Share

Terancam Diusir

Dengan sedikit terburu, Clarissa berlari menuju pintu utama guna mengecek siapa yang datang. Dan begitu membuka bidang datar itu, yang dia dapati adalah sosok wanita berwajah garang yang berdiri angkuh di depannya.

"HEY! KENAPA LAMA SEKALI SIH BUKA PINTUNYA?"

Clarissa reflek memejamkan matanya, saat suara sentakan yang cukup keras tersebut memecah gendang telinganya. Suara dari Sang pemilik kontrakan, tempat dia tinggal.

"I-ibu? Ada perlu apa ya?" Pertanyaan bodoh sebenarnya. Namun Clarissa nekad melontarkannya sebagai bahan untuk sekedar basa-basi.

"Pakai bertanya lagi? Ya untuk menagih uang kontrakan kamu!" sergah wanita 40 tahunan bertubuh tambun itu. Jangan lupakan make up tebalnya yang selalu menjadi ciri khas si pemilik kontrakan. "Kamu sudah menunggak hampir 2 bulan ya!"

"Maaf, Bu— tapi saya, belum ada uang," jawab perempuan itu lirih. Wajahnya menunduk, merasa tak enak hati. Ia tahu, Sang pemilik kontrakan pasti akan mempertanyakan pembayaran uang sewa, tapi dia benar-benar tidak memiliki uang untuk sekarang ini. Ia sudah tidak kerja sejak bayinya lahir, dan suami yang harusnya bertanggung jawab atas kehidupan mereka, justru meminta berpisah dan kini pergi entah ke mana.

"HAAH!" Wanita bertubuh berisi itu memukul pintu di depannya, membuat Sasa tersentak kecil karena kaget. "Alasan saja! Setiap ditagih selalu bilang tidak punya uang-tidak punya uang! Kamu mau saya usir?!" Wanita itu terlihat geram, bosan dengan alasan Clarissa yang itu-itu saja. Semenjak memiliki anak, keluarga ini jadi sering menunggak.

"Ma-maafkan saya, Bu. Saya memang sedang tidak pegang uang sama sekali, tapi sa-saya janji, saya akan segera melunasi biaya kontrakan bulan depan." Clarissa tidak memiliki ide lain, ia hanya bisa meminta maaf dan memohon pengertian dari si pemilik kontrakan.

"Halah! Dasar kamu ini!" Wanita bergincu merah tersebut mengibaskan tangannya di depan wajah Clarissa, "pokoknya, kalau sampai bulan depan kamu belum juga bayar! Siap-siap kamu angkat kaki dari rumah ini!"

Perempuan berkulit putih itu hanya bisa mengangguk. Mengiyakan permintaan Sang pemilik. Ia kembali masuk ke dalam rumahnya begitu wanita tadi menghilang dari hadapannya.

Sungguh, hari ini menjadi hari yang buruk bagi Clarissa. Cobaan seolah bertubi-tubi menimpa hidupnya. Sosok berambut gelap itu menghapus air matanya, mencoba untuk tegar. Selalu percaya, jika setelah badai pasti ada matahari yang bersinar cerah. Dia tidak boleh putus asa dan terus larut dalam kesedihan.

***

Clarissa Andari adalah sosok yang kuat. Dia juga cerdas dan mandiri. Hanya saja nasibnya tak begitu mujur. Sejak kecil ia harus kehilangan orang tuanya. Tinggal bersama Paman dan Bibinya yang sering memperalatnya. Memorotinya dan memperlakukannya tak layak.

Saat usianya 20 tahun, dia pergi merantau ke kota X. Berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari sebelumnya, dan sekaligus menjauhi paman dan bibinya yang terus menjadikannya sebagai ATM berjalan. Dan saat itulah, ia bertemu dengan suaminya, Anggara Wibisono.

Pemuda yang dia pikir bisa membuatnya bahagia, pemuda yang dia pikir akan memberikan banyak cinta untuknya. Ternyata hanya benalu dalam hidupnya. Dia tak jauh berbeda dengan paman dan bibinya. Malas bekerja, dan hanya bersantai di rumah.

Tapi sialnya, dia terlalu mencintai pria itu. Tak ingin kehilangannya, karena berpikir cuma pemuda itu saja yang dia miliki di dunia ini. Namun setelah Sang suami menjatuhkan talak tadi pagi, ia merasa sangat kehilangan dunianya. Tujuan hidupnya.

