LOGINShiren menggenggam spanduk kecil berwarna cerah dengan tulisan tangan rapi yang mempromosikan jasa make up-nya. Ia memilih tempat yang strategis—pagar besi di depan kost yang sering dilalui penghuni lain dan tamu. Dengan hati-hati, ia memasang spanduk itu menggunakan isolasi bening, memastikan tidak ada sudut yang terlipat atau tulisan yang terhalang.
Mata Shiren berbinar penuh harap, sedikit senyum tersungging ketika membayangkan pelanggan pertamanya datang berkunjung. Angin sore yang lembut mengibaskan rambutnya, menambah kesan sederhana tapi penuh percaya diri pada sosoknya yang sederhana itu. Di balik wajahnya yang tenang, bersemayam rasa gugup yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya—apakah usahanya kali ini akan membuahkan hasil? Seorang tetangga yang lewat menatap spanduk itu sebentar, lalu tersenyum mengangguk. Shiren menanggapi dengan anggukan kecil penuh semangat, menahan debar jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Ini bukan sekadar spanduk, tapi awal dari mimpinya yang ingin ia gapai dengan penuh kerja keras. Usaha pun tak menghianati hasil, ke esokan harinya ia mendapatkan customer pertama seorang ibu-ibu muda menggunakan baju kebaya. "Benar ini kak Shiren?" Dia pun mengangguk tersenyum. "Ya, silahkan masuk!" Wanita itu mengangguk lalu masuk ke dalam, dia meminta dirias karena berniat untuk pergi kondangan keluarga jauhnya. "Makeup-nya yang tipis saja ya kak," "Boleh kak, acara pesta dimana?" ujarnya sembari mengobrol ringan. "Ujung gang sana, kak nggak diundang?" Shiren menggeleng lalu tersenyum. "Bagaimana diundang, saya baru disini, belum pada kenal!" Wanita itu pun menyunggingkan senyum, sesekali notifikasi handponenya berbunyi. Setelah beberapa puluh menit ke depan, hasil riasan Shiren selesai. Wanita itu pangling melihat wajahnya sendiri, dia tak henti-hentinya menatap cermin. "Cantik kak, aku suka banget. Apalagi warna lips nya," Shiren mengucapkan terima kasih. "Alhamdulillah kalau kakak suka," "Ini pembayarannya, makasih ya. Rupanya meski kakak baru tapi hasil makeupnya bagus juga. Harganya terjangkau lagi." Customer itu tak henti-hentinya memuji hasil riasan Shiren. Setelah kepergian Customer pertama itu, Shiren bernapas lega. Mengambil Nadhira dan memulai memandikannya dengan air hangat. Aktifitasnya pun tak berat, Shiren tak memasak seperti biasa karena di sana tak ada kompor dan peralatan dapur sama sekali, dia akan membeli makanan karena memasak untuk dirinya seorang akan terasa boros. ("Tringg! Kak, bisa make up temanku nggak yang bakalan jadi bridesmaid? Siang ini sekitar jam 10-an sebanyak tiga orang?") Mata Shiren berbinar usai sarapan pagi yang sempat tertunda, dia mengucapkan hamdalah sekali lagi. "Bisa kak, silahkan suruh saja temannya datang kemari," balasnya gesit. ("Harga sama kayak tadi ya kak?") "Iya sama." *** Waktu terus berlalu begitu cepat, saat Shiren sedang mengaplikasikan make up ke wajah customer yang akan bertunangan, Lastri datang bersama Dika. Kedatangan mereka tentu sudah diketahui Shiren, mata Lastri berkaca saat menatap cucu perempuannya itu. "Ya Allah Nadhira cucuku, rasanya sudah sangat rindu kamu nak. Maaf Nenek baru datang menjengukmu!" lirihnya mencium pipi Nadhira berulang kali, Dika yang menatap kelihaian tangan Shiren mengaplikasikan make up merasa terpukau. "Jadi sekarang kamu buka jasa MUA dek?" "Iya bang, ya bagaimana mungkin aku bisa bekerja diluar sedangkan Nadhira masih sangat kecil jika harus dititipkan," jawabnya setelah menyemprotkan setting spray. "Sudah ya dek, semoga suka hasilnya," perempuan muda itu menatap cermin dengan senyum manis. "Bagus banget kak, terima kasih banyak. Pas tak menor tapi