Share

Bab 6 - Sekarang?

“Bantu aku untuk bujuk Marta, supaya Marta mau punya anak dariku,” ucap Aldi.

Riska tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Marta untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Aldi. Sekarang Aldi malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Marta?

Apakah wanita itu mau mendengarnya?

“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Aldi lagi.

“Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Marta, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Marta supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Marta dong?” ucap Riska, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja."

“Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?” 

Deg!

“Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Marta, Pak. Apalagi Mbak Marta sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Marta.

Kini, Aldi menghela napasnya berat.

Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Marta, meminta jatah ranjang saja Marta selalu menolaknya.

Istri pertamanya itu malah memilih memuaskan dirinya sendiri tanpa Aldi.

“Kalau kamu takut Marta akan mengambil kembali uang itu, saya akan membayar kamu tiga atau lima kali lipatnya dari yang Marta berikan padamu!” jelas Aldi.

Riska menghela napas panjang. “Haduh ... saya pusing, Pak. Sudah setengah tahun belum bisa memenuhi keinginan Mbak Marta, sekarang malah saya disuruh bantu Bapak untuk bujuk Mbak Marta supaya mau hamil."

"Untung saja, Mbak Marta tidak tahu keberadaanku sekarang di sini. Kalau tahu, pastinya sudah sering ke sini dan mengancam saya, Pak! Bayangkan saja setengah tahun saya belum hamil, pasti kalau Mbak Marta tahu saya dimarahi, Pak!”

“Saya lebih pusing, Ris!” tukas Aldi.

“Ya kalau pusing Bapak istirahat saja. Saya mau masak untuk makan siang nanti,” ucap Riska, lalu meninggalkan Aldi ke dapur.

Aldi hanya diam, tidak tahu mau berkata apa lagi. Memang lebih baik dia istirahat di kamar saja. Namun, Aldi mengurungkan niatnya untuk ke kamar. Aldi memilih rebahan di sofa depan TV lalu menonton acara TV lainnya. Ia memindah chanel untuk menonton acara selain acara gosip.

**

Lama Aldi rebahan sambil menonton TV, tiba-tiba indra penciumannya tergoda oleh bau harum masakan dari arah dapur. Baunya membuat perut Aldi keroncongan lagi. Padahal masih belum jam makan siang, tapi perutnya sudah lapar karena tergoda bau masakan Riska.

Merasa penasaran sang istri masak apa, sampai baunya seharum itu, dan membuat perutnya keroncongan, akhirnya Aldi ke dapur untuk melihat Riska sedang memasak apa. Aldi mendekati Riska yang sedang memasak, sambil mulutnya komat-kamit menyanyi. Entah lagu apa yang sedang Riska nyanyikan, Aldi melihat Riska begitu menikmati momen memasaknya.

“Kamu masak apa, Riska?” tanya Aldi yang sudah berdiri di sebelah Riska.

“Astagfirullah ... Bapak! Ngagetin saja sukanya! Untung nih ya gak saya lempar spatulanya!” pekik Riska dengan terjingkat.

“Habis kamu serius sekali masaknya, sambil nyanyi lagi?” ucap Aldi.

“Ya masak harus serius dong Pak? Biar hasilnya enak,” ucap Riska.

“Masak apa, Ris?” tanya Aldi.

“Sayur lodeh meriah, semeriah hati saya yang mungkin sebentar lagi mau selesai kontrak kerja saya dengan Mbak Marta,” jawabnya dengan gaya bar-barnya. Entah kenapa gadis pendiam itu berubah menjadi sebar-bar itu di mata Aldi.

Aldi tersenyum miring, berpikir kenapa Riska sama sekali tidak ada sedih-sedihnya di posisinya sekarang. Padahal dirinya sedang menjadi tawanan Marta untuk meminjamkan Rahim dan harga dirinya.

“Kenapa senyum?” tanya Riska.

“Kamu itu lucu. Kamu memang senang ya kerja begini? Gak ada rasa sedih atau apa gitu? Kayaknya bahagia banget lho kamu? Atau kamu memanfaatkan kami untuk mendapatkan uang?” tanya Aldi.

