaiki, entah keran bocor, lampu mati, atau apa,
Riska lebih leluasa memanggil orang ahlinya daripada meminta Hasan untuk memperbaikinya, karena ada tetangga yang mengira Hasan adalah suaminya.
Takut digosipkan yang tidak-tidak.
“Benar dia sering ke sini?” tanya Aldi begitu memastikan Hasan pergi.
“Iya, paling bawakan jajanan begini, atau bubur ayam, habis itu sudah pulang, atau dudukan di sini, di teras,” jawab Riska.
“Oh jadi lama di sininya?” tanya Aldi lagi.
Dia semakin penasaran sedekat apa Asisten pribadinya dekat dengan Riska, “Istri Keduanya”.
“Ya enggak sih, sudah kenapa bahas Mas Hasan sih? Jadi mau ikut belanja sayur tidak? Kalau enggak ya sudah di sini saja, atau Bapak mau pulang?” ujar Riska.
“Oh jadi kamu usir saya? Biar bisa lama-lama dengan Hasan di sini? Saya suami kamu lho, Riska?” ucap Aldi yang seperti orang sedang cemburu.
“Idih bapak ini lucu, lagian kok dihubungkan sama Mas Hasan?” gerutu Riska.
“Panggil dia Hasan saja, tidak usah ada embel-embel Mas!” tegas Aldi dengan sewot.
“Ih bapak, gak sopan dong? Masa aku manggil orang yang lebih tua dari saya dengan nama saja?” protes Riska.
“Ya sudah terserah kamu saja, Riska!” putus Aldi dengan berjalan mendahului Riska.
“Bapak mau ke mana? Perempatan kan sebelah sana? Bukan ke sana, Pak!” teriak Riska yang melihat Aldi salah arah.
“Oh iya,” ucapnya dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal
Aldi berjalan di sisi Riska, sambil bertanya-tanya pada Riska.
Mulai dari soal Riska betah atau tidak tinggal di kawasan sekarang.
Tanya bagaimana tetangganya, baik atau tidak pada Riska, sampai lagi-lagi bertanya soal Hasan!
“Ris,” panggil Aldi.
“Iya, Pak. Kenapa?” tanya Riska.
“Tetangga di sini tahu kamu sudah bersuami?”
Deg!
Riska mengangguk. “Iya, tahu. Malah kadang orang yang belum paham, tahunya Mas Hasan itu suami saya. Tapi, langsung saya jelaskan, kalau Mas Hasan itu asisten Bapak, dan Bapak belum bisa pulang karena masih banyak pekerjaan,” jelanya..
“Mas Hasan lagi?” cebiknya kesal.
“Maksud saya Pak Hasan, Pak,” ucap Riska meralat panggilannya pada Hasan.
“Bagus, mulai sekarang panggil Pak Hasan saja,” ucap Aldi.
“Baik, Pak,” jawab Riska nurut.
Setelahnya, tak ada percakapan lagi.
Untungnya, tak lama keduanya sampai di pangkalan Tukang Sayur.
Sudah banyak ibu-ibu yang sedang belanja.
Riska sendiri menyapa mereka dengan ramah, sambil memilih sayuran dan bahan masakan lainnya yang diperlukan.
“Mbak Riska itu siapa?” tanya tetangganya Riska memulai pembicaraan.
“Oh ini suami saya, Bu,” jawab Riska.
Aldi hanya tersenyum mengangguk ramah menyapa ibu-ibu yang sedang belanja.
“Oh suaminya keren ternyata, pantas Mbak Riskanya makin cantik saja?” puji salah satu tetangga Riska.
“Ibu bisa saja,” ucap Riska menahan malu.
Wanita itu segera membeli beberapa potong ayam dan tempe, lauk favoritnya.
Selesai memilih sayuran dan lainnya, penjual sayur pun menghitung semua belanjaan Riska.
“Totalnya seratus dua puluh satu ribu, Mbak.”