cantik!" pujinya, teman di sampingnya pun mengangguk. "Syukurlah kalau kamu suka, semoga acaranya lancar ya dek!" Customer itu tersenyum, mereka rela datang jauh karena tertarik dengan promosi dari Shiren lewat sosial media, harganya terjangkau dan beberapa testimoni juga terlihat bagus-bagus. "Ini kak uangnya, makasih banyak. Kalau make up pengantin kira-kira bisa nggak kak?" Shiren terdiam sesaat, sungguh sebuah tantangan besar baginya. Lalu ia menanyakan lagi kapan kira-kira hari jadinya, ia takut tak lagi di kota itu. "Kapan acaranya Dek? Kakak belum bisa janji sih," "Sekitar empat bulanan lagi kak." Shiren sedikit terkejut, lalu tersenyum kaku. "Insyaallah ya dek, tapi dijadwalkan dulu." gadis itu mengangguk senang. Setelah kepergian mereka, Shiren bergabung dengan tamunya, Dika dan Lastri tampak asyik mengajak Nadhira bercanda. "Bu, apa kabar?" Tukasnya basa-basi. "Alhamdulillah seperti yang kamu lihat nak, maafkan Ibu baru datang. Hmmm sebenarnya ibu ke sini atas permintaan Niko," suara Lastri terhenti sejenak merasa gugup. "Kenapa bu?" Lastri mengeluarkan sebuah amplop yang cukup besar. "Surat dari pengadilan?" Lastri mengangguk, rupanya proses perceraian mereka berjalan sangat lancar, apalagi wanita itu tak mempersulit atau Niko sebaliknya agar proses perceraian mereka lancar dan cepat. Shiren mengangguk paham. "Terima kasih bu, sekarang statusku sudah jelas." Lastri terdiam, Dika mendekat. "Shiren, ini uang buat kebutuhan Nadhira! tak banyak, tapi semoga membantu kamu," Shiren terdiam sebentar, lalu berkata. "Uang dari siapa? Bang Niko?" Dika tampak tersenyum kecil. "Sebagian ada, selebihnya uang dari kami!" Maksud Dika adalah uang Lastri dan dirinya sebagai bentuk pertanggung jawaban atas nafkah buat Nadhira. Shiren menerima uang itu dengan tangan gemetar, lalu melihat isi di dalamnya. "Banyak juga bu, lima juta. Apa tak berlebihan?" "Terima saja nak, itu hak dari Nadhira. Ya meski ayahnya tak peduli, tapi masih ada kami." Shiren sebenarnya merasa tak enak, tapi dia menghargai niat tulus Lastri dan Dika. Hingga waktu terus merangkak menuju sore, Lastri dan Dika pamit pulang. Tapi hal tak terduga terjadi, sebuah pesan dari Airin istri Andika masuk ke dalam ponselnya. "Kak Airin!" ("Dasar perempuan tak tahu diri, terus saja repotkan suamiku. Ayahnya Nadhira itu Niko, bukan bang Dika. Kenapa malah suamiku susah-susah mengeluarkan uang buat kalian, hah?") Tenggorokan Shiren merasa tercekat. "Maksud kakak apa? Aku tak meminta apapun pada bang Dika," balas Shiren dengan tangan nyaris bergetar. ("Saya ingatkan lagi, kalau meminta nafkah anakmu minta saja pada Niko, bukan bang Dika. Kamu tahu kan? Kamu menerima uang lima juta, empat juta uang suamiku. Satu juta mertuaku, hebat sekali mengambil hati mereka. Anakku saja ibu tak seperti itu,") Emosi Airin tampak meluap-luap, Shiren juga turut tersulut marah. "Oh begitu, baiklah. Aku akan kembalikan uang ini." Balas Shiren murka, dia meminta nomor rekening Airin, tanpa banyak drama. Seketika dia pergi keluar membawa Nadhira untuk mengirimkan uang tersebut. "Aku tak suka cara kak Airin begini, siapa yang meminta uang itu? Aku tak pernah meminta apapun pada keluarga bang Niko!" tuturnya setelah berada ditempat pengiriman. Dia pun mengirimkan bukti transfer kepada Airin juga Dika. "Maaf bang, aku tak bisa menerima uang barusan. Istrimu marah dan tak suka. Makanya mohon maaf aku kembalikan." Tulis Shiren di pesan singkat. Andika yang sedang duduk santai di rumah menikmati secangkir kopi terkejut membaca pesan Shiren, hingga nyaris dia menyemburkan minumnya. Airin yang sedang berdandan setelah mandi pun tampak senang saat mengetahui sebuah notifikasi dari Mobile bankingnya, dia