“Kerja itu harus dinikmati, Pak. Apa pun pekerjaannya, yang penting halal. Kan saya halal, sudah menjadi istri bapak? Bukan perempuan yang menjual diri pada Laki-laki hidung belang di luar sana? Saya gak memanfaatkan Bapak dan Mbak Marta, orang saya kerja jelas kok, ada perjanjian kerjanya, bukankah Bapak membaca sendiri perjanjiannya?” jelas Riska.

“Pekerjaanmu ini pekerjaan yang berat, Ris. Taruhannya nyawa. Kamu harus melayani suami orang yang gak mencintaimu, kamu juga harus melahirkan yang taruhannya nyawa. Kamu masih muda, apa kamu gak berpikir panjang untuk itu?” ucap Aldi.

“Ya mikir sih, Pak. Memang semua pekerjaan gak ada yang ringan, pasti ada tantangannya, ada cobaannya, dan taruhannya mungkin nyawa juga. Petani saja kerja taruhannya nyawa, Pak. Coba kalau tiba-tiba di sawah digigit ular berbisa, atau pas hujan petir kesamber petir? Iya, kan?” ucap Riska santai.

Aldi menggeleng, tidak mengerti jalan pikiran wanita muda itu yang sekarang sudah menjadi istrinya. Iya, pekerjaan Riska memang jelas, Aldi sendiri membaca perjanjian antar Marta dan Riska, akan tetapi Aldi masih berat menjalankan semua keinginan Marta itu.

“Saya gak tahu harus bilang apa lagi sama kamu. Kamu seperti menikmati sekali pekerjaan ini, Ris,” ucap Aldi menyerah.

“Karena saya butuh uang, dan Mbak Marta butuh bantuan saya. Jadi impas kan, Pak?” jawab Riska sambil mencicipi masakannya.

Aldi diam, sambil memerhatian Istri Mudanya memasak dengan cekatan. Seperti sudah terlatih sekali tangannya untuk memasak. Sepintas ia berpikir tentang Marta, dan sedikit membandingkan antara Riska dan Marta. Istri Pertamanya sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masak. Bahkan memasak air pun tidak pernah Marta lakukan, karena menggunakan dispenser, jadi butuh air panas tinggal pencet saja. Berbeda dengan Riska yang sangat lihai memasak.

“Jangan bengong, Pak! Geseran dikit napa, Pak? Jangan dekat-dekat, nanti kena cipratan minyak, saya mau goreng ayam soalnya,” ucap Riska yang berhasil membuat Aldi kaget.

Bukannya menjauh, tapi Aldi malah ingin tahu bagaimana Riska menggoreng ayam. Hatinya seketika menghangat memandangi istrinya begitu cekatan memasak, dan memasak sebanyak itu untuk menyiapkan makan siang untuk dirinya.

“Apa kamu selalu masak untuk sarapan, makan siang, dan makan malam?” tanya Aldi.

“Iya, saya selalu masak sendiri. Saya tidak suka makanan instan, Pak,” jawab Riska.

“Kamu yakin tidak mau membantu saya soal Marta, Ris? Gak mau memikirkan ulang?” tanya Aldi memastikan lagi.

“Saya malah sama sekali tidak memikirkan itu, Pak. Yang saya pikirkan saya ingin cepat-cepat selesai dari pekerjaan saya ini,” jawab Riska.

“Ya sudah kalau begitu,” ucap Aldi.

“Ya sudah bagaimana, Pak?” tanya Riska.

“Kapan mau aku sentuh? Kamu sudah ingin cepat-cepat selesai, bukan?” tanya Aldi basa-basi.

Padahal Aldi sendiri gak ada niatan untuk menyentuh Riska. Bagaimana mau menyentuhnya? Aldi tidak mencintai, Aldi baru kenal Riska, dan tidak mungkin Aldi menyentuh perempuan yang hanya dinikahi secara siri. Aldi ingin anak yang sah sesuai agama dan hukum yang berlaku.

“Ya terserah Bapak lah? Saya siap kapan saja, mau sekarang juga saya siap kok, Pak,” ucapnya, berusaha tenang.

“Sekarang?” tantang Aldi seraya mendekat, membuat jarak keduanya menipis

"Eh?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status