“Baik, Pak.” Riska mengambil dompetnya dan akan membayar belanjaannya, namun dihentikan oleh Aldi.
“Ini saja, Pak. Kembaliannya buat bapak,” ucap Aldi sembari memberikan dua lembar 100 ribu.
“Aduh bapak, ini kembalinya masih banyak sekali, Pak,” ucap Penjual Sayur.
“Sudah tidak apa-apa, ambil saja, Pak.”
“Ya sudah terima kasih, Pak!”
Aldi mengangguk. Dia pun menoleh pada Riska. “Ayo sudah, kan? Sini tas belanjaannya saya bawakan,” ucapnya lembut.
“Ah iya, sudah,” jawab Riska gugup.
“Mari ibu-ibu, saya pulang dulu,” pamitnya, menahan semu merah di wajahnya sembari berjalan di sebelah Aldi yang membawakan tas belanjaannya.
Dalam diam, Aldi juga memperhatikan Riska yang banyak dikenal baik oleh tetangganya.
Tanpa disadari, pria kaya itu semakin menikmati jalan-jalan pagi hari sambil membawa tas belanjaan dan bercerita dengan Riska.
Ternyata Riska enak diajak bicara, tidak seperti yang Aldi kira kalau Riska itu pendiam.
Apalagi sekarang Riska semakin terlihat manis dan anggun.
Pakaiannya juga tidak terlalu kampungan sekali. Meski hanya menggunakan rok model A dan T-shit yang tidak terlalu ketat, Riska benar-benar anggun dan manis sekali.
“Oh iya, Riska. Kamu kelihatannya sekarang beda sekali. Kamu tidak pakai krim abal-abal kan, Ris?” tanya Aldi tiba-tiba.
Riska sontak menganga. “Ih enggak, Pak. Saya ikut Mbak Sri perawatan di klinik yang tidak jauh dari sini, klinik itu milik Dokter Kecantikan yang ada di seberang sana itu lho!”
“Kenapa, Pak? Apa bapak tidak suka, dan itu menambah pengeluaran bapak?” tanya Riska, mendadak khawatir.
“Bukan begitu, saya malah tahunya uang kamu kurang? Tidak kurang kan uang yang saya kasih?”
“Malah yang tiga bulan uangnya masih utuh, Pak. Belum saya pakai, masih utuh di amplop yang Pak Hasan kasih.”
“Lha kamu memang gak beli apa-apa gitu?” tanya Aldi, heran, “Beli baju, sepatu, tas, make-up, parfum, atau apa gitu?”
“Belilah, Pak? Tapi kan secukupnya, tidak usah berlebihan,” jawab Riska.
“Ini juga kamu belanja kok murah sekali, segini banyaknya tidak ada dua ratus ribu?”
“Ya makanya saya suka belanja di Pak Bejo, Pak. Murah terus barangnya masih fresh semua,” jawab Riska.
Aldi mengangguk. Dia semakin merasa bersalah karena terlalu cepat menilai Riska dulu.
Tak terasa, keduanya sampai di rumah.
Aldi pun memutuskan untuk membantu Riska menata sayuran di lemari pendingin.
Hanya saja, pria itu mendadak merasa tak nyaman dengan pakaian di tubuhnya.
“Aduh, saya tidak bawa ganti, Ris. Saya keringatan sekali, ternyata jalan-jalan enak ya, jadi berkeringat gini?”
“Terus gimana, Pak? Bapak mau mandi? Ada kaos oblong cukup besar milik saya, apa bapak mau pakai? Tapi ....”
“Tapi, apa, Ris? Warnanya pink, atau apa?” tanya Aldi.
“I—iya, Pak. Warnanya Pink, dan gambarnya Hello Kitty,” jawab Riska tertawa kecil.
“Aduh, selain itu gak ada, Ris?” tanya Aldi.
“Itu yang paling besar, yang mungkin pas di badan bapak,” jawab Riska.