senang akhirnya uang itu tak jadi milik Shiren dan anaknya. "Airin!" perempuan itu terkejut saat suaminya memanggil dengan sebutan nama dengan wajah marah. "Kenapa bang? Kok gitu kali manggil namaku?" Dika memperlihatkan pesan dan gambar yang dikirim Shiren. "Apa-apaan kamu marah sama Shiren karena aku dan ibu kasih uang? Lihat dia tersinggung kan!" Airin memutar bola malas. "Ngadu rupanya, dasar janda. Pasti mau adu domba kita kan?" "Stop Airin, kamu jangan begini, Apa salahnya membantu keponakanku, Nadhira bukan orang lain, kasihan Shiren sejak menikah dengan Niko diperlakukan tak baik, seharusnya kamu ada rasa empati sedikit saja!" Airin menyunggingkan senyum tak suka. "Bukan urusanku, aku kerja mencari uang biar kita banyak tabungan, eh seenaknya dia menerima secara cuma-cuma uang kita. Dia punya tangan kan? Ya sudah, biarin saja cari nafkah sendiri buat anaknya, Niko saja ayahnya tak peduli, kamu ngapain sok peduli." Balas Airin dengan suara keras, hingga membuat ibunya Airin mendekat mendengar pertengkaran mereka. "Ada apa ini Rin? Lihat anak kalian nangis," seru wanita paruh baya itu. "Ini Ma, suamiku malah belain wanita lain, alias mantan istri Niko." Ketusnya. "Shiren? Ah mama memang dari dulu tak suka sama dia, suka caper sama mertuamu dan lihat, suamimu juga ikutan." Dika menghela napas kasar, percuma jika dia menjawab karena akan kalau oleh dua orang perempuan sekaligus, ia kesal pun keluar rumah mengendarai mobilnya entah kemana. "Lihat Ma, baru kali ini bang Dika marah-marah begitu, ini semua karena Shiren!" sungut Airin kesal, ibunya menenangkan dirinya. Kali ini, Dika langsung membawa kemudi mobilnya ke arah kost-an Shiren, kedatangannya pun membuat Shiren cukup terkejut, karena hari telah beranjak malam, ia persilahkan Dika untuk duduk dibangku teras miliknya. "Bang Dika, ada apa ya kemari?" Tukasnya sembari menyuguhkan secangkir teh hangat. "Maaf mengganggu dek Shiren, abang kesini meminta maaf atas ketidaknyamanan kamu karena istri abang Airin, sungguh sebenarnya abang sangat malu. Jadi tolong terima kembali uang ini," Dika menyodorkan uang sebanyak lima juta yang diambilnya di mesin Atm barusan. "Tapi bang, aku tak bisa. Nanti jadi menambah masalah, kak Airin pasti tambah benci sama aku," Dika menggeleng. "Tak usah takut, dia tak akan tahu ini semua. Ini hak Nadhira, kami tahu Niko tak mungkin mau menafkahi anaknya untuk ke depannya. Dia sudah katakan sendiri, kami berusaha memberikan nasehat, tapi dia tak mau! maafkan adik abang." Shiren menghela napas, dia juga sudah yakin Niko takkan peduli pada anaknya, masih dalam kandungan saja pria itu tampak enggan. Apalagi sekarang mereka telah berjauhan. "Please Shiren, demi Nadhira. Terima uang ini!" Shiren sebenarnya berat, tapi dia tak punya pilihan lain. "Terima kasih bang, aku mau katakan sesuatu," Dika mengerutkan kening. "Besok kami akan segera pindah, jauh, kemungkinan kami takkan kembali lagi di kota ini, aku dan Nadhira akan membuka lembaran baru! katakan pada ibu, aku pamit." Dika bertambah kaget. "Kemana? Buat apa kalian pergi, apa disini kalian tak nyaman?" Shiren tersenyum kecil. "Aku mau membuang segala kenangan masa laluku, bang Niko, ibuku, semua! aku akan memulai semuanya dari awal. Memulai kehidupan baru tanpa satu orang pun yang aku kenal," Air mata Shiren tak sengaja berderai. Andika mengangguk. "Baiklah, semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan itu dimana pun kamu berada, jangan lupakan kami! bagaimana pun Nadhira adalah keponakanku, cucu ibu juga." Shiren mengangguk, sebenarnya berat. Di kota itu begitu banyak kenangan, tempat dimana dia dibesarkan oleh neneknya, disekolahkan dan menemukan cinta pertamanya