Share

Bab 2. Sakit Hati

Pov Lidia

"Bikin malu saja! Kau lihat tadi, hah? Semua orang memandang jijik padamu!"

"Aduuh sakit, Mas." Mas Yusuf terus menarik tanganku agar keluar dari ballroom sebuah hotel ternama di kota ini.

"Menyesal aku mengajakmu ke acara itu. Seluruh teman-temanku menatapku dengan tatapan jijik. Semua gara-gara kamu!" hardiknya dengan tatapan nyalang padaku.

"Aku minta maaf, Mas. Harusnya aku tidak ikut tadi," lirihku dengan masih menahan sesak di dada. Dinginnya ruangan tadi membuatku terus terbatuk-batuk hingga merasa sesak.

Air mataku terus mengalir. Hati ini terasa perih bagai teriiris sebilah pisau. Suami yang dulu memujaku, kini seakan enggan berdekatan denganku.

Hingga tiba di area parkir, Mas Yusuf membentakku tanpa perasaan. Dia mendorong-dorong tubuhku agar segera masuk ke dalam mobil. Dia tak ingin ada teman-teman kantornya melihatku lagi. Sehina itukah aku, hingga dia sangat malu jika aku berada di dekatnya.

Selama di dalam mobil Ia terus saja mengumpat dan memarahiku. Ya Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang ingin sakit. Tapi kenapa suamiku selalu menganggap bahwa ini adalah kesalahanku.

Di saat sakit seperti ini  aku berharap sedikit perhatian darinya. Setidaknya untuk menjaga perasaanku. Tapi justru hinaan dan makian yang aku dapat.

"Kamu lihat para istri teman-temanku. Harusnya kamu pandai menjaga dan merawat tubuh seperti mereka. Tidak seperti sekarang ini. Sudah kurus, pucat lagi. Melihat wajahmu saja aku sudah malas. Apalagi tubuhmu!"

Mas Yusuf melirikku dengan sudut matanya seakan aku adalah kotoran yang sangat menjijikkan. Nada suaranya yang masih terdengar emosi membuat hatiku semakin nyeri.

"Ya Allah, Mas. Kamu kan tau bahwa aku sedang sakit. Aku mohon bersabarlah. Nanti kalau sembuh, aku pasti bisa seperti mereka lagi," jawabku dengan tangis yang tak tertahankan. Tubuhku gemetar menahan emosi. Satu tanganku menekan dada ini yang semakin terasa sesak dan nyeri.

"Kapan? setahun lagi? selama itu aku akan terus dipermalukan olehmu!" teriaknya seraya menunjuk wajahku dengan kasar.

"Astagfirullahaladzim ... Istighfar, Mas. Tolong jangan berbicara seperti. Tidak sekalipun aku berniat mempermalukanmu. Tolonglah sedikit saja mengerti." Aku berusaha untuk sabar walau rasanya sudah tak sanggup berada di dekat suamiku ini.

"Siaaal!" teriaknya kesal seraya memukul setir mobil.

Mas Yusuf membuang nafas kasar dan kemudian diam. Matanya masih memancarkan kemarahan. Aku tak berani mengajaknya berbicara lagi. Hingga kamipun sampai di rumah.

Mas Yusuf turun dari mobil lebih dulu tanpa menghiraukanku. Tubuhku yang semakin lemas berusaha untuk turun dari mobil sendiri. Secara perlahan aku masuk ke dalam rumah.

Saat malam tiba suamiku itu sama sekali tidak menyapa. Di tengah malam aku terjaga karena demam tinggi, ia sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk membantu mengambilkan obat. Rintihan dan tangisku saja tidak di hiraukannya. Entah sampai pukul berapa aku menangis menahan rasa sakit. Hingga tanpa sadar aku pun tertidur.

---------

"Lidia, mana bajuku?" teriak Mas Yusuf saat pagi tiba. Ternyata dia baru saja selesai mandi karena hendak berangkat kerja.

"Ada di lemari, Mas. Maaf aku belum ambilkan. Badanku rasanya masih demam," sahutku gemetar karena badanku menggigil. Hampir setiap pagi aku seperti ini. Namun kadang aku tetap memaksakan diri untuk mempersiapkan semua kebutuhan Mas Yusuf. Entah kenapa belakangan ini untuk bangun saja aku rasanya tidak kuat.