“Ya sudah, saya mau pakai lah, saya ke kantor siangan saja nanti, atau tidak usah ke kantor saja lah, ada Hasan juga, saya mau di sini saja,” ucap Aldi.
“Yakin mau? Helo Kitty lho, Pak?” tanya Riska memastikan.
“Ya mau gimana lagi? Darurat, Ris. Gak mungkin saya pulang ke rumah Marta dulu, puter baliknya jauh sekali, lagian saya sedang malas pulang, Ris,” jawab Aldi.
“Ya sudah bapak mandi gih, nanti baju dan celananya saya cuci dulu, biar bisa dipakai lagi nanti kalau sudah kering,” ucap Riska.
“Baiklah,” ucap Aldi.
Riska langsung ke kamar, mengambilkan handuk untuk Aldi.
Untung saja Riska beli handuk lagi kemarin, jaga-jaga kalau suaminya datang.
Sayangnya Riska tidak membeli baju untuk Aldi, dan pakaian dalam untuknya.
Sementara itu, Aldi mengekori Riska untuk masuk ke kamarnya.
“Ini handuknya, Pak. Dan, ini kaos yang tadi saya bilang,” ucap Riska memberikan handuk dan kaos untuk Aldi.
Pria itu memperhatikan pakaian itu dengan dalam. “Pink betulan ini, Ris? Hello Kitty juga gambarnya?”
“Iya adanya begitu, lihat saja nih di lemari adanya kecil-kecil ukurannya, Pak,” ucap Riska.
“Aku gak salah lihat? Ini baju kamu, Ris? Segini saja?” tanya Aldi.
“Iya, memang kenapa, Pak?” jawab Riska.
“Kamu aneh ya? Lemari segede ini Cuma buat nyimpan baju dua susun saja? Ini yang tiga susun untuk apa, Ris? Baju kamu juga modelnya begini saja? Gak beli gaun atau apa, Ris?” tanya Aldi.
“Lah aku mau beli baju seperti apa, Pak? Ya memang butuhnya segini?” jawab Riska.
Aldi menggelengkan kepala, tak senang. “Ini juga, kenapa meja rias isinya skincare satu paket, parfum satu aroma, lipstik satu warna, sama bedak saja? Terus eye shadow, maskara, eye liner mana, Ris?”
“Mulai bulan depan, saya kirimkan uang tambahan, ya?’ ucap pria itu lagi.
“Hah?”
Cletak! Aldi menjentikkan jarinya ke kening Riska yang melongo karena mendengar dirinya akan menambahkan uang belanja Riska. “Awwh ... Bapak!” ringis Riska dengan mengusap keningnya. “Lagian kamu melongo begitu?” ucap Aldi. “Ya habisnya uang yang tiga bulan saja masih utuh, ngapain bapak ngasih tambahan uang lagi? Mubazir lho pak?” jawab Riska. “Aku tidak suka dibantah, Riska! Mau tidak mau kamu harus menerima uang tambahan dari saya, dan mulai sekarang belilah baju yang layak pakai, sepatu, tas, make-up, parfum, dan lainnya! Jangan sampai kosong lagi ini meja rias!” tegas Aldi. “Memang pakaian saya tidak layak pakai, Pak?” tanya Riska polos dan meneliti pakaian yang ia gunakan. Menurutnya sudah sangat layak pakai, bahkan itu adalah pakaian yang lumayan mahal harganya menurut Riska. “Ini sudah mahal lho, Pak? Saya beli di toko depan sana dekat sama Pasar itu, harganya sudah mahal sekali,” imbuhnya. “Mahal? Berapa, Riska?” tanya Aldi yang tidak yakin pakaian yang Istri Keduanya
“Bantu aku untuk bujuk Marta, supaya Marta mau punya anak dariku,” ucap Aldi. Riska tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Marta untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Aldi. Sekarang Aldi malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Marta?Apakah wanita itu mau mendengarnya?“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Aldi lagi. “Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Marta, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Marta supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Marta dong?” ucap Riska, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja." “Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?” Deg! “Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Marta, Pak. Apalagi Mbak Marta sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Marta. Kini, Aldi menghela napasnya berat. Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Marta, meminta jatah ranjang saja Marta sel