Niko. Tapi Shiren tetap harus mengambil keputusan besar demi membenamkan rasa sakitnya. "Terima kasih bang, kamu dan ibu adalah dua orang yang selalu baik padaku." Dika pun berpamitan, Shiren telah mantap dalam keputusannya. Hingga ke esokan harinya tepat pukul 01 siang, semua sudah siap. Motor yang selama ini menemaninya pun telah dia jual, dia hanya membawa baju-baju dan keperluan alat rias saja beserta barang Nadhira. Mobil yang dia pesan pun telah datang, para tetangga kost merasa sedih atas kepergian Shiren yang dirasa mendadak. Bagaimana tidak, mereka akan kehilangan MUA terbaik mereka, yang mana hasil riasan Shiren pas, harga juga terjangkau.Airin sedang duduk santai di sofa ruang keluarga, tangannya memegang secangkir teh hangat sambil menonton acara favorit di televisi. Suasana tenang itu tiba-tiba pecah ketika pintu depan diketuk dengan keras. Dengan ragu, Airin berdiri dan membuka pintu, di depan matanya berdiri dua petugas kepolisian dengan ekspresi serius. "Apakah Ibu Airin?" tanya salah satu petugas dengan suara tegas namun sopan. Jantung Airin berdegup kencang, ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. "Ya, saya Airin. Ada apa, Pak?" Petugas itu mengeluarkan surat panggilan dan membacakan, "Kami datang berdasarkan laporan dari Shiren Amirah terkait dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Ibu." Airin terdiam sejenak, wajahnya berubah pucat. Dalam benaknya berputar cepat, mencoba mengingat apakah yang harus dia lakukan. Matanya membelalak, mulutnya kering. Rasa takut dan kebingungan menyelimuti dirinya. "Dugaan... pencemaran nama baik?" suaranya bergetar, tak percaya. "Ini pasti salah paham." Petugas itu meng
Video itu diputar ulang berkali-kali, wajah Airin yang kemarinnya penuh kesombongan kini terlihat pucat pasi. Di layar, suaranya tampak lantang dan tegas takkan mau mengembalikan nama baik Shiren dan yakin perempuan itu akan hancur atas berita hoaks yang dia sebarkan. "Aku bodoh sekali kenapa bisa terperangkap atas jebakan Shiren dan lelaki itu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba menahan rasa malu yang membuncah.Di sisi lain, komentar netizen membanjiri unggahan Arshaka. Hujatan dan cercaan mengalir deras, Airin disebut sebagai perempuan licik yang tega menghancurkan reputasi orang lain demi kepentingan pribadi. Beberapa bahkan mengungkapkan kebencian mendalam, mengutuk Airin tanpa ampun.Shiren yang menonton video itu dengan tangan gemetar, tak mampu menyembunyikan kelegaan yang mengalir di hatinya. Hatinya yang dulu penuh luka kini mulai memancarkan ketegaran baru. Ia tahu, meski luka itu masih menganga, kebenaran akhirnya terbuka ke permukaan. Namun, di balik itu semua, t
Andika berdiri di tengah ruang tamu yang remang, matanya membara menatap layar ponsel yang menampilkan unggahan viral itu. Wajahnya memerah, napasnya memburu seolah hendak meledak. "Kenapa kamu lakukan ini, Airin?!" suaranya pecah, penuh amarah yang sulit ditahan. Tangan Andika mengepal kuat hingga urat-urat di lehernya tampak menegang. Airin, yang duduk di sudut ruangan, menunduk dengan bibir gemetar, tak mampu menatap suaminya. Tatapan tajam Andika menusuk hatinya, namun wanita itu tetap diam, seolah menunggu ledakan berikutnya."A-aku minta maaf bang, semua aku lakukan hanya untuk membalas Shiren," Andika menggeleng."Kamu benci Shiren dan hendak ingin menjatuhkannya tapi malah menjelekkan suamimu sendiri begitu?!" Teriak Dika membuat semua terdiam, kilatan emosi yang membara dan tak pernah dia luapkan sebelumnya membuat orang sekitar merasa takut. Lastri yang ada di sana juga terlihat tak mampu berbicara."Aku tak bermaksud bang, semua terjadi begitu saja!" Airin tampak menegang.