"Baby, kalau kamu sudah besar nanti, Ibu harap kamu jadi anak yang pintar, sehat, dan mandiri, ya!" Sambil mengusap pipi lembut Sang anak, Sasa berujar demikian. Menaruh banyak harapan dan doa untuk putra satu-satunya.

"Semoga kamu selalu bahagia, dan di kelilingi dengan orang-orang baik, jangan seperti Ibu, oke..." Meskipun anaknya tidak akan bisa mengerti apa yang dia bicarakan, namun Clarissa terus saja berbicara tentang banyak hal.

Sampai akhirnya, matanya tidak sengaja melihat ke arah jarum jam di dinding kamarnya.

"Sudah pukul 10 malam? Tapi— Anggara belum juga pulang," gumam Sasa pada dirinya sendiri. Perempuan itu turun dari atas ranjang dan berjalan ke luar. Melalui jendela kamarnya, ia melihat ke arah luar halaman rumahnya. Tidak ada tanda-tanda suaminya itu akan pulang ke rumah. Dan hal tersebut membuatnya semakin gelisah.

"Apa— Anggara bersungguh-sungguh akan menceraikanku? Apa dia tidak akan pulang lagi ke sini?" Perempuan berambut sepunggung itu menggigit bibir bawahnya. Ia mendadak merasa gundah. Ia benar-benar tak siap menyandang status sebagai single parents.

Bahkan membayangkannya pun tidak.

Tubuh perempuan itu merosot ke bawah. Terduduk lemas hanya dengan memikirkan apa yang terjadi padanya selanjutnya. Ia sangat hancur sekarang ini. Cukup lama ia menangis sendirian di posisinya. Meratapi nasibnya yang malang.

Sampai tak berselang lama kemudian, terdengar suara ketukan dari arah pintu. Di sana, ia mendapati sosok Sang suami yang tengah berada di balik pintu.

Senyum di wajahnya sontak terkembang, melihat kehadiran pemuda yang dia tunggu.

"Anggara— aku senang sekali kamu pulang." Ia meraih tangan suaminya, berniat merangkulnya. "Aku lega sekali."

Buru-buru, Anggara menampik tangan Sang istri. Enggan dipeluk seperti itu. "Kamu jangan GR, aku pulang bukan untuk kamu?"

"Maksud kamu apa? Kamu— tidak benar-benar ingin menceraikanku kan?" tanya Sasa sambil mengikuti langkah suaminya.

Anggara tak menggubris perkataan perempuan yang dua tahun lebih muda darinya tersebut. Lebih memilih mengambil tas ransel di bawah kasur dan membuka lemari baju. Pria itu lebih mengambil pakaian miliknya, lalu menaruhnya di dalam tas.

"Kamu mau ke mana? Kumohon jangan tinggalkan aku!" Melihat Sang suami mulai mengemasi barang-barangnya tentu saja membuat Clarissa semakin cemas. "Anggara, aku mohon jangan ceraikan aku!" pintanya sambil terisak. Ia sangat tidak siap menjadi janda.

"Ish! Berisik! Kamu ini tuli atau bagaimana? Aku akan tetap menceraikan kamu! Tidak peduli apa kata kamu!" Ia mendorong tubuh Clarissa yang sedang menghalanginya untuk membereskan bajunya. Hingga tubuh mungil perempuan itu oleng dan nyaris jatuh.

"Anggara— aku mohon sama kamu... Jangan seperti ini! Lihat anak kita, Angga— Dia sangat membutuhkan sosok seorang Ayah!"

"Geez! Aku tidak peduli. Mau kamu jadi janda, mau anak itu tidak punya Ayah, aku tidak mau tahu!" Anggara menatap tajam ke arah Clarissa, rahangnya mengeras dan ekspresi wajahnya terlihat sangat marah. Kesal karena perempuan di depannya terlalu banyak bicara. Hingga tega, mendorong perempuan itu hingga jatuh di atas lantai.

"Angga— Aku mohon jangan pergi! ANGGA!" Sasa yang melihat suaminya berjalan ke arah pintu keluar langsung berdiri dari posisi terjatuhnya barusan. Buru-buru mengejar pria berkulit bak madu tersebut tidak pergi.

Namun baru saja ia mencapai ambang pintu, ia melihat pemandangan yang makin menyayat hatinya. Hingga ia nyaris tak bisa berkata-kata dan hanya bergeming dengan ekspresi tak percaya.

"A—Anggara? Kamu..."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status