“Ehh ... ja—jangan sekarang, Pak! Saya sedang masak, masa sambil masak?” Riska sudah panas dingin didekati Aldi, apalagi sampai Aldi memeluk dirinya dari belakang dan mengambil spatula di tangan Riska lalu menaruhnya di tempat tirisan minyak.“Kenapa kalau sambil masak? Biar ada sensasinya, Riska? Ayo, layani saya sekarang.” Aldi tambah membuat Riska makin panas dingin, padahal Aldi hanya ngerjain Riska saja, bagaimana reaksinya saat diperlakukan seperti itu oleh Aldi.“Aduh, Pak ... tubuh saya bau bumbu, nanti saja, ya? Mandi dulu, masa mau melayani suami bau begini, Pak? Ja—jangan deh, Pak?” ucapnya gugup dan wajahnya semakin merah merona, karena Riska bisa merasakan desah napas Aldi yang lembut dan hangat di tengkuknya.“Kenapa? Katanya sudah siap? Kok gugup gini? Jangan tegang dan takut dong wajahnya? Rileks, oke?” bisik Aldi di telinga Riska dengan lembut. Sesekali Aldi mencium tengkuk Riska. Entah ada dorongan apa Aldi bisa-bisanya menyesap aroma wangi tubuh Riska, dan tiba-tiba
Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata Riska tidak tahan karena ingin buang air, bukan karena ingin menuntaskan hasratnya sama seperti dirinya tadi, yang menuntaskannya sendiri.“Bapak kenapa sih? Aneh ih tanyanya? Masa orang lagi buang air suruh teriak-teriak?” ucap Riska.“Aku lapar, makan yuk? Sudah selesai masaknya, kan?”Aldi sengaja mengalihkan pembicaraan, karena ia malu dengan pikirkannya sendiri yang tiba-tiba jadi berpikiran negatif tentang Riska. Pasalnya, jika Marta ingin sekali, dia menuntaskan hasratnya sendiri di kamar mandi. Aldi kira Riska melakukan hal yang sama dengan Marta.“Hmmm ... pantas saja bicaranya ngelantur, ternyata Bapak lapar? Ya sudah yuk kita makan,” ajak Riska.Mereka duduk saling berhadapan di depan meja makan. Tangan Riska cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya.“Silakan, Pak. Selamat makan,” ucapnya dengan senyum tipis di wajahnya.“Selamat makan juga, Riska,” jawab Aldi.Aldi menyendokkan makanannya, dan mulai mencicipi masakan
Riska menenangkan degup jantungnya yang tidak keruan karena perbuatan Aldi yang tiba-tiba saja berlaku manis di depannya. “Ya Allah ... apa yang terjadi pada diriku?” batin Riska sambil melongo mengingat apa yang Aldi lakukan tadi. Sementara Aldi yang baru sampai di kantornya, langsung disambut oleh Hasan. Asistennya itu merasa ada yang aneh dengan penampilan sang bos. Biasanya memakai baju rapi dan formal, sekarang hanya memakai kemeja lengan pendek, dan terlihat tampil lebih fresh, terlihat sangat muda menurut Hasan. “Kok bengong, San? Bagaimana, sekarang saja meetingnya? Saya belum terlambat, kan?” tanya Aldi yang melihat Hasan melongo memandang penampilannya dari atas sampai bawah. “Tuan gak salah ke kantor pakai pakaian seperti ini? Apa tidak terlalu santai? Atau saya siapkan baju Tuan yang lain?” tanya Hasan. “Apa saya salah pakai baju? Sepertinya tidak salah? Baju ini bersih, rapi, wangi, dan pantas untuk dipakai ngantor, ya meskipun terkesan santai,” jawabnya dengan me