"Halah alasan aja. Bilang aja malas. Sedikit-sedikit sakit. Nggak ada gunanya kamu!" Hardik Mas Yusuf dengan tatapan nyalangnya.

"Ya Allah, Mas teganya kamu ...," sahutku seraya berusaha bangun dari tempat tidur.

"Dasar istri nggak becus! Ngurus diri sendiri aja kamu nggak bisa, apalagi mengurusku," ketusnya sambil mengacak-acak lemari yang tadi rapi kini jadi berantakan lagi.

"Ya Allah, Mas." Aku memandang sedih lemari yang sudah susah payah aku rapikan, kini isinya berhamburan di lantai.

"Aku benar-benar sedang sakit, Mas. Dokter bilang aku bisa sembuh. Asalkan berobat rawat jalan selama setahun." jelasku untuk yang kesekian kalinya.

Perlahan aku mencoba menghampiriinya.

"Aku tidak peduli. Yang aku mau, kamu bisa mengurusku seperti dulu lagi!" ketusnya. Kemudian berlalu meninggalkanku. Mas Yusuf memakai pakaiannya di ruang kerjanya. Belakangan ini jika di rumah, suamiku itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja dari pada di kamar bersamaku. Kami tak lagi bermesraan maupun bercengkrama seperti dulu. Mungkin sudah tak ada lagi cinta untukku.

Laki-laki yang tiga tahun lalu pernah berjanji di depan orang tuaku untuk selalu menjagaku, kini telah berubah.

Beberapa bulan belakangan ini,  Mas Yusuf justru melanggar janjinya. Dia tak lagi menjagaku dengan baik. Dia tak lagi menjaga hatinya untukku. Bahkan dia selalu berdusta dan menyakiti hati serta perasaanku.

Hampir tiap hari Mas Yusuf pulang malam. Dan setiap bulan selalu ada jadwal keluar kota. Tidak seperti biasanya.

Diam-diam aku selidiki, ternyata suamiku itu memiliki wanita lain bernama Rena. Entah di mana dia mengenalnya. Rena memang jauh lebih seksi dan memikat.

Tapi aku pura-pura tidak tau. Aku ingin laki-laki itu berterus terang. Biarlah dia mendua, asalkan ia tetap mencintaiku. Namun ternyata hatiku tak kuasa menahan beban perasaan. Hingga semakin hari kesehatanku menurun. Dokter bilang Aku harus tertib rawat jalan selama setahun.

Aku menjadi lemah dan mudah lelah. Namun tetap berusaha melayani suamiku. Tapi apa daya aku tak seperti dulu lagi 

"Dasar penyakitan, bikin susah aku saja!"

"Bagaimana kamu mau becus mengurusku? Urus dirimu sendiri saja kamu nggak bisa. Dasar lamban!"

Hampir setiap hari aku mendapat celaan dan makian yang  sama darinya. Semakin sesak dadaku rasanya.

Jangankan untuk memberi nafkah bathin, menyentuhku saja Ia seolah jijik padaku.

"Penampilanmu sungguh memalukan, Lidia. Sebaiknya kau tak usah ikut-ikut lagi kemanapun aku pergi!" ucapnya membuat hati ini terasa di remas .

Padahal dulu, laki-laki itu begitu memujaku. Begitu menyanjungku. Aku selalu di perlakukan bak ratu olehnya.

Namun kini, ketika aku sakit Ia tidak peduli sama sekali.

Hingga pagi itu, ketika dengan tiba-tiba ia menalakku dengan alasan yang tidak masuk akal. Dengan alasan bahwa aku sakit dan tidak bisa mengurusnya lagi.

Aku tau, Mas. bahwa itu hanya  alasanmu saja. Agar kamu bisa selalu bersama dengan perempuan itu. Perempuan gila harta yang sudah mengambil hampir semua hakku. 

Aku terima semua keputusanmu. Akupun sudah tak sudi untuk mengemis cinta padamu lagi. Biarlah aku kaupulangkan ke rumah orang tuaku. Mereka sangat menyayangiku. Dan tak akan pernah rela anak yang di besarkannya dengan penuh kasih sayang, disakiti jiwa dan hatinya olehmu. 

Aku yakin pasti akan sembuh. Aku pasti akan kembali seperti dulu lagi. Lihat saja nanti, Mas. Karma akan menghampirimu dan pelakor murahan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status