Niko tiba di rumah dengan langkah yang berat. Begitu pintu kamar diketuk, ia segera membanting sandal ke pojok ruangan, suara dentangnya mengisi keheningan malam. Dadanya naik turun cepat, wajahnya merah padam karena marah. "Akkhhh... brengsek! Gimana bisa dia tolak aku begitu saja!" geramnya sambil menjatuhkan kursi hingga terjungkal. Suara benturan barang di kamarnya tak luput dari perhatian Airin yang sedang melintas di halaman selesai dari warung, disusul Dika yang penasaran. "Dengar nggak sih? Ada apa di rumah Niko?" tanya Airin dengan alis berkerut. Tanpa pikir panjang, Dika menyusul masuk, menemui Niko yang masih gusar. "Niko! Kamu kenapa, sih? Kok ribut banget malam-malam?" tanya Dika sambil mengusap bahunya. Niko menghela napas panjang, matanya yang semula marah kini terlihat lelah."Nggak usah ikut campur, sudah bang sana pulang!" usirnya, Dika menggeleng. Lelaki itu pulang dengan kesal tapi Airin tetap berdiam diri di tempat, matanya celingukan melihat sang suami apakah
"Apa! Shiren menjadi pemenang lomba? Berarti namanya naik dong?" Niko mengangguk, masih tak percaya Airin mengambil handpone dan melihat sendiri buktinya di tok tok."Benar, nggak mungkin aku bisa kalah sama cewek kampungan itu. Enggak bisa!" lirihnya terdengar Niko."Kamu nggak suka?" Airin mengangguk."Ya iyalah, secara tingkat pendidikan kami berbeda, aku diatasnya. Masa bisa kalah, tambah lagi pasti ibumu bertambah kagum sama dia, ah sebal!" pekik Airin kesal."Cepat kasih alamatnya, besok aku mau kesana langsung." Timpal Niko, Airin tampak malas akhirnya memberikan alamat Shiren.Setelah kepergian Niko, wanita itu tampak bermondar mandir dengan hati terasa tak tenang, dia masih merasa tak menyangka dan percaya akan kalah jauh dari Shiren yang dianggapnya tak bisa apa-apa selain menjadi ibu rumah tangga."Enggak enggak, aku harus bisa menjatuhkan Shiren. Bagaimana caranya?" Airin terus berpikir hingga akhirnya dia mendapatkan sebuah ide.*** Keesokan paginya, Shire
Shiren berdiri di antara kerumunan peserta yang menunggu dengan napas tertahan. Matanya sesekali menatap ke arah panggung, dimana Pengumuman lomba makeup pengantin akan segera disampaikan. Detak jantungnya berdetak lebih cepat, campuran antara gugup dan harap yang membuncah di dada. Tangan kirinya meremas-remas kain gaun sederhana yang dikenakannya, berusaha menenangkan diri meski seluruh tubuhnya terasa tegang.Suara pembawa acara mulai terdengar, mengumumkan satu per satu nama pemenang dengan sorak sorai dari penonton yang bersorak. Shiren menelan ludah ketika nama-nama lain disebut, hampir putus asa. Namun, saat kata “Pemenang utama atas nama... Shiren Amirah!” mengalun di udara, seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik. Matanya membelalak, bibirnya menganga tanpa suara.Raut wajahnya berubah dari tegang menjadi tak percaya, lalu perlahan berubah menjadi senyum lebar yang sulit ia tahan. Air mata haru mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya. Perlahan, Shire