“Ternyata, dia membelikan rumah mewah untuk Yani dan anak-anak mereka,” ucapnya dengan berderai air mata. “Rumah itu lebih mewah dari rumahku dan Rendi, dan hal yang paling mengejutkan, mereka sudah menikah SAH tanpa sepengetahuanku, sebelum anak pertama mereka lahir. Mereka menikah Sah dengan berdasarkan surat perjanjian yang aku buat, sehingga pihak Kantor Urusan Agama mengesahkannya, karena berdasarkan surat itu, aku telah menyetujuinya,” jelas Intan dengan sesegukkan.“Kok bisa sih? Kamu bilang Rendi sangat mencintaimu dan tidak akan berpaling darimua meski ada Yani?” tanya Selfi. “Iya dia mencintaiku, dan mencintai Yani. Dia tidak mau melepaskan Yani juga diriku. Terlebih Orang tua Rendi tahu pernikahan dia dengan Yani karena aku yang minta, karena aku yang tidak mau hamil. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana, Rendi bilang semua yang ia kasih untuk Yani sudah di atas namakan anak-anak mereka, sudah tercatat dalam surat dari Notaris, itu semua sah,” ucapnya. Marta yang mende
“I—iya, Pak. Nanti Saya pakai baju itu,” balas Riska.Riska bergegas masuk, lalu mengunci pintu depan, dan langsung masuk ke kamarnya. Matanya tertuju langsung ke arah lemari pakaiannya, ia membuka lemari pakaiannya lalu mengambil baju yang dimaksud Aldi.“Hanya ini yang warna merah hati, masa iya aku pakai baju yang kurang bahan begini, nerawang, dan bolong-bolong?” ucapnya dengan tatapan ngeri pada baju di depannya.“Enggak mau!” Riska melempar baju itu ke atas tempat tidur. “Eh tapi ... bukannya lebih cepat lebih baik? Kan jadi cepat selesai tugasku?” ucapnya dengan mengambil baju dinas merah hatinya.Riska mencoba baju dinasnya itu, melihat penampilannya memakai baju dinasnya saja Riska risih, apalagi dilihat oleh lawan jenis? Meskipun suaminya, tetap saja Riska risih, apalagi baru pertama kalinya memakai baju model seperti itu,“Ya Allah ... ini baju apaan? Apa ini yang namanya baju dinas yang sering Yani katakan? Ling—lingerie? Ah iy benar sepertinya itu namanya,” ucap Riska.T
“Ah kelamaan kalau tahun depan, Pak. Sekarang yuk?” ajak Riska dengan genit.Aldi hanya menggeleng, melihat Riska yang menjadi agresif seperti itu. Istri mudanya malam ini seakan menantangnya untuk berduel di atas ranjang.“Yakin? Nanti kamu nangis?” ledek Aldi.“Ya kalau bapak ingin, tapi memang saya masih takut, Pak. Boleh jangan sekarang?” tawar Riska.“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku paham itu. Kita saja baru sehari ini ketemu lagi setelah pernikahan kita itu. Jadi mulai sekarang anggap saja kita ini sedang PDKT,” ucap Aldi.“Hmm ... benar sekali,” jawab Riska.Aldi meregangkan otot tubuhnya yang kaku. Ia merasakan pegal di tubuhnya karena tadi memang sibuk di kantor, meski bekerja setengah hari saja, pekerjaan hari ini menguras tenaga Aldi.“Bapak kenapa? Capek, ya?” tanya Riska.“Iya, badannya pegel-pegel, Ris,” jawab Aldi.“Sebentar, ya?”Riska meninggalkan Aldi, entah dia mau apa. Riska terlihat berjalan ke arah dapur. Aldi hanya melihat Riska pergi ke dapur dari tempat duduknya,